Tanya :
“Apakah kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.
Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1]
[Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan - http://dean4me.com/play-130.html].
Tanya :
“Pemerintah kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi ‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis. Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
“Alhamdulillah, wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
[Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah - http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989].
Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah - http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119]
Baca juga artikel kami : Puasa ‘Arafah.
[1] Perhatikan uslub Lajnah dalam menjawab pertanyaan. Mereka menyandarkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melaksanakan wuquf di ‘Arafah, dan puasa pada waktu tersebut disyari’atkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Kemudian Lajnah berfatwa kepada Penanya bahwa jika si Penanya ingin berpuasa dua hari, maka ia berpuasa pada hari ‘Arafah yang sesuai dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah yang bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah di daerah si Penanya, dan juga hari sebelumnya. Artinya, Lajnah tidak menyarankan si Penanya berpuasa di hari setelahnya, meskipun hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah menurut daerah si Penanya.
Assalamu'alaikum
BalasHapusSaya memang sudah sepakat dan lebih mengedepankan pendapat bahwa kita puasa 'arafah mengikuti waktu wukuf di Saudi, namun saya ada pertanyaan yg benar2 mengganjal nih ustadz :
Dalam hal ini, bila kita puasa arafah mengikuti waktu wukuf berarti kita puasa arafah tgl 15 November, nah bagaimana dengan perayaan Idul Adha-nya ustadz dimana kita tidak memungkinkan mengikuti Saudi karena pemerintah sini menetapkan Idul Adha (10 Dzulhijjah) tgl 17 November, berarti kita bakal ada kekosongan hari? Atau solusinya adalah kita puasa arafah mengikuti saudi sementara idul adha-nya bersama pemerintah?
Tolong tanggapannya ya ustadz. Terima kasih.
--Abu Ahmad--
Ijin Share ustadz ....
BalasHapus'Iedul-Adlhaa ikut Saudi, sehingga tidak ada kekosongan hari. Wallaahu ta'ala a'lam.
BalasHapusalhamdulillaah, saya sendiri ikut Saudi Arabia...
BalasHapusdan, saya kira apa yang difatwakan di atas, tidak memberatkan... subhanallaah...
Di daerah kami kebanyakan sholat id mengikuti pemerintah (rabu). bagaimana kita menyikapinya karena samapai saat ini di daerah kami, saya belum mendapati tempat yang menyelenggarakan shalat id mengikuti saudi.
BalasHapusmohon pencerahan.
Andang Banda Aceh...
Jika orang yang menyelenggarakan shalat 'Ied pada hari Selasa tidak ada, atau ada namun dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak mengapa ikut shalat 'Ied di hari Rabu. Wallaahu a'lam.
BalasHapusAssalamualaikum...
BalasHapusScr pribadi sy memilih pendapat yg telah diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu puasa arafah mengikuti hilal di daerah masing2.. Lalu,Bwt ust abul jauzaa, ada hal yg ingin sy tanyakan
Bgmn orang2 yang hidup di negara dimana ketika saudi siang hari, maka mereka dalam keadaan malam hari, atau ketika saudi malam hari,maka mereka dlm keadaan siang hari,seperti negara amerika atau hawai?? Pada saat kapan mereka harus puasa arafah? Karena jika mengikuti pendapat puasa mengikuti hilal saudi, sama saja mereka tetap tdk akan berpuasa di waktu orang sedang wukuf... Dgn demikian tentu mereka akan mengikuti hilal di negeri mereka..
Jazakallah khair atas jwbnnya..
-Almaidany-
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusSilakan saja bagi antum jika memang fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin - menurut antum - lebih kuat untuk diikuti. Ini adalah khilaf mu'tabar di kalangan ulama yang tidak selayaknya menjadikan kita bertikai antara satu dengan yang lainnya. Dan saya rasa, pertanyaan yang antum sampaikan itu bukanlah pertanyaan, namun tidak lebih sebagai salah satu alasan antum untuk mengambil perajihan yang telah antum pilih.
Adapun komentar saya : Mengikuti jama'ah haji adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan. Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi tentang wuquf 'Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan ru'yah hilal yang nampak baginya. Begitu pula dengan negeri-negeri yang beda 12 jam dengan Saudi. Jika memang negeri tersebut tidak pernah bersama waktu siangnya dengan Saudi, bukankah negeri itu bisa masih bersama waktu malamnya dengan Saudi. Karena, tidak ada negara di dunia ini yang akan berbeda waktu selama lebih dari 12 jam dengan Saudi. Ini adalah satu kondisi yang tidak boleh dijadikan hukum umum.
Dan kalau boleh saya pun bertanya kepada antum (jika antum menguatkan pendapat Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin) :
1. Adakah nukilan salaf (terutama generasi awal Islam) yang menyatakan bahwa negeri Syaam, Yaman, 'Iraaq, ataupun Mesir berbeda pelaksanaan 'Arafahnya dengan Makkah ? Saya harap antum tidak memakai dalil Ibnu 'Abbaas dalam masalah Syawal.
2. Seandainya antum di negara A dan saya di negara B, dimana jarak rumah antum dengan saya hanya 50 m. Namun antara rumah saya dan antum terdapat pagar perbatasan negara. Negara antum memutuskan 'Arafah hari Selasa, sedangkan negara saya hari Senin. Bagaimana penjelasan antum mengenai hal ini ? [saya memakai logika geografi yang sama dengan yang antum pakai].
Terkait penjelasan Syaikh Ubailan hafidhahullah atas pertanyaan yang diajukan kepada beliau, ana ingin bertanya:
BalasHapusApakah Idul Adha itu HARUS tanggal 10 Dzulhijjah atau TIDAK?
sebagai orang awam..ada beberap pertanyaan yang menggelitik :
BalasHapus1.apakah kita WAJIB MENGETAHUI info-info terkini dari Saudi (info wukuf,Ied, dll)
2. konsekuensi hukumnya, jika wajib mengetahui, berarti harus nonton TV, baca berita,dll (memiliki alat komunikasi)
3.Apakah ada perubahan hukum? jaman dulu gak ada alat komunikasi secanggih sekarang yang bisa mengupadate informasi dari negeri jauh, praktis menggunakan ru'yah hilal lokal..apakah penerapan hukum ini hanya berlaku di jaman canggih sekarang, dulu tidak.. islam syamil..... fi kulli makan wa zaman..
4.Tahun ini perayaan Ied Adha di indonesia berbeda dengan Saudi, Jika Pemerintah Indonesia yg punya otorisasi menetapkan waktu Ied Adha pada tgl 17 Nop 2010 berdasarkan Ru'yah hilal lokal bukan hisab ..menaatinya kok dibilang taat pada maksiat?? Setahu saya ada ormas yang menggunakan metode hisab tapi kebetulan bersamaan waktunya dengan Saudi..
Apakah dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara Iedul Fithri dan Iedul Adha dimana jika Iedul Fithri kita boleh mengikuti hilal masing-masing negri, adapaun jika itu Iedul Adha harus mengikuti hilal penduduk Makkah?
BalasHapusustadz, adakah pengertian bahwa hari tasyrik masih termasuk hari raya, apabila ada maka apakah bisa seperti ini : kita tetap puasa arafah dan Lebaran ikut saudi namun sholat ied ikut pemerintah kita dikarenakan tanggal tersebut masih dalam rangkain hari tasyrik.
BalasHapus@Abu Afifah,...
BalasHapus1. Wajib mengetahui khabar hilal penduduk Makkah, terkait pelaksanaan haji mereka. Wajib di sini bukan 'ain, tapi kifaayah.
2. Konsekuensi hukum yang terlalu 'dipaksakan'.
3. Tidak ada perubahan hukum. Dan sebenarnya pertanyaan semisal sudah saya komentari.
4. Jika antum paham akan duduk permasalahan khilaf di antara ulamanya, insya Allah antum tidak akan berkata demikian.
@Anonim,.... berbeda, tentu saja dari sisi pandang pendapat ulama yang mengatakan berbeda.
@Abu Hanif,... yang terdapat dalam hadits bahwasannya hari tasyrik adalah hari makan dan minum. Saya belum mendapati keterangan bahwa hari tasyrik termasuk 'Ied.
Wallaahu ta'ala a'lam.
rasulullah bersabda " kami adalah umat yang bodoh yang tidak bisa menulis dan membaca" maka dari itu penetapan pada waktu itu tidak berlaku hisab.
BalasHapusWa yathlubuhu Hatsisan (Al-Araaf : 54)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan ma...lampun tidak dapat mendahului siang–Yaasiin (36) : 40-
perbedaan waktu saudi-indonesia hanya 4 jam lebih dahulu indonesia.
indonesia telat bulan. yang menjadikan keduluan saudi 20 jam.
perhitungan qomariah, mulai masuk hari ketika masuk maghrib(matahari terbenam) beda dengan masehi yang dihitung sejak matahari terbit(subuh). jadi tidak ada alasan indonesia menunda hilal hingga esok hari.
sesungguhnya sudah sunatullah bahwa matahari tidak akan mendahului bulan. atau dengan kata lain saudi tidak mungkin mendahului indonesia dalam hilal.
www. perlu dipertanyakan keprofesionalan mereka dalam ru'yah. apalagi setelah dibandingkan dengan hisabpun ketetapan mereka jauh darinya. yang mana hisab lebih dekat dengan kebenaran yaitu dalil al-qur'an dan sains
Tanya Tadz, apakah dalam masalah khilaf mu'tabar yg terjadi di antara para ulama seperti dalam masalah ini tidak bisa diberlakukan kaidah "Ilzam al-shulthan yarfa' al-khilaf". Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan?
BalasHapusbisa
BalasHapusgimana jika perayaannya ikut pemerintah dengan dalil "...beriedul adhalah kamu bersama kaum muslimin", dan puasanya berdasarkan arofah dengan dalil shaum yaumul 'arofah ustadz..??
BalasHapusapakah ini pendapat yang ganjil..??
tadz bginmana klo wktu disini ketempatan sore kpn kta puasa arafah nya?? hr itu tp sdah drncnakan atau bsok pagi...???
BalasHapus@anonim 16 November 2010 05.18
BalasHapusAgar antum tidak bingung, pilihlah yg sesuai dengan keyakinan antum, mau beridul adha dengan pemerintah atau mengikuti saudi. Jika antum memilih untuk mengikuti saudi, maka kemarin (15 Nov) adalah puasa arafah dan harusnya hari ini (16 Nov) antum sholat 'id, jadi tidak benar jika antum kemarin puasa arafah lalu sholat 'idnya mengikuti pemerintah yaitu besok (17 Nov) karena bakal ada kekosongan hari, dan ini ganjil.
Ana udh menanyakan ini ke ustadz Abul Jauzaa dan udh dijawab kok, coba dicek lg di komen2 yg atas.
--Abu Ahmad--
Assalaamu'alaykum warohmatullohi wabarokaatuh,
BalasHapusAkhi mohon antum membahas juga tentang takbir 1 kali pada sholat Ied yg dilakukan oleh saudara-saudara kita Muhammadiyah di Bandung.
Di wawancara di TV katanya hadits yang takbir 7 kali di raka'at pertama dan 5 kali di raka'at kedua tidak shahih.
Syukron Jazilan
Bagaimana bila kita tinggal di Alaska yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus ikut Mekkah(Arab Saudi) pada tgl 16 November sedangkan di Arab Saudi sudah masuk hari ke 11 Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah
BalasHapusSilakan lihat diskusi di muslim.or.id pada kolom komentar di artikel:
BalasHapushttp://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
se7 sama ini----> Bagaimana bila kita tinggal di Alaska yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus ikut Mekkah(Arab Saudi) pada tgl 16 Nvoember sedangkan di Arab Saudi sudah masuk hari ke 11 Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah..... Scr pribadi sy memilih pendapat yg telah diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu puasa arafah mengikuti hilal di daerah masing2...share blog islam... http://www.kunya86.multiply.com/
BalasHapusAssalamu'alaikum..afwan Ust, setau saya:
BalasHapus1)Rosul bersabda "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan Berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)" Al Hadits.
2)Rosul bersabda "Puasa kalian ketika manusia (kaum muslimin) berpuasa dan 'Idul Adha kalian ketika manusia (kaum muslimin) ber'Idhul Adha" Al Hadits
3)Sahabat Ibnu Mas'ud berkata "Al Khilafu Syarr" yg artinya "Perselisihan itu jelek"
4)Syaikh Al Albany dan Syaikh Ibnu 'Utsaimin yang berfatwa agar merayakan 'Ied bersama pemerintah negara masing2
5)Sebagaimana daerah yang berada di wilayah timur lebih dulu berbuka puasa dari wilayah barat dg kesepakatan ulama...kenapa tidak sama dlm masalah puasa arofah?
1.Bahwasanya hari ‘Arafah adalah tanggal sembilan (9) dari bulan dzulhijjah, sama saja hal itu bertepatan dengan waktu jama’ah haji melakukan wukuf atau tidak, dan bahwasanya setiap daerah memiliki mathla’ tersendiri. Di antara ulama yang mengambil pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin rahimahumallah, Dr.Hanii bin ‘Abdullah al-Jubair hafizhahullah, Prof.Dr Ahmad al-Haji al-Kurdi hafizhahullah dan Prof.Dr Khalid al-Musyaiqih hafizhahullah dan lain-lain..
BalasHapus2.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah (2437), Imam Ahmad rahimahullah (2269) Imam an-Nasaai rahimahullah (2372) yang dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
”Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’, dan tiga hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan dua hari kamis.”
Segi pendalilan: Bahwa istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dahulu melakukan puasa pada tanggal sembilan dzulhijjah dan itu tidak diragukan lagi dilakukan oleh beliau sebelum haji Wada’. Dan lafazh كان menunjukkan rutinitas sebuah amalan. Dan tidak sampai kepada kami sebuah riwayat bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh untuk mencari tahu tentang kapan waktu wukuf jama’ah haji di bukit ‘Arafah di Makkah
3.Baca juga :
a.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
b Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah (http://tholib.wordpress.com/2006/12/26/fatwa-asy-syaikh-al-albani-tentang-sholat-dua-hari-raya-bersama-pemerintah/)
c.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
NB : Bantahan khusus buat Abul-Jauzaa bisa klik http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html
ternyta diskusiny belum selesai.
BalasHapusal ust abul jauzaa sbtlny sudah mengatakan bhw ini khilaf yg mu'tabar.
sudahlah tdk ahsan qt memaksakan pendapat qt pada org lain.
kalo mau menyanggah, sanggahlah poin2 bahasn yg beliau torehkan diatas.
wallahu a'lam
Sebenarnya saya ingin 'sudahi' pendiskusian ini, mengingat apa yang kita bicarakan telah 'lewat'. Selain itu, masih ada waktu panjang bagi kita ke depan, insya Allah, untuk mendalami permasalahan ini kembali.
BalasHapus@Anonim (25 Nopember 2010),.... berikut tanggapan singkat saya :
1. Ya, itulah ulama yang berpendapat berbeda dengan yang saya sebutkan di atas. Namun, apakah benar hari 'Arafah itu tanggal 9 secara mutlak ? Bukankah jika jama'ah haji wuquf karena keliru pada tanggal 10 atau 8 Dzulhijjah, maka wuqufnya adalah sah ? Selain itu, telah banyak penjelasan ulama (semisal An-Nawawiy dan yang lainnya) bahwa hari 'Arafah itu bukan hari kesembilan pada bulan Dzulhijjah secara mutlak.
2. Hadits itu lemah. Dan sepertinya, terjemahan "at-tis'u" itu bukan pada tanggal sembilan Dzulhijjah, tapi puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah.
3. Ya saya sudah baca. Adapun sanggahan Ustadz Murad Sa'iid, saya juga sedikit telah mengomentarinya.
Baarakallaahu fiik.
ketika seseorang memegang satu pendapat, maka pasti ia akan mempertahankannya mati-matian, meskipun dalil-dalil yang dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat
BalasHapustapi ada contoh menarik yang perlu kami angkat
Hikmah yang kami petik pada suatu kajian malam Jumat Riyadussholihin di Musholla Pasar Minggu, Ustadz Abdul Hakim Amir Abdat menceritakan pengalamannya tentang goyahnya pendapat beliau terhadap suatu masalah dalam sifat sholat Naby, yaitu ketika turun untuk sujud apakah mendahulukan tangan ataukah mendahulukan lutut.
bahwasanya beliau berpendapat (sesuai dengan bacaan beliau) bahwa ketika Turun untuk sujud adalah dengan mendahulukan TANGAN kemudian lutut, beliau merajihkan pendapat tersebut ditambah lagi hal itu dikuatkan lagi dengan adanya fatwa syaikh Albani (sifat Sholat Naby).
“Suatu ketika di musim haji...
Ustadz Abdul Hakim menghadiri ta’lim Syaikh Utsaimin, ta’lim itu dihadiri oleh banyak penuntut ilmu
Al allamah membahas tentang sifat sholat Naby, salah satunya membahas bahwa ketika turun sujud adalah afdolnya MENDAHULUKAN LUTUT sebelum tangan dengan dalil-dalil yang kuat..
singkat cerita Ustadz Abdul Hakim pun bertanya kepada Al Allamah bagaimana dengan pendapat syaikh Albany yang merajihkan mendahulukan tangan...
Al Allamah menjawab kurang lebih : “Aku berharap kebenaran bersamaku”
Maka seketika itu juga Abdul Hakim mengaku goyah dan
akhirnya beliau yakin dengan penjelasan Al Allamah..
ia pun merajihkan pendapat mendahulukan lutut ketika akan turun untuk sujud
ketika hanya dengan membaca kitab-kitab semata beliau punya pendapat sendiri
tapi ketika beliau mendengar langsung di Majlis Ulama, maka beliau mendapat pencerahan
baarakallahu fyk
Semoga kita terjauh dari sikap 'mempertahankan pendapat mati-matian, meskipun dalil-dalil yang dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat'. Dan jangan bakhil mendoakan saya agar tidak termasuk salah satu di antaranya.
BalasHapusSyukran !!
kalau kita ikut saudi, padahal waktunya duluan indonesia maka waktu kita puasa saudi belum wukuf. mohon pencerahannya
BalasHapusUstadz, saya sependapat dengan antum, alasannya.
BalasHapusJika hadits dari Nabi isinya menyatakan puasa pada 9 Dzulhizah maka, hukum asalnya mengikuti hilal (pertanggalan).
Jika kita lihat, hadits Nabi tentang puasa ada yang berdasarkan tanggal seperti puasanya tanggal 10 Muharram, puasa tanggal 1 Ramadhan, tanggal 13,14,15.
Ada yang berdasarkan hari tidak terikat tanggal, seperti puasa hari senin, puasa hari kamis, puasa hari arafah, puasa Nabi Daud.
Hari arafah adalah hari jamaah haji wukuf di padang arafah.
wallahu'alam.