29 April 2010

Kadar Mengusap Kepala Ketika Wudlu

Kewajiban mengusap kepala merupakan kesepakatan (ijma’) ulama berdasarkan firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” [QS. Al-Maaidah : 6].
Akan tetapi mereka (ulama) berbeda pendapat tentang kadar kewajiban pengusapan terhadap kepala ini. Secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga macam pendapat.

1.      Ada yang mengatakan cukup mengusap jambul/bagian depan kepala yang merupakan seperempat bagian dari kepala. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.[1]
Mereka berdalil dengan :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا التَّيْمِيُّ عَنْ بَكْرٍ عَنِ الْحَسَنِ عَنِ ابْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْعِمَامَةِ قَالَ بَكْرٌ وَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنْ ابْنِ الْمُغِيرَةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami At-Taimiy, dari Bakr, dari Al-Hasan, dari Ibnul-Mughiirah bin Syu’bah, dari ayahnya : Bahwasannnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu, lalu beliau mengusap jambulnya, kedua khuff dan imamah (sejenis surban penutup kepala). Bakr berkata : "Aku mendengarnya dari Ibnul-Mughiirah" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/255; shahih].
Sisi pendalilannya adalah : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamahnya, beliau tetap mengusap jambulnya yang nampak; sehingga dipahami bahwa itulah kadar wajib pengusapan dan selebihnya (mengusap imamah) adalah sunnah. Tidak mungkin diwajibkan pada waktu bersamaan antara mengusap sesuatu yang wajib secara asal dengan mengusap penggantinya (yaitu imamah).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي مَعْقِلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Muslim, dari Abu Ma’qil, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berwudhu dalam keadaan memakai sorban qithriyah. Beliau memasukkan tangannya dari bawah surbannya kemudian mengusap bagian depan kepalanya tanpa menanggalkan surban” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 147].
Namun hadits ini lemah[2], sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
عن معمر عن أيوب عن نافع أن بن عمر كان يدخل يديه في الوضوء فيمسح بهما مسحة واحدة اليافوخ قط
Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Naafi’ : “Bahwasannya Ibnu ‘Umar pernah memasukkan kedua tangannya saat berwudlu lalu mengusap hanya dengan satu usapan di ubun-ubunnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 7; shahih].
Ibnu ‘Umar hanya mencukupkan mengusap ubun-ubunnya saja ketika berwudlu, padahal telah diketahui ia adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada setiap sisinya.
2.      Ada yang mengatakan diwajibkan mengusap kepala sebagian dari kepala meskipun hanya sehelai rambut – selama itu masih dalam cakupan makna mengusap. Ini adalah madzhab Syaafi’iyyah.[3]
Mereka memahami huruf ba’ pada firman Allah ta’ala :
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“dan usaplah kepalamu”
adalah tab’iidl (menunjukkan sebagian); sehingga maknanya adalah : “usaplah sebagian kepalamu”.
Mereka juga berdalil dengan hadits Al-Mughiirah di atas dengan pemahaman bahwa beliau mencukupkan diri dengannya. Tidak benar hadits itu menunjukkan kadar pengusapan seperempat kepala sebagaimana pendapat Hanafiyyah, sebab jambul itu bukan seperempat bagian dari kepala. Begitu pula sepertiga, atau setengahnya. Yang wajib hanyalah mengusap saja, tanpa ada batasan tertentu dari kepala.
3.      Ada yang mengatakan wajib mengusap seluruh kepala. Ini adalah madzhab Maalikiyyah,[4] yang masyhur dari madzhab Hanabilah,[5] dan pendapat yang dipilih oleh Al-Muzanniy dari kalangan Syafi’iyyah.[6]
Mereka berdalil dengan hadits sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari ‘Amru bin Yahyaa Al-Maaziniy, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid - dia adalah kakek 'Amru bin Yahyaa -: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berwudlu?". 'Abdullah bin Zaid lalu menjawab : "Tentu" ‘Abdullah lalu minta diambilkan air wudlu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan tangan, dimulai dari bagian depan dan menariknya hingga sampai pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Setelah itu membasuh kedua kakinya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 185].
Mereka juga berdalil dengan hadits Al-Mughiirah di atas dengan pemahaman bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap mengusap surbannya, tidak hanya mencukupkan dengan mengusap jambulnya. Pengusapan surban adalah pengusapan terhadap kepala yang tertutup. Jika memang mengusap jambul itu telah mencukupi, maka beliau tidak perlu untuk mengusap surbannya. Tapi kenyataanya beliau tetap menyempurnakan mengusap imamah-nya.
Juga berdalil dengan firman Allah ta’ala :
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”
Sisi pendalilannya adalah : Tidak sah melakukan thawaf saat ibadah haji hanya sebagiannya saja. Sama halnya dengan QS. Al-Maaidah ayat 6, bahwa tidak sah mengusap kepala hanya sebagiannya saja. Oleh karena itu, huruf baa’ pada dua ayat di atas adalah sama, yaitu lil-ilshaaq (untuk melekatkan), bukan tab’iidl (menunjukkan sebagian). Inilah yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sebagaimana dikatakan oleh Sibawaih.[7]
Tarjih :
Dari dalil dan alasan yang dikemukakan, maka pendapat yang menyatakan wajibnya mengusap seluruh kepala adalah pendapat yang paling kuat dengan dasar nash dan alasannya. Ia adalah pendapat yang lebih hati-hati (ahwath). Namun di sisi lain, pendapat yang menyatakan kebolehan mengusap sebagian dari jambul kepala juga kuat dari sisi perbuatan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dimana diketahui ia merupakan shahabat yang sangat bersemangat untuk ber-ittiba’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Wallaahu a’lam.
Semoga ringkasan pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua.
[abul-jauzaa’ – selesai pukul 01.16 – perumahan ciomas permai].


[1]      Al-Mabsuuth 1/63, Badaai’ush-Shanai’ 1/4, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin 1/99, Syarh Fathil-Qadiir 1/17, dan Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/31.
[2]      Kelemahannya terletak pada Abu Ma’qil. Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdul-‘Aziiz bin Muslm, dan tidak ada seorang imam pun yang men-tautsiq-nya, sehingga statusnya majhul ‘ain. Ibnul-Qaththaan berkata : “Majhuul”. Begitu pula yang dinukil dari Ibnu Baththaal dan yang lainnya [Tahdziibut-Tahdziib, 12/242 no. 1101]. Juga, ‘Abdul-‘Aziiz bin Muslim Al-Anshariy. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib, hal. 616 no. 4151]. Maksudnya, riwayatnya diterima jika ada mutaba’ah, dan jika tidak maka lemah. Di sini ia bersendirian dalam periwayatan dari Abu Ma’qil.
[3]      Al-Majmuu’ 1/430, Al-Haawiy Al-Kubraa 1/114, Asnal-Mathaalib 1/33, dan Tuhfatul-Muhtaaj 1/209.
[4]      Al-Istidzkaar 2/30, Al-Muntaqaa oleh Al-Baajiy 1/38, dan Mawaahibul-Jaliil 1/202.
[5]      Ar-Riwaayataini wal-Wajhain 1/72, Al-Inshaaf 1/161, Al-Mughniy 1/86, Al-Fataawaa Al-Kubraa oleh Ibnu Taimiyyah 1/276, dan Al-Furuu’ 1/147.
[6]      Mukhtashar Al-Muzanniy hal. 2, Al-Majmuu’ 1/431, dan Al-Haawiy Al-Kubraa 1/114.
[7]      Dibawakan oleh Asy-Syaukaaniy dalam Nailul-Authaar 1/84 atau 1/193.

3 komentar:

  1. Assalaamu'alaykum warohmatullohi wabarokaatuh,

    Akhi mau nanya tentang hadits Bukhari no 185 di atas. 'Abdullah bin Yuusuf dan Maalik. Saya lihat di http://lidwa.com/app hadist no 185 itu perawinya dari Sulaiman bin Harb, dari Wuhhaib.

    Apakah 'Abdullah bin Yusuf itu adalah Sulaiman bin Harb dan Maalik itu adalah Wuhhaib ataukah itu jalur lain?

    BalasHapus
  2. Bukan. Haditsnya saja beda, coba antum perhatikan.

    Penomoran hadits dalam software lidwa tidak sesuai dengan versi cetak. Dan penomoran hadits dalam Shahih Al-Bukhari pada artikel ini adalah versi cetak.

    BalasHapus
  3. Oh iya, antum benar, sepertinya ada yang perlu dikoreksi di lidwa.

    Jazakallahu khayr akhi.

    BalasHapus