Begitulah kira-kira judul dalam satu halaman blog salafytobat (http://salafytobat.wordpress.com/2010/02/06/hadits-riwayat-ibnu-masud-yang-melarang-dzikir-berjamaah-adalah-dhaif/) dimana tulisan ini hanyalah copy-paste dari ulasan Bapak Habib Munzir di Majelis Rasulullah (http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=20008&catid=7 dan http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&catid=8&id=24343). Insya Allah, di sini akan sedikit dituliskan pembahasan atsar Ibnu Mas’ud tersebut.
Al-Imaam Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya (no. 210 – tahqiq : Husain Salim Asad) membawakan riwayat sebagai berikut :
أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
“Telah memberi khabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubaarak : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”. Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij” [selesai].
Salafytobat menuliskan sebagai berikut :
Hujjah yang dikemukakan ini, adalah atsar (perbuatan) Abdullah bin Mas`ud r.a.. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dalam sunannya, jilid 1 halaman 68, dengan sanad dari al-Hakam bin al-Mubarak dari ‘Amr bin Yahya dari ayahnya dari datuknya (Amr bin Salamah).
Menurut sebagian muhadditsin, kecacatan atsar ini adalah pada rawinya (rawi : periwayat) yang bernama ‘Amr bin Yahya (yakni cucu Amr bin Salamah). Imam Yahya bin Ma`in memandang “riwayat daripadanya tidak mempunyai nilai”. Imam adz-Dzahabi menerangkannya dalam kalangan rawi yang lemah dan tidak diterima riwayatnya, dan Imam al-Haithami menyatakan bahwa dia adalah rawi yang dhoif.
Berikut penjelasan para perawi yang membawakan atsar tersebut :
1. Al-Hakam bin Al-Mubaarak Al-Khaasyitiy Al-Balkhiy, Abu Shaalih.
Ia telah ditsiqahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibbaan, Ibnu Mandah, dan As-Sam’aaniy. Ibnu ‘Adiy saat menyebutkan dalam biografi Ahmad bin ‘Abdirrahman Al-Wahbiy mengatakan ia termasuk orang yang mencuri hadits. Namun dalam hal ini, Ibnu ‘Ady bersendirian dalam penyebutannya. Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia seorang yang jujur (shaduuq). Di lain tempat, ia (Adz-Dzahabiy) mengatakan tsiqah. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia seorang yang jujur terkadang salah (shaduuq rubamaa wahm).
[Mizaanul-I’tidaal 1/579 no. 2196, Al-Kaasyif 1/345 no. 1189, Tahdziibul-Kamaal 7/131-133 no. 1442, Tahdziibut-Tahdziib 1/469, Taqriibut-Tahdziib hal. 264 no. 1466, Al-Kaamil 1/304, dan Al-Ansaab 5/21].
Yang nampak di sini bahwa Al-Hakam adalah seorang yang tsiqah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadits. Adapun tuduhan mencuri hadits sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy, maka ini tidak benar.
2. ‘Amru bin Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Haditsnya tidak ada nilainya”, sebagaimana dibawakan Adz-Dzahabiy [Miizaanul-I’tidaal 3/293 no. 6474 – dan dari nukilan Ibnu Ma’iin inilah Adz-Dzahabiy menempatkan ‘Amr bin Yahyaa dalam kitab Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ 2/156 no. 4730]. Namun dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, Ibnu Abi Haatim mengatakan : “Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdurrahman, ia berkata : Ayahku menyebutkan dari Ishaaq bin Manshuur, dari Yahyaa bin Ma’iin, bahwasannya ia berkata : ‘’Amru bin Yahyaa bin Salamah tsiqah” [6/269 no. 1487]. Tarjih atas perkataan Ibnu Ma’iin terhadap ‘Amru bin Yahyaa adalah bahwasannya ia tsiqah, karena ta’dil ini dibawakan oleh ulama mutaqaddimiin dengan membawakan sanadnya. Adapun nukilan Adz-Dzahabiy; maka sependek pengetahuan saya tidak terdapat dalam Taariikh Ibnu Ma’iin ataupun sumber-sumber lain yang bersanad sampai Ibnu Ma’iin.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (8/480). Ibnu Khiraasy berkata : “Ia bukan seorang yang diridlai” [Liisaanul-Miizaan 6/232 no. 5852]. Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid (3/84) melemahkannya.
Perkataan yang benar tentang diri ‘Amr bin Yahyaa bin ‘Amr adalah ia seorang yang tsiqah. Apalagi tautsiq ini salah satunya diberikan oleh Ibnu Ma’iin yang terkenal sebagai ulama mutasyaddid dalam jarh. Ta’dil lebih didahulukan daripada jarh, kecuali jarh tersebut dijelaskan sebabnya – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu hadits. Di sini, jarh yang diberikan tidak disebutkan alasannya. Selain itu, Ibnu Abi Haatim juga menyebutkan sekelompok perawi tsiqat telah meriwayatkan darinya sehingga lebih menguatkan lagi pen-tautsiq-an terhadapnya.
3. Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.
Al-‘Ijilliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Abi Haatim menyebutkannya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (9/176) tanpa menyertakan adanya jarh maupun ta’dil-nya. Sejumlah perawi meriwayatkan darinya di antaranya : Syu’bah, Ats-Tsauriy, Al-Mas’uudiy, Qais bin Ar-Rabii’, dan anaknya (‘Amr bin Yahyaa). Yang menguatkan tautsiq atas diri Yahyaa adalah periwayatan Syu’bah darinya (dimana telah dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan dari seseorang melainkan ia adalah tsiqah menurut penilaiannya).
Yahyaa bin ‘Amr ini diikuti oleh Mujaalid bin Sa’iid sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (9/136). Mujaalid ini seorang perawi dla’iif (dalam hapalan), namun bisa dijadikan i’tibaar.
4. ‘Amru bin Salamah
Al-‘Ijiliiy berkata : “Orang Kuufah, taabi’iy tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/172). Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, namun mempunyai sedikit hadits” [Ath-Thabaqaat 6/171]. Ibnu Hajar berkata : “Orang Kufah, tsiqah” [At-Taqriib hal. 737 no. 5076].
Dari data di atas, terlihat bahwa atsar ini adalah shahih. Bukan dla’iif sebagaimana disangkakan oleh Salafytobat dan orang yang dicopy-paste tulisannya. Apalagi, atsar ini dibawakan dalam banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga tidak ada kata lain selain mengatakan atas keshahihannya. Silakan lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2005 oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi oleh Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan 2/323-325, dan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy 1/287-288 oleh Husain Saliim Asad.
Dalam Atsar tersebut dapat dipahami bahwa yang ditegur oleh Sayyidina Ibnu Mas`ud adalah golongan KHAWARIJ. Maka atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud lebih kepada kritikan beliau kepada para pelaku yang tergolong dalam firqah Khawarij. Di mana golongan Khawarij memang terkenal dengan kuat beribadah, kuat sholat, kuat berpuasa, kuat membaca al-Quran, banyak berzikir sehingga mereka merasakan diri mereka lebih baik daripada para sahabat Junjungan s.a.w. Maka kritikan Sayyidina Ibnu Mas`ud ini ditujukan kepada kelompok Khawarij yang mereka itu mengabaikan bahkan mengkafirkan para sahabat karena beranggapan ibadah mereka lebih hebat dari para sahabat.
Justru yang menjadi ‘illat pelarangan (dalam pengingkaran Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu) adalah sikap berlebih-lebihan mereka dalam beribadah yang salah satunya dengan melakukan dzikir berjama’ah. Tidakkah kita memperhatikan perkataan Ibnu Mas’uud :
“Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”
Bukankah perkataan ini keluar setelah Ibnu Mas’ud mengetahui cara ibadah mereka yang menyelisihi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya dengan melakukan halaqah-halaqah dzikir ? Ibnu Mas’ud tidaklah mengingkari mereka karena mereka ini golongan Khawarij. Bahkan Ibnu Mas’ud saat itu tidak mengetahui mereka itu Khawarij atau bukan. Mereka diketahui sebagai golongan Khawarij setelah ‘Amr bin Salamah memberi kesaksian kebanyakan mereka (yang mengikuti halaqah dzikir jama’iy) adalah golongan yang memerangi para shahabat di Nahrawan.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi Penulis dan siapa saja yang berkesempatan membacanya…..
Wallaahu a’lam.
Assalaamu 'alaykum.
BalasHapusBarokallohu fiik ustadz...
Afwan, mungkin ana belum pantas mengomentari artikel yg "berat" ini dari sisi ilmiyahnya.
Tapi ana punya sedikit opini...setelah mentakhrij dan membuat kesimpulan shahih atas atsar tersebut, ustadz memberikan referensi kitab, 2 diantaranya adalah Silsilah Ash-Shahiihah nya Syaikh Al-Albani dan Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi nya Syaikh Masyhuur (murid Syaikh Al-Albani).
Sedangkan sudah ma'ruf bahwa salafytobat maupun Habib Munzir (semoga Alloh memberi petunjuk pada ana dan mereka) dalam hal ini sangat subyektif, tidak menerima penjelasan dari Syaikh Al-Albani dengan pernyataan "...Albani bukan muhaddits, bukan pula AL hujjah, bukan pula ALhafidh, yg bisa dipegang fatwa haditsnya."
Mungkin saking subyektifnya...seberapa ilmiyahpun sebuah tulisan, kalau Albani rujukannya...ya tetap tidak ilmiyah namanya.
Jadi, selain karangan Syaikh Al-Albani (semoga Alloh merahmati beliau dgn rahmat yg luas) apa ada kitab lain utk lebih menunjang artikel ustadz...karangan ulama yg lebih dahulu dan lebih "netral" (maksudnya ulama yg tidak mendapat stempel wahabi)?
Sekali lagi mohon maaf sekiranya lancang.
-ibnu ruhadi-
Di atas juga disebutkan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy karya Husain Salim Asad. Juga Al-Imam Asy-Syaathibiy sendiri dalam Al-I'tisham mengatakan kebid'ahannya dan sekaligus mengisyaratkan keshahihannya.
BalasHapusCoba deh nanti saya lihat apakah ada ulama 'non-albaniyyun' lain yang menshahihkan ini.
Terima kasih atas masukannya.
Afwan. Tambahan penguat bisa dilihat di forum ini:
BalasHapushttp://hidayatullah.com/forum/viewtopic.php?f=5&t=3200&st=0&sk=t&sd=a&sid=83f94426063de1f286b1e88106adbd88&start=300
Barokallahu fiik.
hmmm, sepertinya akhir2 ini, di internet dan majlis2 taklim di opinikan bahwa syaikh albani bukan muhaddist, sehingga tdk layak dijadikan hujjah. Opini jelek ini tidak hanya dari kalangan tradisional (mainstream) saja, bahkan dari kalangan gerakan modern/gerakan islam/haroki/trannasional juga sepertinya diopinikan seperti itu yaa, dengan terbukti dari artikel ust. ahmad sarwat dan Dr. Albuthi yg sedikit melecehkan syaikh albani. yg kalo kita lihat 2 ustad ini adalah menjadi salah satu rujukan gerakan islam modern/harokiyyin/transnasional. yaa gerakan islam tradisional bersatu dengan gerakan islam modern untuk menolak hujjah syaikh albani. Ya kita sebagai umat islam semakin bingung saja, Ya Alloh tunjukilah kami di jalan yg lurus....amin. benar ustad untuk sebagai penyeimbang mungkin bisa dicarikan pendapat "non-albaniyyun"
BalasHapusHabib Mundzir, salafytobat dan saudara2 kita dari kalangan PMDT (Penggemar Maulid Dan Tahlil) memang udh dikenal tidak menyukai syaikh Albani, jadi jgn heran mereka akan langsung memasang tanda verboden gitu kita berhujjah dengan syaikh Albani. Saya setuju untuk dicari pendapat yg tidak berasal dari syaikh Albani atau minimal tidak berasal dari ulama2 yg diblacklist oleh mereka sbg ulama wahhabi.
BalasHapusYth. Ustadz Abu AL Jauza
BalasHapusbisa pelajari dan komentari sebagaimana dibawah ini :
http://salafytobat.wordpress.com/2008/10/30/kesesatan-albanywahaby-dalam-ilmu-hadits-tarjamah/
Apakah benar atau salah / kurang tepat sanggahan nya.
Wassalam
Abu Muzakki
Abu Muzakki atau salafytobat yang bermukim di Pulau Penang (Malaysia).....
BalasHapusCopy paste Anda (sebagaimana biasa Anda lakukan) sudah banyak dijawab. As-Saqqaaf bukanlah seorang ahli hadits. Justru dengan ditulisnya Tanaqudlaat Al-Albaaniy semakin menunjukkan 'kualitas' keilmuannya.
Berikut akan saya tunjukkan bantahan terhadap As-Saqqaaf (terhadap bukunya At-Tanaaqudlaat) yang bisa Anda baca :
1. Anwaarul-Kaasyifah li-Tanaaqudlaat Al-Khassaaf Az-Zaaifah oleh Syaikh 'Aliy Al-Halabiy.
2. Ifitiraa'aat As-Saqqaaf Al-Atsiim 'alal-Albaaniy Syaikh Al-Muhadditsiin oleh Syaikh Khaalid Al-Anbariy
3. At-Tanbiihaat Al-Maliihah oleh Syaikh 'Abdul-Basith bin Yuusuf Al-Ghariib.
dan lainnya.
Beberapa tulisan terhadap As-Saqqaaf mudah Anda dapatkan di internet dengan meng-klik di Google dengan keyword : رد على السقاف
Atau Anda bisa baca tulisan saudara kami Al-Akh Al-Ustadz Abu Salmaa di : http://abusalma.wordpress.com/2006/09/25/115914862920396347/
Saya kira itu mencukupi. Jika Anda memang tipe orang yang hendak mencari kebenaran, silakan bandingkan beberapa referensi di atas dengan tulisan As-Saqqaaf. Dan jangan lupa untuk membuka kitab Mushthalah atau kitab Rijaal (Al-Jarh wat-Ta'diil).
Semoga bermanfaat....
Assalamu'alaikum
BalasHapusYth. Ustadz ABUL JAUZAA
Saya mau tanya , apa syarat yang haus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia pantas menyandang / diberi gelar AHLI HADIST / MUHADDIST ... sehingga perkataannya dalam memilah hadist ( mengatakan Hadist ini telah Di Shohehkan / dlaif, dll ) bisa dipercaya. Sebagaimana perowi hadist hanya karena hapalannnya kurang kuat / tidak tsiqoh sudah dianggap dhoif. Apalagi yg tidak diketahui asal-usulnya, riwayatnya dikatakan maudlu / palsu.
Ma'af atas kelancangan saya
Wassalamu'alaikum
Abu Muzakki
assalamu'alaykum... barakallahufiik...
BalasHapusini udah cukup lama baca ini di forumnya habib mundzir sebelum baca di sini. dan dari pertama ana udah bisa mengambil kesimpulan logis bahwa habib mundzir salah (kalo )menyimpulkan karena ketika itu ibnu mas'ud radhiyallahu'anhu belum mengetahui bahwa mereka (akan?) menjadi khawarij (dan atsar itu jelas-jelas menunjukkan seperti itu).
Dan yang aneh adalah dia bilang syekh siti jenar itu terlampau cinta kepada Allah sehingga menjadi seperti itu (menganut wihdatul wujud/"aku adalah Allah").
btw, link yang ana kasih di facebook mau antum jawab atw enggak? ana tunggu. hehe~... afwan, jazakallahukhoiron.
[Rully Abuhusain]
bismillah. pada hemat saya, Sh Al-albani tidak menggunakan kaedah baru dalam menghukum sesuatu hadith. dalam pertarjihannya sudah ada 'ulama hadith yang mendahuluinya. semuga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. perbedaan yang paling ketara sh nasir dengan muhadith yang lain adalah dari segi mengumpulkan jalan hadith dan menaikkan taraf hadith dhoif kepada hasan. maka dengan sendirinya penghukuman sh nasir hujjah. wallahualam.
BalasHapussyukran ya uztaz abujauza atas juhudnya. jazakalllahukhoira.
@Rully, gak janji ya.... sibuk ni (wah gaya saya....)....
BalasHapusMaaf Ustadz mohon di jawab dong...
BalasHapusdah dari February blom dijawab, kasihan tuh orangnya nunggu!
-----quote-----
Assalamu'alaikum
Yth. Ustadz ABUL JAUZAA
Saya mau tanya , apa syarat yang haus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia pantas menyandang / diberi gelar AHLI HADIST / MUHADDIST ... sehingga perkataannya dalam memilah hadist ( mengatakan Hadist ini telah Di Shohehkan / dlaif, dll ) bisa dipercaya. Sebagaimana perowi hadist hanya karena hapalannnya kurang kuat / tidak tsiqoh sudah dianggap dhoif. Apalagi yg tidak diketahui asal-usulnya, riwayatnya dikatakan maudlu / palsu.
Ma'af atas kelancangan saya
Wassalamu'alaikum
Abu Muzakki
-----unquote-----
Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :
BalasHapus“Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka : Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah? Ujar Nabi saw. : Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :
“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemu- kan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru :'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yan lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman : Darimana kalian semua ? Malaikat berkata : Kami datang dari sekelompok hambaMu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepadaMu. Allah berfirman : Apakah mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Tidak pernah ! Allah berfirman : Seandainya mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Andai mereka pernah melihatMu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepadaMu, lebih bersemangat memujiMu dan lebih banyak bertasbih padaMu. Allah berfirman: Lalu apa yang mereka pinta padaKu ? Malaikat berkata: Mereka minta sorga kepadaMu. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat sorga ? Malaikat berkata : Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya? Malikat berkata: Andai mereka pernah melihanya niscaya mereka akan bertambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman: Dari hal apa mereka minta perlindungan ? Malaikat berkata: Dari api neraka. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman: Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka. Salah satu dari malaikat berkata : Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka. Dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah mereka akan diampuni juga ?). Allah berfirman : Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa".
Dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir : 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka'.
Majelis Dzikir dan Dzikir Jama'iy - Risalah Buat Jama'ah Masjid Al-Hijri Ciomas.
BalasHapusust. izin copas haditsnya. jazakumulloh khoiron
BalasHapus
BalasHapus-----quote-----
Assalamu'alaikum
Yth. Ustadz ABUL JAUZAA
Saya mau tanya , apa syarat yang haus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia pantas menyandang / diberi gelar AHLI HADIST / MUHADDIST ... sehingga perkataannya dalam memilah hadist ( mengatakan Hadist ini telah Di Shohehkan / dlaif, dll ) bisa dipercaya. Sebagaimana perowi hadist hanya karena hapalannnya kurang kuat / tidak tsiqoh sudah dianggap dhoif. Apalagi yg tidak diketahui asal-usulnya, riwayatnya dikatakan maudlu / palsu.
Ma'af atas kelancangan saya
Wassalamu'alaikum
Abu Muzakki
-----unquote-----
kok nggak dijawab-jawab?????
To: Moch Rifai El Gamary
BalasHapusBaca link ini pelan-pelan:
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/204-habib-munzir-berbicara-tentang-ilmu-hadits-seri-2
buat yang penasaran dengan kualifikasi ahli hadits, berikut saya copy dari firanda.com :
BalasHapusPenulis kitab kitab Hasyiah Luqoth Ad-Duror berkata :
"Aku melihat di sebagian kitab dinukil dari Al-Munaawi bahwasanya ahli hadits bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah At-Thoolib –dan dia adalah pemula-, kemudian Al-Muhaddits, dan ia adalah seorang yang membawa (menerima periwayatan) hadits dan memiliki perhatian terhadap hadits baik dari sisi periwayatan maupun sisi dirooyah (*makna hadits). Tingkatan berikutnya adalah Al-Haafizh, ia adalah orang yang menghafal 100 ribu hadits baik matannya maupun isnadnya, meskipun dengan jalan-jalan periwayatan yang berbilang, serta ia memahami apa yang ia butuhkan. Tingkatan berikutnya adalah Al-Hujjah, ia adalah orang yang menguasai 300 ribu hadits. Tingkatan selanjutnya adalah Al-Haakim, ia adalah orang yang ilmunya menguasai seluruh hadits-hadits yang diriwayatkan baik matan maupun isnad, baik ilmu jarh wa ta'dilnya, serta sejarahnya, sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ahli tahqiq" (Haasyiyah Luqot Ad-Duror bi Syarh Matn Nukhbah Al-Fikr, karya Abdullah bin Husain Khoothir As-Samiin, ulama abad 14 hijriyah).
-arief-
Kebanyakan orang yang melarang dzikir jamaah dan juga melarang menggunakan tasbeh berhujjah dgn atsar ibnu mas"ud, padahal atsar tersebut telah di dhoifkan oleh para Imam, sebelum saya menjelaskan perkataan para Imam atas dhoifnya atsar trsbt,saya akan sebutkan dulu sanad2 atsar ini supaya jelas bagi orang2 yang inshof akan status dan kedudukan atsar yang suka di jadikan sandaran oleh kelompok yang inkar atas dzikir jamaah dan atas penggunaan tasbeh,dan mereka dengan lantangnya membidahkan dzikir jamaah dgn atsar ini di setiap tempat dan kesempatan, sedangkan mereka mengingkari terhadap orang lain yang bersandar dgn hadis atau atsar dhoif,tetapi ketika hadis dhoif dapat menguatkan pendapat mereka,maka mereka berhujjah dgnnya,walaupun atsar dhoif ini bertentangan dgn banyak hadis yang soheh. coba cek yang ini
BalasHapushttp://mochrifaielgamary170782.blogspot.com/2013/01/kupas-tuntas-atsar-ibnu-masud-yg-di.html
Berkata ibnu adi "dgn sanadnya ittishal kepada yahya bin main" dalam al kamil juz 5 hal 122 [syamilah] :
BalasHapusحدثنا بن أبي عصمة ثنا أحمد بن أبي يحيى قال سمعت يحيى بن معين يقول عمرو بن يحيى بن سلمة ليس بشئ حدثنا أحمد بن علي ثنا الليث بن عبدة قال سمعت يحيى بن معين يقول عمرو بن يحيى بن سلمة سمعت منه ليكن يرضي وعمرو هذا ليس له كثير رواية ولم يحضرني له شئ فأذكره
:"telah menceritakan kepada kami abi ishmah, telah menceritakan ahmad bin abi yahya,beliau berkata:aku mendengar yahya bin main berkata:'Amr Bin Yahya bin amr' tidak ada nilainya, telah menceritakan kepada kami ahmad bin ali,telah menceritakan al laets bin abdah,beliau berkata: aku mendengar yahya bin main berkata:Amr Bin Yahya bin amr" aku mendengar darinya,dan amr yang ini tidaklah banyak riwayat,dan tidak hadir padaku sesuatu utk ku ceritakan.
Catatan:
Ada sebagian orang berkata bahwa muhaddis mutaqodim yaitu yahya ibnu main berkata bahwa Amr Bin Yahya bin amr tsiqoh dgn referensi dari Al-Jarh wat-Ta’diil, bahwa Ibnu Abi Haatim mengatakan : “Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdurrahman, ia berkata : Ayahku menyebutkan dari Ishaaq bin Manshuur, dari Yahyaa bin Ma’iin, bahwasannya ia berkata : ‘’Amru bin Yahyaa bin Salamah tsiqah” [6/269 no. 1487], dan ia beralasan bahwa mesti Tarjih atas perkataan Ibnu Ma’iin terhadap ‘Amru bin Yahyaa bahwasannya ia tsiqah, karena ta’dil ini dibawakan oleh ulama mutaqaddimiin dengan membawakan sanadnya,dan dgn alasan bahwa Ibnu Ma’iin terkenal sebagai ulama mutasyaddid dalam jarh........
Saya berkata: apakah dia tidak melihat perkataan ibnu adi di atas, yang mana beliau juga termasuk mutaqoddim dan perkataan beliau juga dgn sanadnya kepada yahya bin main bahwa:'Amr Bin Yahya bin amr' tidak ada nilainya dan tidak hadir padanya sesuatu utk di ceritakan dari Amr Bin Yahya bin amr??,
Di perkuat dengan perkataan para muhaddis mutaakhirin:
1. berkata ad dzahabi dalam mizan al i"tidal: (4/378) :
عمرو بن يحيى بن عمرو بن سلمة، قال يحيى بن معين: ليس حديثه بشيء وقال بن خراش: ليس بمرضي. ـ
:Amr Bin Yahya bin amr bin salmah,berkata yahya bin main: hadisnya tidak bernilai,berkata bin khoros: ia tidak di ridhoi,
2. Dan berkata ibnu al jauzi dalam ad dhuafa wal matrukin 2/233:
: عمرو بن يحيى بن عمرو بن سلمة، قال يحيى –ابن معين- : ليس حديثه بشيء وقال مرة لم يكن بمرضي. ـ
"Amr Bin Yahya bin amr bin salmah, berkata yahya bin main: hadisnya tidak bernilai,dan sesekali berkata ia tidak di ridhoi.
Maka jelas perkataan dari muhaddis mutaqodimin dan dgn pendukung dari muhaddis mutaakhirin ITU lebih kuat utk di jadikan sandaran atas lemah dan dhoifnya Amr Bin Yahya bin amr bin salmah...........!!!
Setelah penjelasan-penjelasan di atas, maka kita sempai kepada kesimpulan :
1. Tidak sohehnya atsar Ibnu Mas'ud tsbt
2. ketika seandainya atsar tsbt soheh ,maka atsar itu tidak bisa mengalahkan banyaknya hadist yang menganjurkan dzikir dalam setiap keadaan,dan hadis lebih di dahulukan dari pada atsar ketika terjadi ta'arud: kontradiksi, karena atsar adalah pekerjaan shahabat dan bukan hujjah,karena hujjah adalah Al Quran dan As Sunnah
3. larangan atsar trsbt di ihtimalkan terhadap adanya berlebih2an dalam mengeraskan suara,oleh sebab itu maka muncullah larangan.
4. mereka menyakiti orang2 yang ada di dalam mesjid dgn terlalu meninggikan suara mereka,
5. telah menafikan atas atsar trsbt seorang tabiin yang bernama abu wail,beliau berkata: orang2 yang mengira bahwa Abdullah bin mas'ud melarang dzikir serperti itu,padahal tidaklah ibnu masud duduk di suatu majlis kecuali beliau berdzikir di dalam majlis tsbt..
BalasHapus@.Moch Rifai El Gam.ary
berarti anda ngak baca tulisan Artikel diatas ..
malu-mauin aja...
jelas-jelas artikel diatas isi-nya membantah kopasan anda
Moch Rifai El Gamary, sudah ?.
BalasHapusSebenarnya tulisan Anda - yang barangkali bersumber dari yang lain - pernah saya jawab juga di kesempatan yang lain. Kalau Anda mempermasalahkan ‘Amru bin Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy, maka :
1. Nukilan riwayat Ibnu Ma'iin dari kitab Al-Kaamil nya Ibnu 'Adiy tidak shahih. Ibnu Abi 'Ishmah adalah perawi yang berstatus majhuul al-haal. Begitu pula Ahmad bin Abi Yahyaa, seorang yang layyin sebagaimana dikatakan Ibnu Yuunus Al-Mishriy. Jadi, tanaqudl (kontradiksi) antara perkataan Ibnu Ma'iin itu tidak teranggap, karena yang dipakai adalah perkataan Ibnu Ma'iin yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dengan sanad shahih.
2. Perkataan beberapa ulama muta'akhkhiriin itu dibangun oleh perkataan ulama mutaqaddimiin. Anda dapat lihat bahwa penghukuman Ibnul-Jauziy itu disandarkan dari riwayat Ibnu 'Adiy yang statusnya dla'if. Begitu pula perkataan Adz-Dzahabiy.
3. Perkataan Ibnu Khiraasy yang menyatakan 'Amru bukan seorang yang diridlai, maka ini tidak jelas dan masih mujmal. Tidak diridlai dalam ilmu al-jarh wat-ta'diil itu bisa macam-macam bentuknya. Misal, ketidakridlaan dalam hal madzhab itu tidak selalu menjatuhkan riwayat dari perawi. Dan yang lainnya.
Intinya, komentar Anda di atas tentang diri 'Amru bin Yahyaa itu lemah dan tertolak.
Maaf Abu Al-Jauzaa', komentar anda terlalu berani untuk menfonis suatu hukum dan gak bersandar...
BalasHapusatsar itu pun bertentangan dengan hadis-hadis shohih...
dan maaf, saya lebih percaya pada pendapat ulama-ulama terdahulu daripada pendapat antum...
perhatikan pendapat mereka tentang atsar ini:
barkata Al Imam As suyuthi dalam Al hawi lilfatawa 1/379:
"Kalau engkau berkata "telah di nuqil dari Ibnu Mas'ud sesungguhnya beliau melihat suatu kaum membaca tahlil dgn mengeraskan suara di dalam masjid,lalu beliau berkata: aku tidak melihat kalian kecuali ahli bid'ah" shgga beliau mengeluarkan mereka dari masjid,aku [as suyuthi] berkata: atsar dari IBnu Mas'ud ini perlu terhadap penjelasan sanadnya dan siapa saja dari para imam yang mengeluarkan atsar ini dalam kitabnya,dan seandainya atsar ini soheh,maka telah menentang hadis-hadis sebagaimana telah di sebutkan,dan hadis-hadis itu mesti di dahulukan atasnya ketika terjadi ta'arud;kontradiksi,dan aku telah melihat hal yang membuatku inkar bahwa atsar itu dari Ibnu Mas'ud,telah berkata Al Imam Ahmad bin Hambal dalam ketab Al zuhd "telah menceritakan husain bin muhammad,telah mencerutakan al mas'udi dari amir bin syaqiq dari Abu Wail,beliau berkata:mereka itu orang2 yang mengira bahwa Abdullah bin Mas'ud melarang dzikir seperti itu,padahal tidaklah duduk Ibnu Mas'ud dalam suatu majlis kecuali beliau berdzikir kepada Allah di majlis tsbt."
Dan berkata imam Ibnu Hajar al haitami dalam alfatawi al fiqhiyah al kubro 1/177:
"Dan adapun apa yang di nuqil dari Ibnu Mas'ud bahwa beliau melihat suatu kaum berdzikir lailaha illallah dengan suara keras di dalam masjid,lalu beliau berkata: tidaklah aku melihat kalian kecuali kalian adalah ahlu bid'ah shgg beliau mengeluarkan mereka dari masjid" maka atsar ini tidak sah darinya dan malah tidak datang,oleh sebab itu telah mengeluarkan Imam Ahmad dari Abi wail,beliau berkata: mereka itu orang2 yang mengira bahwa Abdullah bin Mas'ud melarang dzikir seperti itu,padahal tidaklah duduk Ibnu Mas'ud dalam suatu majlis kecuali beliau berdzikir kepada Allah di majlis tsbt."
Dan berkata Al muhaddis Al munawi dalam faidlul qodiir 1/457:
"Dan adapun apa yang di nuqil dari Ibnu Mas'ud baewa beliau melihat suatu kaum berdzikir lailaha illallah dengan suara keras di dalam masjid,lalu beliau berkata: tidaklah aku melihat kalian kecuali kalian adalah ahlu bid'ah shgg beliau mengeluarkan mereka dari masjid" maka atsar ini tidak tsabit,dan seandainya tsabit,maka telah menentangnya apa yang ada dalam kitab az zuhd karya imam Ahmad dari Syaqiq bin Abi wail,beliau berkata: mereka itu orang2 yang mengira bahwa Abdullah bin Mas'ud melarang dzikir seperti itu,padahal tidaklah duduk Ibnu Mas'ud dalam suatu majlis kecuali beliau berdzikir kepada Allah di majlis tsbt."
Berkata Al alamah Al Alusi dalam rauhul maani 6/163:
"Dan adapun apa di sebutkan dalam peristiwa dari Ibnu Mas'ud bahwa beliau melihat suatu kaum berdzikir lailaha illallah dengan suara keras di dalam masjid,lalu beliau berkata: tidaklah aku melihat kalian kecuali kalian adalah ahlu bid'ah shgg beliau mengeluarkan mereka dari masjid" maka atsar ini tidak soheh menurut para hufadz daru para Imam Muhaddist,dan seandainya soheh,maka ia bertentangan dengan hadis yang menunjukan atas tetapnya dzikir keras dari ibnu masud RA dari hadis yang di riwayatkan oleh lebih dari satu orang dari kalamgam hufadh,atau kemungkinan larangan tsbt di tujukan terhadap orang yang sangat mengeraskan suara dzikirnya."
Setelah kritik sanad gak masuk, Anda mulai coba-coba membuka peluang terhadap kritik matan ya ?.
BalasHapusPertama perlu saya tegaskan bahwa atsar Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu itu SHAHIH. Ok ?!. Kedua, coba perhatikan baik-baik matan atau lafadh riwayat. Jelas sekali kok itu menunjukkan pengingkaran Ibnu Mas'uud terhadap aktifitas dzikir jama'i yang dikomandoi oleh satu orang.
Dan mengenai perkataan ulama, sudah sangat jelas bahwa imam madzhab Syaafi'iyyah - yaitu Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi'iy - mengingkari dzikir yang dikeraskan. Beliau rahimahullah berpendapat bahwa dzikir yang dikeraskan (jahr) itu hanya untuk pengajaran saja (bagi yang belum tahu). Lha kalau sekedar jahr saja beliau larang, apalagi dzikir jahr yang dikomandoi dan kemudian dikemas dengan ritual-ritual tertentu yang gak ada tuntunannya ?.
Baca artikel :
Majelis Dzikir dan Dzikir Jama'iy - Risalah Buat Jama'ah Masjid Al-Hijri Ciomas.
Semoga ada manfaatnya.
sebelun saikh Albanipun banyak ulama2 yg senior yg dgntekun mengumpulkn hadist2 yg di sinyalir maudhu walu terdapat di Bukhori Muslim seperti ibnu Jauzi dlm kitabnya Maudhua'tul kubro....
HapusSilahkan baca kembali Hadits tersebut
BalasHapus‘Abdullah bin Mas’ud tidak melarang dzikir berjamaah tapi menghitung-hitungnya
"Ibnu mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?"
==========
baca-baca
Coba Anda kaitkan dengan khabar yang disampaikan Abu Muusaa kepada Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhumaa. Lalu, hubungkan dengan jawaban dan pengingkaran Ibnu Mas'uud setelahnya.
BalasHapus# memahami riwayat perlu komprehensif.
Silahkan baca lagi
BalasHapusdalam konteks hadis tsb
Abu Musa Al-Asy’ariy mengabarkan peristiwa tsb
"Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”.
karena jika anda mengartikan dzikir berjamaahnya yang dilarang
maka akan bertentangan dengan penjabaran tafsir ibnu katsir firman Allah al kahfi ayat 28
SABARKANLAH DIRIMU BERSAMA KELOMPOK ORANG ORANG YG BERDOA PADA TUHAN MEREKA SIANG DAN MALAM SEMATA MATA MENGINGINKAN KERIDHOAN NYA, DAN JANGANLAH KAU JAUHKAN PANDANGANMU (dari mereka), UNTUK MENGINGINKAN KEDUNIAWIAN." (QS Alkahfi 28)
Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra berdzikir bersama para sahabat, maka Allah memerintahkan Rasul saw dan seluruh ummatnya duduk untuk menghormati orang2 yg berdzikir.
sedang arti untuk dzikir ataupun majelis dzikir itu tidak bisa di samakan ratakan
- didalam al quran, ada kata dzikirullah telah jelas defifinisinya "menyebut Allah"
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا [٣٣:٤١]
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
sedangkan anda menjelaskan dzikir dan majelis dzikir dengan maksud brainwash pada artikel:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/majelis-dzikir-dan-dzikir-jamaiy.html
oelh sebab itu hadits ibnu mas'ud itu jelas untuk orang yang berdzikir dengan lisannya saja
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
biasakan bertanya kepada Allah atas suatau hukum karena hukum itu yang menentukan adalah Allah
Sholat Istikharah Bro
Itulah logical fallacy Anda alias salah pikir, salah mengambil kesimpulan.
BalasHapusBukan bertentangan dengan penjabaran Ibnu Katsir, tapi bertentangan dengan kemauan Anda. Atsar itu menjadi hujjah dengan sendirinya, yaitu matannya. Adapun penjelasan Ibnu Katsiir saat menjelaskan QS. Al-Kahfiy ayat 28 itu sama sekali tidak menunjukkan dzikir berjama'ah. Terus terang saya heran bagaimana Anda bisa berkesimpulan menjadi dzikir berjama'ah. Coba Anda bawakan kemari teks aslinya.....
Dalil dzikir berjamaah setelah sholat fardhu:
BalasHapusdari Jabir ra. berkata: “Rasulullah keluar menjumpai kami dan bersabda: ‘Wahai saudara-saudara, Allah memiliki malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis-majlis dzikir di dunia. Maka penuhilah taman-taman syurga’. Mereka bertanya:’Dimanakah taman-taman syurga itu?’. Rasulullah menjawab: ‘Majlis-majlis dzikir.’ Kunjungilah dan hiburlah diri dengan dzikir kepada Allah” (HR. Al Badzar dan Al Hakim).
Abdullah Ibnu Abas r.a berkata:”Apabila aku mendengar ucapan dzikir, aku dapat mengetahui bahwa sholat berjamaah telah berakhir(HR.Bukhori)
Dalam Kitab Bukhori jilid 1:
Dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas ra., berkata: “Inna rof’ash shauti bidzdzikri hiina yanshorifunnaasu minal maktuubati kaana ‘ala ‘ahdi Rosuulillaahi sholallaahu alaihi wasallam kuntu ‘alamu idzaanshorrofuu bidzaalika sami’tuhu.” Artinya :“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir setelah manusia-manusia selesai dari sholat fardlu yang lima waktu benar-benar terjadi pada zaman Nabi Saw. Saya (ibnu Abbas) mengetahui para sahabat melakukan hal itu karena saya mendengarnya .”
Selanjutnya dalam hadits :“Suara yang keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu atau ba’da waktu sholat fardhu, akan berbekas dalam menyingkap hijab, menghasilkan nur dzikir” (HR. Bukhari).
Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: “bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesaishalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW”. Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segeratahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.
[Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat. Hal senada juga diungkapkan oleh al Bukhari(lihat: Shahih al Bukhari hal: 109, Juz I)]
Tidak ada dalil di situ tentang dzikir berjama'ah.
BalasHapus