19 Februari 2020

Mu'aththilah


Mu'aththilah adalah pengingkar/penolak sifat-sifat Allah. Jelas sesatnya. Ada yang menolak semuanya, ada pula yang menolak sebagian. Keberadaan mereka masyhur zaman dulu di bawah bendera Jahmiyyah yang mengkampanyekan Khalqul-Qur'an dan penolakan sifat-sifat Allah .
Para ulama mutaqaddimiin mengkritik sangat keras penganut sekte ini, bahkan mengkafirkannya, meskipun yang diingkari hanya sebagian sifat saja (tidak keseluruhan). Seperti misal penolakan mereka terhadap sifat kalam, sehingga menetapkan ‘aqidah baru Khalqul-Qur’an (Al-Qur’an adalah makhluk).

Sufyaan Ats-Tsauriy rahimahullah berkata:
مَنْ قَالَ إِنَّ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِر
“Barangsiapa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya ayat qul huwallaahu ahad, allaahush-shamad adalah makhluk’, maka ia kafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 7].
Yahyaa bin Khalaf Al-Muqri’ rahimahullah berkata:
كُنْتُ عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا تَقُولُ فِيمَنْ يَقُولُ: " الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ؟، قَالَ: عِنْدِي كَافِرٌ، فَاقْتُلُوهُ "، وَقَالَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ: فَسَأَلْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ، وَابْنَ لَهِيعَةَ عَمَّنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ ؟ فَقَالا: " كَافِرٌ "
“Aku pernah berada di samping Maalik bin Anas. Lalu datanglah seorang laki-laki yang kemudian berkata : ‘Apa pendapatmu tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk?’. Maalik menjawab : ‘Menurutku kafir, bunuhlah ia”. Yahyaa bin Khalaf berkata : “Lalu aku bertanya kepada Al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahii’ah tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka mereka menjawab : ‘Kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/206].
‘Aliy bin Sahl Ar-Ramliy rahimahulah berkata:
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقُرْآنِ، فَقَالَ لِي: " كَلامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ "، قُلْتُ: فَمَنْ قَالَ بِالْمَخْلُوقِ، فَمَا هُوَ عِنْدَكَ؟، قَالَ: كَافِرٌ "، فَقُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: مَنْ لَقِيتَ مِنْ أُسْتَاذِيكَ قَالُوا مَا قُلْتَ؟ قَالَ: " مَا لَقِيتُ أَحَدًا مِنْهُمْ إِلا قَالَ: مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَهُمْ
“Aku bertanya kepada Asy-Syaafi’iy tentang Al-Qur’an, lalu ia berkata kepadaku : ‘Kalaamullah, bukan makhluk’. Aku bertanya : ‘Orang yang mengatakan makhluk, bagaimana menurut pendapatmu?’. Ia menjawab : ‘Kafir’. Aku kembali bertanya kepada Asy-Syaafi’iy rahimahullah : ‘Orang yang engkau temui dari kalangan guru-gurumu, mereka juga mengatakan apa yang engkau katakan ?’. Ia menjawab : ‘Aku tidak bertemu dengan seorangpun diantara mereka melainkan ia mengatakan : barangsiapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an adalah makhluk, makai a kafir – menurut mereka” [Idem].[1]
Atau dalam pengingkaran sifat ‘Ulluw, Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84].
Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
فَمَنْ لَمْ يَقْصِدْ بِإِيمَانِهِ وَعِبَادَتِهِ إِلَى اللَّهِ الَّذِي اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، وَبَانَ مِنْ خَلْقِهِ، فَإِنَّمَا يَعْبُدُ غَيْرَ اللَّهِ
“Barangsiapa yang tidak bermaksud dengan keimanan dan peribadahannya kepada Allah yang berisitiwaa’ di atas ‘Arsy di atas langit-langit-Nya, serta terpisah dengan makhluk-Nya; maka ia hanyalah beribadah kepada selain Allah” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 69].
Sa’iid bin ‘Aamir rahimahullah berkata:
الْجَهْمِيَّةُ أَشَرُّ قَوْلا مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، قَدِ اجْتَمَعَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، وَأَهْلُ الأَدْيَانِ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعَرْشِ، وَقَالُوا هُمْ: لَيْسَ عَلَى الْعَرْشِ شَيْءٌ "
“Jahmiyyah memiliki pendapat yang lebih buruk daripada orang Yahudi dan Nashara. Orang Yahudi, Nashara, dan para pemeluk agama lain bersepakat bahwa Allah tabaaraka wa ta’ala di atas ‘Arsy, sedangkan mereka berkata : ‘Di atas ‘Arsy tidak ada sesuatupun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/26].
Yaziid bin Haaruun rahimahulah berkata:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى عَلَى خِلافِ مَا يَقِرُّ فِي قُلُوبِ الْعَامَّةِ، فَهُوَ جَهْمِيٌّ
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah Yang Maha Pemurah, beristiwaa’ di atas 'Arsy (QS. Thaha : 5) berbeda dengan apa yang diyakini oleh kaum muslimin, maka ia Jahmiy” [Idem, 1/41].
‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah berkata:
نَعْرِفُ رَبَّنَا فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ، عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَلا نَقُولُ كَمَا قَالَتِ الْجَهْمِيَّةُ بِأَنَّهُ هَهُنَا، وَأَشَارَ إِلَى الأَرْضِ
“Kami mengetahui Rabb kami berada di atas tujuh langit, beristiwaa’ di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di sini” – dan ia berisyarat menunjuk ke bumi/tanah [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 174 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 903].
Dan Jahmiyyah adalah mu’aththilah yang kafir dengan kekafiran lebih buruk daripada Yahudi dan Nashara – sebagaimana riwayatnya akan dituliskan di bawah.
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
وأخبر عن فرعون أنه قَالَ: يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأَظُنُّهُ كَاذِبًا فكان فرعون قد فهم عن مُوسَى أنه يثبت إلها فوق السماء حتى رام بصرحه أن يطلع إليه، وأتهم مُوسَى بالكذب فِي ذَلِكَ؟ والجهمية لا تعلم أن الله فوقه بوجود ذاته، فهم أعجز فهما من فرعون.
“Dan Allah mengkabarkan tentang Fir’aun, bahwasannya ia berkata: ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta’ (QS. Al-Mukmin : 36-37). Sungguh, Fir’aun memahami Musa yang menetapkan tuhan/ilah di atas langit, hingga ia ingin dibuatkan menara agar dapat naik mencapai-Nya. Namun Fir’aun menuduh Musa berbuat kedustaan atas hal tersebut. Adapun Jahmiyyah tidak mengetahui bahwa Alah di atasnya dengan wujud Dzaat-Nya. Maka mereka (Jahmiyyah) itu adalah orang yang lebih lemah pemahamannya dibandingkan Fir’aun” [Al-Hujjaah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/115].
Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan tentang keburukan dan kekufuran penganut paham mu’aththilah dan hubungannya dengan kesyirikan sebagai berikut:
الشرك شركان شرك بتعلق بذات المعبود وأسمائه وصفاته وأفعاله وشرك فى عبادته ومعاملته وإن كان صاحبه يعتقد أنه سبحانه لا شريك له فى ذاته ولا فى صفاته ولا فى أفعاله
والشرك الأول نوعان
أحدهما شرك التعطيل وهو أقبح أنواع الشرك كشرك فرعون إذ قال : وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ. وقال تعالى مخبرا عنه أنه قال : وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا. فالشرك والتعطيل متلازمان فكل مشرك معطل وكل معطل مشرك لكن لا يستلزم أصل التعطيل بل قد يكون المشرك مقرا بالخالق سبحانه وصفاته ولكن عطل حق التوحيد
وأصل الشرك وقاعدته التي ترجع إليها هو التعطيل وهو ثلاثة أقسام:
تعطيل المصنوع عن صانعه وخالقه
وتعطيل الصانع سبحانه عن كماله المقدس بتعطيل أسمائه وصفاته وأفعاله
وتعطيل معاملته عما يجب على العبد من حقيقة التوحيد....
“Kesyirikan ada dua:
a.    Kesyirikan yang terkait dengan Dzaat Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya;
b.    Kesyirikan dalam peribadahan dan muamalah kepada-Nya, meskipun pelakunya berkeyakinan bahwa Allah tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Kesyirikan yang pertama dibagi menjadi dua.
Kesatu, adalah syirik ta’thiil yang merupakan jenis kesyirikan yang paling buruk seperti kesyirikan Fir’aun ketika ia berkata: ‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ (QS. Asy-Syu’araa’ : 23). Dan Allah berfirman tentang Fir’aun yang berkata: ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta’ (QS. Al-Mukmin : 36-37). Kesyirikan yang ta’thiil saling mengkonsekuensikan (satu dengan yang lainnya). Setiap musyrik adalah mu’aththil, dan setiap mu’aththil adalah musyrik. Akan tetapi (kesyirikan) tidak mengkonsekuensikan pokok ta’thiil. Bahkan kadangkala seorang musyrik mengakui Al-Khaaliq dan sifat-sifat-Nya, akan tetapi dirinya meniadakan hak tauhid.
Dan pokok dan dasar kesyirikan adalah ta’thiil, yang terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.    Men-ta’thiil (meniadakan) yang diciptakan dari (Allah) Yang Membuat dan Yang Menciptakannya;
b.    Men-ta’thiil (meniadakan) (Allah) Yang Membuat dari kesempurnaan-Nya yang suci melalui ta’thiil nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya;
c.    Men-ta’thiil (meniadakan) mu’amalah dengan-Nya dari (mengerjakan) apa-apa yang diwajibkan atas seorang hamba dari hakikat tauhid”
[Al-Jawaabul-Kaafiy, hal. 253-254].
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari ta’thiil tersebut muncul kesyirikan sekte wihdatul-wujuud dan orang-orang mulhid (atheis). Lalu beliau rahimahullah berkata:
ومن هذا شرك من عطل أسماء الرب تعالى وأوصافه وأفعاله من غلاة الجهمية والقرامطة فلم يثبتوا أسما ولا صفة بل جعلوا المخلوق أكمل منه إذا كمال الذات بأسمائها وصفاتها
“Dan dari sini, orang-orang yang men-ta’thiil (meniadakan) nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Rabb ta’ala dari kalangan Jahmiyyah dan Qaraamithah ekstrem berbuat kesyirikan. Mereka tidak menetapkan nama-nama maupun sifat (bagi Allah ), namun menjadikan makhluk lebih sempurna daripada-Nya karena kesempurnaan Dzat adalah dengan (penetapan kesempurnaan) nama-nama dan sifat-sifat-Nya” [idem, hal. 254].
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan jenis kesyirikan kedua, yaitu kesyirikan dalam uluhiyyah dengan menjadikan selain Allah ilah yang lain, meskipun ia tidak men-ta’thiil (meniadakan) nama-nama, sifat-sifat, dan rubuubiyyah-Nya. Jenis kesyirikan ini adalah kesyirikan orang-orang Nashara dengan ajaran trinitasnya, Majusi, dan Qadariyyah. Adapun jenis kesyirikan ketiga adalah syirik berupa riyaa’ dalam ibadah.
Setelah itu, beliau rahimahullah menegaskan bahwa mu’aththil lebih buruk daripada musyrik:
فإن المشرك المقر بصفات الرب خير من المعطل الجاحد لصفات كماله كما أن أقر بالملك للملك ولم يجحد ملكه ولا الصفات التى استحق بها الملك لكن جعل معه شريكا فى بعض الأمور تقربا إليه خير ممن جحد صفات الملك وما يكون به الملك ملكا هذا أمر مستقر فى سائر الفطر والعقول
“Musyrik yang mengakui sifat-sifat Rabb lebih baik daripada mu’aththil yang menolak/mengingkari sifat-sifat kesempurnaan-Nya . Sebagaimana halnya orang yang mengakui kerajaan bagi seorang raja tanpa mengingkari kerajaannya dan sifat-sifat yang berhak dimiliki raja tersebut, akan tetapi dirinya menjadikan orang lain sebagai sekutu/tandingan bagi raja tersebut pada sebagian perkara dalam rangka mendekatkan diri pada sang raja; maka itu lebih baik daripada orang yang mengingkari sifat-sifat raja dan mengingkari segala sesuatu yang menjadikannya sebagai raja. Perkara ini diakui oleh seluruh fitrah dan akal manusia….” [idem, hal. 282].
Di tempat lain, Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فشرك عباد الأصنام والأوثان والكواكب والشمس والقمر خير من توحيد هؤلاء بكثير فإنه شرك في الإلهية مع إثبات صانع العالم وصفاته وأفعاله وقدرته ومشيئته وعلمه بالكليات والجزئيات وتوحيد هؤلاء تعطيل الربوبية والإلهية وسائر صفاته وهذا التوحيد ملازم لأعظم أنواع الشرك ولهذا كلما كان الرجل أعظم تعطيلا كان أعظم شركا ولا تجد معطلا نافيا إلا وفيه من الشرك بقدر ما فيه من التعطيل وتوحيد الجهمية والفلاسفة مناقض لتوحيد الرسل من كل وجه فإن مضمون توحيد الجهمية إنكار حياة الرب وعلمه وقدرته وسمعه وبصره وكلامه واستوائه على عرشه ورؤية المؤمنين له بأبصارهم عيانا من فوقهم يوم القيامة وإنكار وجهه الأعلى ويديه ومجيئه وإتيانه ومحبته ورضاه وغضبه وضحكه وسائر ما أخبر به الرسول عنه .
“Maka kesyirikan para penyembah patung, berhala, bintang, matahari, dan bulan jauh lebih baik daripada ketauhidan mereka (mu’aththilah). Karena kesyirikan mereka dalam ilahiyyah dengan menetapkan adanya (Allah) Pencipta alam semesta, sifat-sifat, perbuatan, kekuasaan, kehendak, dan ilmu-Nya secara keseluruhan maupun partikular; sementara ketauhidan mereka dengan men-ta’thiil (meniadakan) rubuubiyyah, ilahiyyah, dan seluruh sifat-sifat-Nya. Ketauhidan seperti ini menghasilkan jenis kesyirikan yang paling besar. Oleh karena itu, orang yang paling besar ta’thil-nya, maka paling besar pula kesyirikannya. Tidak engkau temui seorang mu’aththil yang menafikkan (sifat-sifat Allah ) melainkan padanya ada kesyirikan yang besarnya sesuai dengan kadar ta’thiil-nya. Tauhid Jahmiyyah dan Falaasifah kontradiktif dengan tauhid para rasul dari segala sisi. Karena kandungan tauhid Jahmiyyah adalah pengingkaran terhadap sifat Maha Hidup Rabb , ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, perkataan/firman-Nya, istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy, dan ru’yah kaum mukminin kepada Allah yang berada di atas mereka dengan mata mereka sendiri kelak di hari kiamat. Serta pengingkaran terhadap wajah-Nya yang Maha Tinggi, kedua tangan-Nya, sifat maji’ dan ityaan (kedatangan)-Nya, kecintaan-Nya, ridla-Nya, kemarahan-Nya, tertawa-Nya, dan seluruh yang dikabarkan Rasulullah tentang-Nya” [Ash-Shawaaiqul-Mursalah, 3/1111-1112].
Apa yang dijelaskan Ibnul-Qayyim merupakan ‘aqidah salaf mutaqaddimiin.
Dari Haaruun bin 'Abdillah Al-Hammaal, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Ma'ruuf rahimahumullah:
مَنْ قَالَ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ يَعْبُدُ صَنَمًا، ثُمَّ قَالَ لِي: احْكِ هَذَا عَنِّي
"Barangsiapa mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia (seperti) menyembah berhala (karena tidak beriman terhadap sifat kalaam - Pent.)". Kemudian ia (Haaruun bin Ma'ruuf) berkata kepadaku : "Ceritakanlah (kepada orang-orang) perkataan ini dariku" [Diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 63. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/174, dari jalan Haaruun bin 'Abdillah Al-Bazzaar, dari Haaruun bin Ma'ruuf].
'Abdullah bin Ma'bad bin Ibraahiim bin Sa'd rahimahumullah berkata :
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ، فَهُوَ يَعْبُدُ صَنَمًا
"Barangsiapa mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia (seperti) menyembah berhala" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/174].
'Abdullah bin Idriis rahimahumallah berkata:
الْيَهُودُ، وَالنَّصَارَى، وَالْمَجُوسُ هُمْ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّنْ يَقُولُ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ
"Yahudi, Nashara, dan Majusi, mereka itu - demi Allah - lebih baik daripada orang yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk" [Idem, 2/167].
Ibnul-Mubaarak dan Muusaa bin A'yan rahimahumullah berkata:
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ ؛ فَهُوَ كَافِرٌ أَكْفَرُ مِنْ هُرْمُزَ
"Barangsiapa mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia kafir, lebih kafir daripada Hurmuz" [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa'iy dalam Syarh Ushuulil-I'tiqaad no. 429].
Hurmuz adalah penguasa Persia beragama Majusi.
Abu 'Ubaid Al-Qaasim bin Salaam rahimahumallah berkata:
مَنْ قَالَ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ شَرٌّ مِمَّنْ، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ جَلَّ اللَّهُ وَتَعَالَى ؛ لأَنَّ أُولَئِكَ يُثْبِتُونَ شَيْئًا، وَهَؤُلاءِ لا يُثْبِتُونَ الْمَعْنَى
"Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia lebih buruk daripada orang yang mengatakan 'sesungguhnya Allah itu tiga (trinitas)'. Maha Agung dan Maha Tinggi Allah (dari apa yang mereka ucapkan). Karena mereka (Nashara) menetapkan sesuatu, sedangkan mereka (Jahmiyyah) tidak menetapkan makna" [Idem, no. 452 & 509].
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ، فَقَدِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَقَالَ عَلَى اللَّهِ مَا لَمْ تَقُلْهُ الْيَهُودُ، وَلا النَّصَارَى
"Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, sungguh ia mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, dan ia telah mengatakan terhadap Allah apa yang tidak dikatakan oleh orang Yahudi dan Nashara" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/169 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa' wash-Shifaat no. 560].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
فالمعطلة الجهمية: الّذين هُمْ شر من اليهود والنصارى والمجوس كالأنعام بل أضل
“Kaum mu’aththilah jahmiyyah yang mereka itu lebih jelek daripada orang Yahudi, Nashara, dan Majusi adalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat” [At-Tauhiid, 1/202].
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
نَظَرْتُ فِي كَلامِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسِ فَمَا رَأَيْتُ أَضَلَّ فِي كُفْرِهِمْ مِنْهُمْ
“Aku meneliti perkataan orang Yahudi, Nashara, dan Majusi; maka aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran mereka (Yahudi, Nashara, dan Majusi) daripada Jahmiyyah” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/32].
Ibnu Thaahir Al-Maqdiisiy rahimahullah berkata:
قرأت على أبي بكر السمسار بأصبهان، أخبركم جعفر الفقيه قال: سألت أبا القاسم سليمان الطبراني: ما قولك -رحمك الله- فيمن يقول: إن أهل التوحيد يخرجون من النار إلا من يقول: القرآن مخلوق؟ فكتب في جوابه:
من قال: القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم بلا اختلاف بين أهل العلم والسنة؛ لأنه زعم أن الله تعالى مخلوق؛ لأن القرآن كلام الله عز وجل تكلم به وكلم به جبريل الروح الأمين، وأنزله جبريل عليه السلام من عند الله هكذا. قال الله تبارك وتعالى: {نزل به الروح الأمين}، وأنزله جبريل على قلبك، من قال: إنه مخلوق، فهو شر من اليهود والنصارى وعبدة الأوثان، وليس من أهل التوحيد المخلصين الذين أدخلهم الله النار عقوبة منه لأعمال استوجبوا بها النار، فيخرجهم الله من النار برحمته وشفاعة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وشفاعة الشافعين، ومن زعم أن من يقول: ((إن القرآن مخلوق)) يخرج من النار فهو كافر كمن زعم أن اليهود والنصارى يخرجون من النار.
Aku pernah membacakan (riwayat) kepada Abu Bakr As-Simsaariy di Ashbahaan : Telah mengkhabarkan kepada kalian Ja’far Al-Faqiih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Sulaimaan Ath-Thabaraaniy : “Apa pendapatmu – semoga Allah memberikan rahmat kepadamu – terhadap orang yang mengatakan : Ahli tauhid keluar dari neraka kecuali orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?. Ia menuliskan jawabannya (sebagai berikut) :
‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung tanpa ada perselisihan di kalangan ulama dan Ahlus-Sunnah, karena dirinya menyangka (dengan perkataannya itu) Allah adalah makhluk. Al-Qur’an adalah kalaamullah (firman Allah) yang Allah firmankan dan diucapkan oleh Jibriil Ar-Ruuhul-Amiin. Jibriil ‘alaihis-salaam menurunkannya (Al-Qur’an) dari sisi Allah demikian. Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : ‘dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)’ (QS. Asy-Syu’araa’ : 193), dan kemudian Jibriil menurunkannya di hatimu. Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia lebih buruk daripada Yahudi, Nashara, dan penyembah berhala. Tidak ada dari kalangan ahli tauhid yang benar-benar ikhlash yang kemudian Allah masukkan ke dalam neraka sebagai satu hukuman kepadanya karena amal perbuatan yang mengkonsekuensikan neraka, (melainkan) akan Allah keluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya, syafa’at Nabi-Nya Muhammad , dan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at. Barangsiapa yang menyangka orang yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah makhluk’ keluar dari (kekekalan adzab) neraka, maka ia kafir seperti halnya orang yang yang menyangka Yahudi dan Nashara keluar dari (kekekalan adzab) neraka” [Al-Hujjah fii Taarikil-Mahajjah, 2/484].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وقد كان سلف الأمة وسادات الأئمة يرون كفر الجهمية أعظم من كفر اليهود كما قال عبد الله بن المبارك والبخاري وغيرهما
“Dan para salaf umat dan pembesar imam/ulama berpendapat kekufuran Jahmiyyah lebih besar daripada kekufuran Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, Al-Bukhaariy, dan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/477].
وقال غير واحد من الأئمة انهم اكفر من اليهود والنصارى
“Lebih dari satu orang dari kalangan imam/ulama (kaum muslimin) yang mengatakan bahwa mereka (Jahmiyyah) lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara” [idem, 12/485].
Dari uraian di atas dapat kita petik beberapa point sebagai berikut:
1.    Ta’thiil sifat-sifat Allah adalah perkara besar dan harus diperangi. Sebagian orang meremehkannya karena menganggap hal itu sepele, lumrah terjadi, dan menjadi tempat silang pendapat ulama yang tiada akhir. Sungguh jelas perbedaan sikap para pembesar ulama – sebagaimana terkutip di atas – dengan generasi belakangan yang menganggap kecil sesuatu yang (sebenarnya) besar lagi membinasakan. Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ مِنَ الْمُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan amalan yang lebih halus di mata kalian dibandingkan sehelai rambut, padahal kami menganggapnya di zaman Nabi sebagai perkara yang membinasakan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6492].
2.    Ta’thiil (peniadaan) terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana dilakukan Jahmiyyah/Mu’tazilah, dalam banyak segi, lebih besar kekufurannya dibandingkan orang Yahudi, Nashara, Majusi, dan orang yang berbuat syirik dalam perkara uluhiyyah. Semakin banyak sifat-sifat Allah yang ditolak/diingkari seseorang, semakin besar pula kekufuran dan kesyirikannya.
3.    Pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah menurut ulama salaf mutaqaddimiin merupakan kemunkaran yang jelas (jaliy). Hal tersebut nampak dari diksi tahdzir yang mereka katakan terhadap mu’aththil. Kerasnya kecaman mereka (ulama) menandakan perkara Al-Qur’an adalah Kalaamullah secara umum merupakan perkara ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di zaman tersebut.
Dari Harb bin Ismaa'iil, ia berkata : Aku mendengar Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) rahimahumullah yang ketika itu disebutkan di sisinya perkataan manusia tentang Al-Qur'an (yaitu Khalqul-Qur'an), maka ia berkata :
كُفْرٌ ظَاهِرٌ، كُفْرٌ ظَاهِرٌ
"Kekufuran yang jelas, kekufuran yang jelas" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah, 2/175].
Dari Al-Fadhl bin Ziyaad rahimahumallah:
سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبَّاسٍ النَّرْسِيُّ، فَقُلْتُ: كَانَ صَاحِبُ سُنَّةٍ؟ فَقَالَ: رَحِمَهُ اللَّهُ قُلْتُ: بَلَغَنِي عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا قُولِي: الْقُرْآنُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، إِلا كَقَوْلِي: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ "، فَضَحِكَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وَسُرَّ بِذَلِكَ، قُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، أَلَيْسَ هُوَ كَمَا قَالَ؟ قَالَ: بَلَى،....
Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang 'Abbaas An-Nursiy. Aku katakan : "Apakah ia Ahlus-Sunnah ?". Ia menjawab : "Semoga Allah merahmatinya". Aku berkata : "Telah sampai kepadaku darinya bahwa ia berkata : "Perkataanku bahwa Al-Qur'an bukan makhluk seperti perkataanku laa ilaha illallaah". Maka Abu 'Abdillah tertawa dan bergembira dengannya. Aku katakan : "Wahai Abu 'Abdillah, tidakkah perkara itu seperti yang dikatakannya ?". Abu 'Abdillah menjawab : "Ya….." [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii'ah 1/224-225 no. 192].
Fakta dan manhaj para ulama mutaqaddimiin ini sekaligus menunjukkan kekeliruan perkataan orang-orang belakangan yang memutlakkan perkara sifat-sifat Allah  sebagai perkara yang samar (khafiy).
4.    Meskipun kekafiran orang yang berpendapat Khalqul-Qur’aan adalah perkara yang pasti, namun ketika menjatuhkan hukum takfir mu’ayyan, mereka tetap hati-hati. Orang jahil yang kejahilannya dipertimbangkan dalam syari’at, tidak dikafirkan kecuali setelah tegak padanya hujjah.
Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah berkata:
والقرآن كلام الله تبارك وتعالى تكلم الله به ليس بمخلوق، ومن قال: مخلوق، ممن قامت عليه الحجة فكافر بالله العظيم، ومن قال من قبل أن تقوم عليه الحجة فلا شيء عليه
“Al-Qur’an adalah Kalaamullah tabaaraka wa ta’ala yang Allah katakan, bukan makhluk. Barangsiapa mengatakan makhluk dari orang yang telah tegak padanya hujjah, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung. Dan barangsiapa yang mengatakannya sebelum tegak padanya hujjah, maka tidak kafir” [As-Sunnah dengan Dhilaalul-Jannah, 2/645 no. 1559].
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ اللَّهَ بِكَلامِهِ أَنَّهُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، فَإِنَّهُ يُعْلَمُ، وَيُرَدُّ جَهْلُهُ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ أَبَى بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ، كَانَ مُعَانِدًا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ، وَلِقَوْلِهِ: وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan semua orang yang belum mengenal Allah dengan kalam-Nya yang itu bukan makhluk, maka ia diberitahu (diajari), dan ketidaktahuannya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menolak setelah mengetahuinya, maka ia seorang pembangkang/penentang (mu’aanid). Allah berfirman : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi’ (QS. At-Taubah : 115). Dan juga berdasarkan firman-Nya : ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/98].
Muhammad bin Idriis As-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
للهِ أَسْمَاءٌ وَصِفَاتٌ، جَاءَ بِهَا كِتَابُهُ ، وَأَخْبَرَ بِهَا نَبِيُّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ ، لاَ يَسَعُ أَحَداً قَامَتْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ رَدُّهَا ، لأَنَّ القُرْآنَ نَزَلَ بِهَا ، وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القَوْلَ بِهَا. فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ : فَهُوَ كَافِرٌ ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوْتِ الحُجَّةِ ، فَمَعْذُورٌ بِالجَهْلِ ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالعَقْلِ ، وَلاَ بِالرَّوِيَّةِ وَالفِكْرِ ، وَلاَ نُكَفِّرُ بِالجَهْلِ بِهَا أَحَداً إِلاَّ بَعْدَ انتهَاءِ الخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang dijelaskan dalam Kitab-Nya dan dikhabarkan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Tidak ada kelonggaran bagi siapapun untuk menolaknya ketika telah tegak hujjah kepadanya, karena Al-Qur’an turun dengannya dan telah shahih dari Rasulullah perkataan tentangnya. Apabila ia menyelisihi hal itu setelah tetapnya hujjah padanya, maka ia kafir. Namun jika penyelisihannya itu sebelum tetapnya hujjah, maka ia diberikan ‘udzur kejahilan, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal, pandangan, dan pemikiran. Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/79-80].
5.    Adalah keanehan jika ada pendapat mengatakan perkara syirik akbar tidak menerima udzur kejahilan, padahal sebagaimana dijelaskan para ulama di atas, ta’thiil lebih jelek/kufur daripada syirik dalam banyak segi.
Allaahul a’lam.
[abul-jauzaa’ – 19022020].



[1]    Untuk pembahasan tentang Al-Qur’an adalah Kalaamullah, silakan baca artikel terkait di Blog ini:

1 komentar:

  1. Ustadz,Manakah Yang Lebih Parah Sisi Kekafirannya, Kekafiran Asya'irah Dalam Menta'thil Sifat-Sifat Allah? Ataukah Kekafiran Quburiyyun-Shufiyyun Dalam BerIstighatsah Syirkiy Kepada Kubur-Kubur Waliy?

    BalasHapus