27 Januari 2019

Jahil dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah


Allah ta'ala berfirman:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka pasti mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah : ‘Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” [QS. Yunus: 31].

Ayat ini - dan banyak ayat lain yang semisal dalam Al-Qur'an - merupakan dalil bahwa orang musyrik dahulu mengakui rububiyyah Allah ta'ala. Rububiyyah Allah ta’ala diketahui secara fitrah dan akal. Meskipun demikian, pengakuan rububiyyah Allah mereka tidak mencukupi untuk menjadikannya seorang muslim karena mereka belum mengakui uluhiyyah Allah ta'ala.
Banyak orang yang tidak tahu (JAHIL) dalam perkara uluhiyyah Allah ta'ala sebagaimana jahilnya Bani Israail, kaum Nabi Musa 'alaihis-salaam.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
"Dan Kami seberangkan Bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israel berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/JAHIL (sifat-sifat Tuhan)" [QS. Al-A'raaf : 138].
Mereka mengira boleh beribadah kepada selain Allah ta’ala disamping beribadah kepada Allah ta’ala. Sama seperti ibadah orang Yahudi dan Nashrani. Sebagian sahabat ketika baru masuk Islam juga pernah menyangka ada ruang kebolehan kesyirikan dalam Islam sebagaimana hadits:
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمَّا خَرَجَ إِلَى خُيْبَرَ، مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ، يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: سُبْحَانَ اللَّهِ، هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya Rasulullah ketika keluar menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya pedang-pedang mereka. Sebagian sahabat berkata : “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’ (QS. Al-A’raaf : 138). Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2180, dan ia berkata : “Hasan shahih”].
Sebaliknya, sangat jarang orang tidak mengetahui rububiyyah Allah ta'ala sebagaimana dalam ayat di awal. Rububiyyah Allah sangatlah mendasar bagi hamba. Jahil dalam rububiyyah Allah lebih besar perkaranya daripada jahil dalam uluhiyyah. Dengan kata lain, syirik rububiyyah lebih besar daripada syirik uluhiyyah. Begitulah yang dijelaskan ulama (ref : https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=25344).
Meskipun rububiyyah Allah merupakan perkara yang mendasar, tetap saja sebagian orang yang benar-benar jahil dalam sebagian perkara rububiyyah ini bersamaan dengan penetapannya pada sebagian yang lain. Seperti yang tergambar dalam hadits orang yang minta dibakar jasadnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ، قَالَ: لِبَنِيهِ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْأَرْضَ، فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟، قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda : “Dahulu ada seseorang yang melalaikan dirinya sendiri (dengan banyak berbuat dosa). Ketika maut hampir mendekati dirinya, ia berkata (kepada anak-anaknya) : ‘Jika nanti aku meninggal dunia maka bakarlah jasadku lalu tumbuklah menjadi debu, kemudian hamburkanlah agar tertiup angin. Demi Allah, seandainya Rabbku berkuasa terhadap diriku, niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak akan ditimpakan kepada seorangpun’. Ketika orang itu meninggal dunia, wasiatnyapun dilaksanakan. Kemudian Allah memerintahkan bumi dengan berfirman : ‘Kumpulkanlah apa yang ada padamu’. Maka bumi melaksanakan perintah Allah. Ketika orang tadi telah berdiri (setelah dikumpulkan), Allah berfirman : ‘Apa yang mendorongmu melakukan itu?’. Orang itu menjawab : ‘Wahai Rabb, karena aku takut kepada-Mu’. Maka Allah ta’ala pun mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3481].
Orang tersebut jahil atas kekuasaan dan kemampuan Allah ta'ala atas makhluk-Nya. Padahal, ke-Mahakuasa-an Allah ta’ala dapat dicapai dengan akal (sehat) dan fithrah. Perkara ini masuk dalam cakupan rubuubiyyah Allah karena Allah ta’ala satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Allah ta’ala tetap memaafkan kejahilan orang tersebut.
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata:
وهذا رجل مؤمن باللَّه، مقر به، خائف له، إلا أنه جهل صفة من صفاته، فظن أنه إذ أحرق وذري الريح أنه يفوت اللَّه تَعَالَى، فغفر اللَّه تَعَالَى له بمعرفته تأنيبه وبمخافته من عذابه، جهله بهذه الصفة من صفاته
“Orang ini beriman kepada Allah, mengakui-Nya, dan takut kepada-Nya; namun dirinya jahil terhadap sebagian sifat dari sifat-sifat-Nya yang kemudian menyangka dirinya apabila dibakar dan abunya dihamburkan tertiup angin akan luput dari adzab Allah ta’ala. Allah ta’ala memberikan ampunan kepadanya akan kejahilannya terhadap sifat dari sifat-sifat-Nya dikarenakan pengetahuannya akan dirinya yang tercela (akibat dosanya) dan rasa takutnya terhadap adzab-Nya” [Ta’wiilu Mukhtalafil-Hadiits, hal. 112].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فهذا رجلٌ شَكَّ في قدرة الله، وفي إعادته إذا ذُري؛ بل اعتقد أنه لا يُعاد، وهذا كُفْر باتِّفاق المُسلمينَ؛ ولكن كان جاهِلاً لا يعلم ذلك، وكان مُؤمنًا يخاف الله أنْ يعاقِبه، فغُفِر له بذلك
“Orang ini telah ragu atas kekuasaan Allah dan dalam kemampuan-Nya untuk mengembalikannya apabila ia telah menjadi debu/abu (setelah dibakar). Bahkan ia meyakini Allah tidak akan membangkitkannya kembali (di akhirat). Ini adalah kekafiran berdasarkan kesepakatan (ijmaa’) kaum muslimin. Akan tetapi orang tersebut jaahil, tidak mengetahui perkara tersebut, dan ia sendiri seorang yang mukmin yang takut kepada Allah dan siksa-Nya. Maka ia diampuni (oleh Allah) karena hal tersebut” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/230-231].
Konsekuensinya, jika jahil dalam sebagian perkara rububiyyah diberikan 'udzur, maka jahil dalam sebagian perkara uluhiyyah pun (seharusnya) diberikan udzur.
Wallaahu a'lam.

Bahan bacaan :
dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar