12 Maret 2019

Mendoakan Keburukan terhadap Penguasa ?


Diantara pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah yang dijelaskan para ulama kita semenjak dahulu hingga sekarang adalah mendengar dan taat kepada penguasa muslim, baik yang ‘adil maupun yang faajir (jahat/dhalim), tidak melakukan pemberontakan terhadap mereka, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka (penguasa) agar dapat mengemban urusan umat, karena kebaikan mereka adalah kebaikan bagi rakyatnya dan keburukan mereka pun menjadi keburukan bagi rakyatnya. Nabi bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasihat”. Kami (para sahabat) bertanya : “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab : “(Nasihat) kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, Abu Daawud no. 4944, Ahmad 4/102, An-Nasaa’iy no. 4197-4198, Ibnu Hibbaan no. 4574, dan yang lainnya].

Diantara bentuk nasihat kepada para pemimpin adalah mendoakan kebaikan kepada mereka.
Ibnu Shalah rahimahullah (w. 643 H) menjelaskan :
والنصيحة لأئمة المسلمين : معاونتُهم على الحق ، وطاعتُهم فيه ، وتذكيرهم به ، وتنبيههم في رفق ولطف ، ومجانبة الوثوب عليهم ، والدعاء لهم بالتوفيق وحث الأغيار على ذلك
“Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah membantu mereka di atas kebenaran, taat kepada mereka dalam hal tersebut, mengingatkan mereka kepadanya, menasihati/mengingatkan mereka untuk bersikap santun dan lemah lembut, tidak menyerang/memberontak kepada mereka, mendoakan mereka agar diberikan taufiq, serta menganjurkan manusia untuk melakukan semua hal itu” [Lihat : Shiyaanatu Shahiih Muslim, hal. 223-224 – melalui perantaraan Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/233].
Ibnu Daqiiqil-‘Ied rahimahullah (w. 702 H) menjelaskan:
وأمَّا النصيحةُ لأئمَّةِ المسلمين: فمُعاوَنَتُهم على الحقِّ وطاعتُهم وأَمْرُهم به، وتنبيهُهم وتذكيرُهم برِفْقٍ ولُطْفٍ، وإعلامُهم بما غَفَلوا عنه، وتبليغُهم مِنْ حقوق المسلمين، وتركُ الخروجِ عليهم بالسيف، وتأليفُ قلوبِ الناس لطاعتِهم، والصلاةُ خَلْفَهم، والجهادُ معهم، وأَنْ يَدْعُوَ لهم بالصلاح
“Adapun nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin, maka itu dilakukan dengan membantu mereka di atas kebenaran, mentaati mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kebenaran, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan santun dan lemah-lembut, memberitahu mereka apa yang mereka lalaikan dan agar menunaikan hak-hak kaum muslimin, meninggalkan sikap memberontak mengangkat senjata kepada mereka, menyatukan hati manusia agar mentaati mereka, shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, serta mendoakan kebaikan untuk mereka” [Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hal. 53].
Senada dengan itu, Al-Manawiy rahimahullah berkata:
(ولأئمة المسلمين) الخلفاء ونوابهم بمعاونتهم على الحق وإطاعتهم فيه وأمرهم به وتذكيرهم برفق وإعلامهم بما غفلوا عنه من حق المسلمين وترك الخروج عليهم والدعاء بصلاحهم
Dan nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin’; yaitu para penguasa dan pembantu mereka dengan cara menolong mereka di atas kebenaran, mematuhi mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka untuk mengikuti kebenaran, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, memberitahukan apa yang mereka lalai darinya tentang pemenuhan hak kaum muslimin, meninggalkan sikap memberontak terhadap mereka, serta mendoakan kebaikan untuk mereka” [Faidlul-Qadiir, 2/415].
Para ulama sangat menekankan anjuran untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, dan bahkan sebagiannya menuliskannya secara khusus dalam kitab-kitab mereka yang menjelaskan prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah yang membedakannya dengan ahli bid’ah.
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
وَإِنِّي لأَدْعُو لَهُ بِالتَّسْدِيدِ، وَالتَّوْفِيقِ، فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَالتَّأْيِيدِ، وَأَرَى لَهُ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَيَّ
“Dan sesungguhnya aku benar-benar mendoakannya malam dan siang agar Allah meluruskannya, memberikan taufiq kepadanya, dan menguatkannya (di atas kebenaran). Dan aku memandang hal itu wajib bagiku” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 15; shahih].
Ath-Thahawiy rahimahullah (w. 321 H) berkata:
ولا نرى الخروجَ على أئمتنا وولاةِ أُمورنا وإن جارُوا، ولا ندعُو عليهم، ولا ننزعُ يداً من طاعتهم، ونرى طاعَتهم من طاعة الله عزَّ وجل فريضةً ما لم يأمروا بمعصيةٍ، وندعُو لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak berpandangan bolehnya memberontak terhadap para pemimpin dan penguasa kami meskipun mereka jahat. Kami juga tidak mendoakan keburukan atas mereka dan tidak melepas ketaatan dari mereka. Kami juga berpendapat bahwa ketaatan terhadap mereka termasuk ketaatan kepada Allah yang wajib dilakukan, selama mereka tidak memerintahkan maksiat. Dan kami mendoakan kebaikan dan ampunan untuk mereka” [Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah hal. 24 no. 95].
Al-Barbaahaariy rahimahullah (w. 329 H) berkata :
ومن قال الصلاة خلف كل بر وفاجر والجهاد مع كل خليفة ولم ير الخروج على السلطان بالسيف ودعا لهم بالصلاح فقد خرج من قول الخوارج أوله وآخره
“Barangsiapa berkata : ‘(sah) shalat di belakang orang yang baik ataupun jahat, jihad bersama semua khaliifah, tidak berpendapat bolehnya keluar ketaatan dari sulthaan dengan pedang, dan mendoakan kebaikan untuk mereka; sungguh ia telah keluar dari perkataan Khawaarij mulai awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 132 – tahqiq : Khaalid Ar-Raddadiy].
Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H) berkata:
قَدْ ذَكَرْتُ مِنَ التَّحْذِيرِ مِنْ مَذَاهِبِ الْخَوَارِجِ مَا فِيهِ بَلاغٌ لِمَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ مَذْهَبِ الْخَوَارِجِ، وَلَمْ يَرَ رَأْيَهُمْ، وَصَبَرَ عَلَى جَوْرِ الأَئِمَّةِ، وَحَيْفِ الأُمَرَاءِ، وَلَمْ يَخْرُجْ عَلَيْهِمْ بِسَيْفِهِ، وَسَأَلَ اللَّهَ تَعَالَى كَشْفَ الظُّلْمِ عَنْهُ، وَعَنِ الْمُسْلِمِينَ، وَدَعَا لِلْوُلاةِ بِالصَّلاحِ
“Dan aku telah menyebutkan tentang peringatan dari (kejelekan) madzhab Khawaarij yang padanya berisi penjelasan bagi orang yang dilindungi Allah dari madzhab Khawaarij tersebut, tidak memegang pendapat mereka, sabar terhadap kejahatan para imam, kedhaliman para penguasa, tidak keluar ketaatan terhadap mereka (memberontak) dengan senjata, memohon kepada Allah untuk menghilangkan kedhaliman darinya (penguasa) dan kaum muslimin, serta mendoakan kebaikan bagi para penguasa….” [Asy-Syarii’ah, 1/157].
Abu Bakr Al-Ismaa’iiliy rahimahullah (w. 371 H) berkata saat menjelaskan poin-poin ‘aqidah Ahlus-Sunnah:
ويرون جهاد الكفار معهم وإن كانوا جورةً. ويرون الدعاء لهم بالإصلاح والعطف إلى العدل. ولا يرون الخروج بالسيف عليهم
“Dan Ahlus-Sunnah berpendapat disyari’atkannya jihad melawan orang-orang kafir bersama mereka (penguasa) meskipun jahat. Dan Ahlus-Sunnah juga berpendapat dianjurkannya mendoakan mereka kebaikan dan condong pada keadilan. Ahlus-Sunnah tidak berpendapat bolehnya memberontak dengan senjata terhadap mereka…” [Al-I’tiqaad, hal. 56].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H) berkata:
يرى أصحاب الحديث: الجمعة، والعيدين، وغيرهما من الصلوات، خلف كلِّ إمام مسلم، برَّاً كان أو فاجراً، ويرون جهاد الكفرة معهم وإن كانوا جورة فجرة، ويرون الدُّعاء لهم بالإصلاح والتوفيق والصلاح
“Para ahli hadits (ashhaabul-hadiits) berpendapat sahnya shalat Jum’at, ‘Iedain, dan shalat-shalat yang lain di belakang semua imam muslim yang baik maupun yang jahat. Dan ahli hadits berpendapat disyari’atkannya jihad melawan orang-orang kafir bersama mereka meskipun mereka dhalim lagi jahat. Dan ahli hadits berpendapat dianjurkannya mendoakan mereka agar Allah perbaiki keadaannya, mendapatkan taufik, dan kebaikan, serta menyebarkan keadilan terhadap rakyatnya…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits hal. 78].
Apa hikmah mendoakan kebaikan bagi penguasa ?
Al-Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
لو كانت لي دعوة مستجابة ما جعلتها إلا في السلطان. قيل له: يا أبا عليٍّ: فسِّر لنا هذا؟. قال: إذا جعلتها في نفسي لم تَعْدُني، وإذا جعلتها في السلطان صَلُح، فصَلُحَ بصلاحه العباد والبلاد.
“Seandainya aku mempunyai doa mustajab (dikabulkan oleh Allah), tidak akan aku tujukan doa itu kecuali untuk penguasa/sulthaan”. Dikatakan kepadanya : “Wahai Abu ‘Aliy, jelaskankan hal ini kepada kami”. Ia (Fudlail) berkata : “Apabila aku tujukan doa itu hanya untuk diriku, maka tidak akan melampauiku (hanya untukku – Abul-Jauzaa’). Namun apabila aku tujukan doa itu kepada sulthan lalu ia menjadi baik, maka manusia dan negeri akan menjadi baik dengan kebaikan yang ada padanya” [Diriwayatkan oleh Al-Barbahaariy dalam Syarhus-Sunnah no. 136 hal. 116-117; shahih. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176].
Ibnul-Mubaarak (w. 181) berkata mengomentari ucapan Al-Fudlail rahimahumallah di atas:
يَا مُعَلِّمَ الْخَيْرِ، مَنْ يَجْتَرِئُ عَلَى هَذَا غَيْرُكَ
“Wahai orang yang mengajarkan kebaikan, tidak ada orang yang berani mengatakannya kecuali engkau” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176].
Al-Baihaqiy menukil perkataan Abu ‘Utsmaan rahimahumallah:
فَانْصَحْ لِلسُّلْطَانِ وَأَكْثِرْ لَهُ مِنَ الدُّعَاءِ بِالصَّلاحِ وَالرَّشَادِ بِالْقَوْلِ وَالْعَمَلِ وَالْحُكْمِ، فَإِنَّهُمْ إِذَا صَلَحُوا صَلَحَ الْعِبَادُ بِصَلاحِهِمْ، وَإِيَّاكَ أَنْ تَدْعُوَ عَلَيْهِمْ بِاللَّعْنَةِ فَيَزْدَادُوا شَرًّا وَيَزْدَادَ الْبَلاءُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَلَكِنِ ادْعُ لَهُمْ بِالتَّوْبَةِ فَيَتْرُكُوا الشَّرَّ فَيَرْتَفِعَ الْبَلاءُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ
“Nasihatilah penguasa/sulthaan serta perbanyaklah doa kebaikan untuk mereka dan agar senantiasa diberikan petunjuk dalam perkataan, perbuatan, dan hukum (mereka). Karena apabila mereka baik, maka akan baik pula manusia (rakyat yang dipimpinnya) dengan kebaikan mereka. Dan jauhilah kalian mendoakan laknat untuk mereka sehingga (dengan itu) malah bertambah keburukan dan bencana atas kaum muslimin. Akan tetapi berdoalah untuk mereka agar bertaubat lalu meninggalkan keburukan, sehingga terangkat (hilang) bencana yang menimpa kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 7400].
Kembali kepada pertanyaan dalam judul artikel : “Bolehkah mendoakan keburukan terhadap Penguasa ?”.
Tentu yang dibahas di sini adalah doa orang yang (merasa) didhalimi terhadap penguasa yang (dianggap) mendhalimi.
Allah berfirman:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya (didhalimi)” [QS. An-Nisaa’ : 148].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata tentang ayat di atas:
إِلا أَنْ يَكُونَ مَظْلُومًا، فَإِنَّهُ رُخِّصَ لَهُ أَنْ يَدْعَوَا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ، وَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: إِلا مَنْ ظُلِمَ، وَإِنْ صَبَرَ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ "
“Kecuali orang yang didhalimi, maka diberikan keringanan baginya untuk mendoakan keburukan orang yang mendhaliminya. Itulah makna firman Allah : ilaa man dhulima (kecuali oleh orang yang dianiaya (didhalimi). Namun apabila ia bersabar, maka itu lebih baik baginya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 9/344 dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 6169; hasan[1]].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah berkata:
فَقَدْ رُخِّصَ لَهُ أَنْ يَدْعَوَا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْتَدِي
“Dan telah diberikan keringanan baginya untuk mendoakan keburukan terhadap orang yang mendhaliminya tanpa berlebihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 6171; shahih].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata:
وقوله: { إِلا مَن ظُلِمَ } أي: فإنه يجوز له أن يدعو على من ظلمه ويتشكى منه، ويجهر بالسوء لمن جهر له به، من غير أن يكذب عليه ولا يزيد على مظلمته، ولا يتعدى بشتمه غير ظالمه، ومع ذلك فعفوه وعدم مقابلته أولى، كما قال تعالى: { فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ } .
“Dan firman-Nya : ‘kecuali oleh orang yang dianiaya (didhalimi)’ (QS. An-Nisaa’ : 148), yaitu dirinya diperbolehkan untuk mendoakan keburukan bagi orang yang mendhaliminya dan mengadukannya. Serta diperbolehkan untuk mengucapkan secara jelas perkataan buruk terhadap orang yang mengucapkan secara jelas perkataan serupa kepadanya, tanpa disertai kedustaan terhadapnya dan tanpa berbuat lebih dari kedhaliman yang menimpanya. Tidak boleh pula melewati batas dengan mencela/mencaci selain orang yang mendhaliminya. Namun demikian, memaafkan dan tidak membalasnya lebih utama sebagaimana firman Allah : ‘Barangsiapa yang memaafkan dan mendamaikan maka pahalanya dari Allah” (QS. Asy Syuura : 40)” [Taisiir Kariimir-Rahmaan, hal. 212].
Rasulullah pernah berdoa:
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا
Ya Allah, jadikanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya dapat menghalangi dan mencegah kami untuk berbuat berbagai maksiat kepada-Mu. Anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang dengannya dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Berikan pula keyakinan yang dengannya terasa ringan bagi kami segala musibah dunia yang menimpa kami. Berilah kenikmatan dan manfaat kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai pewaris dari kami. Jadikan pula balasan kami kepada orang yang mendhalimi kami dengan balasan yang sesuai untuknya (tidak melampaui batas). Tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami. Jangan Engkau jadikan musibah kami menimpa agama kami. Jangan pula Engkau jadikan dunia menjadi tujuan dan keinginan kami yang terbesar. Jangan sampai dunia menjadi puncak dari ilmu kami. Jangan jadikan orang yang tidak menyayangi kami dapat menguasai kami” [Diriwayatkan At-Tirmidziy no. 3502, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 5989, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa no. 1911, dan yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy, 3/442].
Doa beliau ini menguatkan bahwa membalas kedhaliman dengan sesuatu yang serupa tanpa melampaui batas diperbolehkan. Allah berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim" [QS. Asy-Syuuraa : 40].
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu” [QS. Al-Baqarah : 194].
Doa keburukan terhadap orang lain asalnya dilarang. Menjadi diperbolehkan jika dilakukan tanpa melampaui batas akibat didhalimi orang lain, karena termasuk lingkup melakukan balasan dengan kedhaliman semisal. Sebagaimana mencaci/mencela asalnya perbuatan terlarang dalam syari’at. Namun jika seseorang melakukannya karena sekedar membalas celaan tanpa melampauai batas, maka ia tidak berdosa.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ "
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Dua orang yang saling mencaci dosanya ditanggung oleh yang memulai, selama orang yang didhalimi tidak melampaui batas” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2587].
Yang menguatkan hal ini adalah riwayat berikut:
عَنْ عُرْوَةَ: أَنَّ أَرْوَى بِنْتَ أُوَيْسٍ ادَّعَتْ عَلَى سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ أَخَذَ شَيْئًا مِنْ أَرْضِهَا، فَخَاصَمَتْهُ إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَقَالَ سَعِيدٌ: أَنَا كُنْتُ آخُذُ مِنْ أَرْضِهَا شَيْئًا بَعْدَ الَّذِي سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ، فَقَالَ لَهُ مَرْوَانُ: لَا أَسْأَلُكَ بَيِّنَةً بَعْدَ هَذَا، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَعَمِّ بَصَرَهَا وَاقْتُلْهَا فِي أَرْضِهَا، قَالَ: فَمَا مَاتَتْ حَتَّى ذَهَبَ بَصَرُهَا، ثُمَّ بَيْنَا هِيَ تَمْشِي فِي أَرْضِهَا إِذْ وَقَعَتْ فِي حُفْرَةٍ فَمَاتَتْ
Dari ‘Urwah : Bahwasannya Arwaa bintu Uwais menuduh Sa'iid bin Zaid telah mengambil sebagian tanahnya. Lalu ia (Arwaa) mengadukan permasalahan tersebut kepada Marwaan bin Al-Hakam. Sa’iid berkata : "Mungkinkah aku mengambil sebagian tanah miliknya setelah aku mendengar hadits dari Rasulullah ?". Marwaan berkata : "Apa yang engkau dengar dari Rasulullah ?". Sa'iid berkata : "Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dhalim, akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi (pada hari kiamat)’. Lalu Marwaan berkata kepadanya : "Aku tidak akan meminta bukti lagi kepadamu setelah mendengar hadits ini”. Kemudian Sa'iid berdoa : "Ya Allah, jika wanita itu (Arwaa) berdusta, maka butakanlah matanya dan bunuhlah ia di atas tanahnya sendiri”. ‘Urwah berkata : "Ternyata ia (Arwaa) tidak meninggal kecuali dalam keadaan buta matanya. Kemudian ketika ia berjalan di tanahnya, ia jatuh ke dalam lubang lalu meninggal" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1610].
Di lain riwayat, Arwaa berkata dalam tuduhannya kepada Saiid bin Zaid:
إِنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدٍ، قَدْ انْتَقَصَ مِنْ أَرْضِي إِلَى أَرْضِهِ، مَا لَيْسَ لَهُ، وَقَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ تَأْتُوهُ فَتُكَلِّمُوهُ
“Sesungguhnya Sa’iid bin Zaid telah mencaplok (sebagian) tanahku – yang bukan kepunyaannya – masuk dalam tanahnya. Aku ingin kalian (beberapa orang Quraisy yang bersama Arwaa’ – Abul-Jauzaa’) menemuinya dan berbincang-bincang dengannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/189; sanadnya hasan].
Sa’iid bin Zaid berdoa kepada Allah terkait dengan tuduhan penyerobotan tanah yang dialamatkan kepadanya, dan Allah mengabulkan doa Sa’iid sehingga keburukan menimpa wanita yang menuduhnya (buta dan meninggal di atas tanahnya).
Dari peristiwa Sa’iid bin Zaid ini, dulu penduduk Madiinah apabila mendoakan keburukan orang lain:
أَعْمَاهُ اللَّهُ كَعَمَى أَرْوَى
“Semoga Allah membutakan (mata)-nya seperti kebutaan yang menimpa Arwaa” [Fathul-Baariy, 5/105].
Begitu pula ketika salah seorang penduduk Kuufah yang bernama Usaamah bin Qataadah yang berkunyah Abu Sa’dah memberikan kesaksian dusta atas diri Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu, maka Sa’d berdoa:
أَمَا وَاللَّهِ لَأَدْعُوَنَّ بِثَلَاثٍ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ عُمْرَهُ وَأَطِلْ فَقْرَهُ وَعَرِّضْهُ
“Maka demi Allah, sungguh aku akan berdoa kepada Allah tiga hal. Ya Allah, apabila hambamu ini (yaitu Usaamah) berdusta, mengatakannya karena riyaa’ dan sum’ah, maka panjangkanlah usianya, panjangkanlah pula kefakirannya, dan campakkan ia dalam berbagai fitnah”.
Jaabir bin Samuurah bersaksi atas kebenaran doa Sa’d radliyallaahu ‘anhumaa:
وَكَانَ بَعْدُ إِذَا سُئِلَ يَقُولُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَفْتُونٌ أَصَابَتْنِي دَعْوَةُ سَعْدٍ، قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ قَدْ سَقَطَ حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ
“Maka beberapa masa kemudian setelah itu, orang tersebut (Usaamah) apabila ditanya tentang keadaannya yang sengsara, ia berkata : ‘Aku seorang tua renta yang terkena fitnah akibat doa Sa'd.
'Abdul-Malik bin ‘Umar Al-Lakhamiy rahimahullah – perawi hadits di atas – juga bersaksi:
فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ قَدْ سَقَطَ حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ
“Dan aku sendiri melihat setelahnya bahwa kedua alisnya panjang ke bawah menutupi kedua matanya karena terlalu tua dan dirinya suka mengganggu wanita-wanita muda di jalanan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 755].
Rasulullah  memperingatkan kita :
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Waspadalah kalian doa orang yang terdhalimi, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan Allah (untuk dikabulkan doanya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Ini berlaku pada siapa saja, baik penguasa maupun rakyat. Barangsiapa yang bertindak dhalim dan orang yang didhalimi berdoa kepada Allah agar dibalas kedhalimannya, maka doanya tersebut mustajab. Rasulullah bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَا شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
Ada tiga doa mustajab yang tidak ada keraguan padanya : doa orang yang terdhalimi, doa orang yang sedang bepergian (musafir), dan doa orang tua kepada anaknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 32 & 481, Abu Daawud no. 1536, At-Tirmidziy no. 1905 & 3448, dan yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 596].
Rasulullah sangat mengecam penguasa yang dhalim. Beliau bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidak ada seorang hamba yang Allah angkat untuk memimpin rakyatnya kemudian tidak mengurus mereka dengan baik, ia pasti tidak akan mencium bau wangi surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7150].
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidak ada seorang penguasa pun yang memimpin rakyatnya dari kalangan muslimin, lalu ia meninggal dalam keadaan menipu mereka (rakyat), maka Allah pasti haramkan baginya surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7151].
مَا مِنْ أَمِيرِ عَشَرَةٍ، إِلَّا يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا، لَا يَفُكُّهُ إِلَّا الْعَدْلُ، أَوْ يُوبِقُهُ الْجَوْرُ
Tidaklah ada seorang pun yang memimpin sepuluh orang, kecuali ia didatangkan dengannya pada hari kiamat dalam keadaan (tangannya) terbelenggu. Tidak ada sesuatu yang membebaskannya kecuali keadilannya, atau justru kemaksiatannya (kedhalimannya) akan melemparkanya (ke neraka)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/431; sanadnya qawiy].
Oleh karena itu, Rasulullah berdoa keburukan bagi para penguasa dhalim:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu ia malah menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu ia bersikap lembut kepada mereka, maka bersikap lembutlah kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 182].
Maka dalam hal ini, secara hukum syar’iy boleh hukumnya mendoakan keburukan bagi penguasa dhalim yang mendhalimi rakyatnya.
Masalahnya kemudian, kadang seseorang merasa didhalimi orang lain (termasuk penguasa), padahal kenyataan tidak. Misalnya, seseorang yang memiliki mobil sering memarkirnya di pinggir jalan perumahan di depan rumahnya. Pemerintah kemudian menderek paksa mobilnya itu. Karena merasa didhalimi, ia berdoa keburukan terhadap penguasa. Ini tidak benar. Mengapa?. Ia sendiri justru yang berbuat dhalim mengurangi hak pengguna jalan lain dengan memarkir mobil di badan jalan. Melanggar pula peraturan yang telah dibuat Pemerintah[2]. Tindakan Pemerintah benar, karena mengedepankan kepentingan umum. Maka, seseorang yang merasa didhalimi jika ingin mendoakan keburukan terhadap orang mendhaliminya – dan mendoakan hidayah dan memaafkannya lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasanya – hendaknya ia mengucapkannya secara bersyarat seperti:
"Ya Allah, apabila (benar) Fulaan telah mendhalimiku, maka......."
[sesuai kadar kedhaliman yang dialaminya].
Sama seperti doa Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ عُمْرَهُ وَأَطِلْ فَقْرَهُ وَعَرِّضْهُ
“Ya Allah, apabila hambamu ini (yaitu Usaamah) berdusta, mengatakannya karena riyaa’ dan sum’ah, maka panjangkanlah usianya, panjangkanlah pula kefakirannya, dan campakkan ia dalam berbagai fitnah”.
Bisa jadi dakwaan kedhaliman kita benar, bisa jadi keliru.
Inilah yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah dalam fatwanya.[3]
Berikut adalah rekaman video penjelasan dari Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah berkaitan dengan pertanyaan 'bolehkah mendoakan keburukan terhadap penguasa yang dhalim ?':

Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 12032019].



[1]    Dari jalan Abu Shaalih, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu. Ada pembahasan menarik tentang Abu Shaalih ini dimana ia ditautsiq oleh sebagian ulama, namun dijarh sebagian ulama yang lain. Kesimpulan ringkasnya, bahwa riwayat yang dibawakannya dihukumi hasan/shahih jika diriwayatkan oleh ulama yang terkenal teliti dan hati-hati semisal Abu Haatim, Ibnu Wahb, Al-Bukhaariy, Yahyaa bin Ma’iin, dan semisalnya. Jika selain dari selain mereka, maka lemah atau abstain hingga ada qarinah penguatnya, wallaahu a’lam.
[2]    Seperti misalnya Pemprov. DKI Jakarta. Silakan baca : Dasar Hukum yang Melarang Parkir Kendaraan di Depan Rumah Sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar