Allah
ﷻ
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" [QS. Al-Hujuraat : 1].
Ayat
ini merupakan pokok dalam agama kita yang mengandung adab terhadap Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Membangun manhaj ‘aqidah dan cara pandang
seorang muslim dalam menyikapi nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengagungkannya, mengutamakannya,
tunduk kepadanya, dan tidak pernah menomorduakannya di bawah perkataan/pendapat
selainnya.
Ada
beberapa penjelasan dari kalangan ulama mengenai ayat ini, diantara :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ فِي قَوْلِهِ: لا تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لا تَقْضُوا أَمْرًا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa (Adz-Dzuhliy) : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Yuusuf (Al-Faryaabiy), ia berkata : Telah berkata
Sufyaan (Ats-Tsauriy, w. 161 H) tentang ayat ‘janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan perkara
tanpa (sunnah) Rasulullah ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah, hal. 669 no. 730; shahih].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ، ثنا
أَبُو وَهْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُزَاحِمٍ، ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ
مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ يَعْنِي بِذَلِكَ فِي شَأْنِ
الْقِتَالِ، وَمَا يَكُونُ مِنْ شَرَائِعِ دِينِهِمْ، يَقُولُ: لا تَقْضُوا فِي
ذَلِكَ شَيْئًا إِلا بِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلا تَقْطَعُوا دُونَهُ أَمْرًا
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah : Telah menceritakan kepada kami Abu
Wahb Muhammad bin Muzaahim : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf,
dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman-Nya ﷻ : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Yaitu dalam urusan perang dan semua hal
yang ada dalam syari’at agama mereka”. Ia melanjutkan : “Jangan memutuskan sesuatupun dalam perkara tersebut kecuali dengan perintah Rasulullah ﷺ, dan jangan menetapkan satu perkara tanpanya” [idem, hal. 666-667 no. 727; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي
عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ: لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا تَقُولُوا خِلافَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
"
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih :
Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang
firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS.
Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan mengatakan sesuatu yang menyelisihi
Al-Qur’an dan As-Sunnah” [idem, hal. 661 no. 715].
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ:
ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ قَالَ: ثَنَا
الْحَسَنُ قَالَ: ثَنَا وَرْقَاءُ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، قَالَ: لا تَفْتَاتُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
بِشَيْءٍ حَتَّى يَقْضِيَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِهِ.
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa (ح).
Dan telah menceritakan kepadaku Al-Haarits (bin Muhammad bin Abi Usaamah), ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan (bin Muusaa Al-Asyyab), ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’; keduanya dari Ibnu Abi
Najiih, dari Mujaahid (w. 101 H). tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan
memotong pembicaraan Rasulullah ﷺ dengan sesuatu hingga Allah ﷻ memutuskan hal tersebut pada lisannya ﷺ” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
21/336 – tahqiq At-Turkiy; shahih].
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ زَيْدٍ فِي قَوْلِ اللَّهِ ﷻ: يَأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا
تَقْطَعُوا الأَمْرَ دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.
Telah
menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid (w. 153 H) tentang firman Allah ﷻ : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan satu perkara tanpa
(nash) Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/337; shahih].
Ath-Thabariy
rahimahullah (w. 310 H) menafsirkan:
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ) : يا
أيها الذين أقرّوا بوحدانية الله، وبنبوّة نبيه محمد ﷺ( لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ) يقول: لا تعجلوا بقضاء أمر في حروبكم أو دينكم، قبل
أن يقضي الله لكم فيه ورسوله، فتقضوا بخلاف أمر الله وأمر رسوله
“(Hai
orang-orang yang beriman), maksudnya : wahai orang-orang yang mengakui
keesaan Allah dan kenabian nabinya Muhammad ﷺ; (janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya), yaitu jangan tergesa-gesa untuk memutuskan perkara dalam
peperangan atau agama kalian sebelum Allah dan Rasul-Nya ﷺ memutuskan padanya, sehingga kalian
memutuskannya menyelisihi perkara/hukum Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/335].
Abu
Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah (w. 543 H) berkata:
قوله تعالى: " لا تقدموا بين يدي الله
" أصل في ترك التعرض لاقوال النبي صلى الله عليه وسلم، وإيجاب اتباعه والاقتداء
به
“Firman-Nya
: ‘janganlah kamu mendahului Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1) merupakan
dasar/pokok untuk meninggalkan sikap pertentangan dengan sabda Nabi ﷺ serta
wajibnya ber-ittibaa’ kepada beliau ﷺ dan meneladaninya” [Ahkaamul-Qur’aan,
4/145; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ibnu
Katsiir rahimahullah (w. 774 H) berkata:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ [وَاتَّقُوا اللَّهَ ] }، أي: لا تسرعوا في الأشياء بين يديه، أي: قبله، بل
كونوا تبعا له في جميع الأمور، حتى يدخل في عموم هذا الأدب الشرعي.
“Firman
Allah ﷻ
: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1), yaitu jangan
tergesa-gesa dalam sesuatu sebelum Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi jadilah orang yang mengikutinya dalam segala perkara,
hingga masuk dalam keumuman adab syar’iy ini” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim,
13/137; Muassasah Qurthubah].
Al-Khaazin
rahimahullah (w. 725 H) berkata:
قوله عز وجل : { يا أيها الذين آمنوا لا
تقدموا بين يدي الله ورسوله } من التقديم أي لا ينبغي لكم أن يصدر منكم تقديم
أصلاً . وقيل : لا تقدموا فعلاً بين يدي الله ورسوله . والمعنى : لا تقدموا بين
يدي أمر الله ورسوله ولا نهيهما . وقيل : لا تجعلوا لأنفسكم تقدماً عند النبي ﷺ
وفيه إشارة إلى احترام رسول الله ﷺ والانقياد لأوامره ونواهيه. والمعنى : لا
تعجلوا بقول أو فعل قبل أن يقول رسول الله ﷺ أو قبل أن يفعله . وقيل : لا تقولوا
بخلاف الكتاب والسنة
“Dan
firman-Nya ﷻ : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), dalam hal taqdiim
(mendahulukan); yaitu : tidak boleh bagi kalian untuk memunculkan sikap taqdiim
(terhadap Allah dan Rasul-Nya). Dikatakan : ‘Janganlah kalian mendahului
Allah dan Rasul-Nya dalam hal perbuatan’. Dan maknanya : ‘Janganlah kalian mendahului
perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya’. Dikatakan juga : ‘Jangan jadikan
diri kalian maju di hadapan Nabi ﷺ’. Dalam ayat ini terdapat isyarat
penghormatan terhadap Rasulullah ﷺ dan
tundk-patuh terhadap segala perintah dan larangan. Maknanya : Jangan kalian
tergesa-gesa dengan sebuah perkataan dan perbuatan sebelum dikatakan atau
dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dikatakan juga (maknanya) : ‘Jangan
berkata dengan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Tafsiir Al-Khaazin,
4/175; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah (w. 1376 H) berkata:
هذا متضمن للأدب، مع الله تعالى، ومع رسول
الله صلى الله عليه وسلم، والتعظيم له ، واحترامه، وإكرامه، فأمر [الله] عباده
المؤمنين، بما يقتضيه الإيمان، بالله وبرسوله، من امتثال أوامر الله، واجتناب
نواهيه، وأن يكونوا ماشين، خلف أوامر الله، متبعين لسنة رسول الله ﷺ، في جميع
أمورهم، و [أن] لا يتقدموا بين يدي الله ورسوله، ولا يقولوا، حتى يقول، ولا
يأمروا، حتى يأمر، فإن هذا، حقيقة الأدب الواجب، مع الله ورسوله، وهو عنوان سعادة
العبد وفلاحه، وبفواته، تفوته السعادة الأبدية، والنعيم السرمدي، وفي هذا، النهي
[الشديد] عن تقديم قول غير الرسول صلى الله عليه وسلم، على قوله، فإنه متى استبانت
سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وجب اتباعها، وتقديمها على غيرها، كائنا ما كان
“Ayat
ini mengandung adab terhadap Allah ﷻ dan terhadap Rasulullah ﷺ, pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan
terhadapnya. Maka, Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-Nya yang mukmin
dengan sesuatu yang dituntut oleh keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya berupa:
1.
mengikuti segala
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya;
2.
agar mereka berjalan
di belakang perintah-perintah Allah dan mengikuti (ittibaa’) terhadap
sunnah Rasulullah ﷺ dalam semua urusan mereka;
3.
agar mereka tidak
mendahului Allah dan Rasul-Nya dimana ia tidak berkata (tentang agama) hingga
beliau ﷺ
berkata, tidak memerintahkan sesuatu hingga beliau ﷺ memerintahkannya.
Inilah
hakekat adab wajib (bagi setiap muslim) kepada Allah dan Rasul-Nya, yang
merupakan tanda kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba. Jika hal ini
hilang, maka akan hilang pula kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang abadi.
Dalam ayat ini juga terdapat larangan yang keras untuk mendahulukan perkataan
selain Rasulullah ﷺ atas perkataan perkataan beliau ﷺ. Karena, ketika telah jelas sunnah
Rasulullah ﷺ,
maka wajib bagi kita untuk mengikutinya, mendahulukannya daripada selainnya,
siapapun dia” [Taisiirul-Kariimir-Rahmaan, hal. 943; Daarus-Salaam].
Setelah
kita memahami inti kandungan makna dari ayat di atas, berikut akan saya contohkan beberapa aplikasi yang ada di kalangan salaf rahimahumullah.
1.
‘Abdullah bin ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa
أَخْبَرَنَا
صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ: " أَمَا تَخَافُونَ أَنْ تُعَذَّبُوا، أَوْ يُخْسَفَ بِكُمْ
أَنْ تَقُولُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، وَقَالَ فُلَانٌ؟
Telah mengkhabarkan
kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir,
dari ayahnya, ia berkata : “Tidakkah kalian takut Allah ﷻ timpakan kepada kalian adzab atau menjungkir-balikkan
(bumi) kepada kalian[1]
ketika kalian mengatakan : ‘Telah berkata Rasulullah ﷺ dan telah berkata Fulaan?” [Diriwayatkan Ad-Daarimiy
hal. 401 no. 445].
Sanad riwayat ini
lemah karena keterputusan antara Sulaimaan bin Tharkhaan (ayah Mu’tamir) dengan
Ibnu ‘Abbaas radliyalaahu ‘anhumaa [It-haaful-Maharah, 7/232-233 no. 60]. Riwayat
ini dikuatkan beberapa riwayat lain yang semakna :
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ ابْنِ أَبِي
مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَة، لِابْنِ عَبَّاسٍ حَتَّى مَتَى تُضِلُّ
النَّاسَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؟ ! قَالَ: مَا ذَاكَ يَا عُرَيَّةُ ؟ قَالَ: "
تَأْمُرُنَا بِالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَقَدْ نَهَى أَبُو بَكْرٍ،
وَعُمَرُ ! فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ فَعَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ
عُرْوَةُ: هما كَانَا هُمَا أَتْبَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَعْلَمَ بِهِ مِنْكَ
"
Telah menceritakan
kepada kami 'Affaan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah
menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : 'Urwah
pernah berkata kepada Ibnu 'Abbaas : "Hingga kapan engkau menyesatkan
manusia wahai Ibnu 'Abbaas ?". Ibnu 'Abbaas berkata : "Ada apa wahai
'Urayyah. 'Urwah berkata : "Engkau menyuruh kami melakukan 'umrah di bulan
haji, padahal Abu Bakr dan 'Umar melarangnya !". Ibnu 'Abbaas berkata :
"Sungguh, hal tersebut ('umrah di bulan-bulan haji) dilakukan oleh
Rasulullah ﷺ".
'Urwah berkata : "Mereka berdua (Abu Bakr dan 'Umar) lebih ber-ittiba'
kepada Rasululah ﷺ dan lebih memahaminya daripada
engkau" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/252; sanadnya shahih].
Penisbatan larangan ‘umrah
pada bulan-bulan haji oleh ‘Urwah kepada Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa perlu diteliti kembali, karena dalam (banyak) riwayat lain yang
dimaksudkan adalah larangan melakukan haji tamattu’ :
حَدَّثَنَا
حَجَّاجٌ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ عَمْرٍو،
قَالَ: أُرَاهُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ "
تَمَتَّعَ النَّبِيُّ ﷺ ". فَقَالَ: عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَا يَقُولُ
عُرَيَّةُ؟ قَالَ: يَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ.
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ ! أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ
وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَر
Telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Syariik,
dari Al-A’masy, dari Al-Fudlail bin ‘Amru. (Al-A’masy) berkata : Aku
berpandangan (Al-Fudlail) dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata
: “Nabi ﷺ pernah
melakukan haji tamattu’”. ‘Urwah bin Az-Zubair berkata : “Abu Bakr dan
‘Umar melarang haji tamattu’”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apa yang
dikatakan ‘Urayyah[2]?”. Dijawab : “Ia
(‘Urwah) mengatakan : ‘Abu Bakr dan ‘Umar’ melarang haji tamattu’”. Maka
Ibnu ‘Abbaas berkata : “Aku berpendapat mereka akan binasa. Aku katakan :
‘Telah bersabda Nabi ﷺ’, namun
ia berkata : ‘Abu Bakr dan ‘Umar telah melarangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad
1/337; sanadnya lemah karena faktor Syariik[3]].
قَالَ
إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ حَمَّادٍ بْن زيد، عَنْ
أَيُّوبَ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَةُ لابْنِ عَبَّاسٍ:
وَيْحَكَ، أَضْلَلْتَ ! تَأْمُرُ بِالْعُمْرَةِ فِي الْعَشْرِ، وَلَيْسَ فِيهِنَّ
عُمْرَةٌ؟ فَقَالَ: يَا عَرِيُّ، فَسَلْ أُمَّكَ. قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ،
وَعُمَرَ لَمْ يَقُولا ذَلِكَ، وكانا أَعْلَمُ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبِعُ
لَهُ مِنْكَ، فَقَالَ: مِنْ هَهُنَا تُرْمَوْنَ، نَجِيئُكُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ
وَتَجِيئُونَ بِأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ
Telah berkata Ishaaq
: Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Harb, dari Hammaad bin Zaid,
dari Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : ‘Urwah berkata kepada Ibnu
‘Abbaas : “Celaka engkau, engkau telah sesat. Engkau memerintahkan ‘umrah pada
10 hari awal bulan Dzulhijjah, padahal tidak ada syari’at ‘umrah di waktu
tersebut”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Wahai ‘Ariy, bertanyalah kepada ibumu”.
‘Urwah berkata : “Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar tidak mengatakan demikian,
dan mereka berdua lebih mengetahui (sunnah) Rasulullah ﷺ dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya
daripada engkau”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Dari sinilah kalian akan
dihukum. Aku datangkan dalil dari Rasulullah ﷺ kepada kalian, akan tetapi kalian
datangkan (sanggahannya) dari perkataan Abu Bakr dan ‘Umar” [Dibawakan Ibnu
Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 1287; dan Ibnu Hajar berkata :
“Sanadnya shahih”].
Diriwayatkan juga
oleh Ibnu Hazm dalam Hajjatul-Wadaa’ hal. 353 no. 392 dari jalan Ayyuub[4],
dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
وَاللَّهِ
مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتَّى يُعَذِّبَكُمُ اللَّهُ، أُحَدِّثُكُمْ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُونَنَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، فَقَالَ
عُرْوَةُ هُمَا أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبَعُ لَهَا مِنْكَ
“Demi Allah, tidaklah aku melihat kalian
berhenti hingga Allah mengadzab kalian. Aku mengatakan kepada kalian (hadits)
dari Rasulullah ﷺ, lalu kalian mengatakan kepada kami
(perkataan) dari Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Keduanya lebih
mengetahui sunnah Rasulullah ﷺ dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya
daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan oleh
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 1/377-378 no.
380 dari jalan Ayyuub, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
هَذَا
الَّذِي أَهْلَكَكُمْ، وَاللَّهِ مَا أَرَى إِلا سَيُعَذِّبُكُمْ، إِنِّي
أُحَدِّثُكُمْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ وَتَجِيئُونِي بِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. فَقَالَ
عُرْوَةُ: هُمَا وَاللَّهِ كَانَا أَعْلَمَ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَاتْبَعَ
لَهَا مِنْكَ،
“Inilah yang
membinasakan kalian. Demi Allah, tidaklah aku melihat kecuali kalian akan
diadzab Allah (dengan sebab itu). Aku mengatakan kepada kalian (hadits) dari
Nabi ﷺ,
sementara kalian membawakan kepadaku (perkataan) Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah
berkata : “Keduanya – demi Allah – lebih mengetahui sunnah Rasulullah ﷺ dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya
daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan juga
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 1/139 no. 21 dari jalan Ibraahiim
bin Abi ‘Ablah dari Ibnu Abi Mulaikah, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas:
أَهُمَا،
وَيْحَكَ، آثَرُ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ فِي أَصْحَابِهِ وَفِي أُمَّتِهِ؟ " فَقَالَ عُرْوَةُ: هُمَا
كَانَا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنِّي
وَمِنْكَ، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: فَخَصَمَهُ عُرْوَةُ،
“Apakah mereka berdua
– celaka engkau (wahai ‘Urwah) - lebih engkau utamakan, ataukah nash yang ada
dalam Kitabullah dan apa yang disunnahkan Rasulullah ﷺ kepada para shahabatnya dan umatnya ?”.
‘Urwah menjawab : “Mereka berdua lebih mengetahui Kitabullah dan apa yang
disunnahkan Rasulullah daripadaku dan dirimu”. Ibnu Abi Mulaikah berkomentar :
“Maka ’Urwah tetap mendebatnya (Ibnu ‘Abbaas)” [selesai].
Al-Khathiib
Al-Baghdaadiy rahimahullah setelah membawakan riwayat dialog antara
‘Urwah dan Ibnu ‘Abbaas berkomentar:
قُلْتُ:
قَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَلَى مَا وَصَفَهُمَا بِهِ عُرْوَةُ، إِلا
أَنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلَّدَ أَحَدٌ فِي تَرْكِ مَا ثَبَتَتْ بِهِ سُنَّةُ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
“Aku katakan :
Sungguh, Abu Bakr dan ‘Umar seperti apa yang disifatkan oleh ‘Urwah (yaitu
lebih utama dan berilmu). Namun tidak selayaknya bertaqlid kepada seseorang
dengan meninggalkan apa yang telah tetap/shahih dalam sunnah Rasulullah ﷺ” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/378].
Maka, sekedar husnudhdhan
berdasarkan pandangan umum bahwa Fulaan lebih berilmu daripada ‘Alaan
(tanpa mengetahui dalil yang dibawakan Fulaan) tidak cukup untuk membantah hujjah
orang yang menyampaikan dalil/nash. Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
وَنَحْنُ
نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا
يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami katakan
kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas)
lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu. Tidak ada keraguan tentang
hal tersebut bagi seorang muslim[5]” [Hajjatul-Wadaa’,
hal. 354].
Perkataan
seseorang – siapapun dia – yang digunakan untuk menyaingi perkataan Nabi ﷺ merupakan
serangan terhadap kedudukan beliau ﷺ.
Mengedepankan perkataan seseorang selain Nabi ﷺ merupakan kedhaliman, karena kedhaliman
adalah meletakkan sesuatu yang bukan pada tempat semestinya.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu mengatakan bahwa mengutamakan perkataan seseorang daripada
Allah dan Rasul-Nya ﷺ dapat
mewariskan adzab. Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
”Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
2.
‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ
مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، قَالَ: " شَهِدْتُ عُثْمَانَ، وَعَلِيًّا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا، وَعُثْمَانُ يَنْهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَأَنْ يُجْمَعَ
بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا رَأَى عَلِيٌّ أَهَلَّ بِهِمَا لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ
وَحَجَّةٍ، قَالَ: مَا كُنْتُ لِأَدَعَ سُنَّةَ النَّبِيِّ ﷺ لِقَوْلِ أَحَدٍ
"
Dari Marwaan bin
Al-Hakam, ia berkata : Aku menyaksikan ‘Utsmaan dan ‘Aliy radliyallaahu
‘anhumaa. ‘Utsmaan melarang tamattu’ dan menggabung antara keduanya
(haji dan ‘umrah). Ketika ‘Aliy melihatnya, maka ia berniat ihram untuk
keduanya dengan mengucapkan : “Labbaika bi-‘umratin wa hajjatin”.
Kemudian ia berkata : “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Nabi ﷺ karena perkataan seseorang” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1562].
Tidak dipungkiri,
‘Utsmaan bin ‘Affaan lebih utama dibandingkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahumaa.
Namun ketika tidak ada alasan kuat pelarangan tamattu’ berdasarkan
sunnah dari Nabi ﷺ, maka ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tidak
bertaqlid kepada ‘Utsmaan dan meninggalkan sunnah Nabi ﷺ yang ia ketahui.
Faedah:
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
وَفِي
قِصَّة عُثْمَان وَعَلِيّ مِنْ الْفَوَائِد إِشَاعَة الْعَالِم مَا عِنْده مِنْ
الْعِلْم وَإِظْهَاره ، وَمُنَاظَرَة وُلَاة الْأُمُور وَغَيْرهمْ فِي تَحْقِيقه
لِمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ لِقَصْدِ مُنَاصَحَة الْمُسْلِمِينَ ، وَالْبَيَان
بِالْفِعْلِ مَعَ الْقَوْل ، وَجَوَاز الِاسْتِنْبَاط مِنْ النَّصّ لِأَنَّ
عُثْمَان لَمْ يَخْفَ عَلَيْهِ أَنَّ التَّمَتُّع وَالْقِرَان جَائِزَانِ ،
وَإِنَّمَا نَهَى عَنْهُمَا لِيُعْمَلَ بِالْأَفْضَلِ كَمَا وَقَعَ لِعُمَر ،
لَكِنْ خَشِيَ عَلِيّ أَنْ يَحْمِل غَيْره النَّهْي عَلَى التَّحْرِيم فَأَشَاعَ
جَوَاز ذَلِكَ ، وَكُلّ مِنْهُمَا مُجْتَهِد مَأْجُور
“Dalam kisah ‘Utsmaan
dan ‘Aliy terdapat beberapa faedah, yaitu : (a) bolehnya seorang ‘aalim
menyebarkan ilmu yang ia miliki dan menampakkannya; (b) bolehnya perdebatan/diskusi
dengan penguasa dan selainnya untuk mewujudkannya bagi orang yang mampu
melakukkanya dengan tujuan menasihati kaum muslimin, serta penjelasan (satu permasalahan) melalui perkataan dan perbuatan sekaligus; (c) bolehnya beristinbaath dari nash karena
tidak samar bagi ‘Utsmaan bahwa haji tamattu’ dan qiraan
diperbolehkan dalam syari’at, namun dirinya hanyalah melarang untuk melakukan
yang lebih utama sebagaimana dilakukan juga oleh ‘Umat. ‘Aliy
khawatir pelarangan tersebut dipahami orang lain sebagai pengharaman, sehingga
ia (‘Aliy) menyiarkan (kepada khalayak) tentang kebolehannya. Dan keduanya
(‘Utsmaan dan ‘Aliy) adalah mujtahid yang diberikan pahala (dengan
ijtihadnya)[6]” [Fathul-Baariy,
3/425].
3.
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa
عَنْ
سَالِم بْن عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ،
إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا "، قَالَ: فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ، قَالَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ،
فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا، مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ، وَقَالَ:
أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
Dari Saalim bin
‘Abdillah : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar
Rasulullah ﷺ
bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke
masjid-masjid apabila mereka meminta izin kalian pergi ke sana”. Saalim berkata
: “Bilaal bin ‘Abdillah berkata : ‘Demi Allah, kami akan melarang mereka (pergi
ke masjid)”. Saalim berkata : “Maka ‘Abdullah menghadap kepadanya, lalu
mencacinya dengan cacian yang jelek yang belum pernah aku mendengarnya seperti itu
sedikitpun. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : ‘Aku mengkhabarkan kepadamu dari
Rasulullah ﷺ,
sedangkan engkau mengatakan ‘demi Allah, sungguh kami akan melarangnya’!!”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 442].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa mengingkari anaknya (Bilaal) dengan pengingkaran yang sangat keras
karena perkataannya yang sangat cepat dalam menyanggah/menentang sabda Nabi ﷺ yang disampaikannya dengan ra’yu/pendapatnya. Padahal alasan Bilaal
bisa dikatakan ‘masuk akal’, sebagaimana riwayat Muslim yang lain:
لَا
نَدَعُهُنَّ يَخْرُجْنَ فَيَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا
“Kami tidak akan
membiarkan mereka keluar, sehingga kesempatan itu mereka pergunakan untuk
melakukan dosa[7]” [selesai].
Al-‘Adhiim
Al-Aabaadiy rahimahullah menjelaskan:
وَإِنَّمَا
أَنْكَرَ عَلَيْهِ اِبْن عُمَر لِتَصْرِيحِهِ بِمُخَالَفَةِ الْحَدِيث . وَأُخِذَ
مِنْ إِنْكَار عَبْد اللَّه عَلَى وَلَده تَأْدِيب الْمُعْتَرِض عَلَى السُّنَن
بِرَأْيِهِ وَعَلَى الْعَالِم بِهَوَاهُ ، وَتَأْدِيب الرَّجُل وَلَده ، وَإِنْ
كَانَ كَبِيرًا إِذَا تَكَلَّمَ بِمَا لَا يَنْبَغِي لَهُ ، وَجَوَاز التَّأْدِيب
بِالْهِجْرَانِ
“Ibnu ‘Umar hanyalah
mengingkarinya (Bilaal) karena perkataannya yang terang-terangan menyelisihi
hadits. Diambil faedah dari pengingkaran ‘Abdullah terhadap anaknya tersebut : (a)
(disyari’atkannya) pemberian pengajaran/adab terhadap orang yang
menolak/menentang sunnah dengan ra’yu/pendapatnya semata dan (yang menentang)
seorang ‘aalim dengan hawa nafsunya; (b) pengajaran/adab seseorang
kepada anaknya, meskipun anaknya tersebut telah dewasa jika ia berbicara dengan
sesuatu yang tidak seharusnya (tidak sopan/beradab); serta (c) bolehnya pengajaran/adab
(terhadap seseorang) dengan cara hajr (boikot)” [‘Aunul-Ma’buud, 2/193].
NB : Bilaal bin
‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah seorang ulama dan fuqahaa’ yang tsiqah
generasi taabi’iin. Ia dimasukkan Yahyaa Al-Qaththaan diantara fuqahaa’
penduduk Madiinah [Tahdziibut-Tahdziib, 1/504].
4.
‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu
عَنْ
أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، قَالَ:
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ "
فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ
وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari Abis-Sawwaar
Al-‘Adawiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Imraan bin Hushain berkata : Telah
bersabda Nabi ﷺ : “Malu tidak mendatangkan kecuali
kebaikan”. (Mendengar itu), lalu Busyair bin Ka’b berkata : “Tertulis di
dalam lembaran ahli hikmah : ‘Sesungguhnya sebagian dari malu adalah kewibaan
dan sebagian dari malu adalah ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku mengatakan
kepadamu hadits dari Rasulullah ﷺ, namun engkau malah mengatakan kepadaku
dari lembaranmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117].
Ketika ‘Imraan bin
Hushain menyebutkan hadits Nabi ﷺ tentang keutamaan sifat malu, Busyair bin
Ka’b hanya menyebutkan keutamaan lain tambahan dari sifat malu dari
lembaran hikmah yang ia baca. Tidak ada yang salah darinya, dan bahkan
perkataan hikmah tersebut baik. Namun bagaimana sikap ‘Imraan ?.
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah menjelaskan:
وَقَالَ
الْقُرْطُبِيّ : .... وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ سَاقَهُ
فِي مَعْرِض مَنْ يُعَارِض كَلَام الرَّسُول بِكَلَامِ غَيْره ، وَقِيلَ إِنَّمَا
أَنْكَرَ عَلَيْهِ كَوْنه خَافَ أَنْ يَخْلِط السُّنَّة بِغَيْرِهَا
“Al-Qurthubiy berkata
: ‘…. Perkataan tersebut hanyalah diingkari ketika ia dibawakan pada waktu orang menentang perkataan Rasulullah ﷺ dengan perkataan selainnya. Dan dikatakan
: Perkataan tersebut diingkari karena dikhawatirkan tercampurnya sunnah dengan
selainnya” [Fathul-Baariy, 10/522].
Dan bagaimana pula seandainya perkataan selain dari Nabi ﷺ itu nyata-nyata berlawanan dengan hadits
Nabi ﷺ
?.
Hadits ini juga dapat
diambil faedah bahwa satu hukum apabila telah shahih dan jelas maksud/maknanya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka asalnya tidak membutuhkan selain keduanya
karena telah mencukupi.[8]
5.
‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، يَقُولُ: لَأَنْ أُصْبِحَ مُطَّلِيًا بِقَطِرَانٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ
أَنْ أُصْبِحَ مُحْرِمًا أَنْضَخُ طِيبًا، قَالَ: فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَأَخْبَرْتُهَا بِقَوْلِهِ، فَقَالَتْ: " طَيَّبْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَطَافَ فِي نِسَائِهِ، ثُمَّ أَصْبَحَ مُحْرِمًا "
Dari Muhammad bin Al-Muntasyir,
ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, aku berlumuran dengan
ter lebih aku sukai daripada aku berihram dalam keadaan dengan memakai wewangian".
Muhammad bin Muntasyir berkata : Lalu aku menemui ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa, kemudian aku memberitahukannya tentang perkataan Ibnu ‘Umar
tersebut. ‘Aaisyah berkata : "Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah
ﷺ,
lalu beliau menemui istri-istrinya, dan kemudian setelah itu pada pagi harinya
beliau berihram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1192].
Dalam riwayat lain
disebutkan lafadh jawaban ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
يَرْحَمُ
اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَيَطُوفُ
عَلَى نِسَائِهِ، ثُمَّ يُصْبِحُ مُحْرِمًا يَنْضَخُ طِيبًا
“Semoga Allah
merahmati Abu ‘Abdirrahmaan. Dulu aku pernah memakaikan wewangian kepada
Rasulullah ﷺ,
lalu beliau menemui istri-istrinya. Kemudian di pagi harinya beliau dalam
keadaan berihram dengan memerciki wewangian (di tubuhnya)” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 267, Ahmad 6/175, dan Ibnu Khuzaimah no. 2588].
Dalam riwayat lain
ditambahkan lafadh:
فَسَكَتَ
ابْنُ عُمَرَ
“Maka Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa pun terdiam” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy 1/264 no. 218
dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/132 no. 3613; shahih].
Dulu, ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah melarang orang yang berihram
memakai wewangian sebelum niat ihram dan sebelum thawaf ifadlah setelah
melempar jumrah. Belum sampai kepada ‘Umar hadits ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhumaa sebagaimana di atas yang menjelaskan bahwa ‘Aaisyah pernah
memberikan wewangian kepada Rasulullah ﷺ sebelum berihram untuk ihram beliau dan
sebelum thawaf ifadlah[9].
Dan begitu juga hal itu belum diketahui oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa. Ketika sampai khabar bahwa keduanya melarangnya, maka ‘Aaisyah menjelaskan
haditsnya. Dan dalam riwayat lain, ia merespon dengan jawaban:
أَنَا
طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ تُتَّبَعَ
“Aku memakaikan
wewangian kepada Rasulullah ﷺ, dan sunnah Rasulullah ﷺ lebih berhak
untuk diikuti” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2938;
shahih].
فَسُنَّةُ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِهَا مِنْ سُنَّةِ عُمَر
“Maka sunnah
Rasulullah ﷺ lebih berhak untuk diambil daripada sunnah
‘Umar radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aani;-Aatsaar, 2/231 no. 4044; shahih].
Perkataan ini selaras
dengan firman Allah ﷻ :
قُلْ
هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي
لِلْحَقِّ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمْ مَنْ لا
يَهِدِّي إِلا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Katakanlah:
"Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada
kebenaran?" Katakanlah: "Allah-lah yang menunjuki kepada
kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu
lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila)
diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil
keputusan?” [QS. Yuunus : 35].
Tidak ada seorang pun
setelah Rasulullah ﷺ yang terkumpul padanya semua pengetahuan
tentang sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وليس
أحد بعد رسول الله ﷺ إلاّ وقد خفيت عليه بعض سُنة رسول الله من الصحابة فمن بعدهم
“Tidak ada seorang
pun sepeninggal Rasulullah ﷺ dari kalangan shahabat dan orang-orang
setelah mereka, kecuali pasti akan tersembunyi padanya sebagian sunnah
Rasulullah ﷺ”.
Kemudian Ibnul-Qayyim
rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut:
وصدق
أبو عمر رضي الله عنه ؛ فإن مَجموع سُنة رسول الله مِن أقواله وأفعاله وإقراره لا
يوجد عند رجل واحد أبدا ، ولو كان أعلم أهل الأرض
“Dan benarlah Abu
‘Umar (yaitu : Ibnu ‘Abdil-Barr – Abul-Jauzaa’) radliyallaahu
‘anhu, karena seluruh sunnah Rasulullah ﷺ berupa perkataan, perbuatan, dan iqraar
(pengakuan) tidak akan didapatkan pada satu orang selamanya, meskipun dirinya
orang yang paling ‘alim dari penduduk bumi” [Ash-Shawaa’iqul-Mursalah,
2/553].
Dengan demikain, sangat mungkin satu sunnah tidak diketahui/luput dari seorang ulama namun didapatkan pada selain dirinya.
Contoh : Terluput
dari Asy-Syaafi’iy rahimahullah hadits sutrah Nabi ﷺ dengan binatang. Ketika membahas perkataan
Asy-Syaafi’iy : ‘tidak boleh bersutrah dengan wanita dan binatang’, maka
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما
الدابة ففى الصحيحين عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي ﷺ كان يعرض راحلته فيصلي
إليها " زاد البخاري في روايته " وكان ابن عمر يفعله " ولعل
الشافعي رحمه الله لم يبلغه هذا الحديث وهو حديث صحيح لا معارض له فيتعين العمل به
لاسيما وقد أوصانا الشافعي رحمه الله بأنه إذا صح الحديث فهو مذهبه
“Adapun binatang, maka dalam Shahiihain
dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : ‘Bahwasannya Nabi ﷺ melintangkan hewan kendaraannya di
hadapannya dan kemudian shalat menghadapnya’. Al-Bukhaariy menambahkan dalam
riwayatnya : ‘’Ibnu ‘Umar juga pernah melakukannya’. Kemungkinan belum sampai
hadits tersebut kepada Asy-Syaafi’iy, dan hadits tersebut adalah hadits shahih
yang tidak pertentangan padanya sehingga mesti diamalkan. Terlebih lagi,
Asy-Syaafi’iy rahimahulah pernah berwasiat kepada kita bahwa apabila
telah shahih sebuah hadits, maka itu adalah madzhabnya” [Al-Majmuu’,
3/248].
Terluput dari Maalik bin
Anas rahimahullah hadits larangan minum minum langsung dari siqaa’/qirbah[10],
sebagaimana disitir oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah:
فَقَدْ
نَقَلَ اِبْن التِّين وَغَيْره عَنْ مَالِك أَنَّهُ أَجَازَ الشُّرْب مِنْ
أَفْوَاه الْقِرَب وَقَالَ : لَمْ يَبْلُغنِي فِيهِ نَهْي
“Ibnut-Tiin dan yang
lainnya menukil dari Maalik bahwa ia membolehkan minum dari mulut qirbah seraya
berkata : ‘Belum sampai larangan padaku dalam permasalahan itu” [Fathul-Baariy,
10/91].
6.
‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah
أَخْبَرَنَا
الْحَسَنُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا الْمُعَافَى، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ:
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ الله تَعالَيَ: " إِنَّهُ لَا
رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَإِنَّمَا رَأْيُ الْأَئِمَّةِ فِيمَا لَمْ
يَنْزِلْ فِيهِ كِتَابٌ، وَلَمْ تَمْضِ بِهِ سُنَّةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَا
رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ "
Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’aafaa,
dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ta’ala pernah
menulis : 'Tidak boleh ada pendapat seseorang tentang perkara yang telah
ditetapkan dalam Kitabullah. Pendapat para imam hanyalah pada perkara yang
tidak ada ketetapannya dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah ﷺ. Dan tidak ada pendapat seorang pun dalam
perkara yang telah ditetapkan dalam sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasullah
ﷺ”
[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy hal. 401 no. 446; sanadnya hasan].
7.
Maalik bin Anas rahimahullah
عَنْ
عُثْمَان بْن عُمَرَ، : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ،
فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ:
أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dari ‘Utsmaan bin
‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya
kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda
Rasulullah ﷺ begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata
: “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy
dalam Al-Madkhal no. 236, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’
6/326, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 294].
Maalik tidak mau dan
marah ketika perkataannya ingin dihadapkan dengan sabda Nabi ﷺ.[11]
Tidak boleh ada pendapat seorang pun sejajar dengan sabda beliau ﷺ.
إذا
ورد الأثر بطل النظر
“Apabila telah tetap
nash, batallah segala pendapat”.
8.
Wakii’ bin Al-Jarraah
rahimahullah
At-Tirmidziy rahimahullah
berkata:
وسَمِعْت
أَبَا السَّائِبِ، يَقُولُ: كُنَّا عِنْدَ وَكِيعٍ، فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ
مِمَّنْ يَنْظُرُ فِي الرَّأْيِ: أَشْعَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَيَقُولُ أَبُو
حَنِيفَةَ هُوَ مُثْلَةٌ، قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ
إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: الْإِشْعَارُ مُثْلَةٌ، قَالَ:
فَرَأَيْتُ وَكِيعًا غَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: أَقُولُ لَكَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ، ثُمَّ
لَا تَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَنْ قَوْلِكَ هَذَا
Dan Aku mendengar Abus-Saaib,
ia berkata : “Ketika kami bersama Waki', ia berkata kepada seorang laki-laki di
sisinya yang berpegang pada ra’yu[12]
: ‘Rasulullah ﷺ pernah memberi tanda pada
hewan, sedangkan Abu Haniifah mengatakannya perbuatan itu termasuk mutslah’. Orang itu berkata : ‘Sesungguhnya hal tersebut telah
diriwayatkan dari Ibraahiim An-Nakha’iy bahwa ia mengatakan memberi tanda pada hewan
termasuk mutslah’. Abus-Saaib berkata : Maka aku melihat Wakii’ sangat
marah seraya berkata : ‘Aku katakan padamu ‘telah bersabda Rasulullah,
dan engkah katakan ‘telah berkata Ibraahiim’ ?. Sungguh engkau pantas
untuk dipenjara dan tidak dikeluarkan sampai engkau menarik ucapanmu itu"
[Al-Jaami’ Al-Kabiir/Sunan At-Tirmidziy, 2/239-240].
9.
Dan lain-lain.
Sikap
para imam di atas perlu diteladani oleh kaum muslimin semuanya sebagai bentuk
pengagungan terhadap nash. Apabaila datang kepadanya pilihan : ‘Al-Qur’an
dan As-Sunnah, ataukah pendapat Fulaan ?’; tentu kita akan memilih Al-Qur’an
dan As-Sunnah sebagaimana sikap yang tergambar dari para imam dalam riwayat-riwayat
di atas. Tidak mungkin dan tidak akan sanggup kita mengatakan ‘aku pilih pendapat
Fulaan dan aku tinggalkan nash’.
Oleh
karena itu, ketika seorang yang awam hendaknya bertanya kepada seorang hakim/ustadz
yang ia percayai jika ada perkara agama yang tidak ia ketahui sebagai
implementasi firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
[QS. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiyaa’ : 7].
Apabila
si hakim/ustadz telah menjelaskan hukum beserta dalil-dalilnya, maka jawaban
tersebut hendaknya ia ambil.
Jika
setelah itu datang kepadanya orang yang membantah bahwa ulama/kiyai Fulaan
berpendapat begini dan begitu tanpa menyertakan dalil, maka tidak patut baginya
berpegang pada pendapat yang tidak menyertakan dalil.
‘Ulama/kiyai
Fulaan lebih memahami dalil daripada ustadz Anda serta lebih ‘alim daripada
Anda dan ustadz Anda’.
Ini
perkataan satir yang sering diucapkan kepada orang yang beramal dengan dalil.
Pertanyaannya
adalah : Apakah Anda mengetahui dalil yang dipakai ulama Fulaan tersebut?.
Jika tidak, lantas bagaimana si orang awam dapat yakin bahwa dalam hal
ini ulama Fulaan – misalnya saja Asy-Syaafi’iy rahimahullah – berada
dalam kebenaran tanpa tahu dasar dalilnya dari si penyanggah ?. Sementara kita
ketahui dari contoh di atas, ada sebagian sunnah yang tidak sampai kepada ulama. Jika
si penyanggah bisa berhusnudhdhan pada Asy-Syaafi’iy rahimahullah, bukankah
orang awam tersebut juga bisa berhusnudhdhan kepada ustadz/hakim yang ia tanya
bahwa ustadznya lebih ‘alim terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat Asy-Syaafi’iy
daripada si penyanggah ?. Ketika Ibnu Hazm berkomentar terhadap ‘Urwah yang menyanggah
Ibnu ‘Abbaas :
وَنَحْنُ نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ
عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ
مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami
katakan kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas)
lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu”
maka hal
yang sama dapat dikatakan kepada si penyanggah:
“Si
hakim/ustadz lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan Asy-Syaafi’iy daripadamu.
Ia lebih dikedepankan terhadap keduanya daripadamu”
Ya,…
sangat logis karena orang awam tersebut bertanya kepada orang yang ia percayai,
ia anggap berilmu dalam masalah agama. Ini sudah cukup baginya.
Kecuali
dirinya mampu melakukan penelaahan lanjutan atau bertanya kepada hakim/ustadz
lain untuk membandingkannya dan kemudian mengambil apa yang membuat hatinya lebih
dari jawaban yang diberikan, maka ini lebih utama[13]
Satu
catatan penting, ittibaa’ kepada dalil bukan berarti meninggalkan
perkataan ulama. Banyak orang yang memberikan tuduhan kosong bahwa ketika kita
mengutamakan pendalilan, kita meninggalkan perkataan ulama. Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah telah membantahnya dengan jawaban
yang sangat bagus sebagai berikut :
إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو
باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على
خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب
والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث
طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية
والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها
من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير
أو المصلحة - زعموا - وما أحسن قول سليمان التيمي رحمه الله تعالى:
(إن أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك
الشر كله)
رواه ابن عبد البر (٢/٩١-٩٢) وقال عقبة :
( هذا إجماع لا
أعلم فيه خلافا )
فهذا الذي ننكره وهو وفق الإجماع كما ترى
وأما الرجوع إلى أقوالهم والاستفادة منها
والاستعانة بها على تفهم وجه الحق فيما اختلفوا فيه مما ليس عليه نص في الكتاب
والسنة أو ما كان منها بحاجة إلى توضيح فأمر لا ننكره بل نأمر به ونحض عليه لأن
الفائدة منه مرجوة لمن سلك سبيل الاهتداء بالكتاب والسنة.
قال العلامة ابن عبد البر رحمه الله تعالى (٢/١٧٢):
( فعليك يا أخي بحفظ الأصول
والعناية بها واعلم أن من عني بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن ونظر في
أقاويل الفقهاء - فجعله عونا له على اجتهاده ومفتاحا لطرائق النظر وتفسيرا لجمل
السنن المحتملة للمعاني - ولم يقلد أحدا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها
على كل حال دون نظر ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها
واقتدى بها في البحث والتفهم والنظر وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه
وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرؤوا أنفسهم
منه فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح وهو المصيب لحظه والمعاين لرشده
والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم
ومن أعف نفسه من النظر وأضرب عما ذكرنا
وعارض السنن برأيه ورام أن يردها إلى مبلغ نظره فهو ضال مضل ومن جهل ذلك كله أيضا
وتقحم في الفتوى بلا علم فهو أشد عمى وأضل سبيلا).
“Anggapan
ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat
nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu.
Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan
hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang
menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat
kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan
hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar
kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang
terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan
yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka
hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”.
Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir
(kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap. Oleh karena itu, sungguh
tepat apa yang dikatakan Sulaiman At-Taimiy rahimahullahu ta’ala :
‘Apabila
engkau mengambil keringanan (rukhshah) dari setiap orang ‘alim,
maka terkumpullah padamu setiap keburukan’.
Diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Abdil-Barr (2/91-92). Kemudian ia berkomentar :
‘Ini
adalah satu ijma’ yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya’.
Inilah
yang kami ingkari, dimana hal itu berkesesuaian dengan ijma’ sebagaimana yang
engkau lihat.
Adapun
ruju’ (kembali) kepada perkataan mereka (para ulama), mengambil faedah dalam
memahami sisi kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan yang tidak ada
nash-nya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalam rangka memahami sesuatu yang
membutuhkan penjelasan; maka hal itu sama sekali tidak kami ingkari. Bahkan
kami turut memerintahkannya dan menganjurkannya, karena faedah yang ada padanya
diharapkan oleh orang yang menempuh jalan petunjuk dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Al-‘Allamah
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullahu ta’ala berkata (2/172) :
‘Wajib
bagimu - wahai saudaraku - untuk menjaga dan memperhatikan ushul (prinsip) ini.
Ketahuilah, bahwa orang-orang yang menjaga sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang
di-nash-kan dalam Al-Qur’an, dan melihat berbagai perkataan fuqahaa’
– yang kemudian ia jadikan sebagai penolong dalam ijtihadnya, pembuka
jalan-jalan penelitiannya, dan penjelas sunnah-sunnah yang mempunyai berbagai
kemungkinan makna – tanpa bersikap taqlid kepada seorang pun di antara mereka
sebagaimana layaknya ia ‘bertaqlid’ kepada nash-nash As-Sunnah yang memang
wajib diikuti dalam segala keadaan tanpa banyak pertimbangan/penelitian; tidak
merasa puas dengan apa yang telah diambil, dihafal, dan diperhatikan para
ulama; mengikuti mereka (para ulama) dalam pemahaman, pembahasan, dan
penelitian; berterima kasih kepada mereka atas berbagai faedah yang diberikan
dan berbagai peringatan mereka; serta memuji mereka atas kebenaran yang
mendominasi perkataan mereka; serta tidak membebaskan mereka dari segala
kesalahan/ketergelinciran sebagaimana mereka tidak membebaskan hal itu pada
diri mereka sendiri; maka dia adalah penuntut ilmu yang berpegang teguh dengan
apa yang as-salafush-shaalih berada di atasnya. Dia adalah orang yang benar
dalam hal penjagaannya (terhadap agama), saksi atas petunjuk Allah bagi
dirinya, dan muttabi’ (orang yang mengikuti) atas sunnah Nabinya ﷺ serta para shahabatnya radliyallaahu
‘anhum.
Barangsiapa
memaafkan dirinya untuk melakukan penelitian, menyimpang dari apa yang telah
kami sebutkan, serta berpaling dari sunnah-sunnah kepada akalnya dan bermaksud
mengembalikannya kepada kadar pandangannya; maka ia adalah orang yang sesat dan
menyesatkan. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui semua itu dan mencela fatwa
tanpa ada pengetahuan, maka ia adalah orang yang lebih buta dan lebih sesat
jalannya’.
[Shifat Shalat Nabi minat-Takbiiri ilat-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa,
hal. 69-70].
Semua
perkataan tentang syari’at, tidak boleh keluar dari pemahaman salaf dan para
ulama terdahulu, baik yang mereka sepakati maupun yang mereka perselisihkan.
Muhammad
bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
إِذَا اجْتَمَعُوا أَخَذْنَا
بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَإِنْ قَالَ وَاحِدُهُمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ غَيْرُهُ
أَخَذْنَا بِقَوْلِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفُوا أَخَذْنَا بِقَوْلِ بَعْضِهِمْ وَلَمْ
نُخَرِّجْ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ كُلِّهِمْ
“Apabila
para shahabat bersepakat, maka kami ambil kesepakatan mereka tersebut. Apabila
salah seorang di antara mereka berpendapat tanpa ada yang menyelisihi, kami pun
mengambil pendapatnya. Apabila mereka berselisih, maka kami mengambil perkataan
sebagian di antara mereka dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka
itu semuanya” [Al-Madkhal ilas-Sunan Al-Kubraa, 1/45].
Kita
rujuk seperti rujuknya para ulama yang mengikuti dalil yang lebih kuat, tidak terbelenggu dalam kotak (ta'ashshub) madzhab. Tidak mungkin kebenaran selamanya ada di lisan satu orang ulama dan menetap pada satu madzhab. Sebagaimana Zufar bin Al-Hudzail Al-Kuufiy Al-Hanafiy –
pembesar madzhab Hanafiyyah – yang pernah rujuk dan keluar dari pendapat
madzhabnya dalam masalah muslim yang membunuh orang kafir.
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَذَكَرَ أَبُو عُبَيْد بِسَنَدٍ صَحِيح
عَنْ زُفَرَ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْل أَصْحَابه فَأَسْنَدَ عَنْ عَبْد الْوَاحِد
بْن زِيَاد قَالَ : قُلْت لِزُفَرَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ تُدْرَأُ الْحُدُود
بِالشُّبُهَاتِ فَجِئْتُمْ إِلَى أَعْظَمِ الشُّبُهَات فَأَقْدَمْتُمْ عَلَيْهَا
الْمُسْلِمُ يُقْتَل بِالْكَافِرِ ، قَالَ : فَاشْهَدْ عَلَى أَنِّي رَجَعْت
“Abu
‘Ubaid menyebutkan riwayat dengan sanad shahih dari Zufar, bahwasannya ia rujuk
dari perkataan ulama Hanafiyyah. Ia (Abu ‘Ubaid) menyebutkan sanadnya dari
‘Abdul-Waahid bin Ziyaad, ia berkata : Aku berkata kepada Zufar : ‘Sesungguhnya
engkau mengatakan huduud dibatalkan karena syubuhaat, lalu engkau datang
dengan sebesar-besar syubuhaat. Engkau tuntut seorang muslim untuk dibunuh
dengan sebab membunuh orang kafir’. Zufar berkata : ‘Persaksikanlah bahwa
sesungguhnya aku rujuk (dari pendapatku semula)[14]”
[Fathul-Baariy, 12/262].
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab. Semoga ada manfaatnnya.
[abul-jauzaa’
– 14 Syawwal 1439].
أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ
بِهِمُ الأرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ
“Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa
aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau
datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari” [QS. An-Nahl : 45].
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa
Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu berguncang?” [QS. Al-Mulk : 16].
أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ
عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ وَكِيلا
“Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang
menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin
keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang
pelindung pun bagi kamu” [QS. Al-Israa’ : 68].
[3] Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu
‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak
salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah
ke-8, dan meninggal tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 436 no. 2802].
[4] Ibnu Hazm rahimahullah membawakan
sanadnya dari Ayyuub langsung kepada ‘Urwah, tanpa melalui perantaraan Ibnu Abi
Mulaikah. Ini keliru, karena yang benar adalah melalui perantaraan Ibnu Abi
Mulaikah sebagaimana riwayat-riwayat yang lain. Wallaahu a’lam.
قلت:
ما قصد عروة معارضة النبي صلى الله عليه وسلم بهما، بل رأى أنهما ما نهيا عن
المتعة إلا وقد اطلعا على ناسخ.
“Aku katakan :
‘Urwah tidak bermaksud menolak/membantah Nabi ﷺ,
akan tetapi dirinya memandang keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar) tidak melarang tamattu’
kecuali keduanya melihat/mengetahui adanya naasikh” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 15/243].
إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila
seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua
pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru,
baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352 dan Muslim
no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu].
[7] Berupa kerusakan, penipuan, dan timbulnya
keragu-raguan (suami terhadap istrinya) [lihat : Syarh Shahiih Muslim
lin-Nawawiy, 4/162].
[8] Begitu juga seandainya ada kebaikan atau
faedah yang terdapat pada ulama Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah, maka kita hanya
mencukupkan diri pada ulama Ahlus-Sunnah.
[9] ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata:
كُنْتُ
أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ
أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
“Aku pernah memakaikan
wewangian kepada Rasulullah ﷺ untuk
ihramnya ketika berihram, dan (memakaikan wewangian) untuk tahallul
beliau sebelum thawaf (ifadlah) di Ka’bah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1539].
طَيَّبْتُ
النَّبِيَّ ﷺ بِيَدِي لِحُرْمِهِ، وَطَيَّبْتُهُ بِمِنًى قَبْلَ أَنْ يُفِيضَ
“Aku pernah memakaikan
wewangian kepada Nabi ﷺ dengan
tanganku untuk ihramnya, dan aku pun memakaikan wewangian kepada beliau ﷺ di Mina sebelum thawaf ifadlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 5922].
[10] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ، وَأَنْ
يَمْنَعَ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي دَارِهِ
“Rasulullah
ﷺ melarang minum
dari mulut qirbah atau siqaa’ dan melarang seseorang mencegah tetangganya
menyandarkan kayu di rumahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
5627-5628, Ibnu Maajah no. 3420, Ad-Daarimiy no. 2164, dan yang lainnya].
Pembahasan
selengkapnya silakan baca artikel : Minum
dari Qirbah/Siqaa’/Botol.
[11] Sebagai suplemen, silakan baca artikel : Atsar
Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang Bid’ah.
[12] Ahlur-ra’yi, yaitu madzhab penduduk
Kuufah (Hanafiyyah).
[13] Jika ada orang awam meminta fatwa kepada dua
orang 'alim, dan ternyata dua orang 'alim ini memberikan fatwa yang berbeda;
maka bagaimana yang seharusnya dilakukan orang awam tersebut ?. Dalam hal ini
ada 2 kondisi.
Pertama,
jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna/dalam pemahamannya,
maka wajib baginya untuk bertanya kepada orang lain pendapat mereka tentang
jawaban 2 mufti tersebut dan hujjah mereka terhadap masing-masingnya. Lalu
orang awam tersebut mengambil yang RAJIH (menurutnya). (Kedua)
apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia
belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang
lebih utama diantara 2 mufti tersebut (menurutnya).
Dikatakan
: dirinya bebas mengambil fatwa dari 2 orang mufti itu. Ini (pun) pendapat yang
benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya
hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang 'alim yang terpercaya
(menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi.
Inilah
ringkasan penjelasan dari Abu 'Abdillah Az-Zubair bin Ahmad Az-Zubairiy yang
dibawakan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahumullah dalam Al-Faqiih
wal-Mutafaqqih (2/431-432). Atsar terakhir dalam kitabnya tersebut.
[14] Jumhur ulama berpendapat dengan hadits tentang
tidak dibunuhnya muslim (sebagai qishash) karena membunuh orang kafir.
Masyhur dalam madzhab Hanafiyyah penyelisihan terhadap jumhur dimana mereka
berpendapat seorang muslim yang membunuh kafir dzimmiy mesti dibunuh juga.
Dalil yang dipakai jumhur adalah hadits:
عَنْ
أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ،
قَالَ: وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا
فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ، وَمَا فِي هَذِهِ
الصَّحِيفَةِ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفَكَاكُ
الْأَسِيرِ، وأن لا يقتل مسلم بكافر
Dari Abu Juhaifah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Apakah
kalian menyimpan wahyu lain selain yang ada dalam Kitabullah?". Ia
menjawab : "Demi Dzat Yang telah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan Yang
menciptakan jiwa, aku tidak mengetahuinya kecuali pemahaman yang Allah telah
berikan kepada seseorang tentang Al-Qur'an dan yang terdapat dalam lembaran
ini". Aku bertanya : "Apa yang ada dalam shahifah tersebut?". Ia
menajwab : "Pembayaran diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuhnya
seorang muslim karena membunuh orang kafir" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3046].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar