28 Juni 2018

Jangan Mendahului Allah dan Rasul-Nya


Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al-Hujuraat : 1].
Ayat ini merupakan pokok dalam agama kita yang mengandung adab terhadap Allah dan Rasul-Nya . Membangun manhaj ‘aqidah dan cara pandang seorang muslim dalam menyikapi nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengagungkannya, mengutamakannya, tunduk kepadanya, dan tidak pernah menomorduakannya di bawah perkataan/pendapat selainnya.

Ada beberapa penjelasan dari kalangan ulama mengenai ayat ini, diantara :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ فِي قَوْلِهِ: لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لا تَقْضُوا أَمْرًا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa (Adz-Dzuhliy) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf (Al-Faryaabiy), ia berkata : Telah berkata Sufyaan (Ats-Tsauriy, w. 161 H) tentang ayat ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan perkara tanpa (sunnah) Rasulullah ” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 669 no. 730; shahih].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ، ثنا أَبُو وَهْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُزَاحِمٍ، ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ يَعْنِي بِذَلِكَ فِي شَأْنِ الْقِتَالِ، وَمَا يَكُونُ مِنْ شَرَائِعِ دِينِهِمْ، يَقُولُ: لا تَقْضُوا فِي ذَلِكَ شَيْئًا إِلا بِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلا تَقْطَعُوا دُونَهُ أَمْرًا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah : Telah menceritakan kepada kami Abu Wahb Muhammad bin Muzaahim : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Yaitu dalam urusan perang dan semua hal yang ada dalam syari’at agama mereka”. Ia melanjutkan : “Jangan memutuskan sesuatupun dalam perkara tersebut kecuali dengan perintah Rasulullah , dan jangan menetapkan satu perkara tanpanya” [idem, hal. 666-667 no. 727; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ: لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا تَقُولُوا خِلافَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan mengatakan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah” [idem, hal. 661 no. 715].
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ قَالَ: ثَنَا الْحَسَنُ قَالَ: ثَنَا وَرْقَاءُ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، قَالَ: لا تَفْتَاتُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِشَيْءٍ حَتَّى يَقْضِيَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِهِ.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Al-Haarits (bin Muhammad bin Abi Usaamah), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan (bin Muusaa Al-Asyyab), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’; keduanya dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid (w. 101 H). tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan memotong pembicaraan Rasulullah dengan sesuatu hingga Allah memutuskan hal tersebut pada lisannya ” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 21/336 – tahqiq At-Turkiy; shahih].
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ زَيْدٍ فِي قَوْلِ اللَّهِ ﷻ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا تَقْطَعُوا الأَمْرَ دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.
Telah menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid (w. 153 H) tentang firman Allah : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan satu perkara tanpa (nash) Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/337; shahih].
Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H) menafsirkan:
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ) : يا أيها الذين أقرّوا بوحدانية الله، وبنبوّة نبيه محمد ﷺ( لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ) يقول: لا تعجلوا بقضاء أمر في حروبكم أو دينكم، قبل أن يقضي الله لكم فيه ورسوله، فتقضوا بخلاف أمر الله وأمر رسوله
“(Hai orang-orang yang beriman), maksudnya : wahai orang-orang yang mengakui keesaan Allah dan kenabian nabinya Muhammad ; (janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya), yaitu jangan tergesa-gesa untuk memutuskan perkara dalam peperangan atau agama kalian sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskan padanya, sehingga kalian memutuskannya menyelisihi perkara/hukum Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/335].
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah (w. 543 H) berkata:
قوله تعالى: " لا تقدموا بين يدي الله " أصل في ترك التعرض لاقوال النبي صلى الله عليه وسلم، وإيجاب اتباعه والاقتداء به
“Firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1) merupakan dasar/pokok untuk meninggalkan sikap pertentangan dengan sabda Nabi serta wajibnya ber-ittibaa’ kepada beliau dan meneladaninya” [Ahkaamul-Qur’aan, 4/145; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ibnu Katsiir rahimahullah (w. 774 H) berkata:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ [وَاتَّقُوا اللَّهَ ] }، أي:  لا تسرعوا في الأشياء بين يديه، أي: قبله، بل كونوا تبعا له في جميع الأمور، حتى يدخل في عموم هذا الأدب الشرعي.
“Firman Allah : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1), yaitu jangan tergesa-gesa dalam sesuatu sebelum Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi jadilah orang yang mengikutinya dalam segala perkara, hingga masuk dalam keumuman adab syar’iy ini” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 13/137; Muassasah Qurthubah].
Al-Khaazin rahimahullah (w. 725 H) berkata:
قوله عز وجل : { يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله } من التقديم أي لا ينبغي لكم أن يصدر منكم تقديم أصلاً . وقيل : لا تقدموا فعلاً بين يدي الله ورسوله . والمعنى : لا تقدموا بين يدي أمر الله ورسوله ولا نهيهما . وقيل : لا تجعلوا لأنفسكم تقدماً عند النبي ﷺ وفيه إشارة إلى احترام رسول الله ﷺ والانقياد لأوامره ونواهيه. والمعنى : لا تعجلوا بقول أو فعل قبل أن يقول رسول الله ﷺ أو قبل أن يفعله . وقيل : لا تقولوا بخلاف الكتاب والسنة
“Dan firman-Nya : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), dalam hal taqdiim (mendahulukan); yaitu : tidak boleh bagi kalian untuk memunculkan sikap taqdiim (terhadap Allah dan Rasul-Nya). Dikatakan : ‘Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hal perbuatan’. Dan maknanya : ‘Janganlah kalian mendahului perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya’. Dikatakan juga : ‘Jangan jadikan diri kalian maju di hadapan Nabi ’. Dalam ayat ini terdapat isyarat penghormatan terhadap Rasulullah dan tundk-patuh terhadap segala perintah dan larangan. Maknanya : Jangan kalian tergesa-gesa dengan sebuah perkataan dan perbuatan sebelum dikatakan atau dilakukan oleh Rasulullah . Dikatakan juga (maknanya) : ‘Jangan berkata dengan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Tafsiir Al-Khaazin, 4/175; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah (w. 1376 H) berkata:
هذا متضمن للأدب، مع الله تعالى، ومع رسول الله صلى الله عليه وسلم، والتعظيم له ، واحترامه، وإكرامه، فأمر [الله] عباده المؤمنين، بما يقتضيه الإيمان، بالله وبرسوله، من امتثال أوامر الله، واجتناب نواهيه، وأن يكونوا ماشين، خلف أوامر الله، متبعين لسنة رسول الله ﷺ، في جميع أمورهم، و [أن] لا يتقدموا بين يدي الله ورسوله، ولا يقولوا، حتى يقول، ولا يأمروا، حتى يأمر، فإن هذا، حقيقة الأدب الواجب، مع الله ورسوله، وهو عنوان سعادة العبد وفلاحه، وبفواته، تفوته السعادة الأبدية، والنعيم السرمدي، وفي هذا، النهي [الشديد] عن تقديم قول غير الرسول صلى الله عليه وسلم، على قوله، فإنه متى استبانت سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وجب اتباعها، وتقديمها على غيرها، كائنا ما كان
“Ayat ini mengandung adab terhadap Allah dan terhadap Rasulullah , pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan terhadapnya. Maka, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya yang mukmin dengan sesuatu yang dituntut oleh keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya berupa:
1.    mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya;
2.    agar mereka berjalan di belakang perintah-perintah Allah dan mengikuti (ittibaa’) terhadap sunnah Rasulullah dalam semua urusan mereka;
3.    agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dimana ia tidak berkata (tentang agama) hingga beliau berkata, tidak memerintahkan sesuatu hingga beliau memerintahkannya.
Inilah hakekat adab wajib (bagi setiap muslim) kepada Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan tanda kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba. Jika hal ini hilang, maka akan hilang pula kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang abadi. Dalam ayat ini juga terdapat larangan yang keras untuk mendahulukan perkataan selain Rasulullah atas perkataan perkataan beliau . Karena, ketika telah jelas sunnah Rasulullah , maka wajib bagi kita untuk mengikutinya, mendahulukannya daripada selainnya, siapapun dia” [Taisiirul-Kariimir-Rahmaan, hal. 943; Daarus-Salaam].
Setelah kita memahami inti kandungan makna dari ayat di atas, berikut akan saya contohkan beberapa aplikasi yang ada di kalangan salaf rahimahumullah.
1.    ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " أَمَا تَخَافُونَ أَنْ تُعَذَّبُوا، أَوْ يُخْسَفَ بِكُمْ أَنْ تَقُولُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، وَقَالَ فُلَانٌ؟
Telah mengkhabarkan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari ayahnya, ia berkata : “Tidakkah kalian takut Allah timpakan kepada kalian adzab atau menjungkir-balikkan (bumi) kepada kalian[1] ketika kalian mengatakan : ‘Telah berkata Rasulullah dan telah berkata Fulaan?” [Diriwayatkan Ad-Daarimiy hal. 401 no. 445].
Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara Sulaimaan bin Tharkhaan (ayah Mu’tamir) dengan Ibnu ‘Abbaas radliyalaahu ‘anhumaa [It-haaful-Maharah, 7/232-233 no. 60]. Riwayat ini dikuatkan beberapa riwayat lain yang semakna :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَة، لِابْنِ عَبَّاسٍ حَتَّى مَتَى تُضِلُّ النَّاسَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؟ ! قَالَ: مَا ذَاكَ يَا عُرَيَّةُ ؟ قَالَ: " تَأْمُرُنَا بِالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَقَدْ نَهَى أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ ! فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ فَعَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ عُرْوَةُ: هما كَانَا هُمَا أَتْبَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَعْلَمَ بِهِ مِنْكَ "
Telah menceritakan kepada kami 'Affaan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : 'Urwah pernah berkata kepada Ibnu 'Abbaas : "Hingga kapan engkau menyesatkan manusia wahai Ibnu 'Abbaas ?". Ibnu 'Abbaas berkata : "Ada apa wahai 'Urayyah. 'Urwah berkata : "Engkau menyuruh kami melakukan 'umrah di bulan haji, padahal Abu Bakr dan 'Umar melarangnya !". Ibnu 'Abbaas berkata : "Sungguh, hal tersebut ('umrah di bulan-bulan haji) dilakukan oleh Rasulullah ". 'Urwah berkata : "Mereka berdua (Abu Bakr dan 'Umar) lebih ber-ittiba' kepada Rasululah dan lebih memahaminya daripada engkau" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/252; sanadnya shahih].
Penisbatan larangan ‘umrah pada bulan-bulan haji oleh ‘Urwah kepada Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa perlu diteliti kembali, karena dalam (banyak) riwayat lain yang dimaksudkan adalah larangan melakukan haji tamattu’ :
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: أُرَاهُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ " تَمَتَّعَ النَّبِيُّ ﷺ ". فَقَالَ: عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَا يَقُولُ عُرَيَّةُ؟ قَالَ: يَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ ! أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَر
Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Al-A’masy, dari Al-Fudlail bin ‘Amru. (Al-A’masy) berkata : Aku berpandangan (Al-Fudlail) dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Nabi pernah melakukan haji tamattu’”. ‘Urwah bin Az-Zubair berkata : “Abu Bakr dan ‘Umar melarang haji tamattu’”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apa yang dikatakan ‘Urayyah[2]?”. Dijawab : “Ia (‘Urwah) mengatakan : ‘Abu Bakr dan ‘Umar’ melarang haji tamattu’”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Aku berpendapat mereka akan binasa. Aku katakan : ‘Telah bersabda Nabi ’, namun ia berkata : ‘Abu Bakr dan ‘Umar telah melarangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/337; sanadnya lemah karena faktor Syariik[3]]. 
قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ حَمَّادٍ بْن زيد، عَنْ أَيُّوبَ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَةُ لابْنِ عَبَّاسٍ: وَيْحَكَ، أَضْلَلْتَ ! تَأْمُرُ بِالْعُمْرَةِ فِي الْعَشْرِ، وَلَيْسَ فِيهِنَّ عُمْرَةٌ؟ فَقَالَ: يَا عَرِيُّ، فَسَلْ أُمَّكَ. قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ لَمْ يَقُولا ذَلِكَ، وكانا أَعْلَمُ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبِعُ لَهُ مِنْكَ، فَقَالَ: مِنْ هَهُنَا تُرْمَوْنَ، نَجِيئُكُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَجِيئُونَ بِأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ 
Telah berkata Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Harb, dari Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : ‘Urwah berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Celaka engkau, engkau telah sesat. Engkau memerintahkan ‘umrah pada 10 hari awal bulan Dzulhijjah, padahal tidak ada syari’at ‘umrah di waktu tersebut”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Wahai ‘Ariy, bertanyalah kepada ibumu”. ‘Urwah berkata : “Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar tidak mengatakan demikian, dan mereka berdua lebih mengetahui (sunnah) Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Dari sinilah kalian akan dihukum. Aku datangkan dalil dari Rasulullah kepada kalian, akan tetapi kalian datangkan (sanggahannya) dari perkataan Abu Bakr dan ‘Umar” [Dibawakan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 1287; dan Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hazm dalam Hajjatul-Wadaa’ hal. 353 no. 392 dari jalan Ayyuub[4], dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
وَاللَّهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتَّى يُعَذِّبَكُمُ اللَّهُ، أُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُونَنَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، فَقَالَ عُرْوَةُ هُمَا أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبَعُ لَهَا مِنْكَ
“Demi Allah, tidaklah aku melihat kalian berhenti hingga Allah mengadzab kalian. Aku mengatakan kepada kalian (hadits) dari Rasulullah , lalu kalian mengatakan kepada kami (perkataan) dari Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Keduanya lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 1/377-378 no. 380 dari jalan Ayyuub, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
هَذَا الَّذِي أَهْلَكَكُمْ، وَاللَّهِ مَا أَرَى إِلا سَيُعَذِّبُكُمْ، إِنِّي أُحَدِّثُكُمْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ وَتَجِيئُونِي بِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. فَقَالَ عُرْوَةُ: هُمَا وَاللَّهِ كَانَا أَعْلَمَ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَاتْبَعَ لَهَا مِنْكَ،
“Inilah yang membinasakan kalian. Demi Allah, tidaklah aku melihat kecuali kalian akan diadzab Allah (dengan sebab itu). Aku mengatakan kepada kalian (hadits) dari Nabi , sementara kalian membawakan kepadaku (perkataan) Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Keduanya – demi Allah – lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 1/139 no. 21 dari jalan Ibraahiim bin Abi ‘Ablah dari Ibnu Abi Mulaikah, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas:
 أَهُمَا، وَيْحَكَ، آثَرُ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي أَصْحَابِهِ وَفِي أُمَّتِهِ؟ " فَقَالَ عُرْوَةُ: هُمَا كَانَا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنِّي وَمِنْكَ، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: فَخَصَمَهُ عُرْوَةُ،
“Apakah mereka berdua – celaka engkau (wahai ‘Urwah) - lebih engkau utamakan, ataukah nash yang ada dalam Kitabullah dan apa yang disunnahkan Rasulullah kepada para shahabatnya dan umatnya ?”. ‘Urwah menjawab : “Mereka berdua lebih mengetahui Kitabullah dan apa yang disunnahkan Rasulullah daripadaku dan dirimu”. Ibnu Abi Mulaikah berkomentar : “Maka ’Urwah tetap mendebatnya (Ibnu ‘Abbaas)” [selesai].
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah setelah membawakan riwayat dialog antara ‘Urwah dan Ibnu ‘Abbaas berkomentar:
قُلْتُ: قَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَلَى مَا وَصَفَهُمَا بِهِ عُرْوَةُ، إِلا أَنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلَّدَ أَحَدٌ فِي تَرْكِ مَا ثَبَتَتْ بِهِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
“Aku katakan : Sungguh, Abu Bakr dan ‘Umar seperti apa yang disifatkan oleh ‘Urwah (yaitu lebih utama dan berilmu). Namun tidak selayaknya bertaqlid kepada seseorang dengan meninggalkan apa yang telah tetap/shahih dalam sunnah Rasulullah ” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/378].
Maka, sekedar husnudhdhan berdasarkan pandangan umum bahwa Fulaan lebih berilmu daripada ‘Alaan (tanpa mengetahui dalil yang dibawakan Fulaan) tidak cukup untuk membantah hujjah orang yang menyampaikan dalil/nash. Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
وَنَحْنُ نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami katakan kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah , Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas) lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu. Tidak ada keraguan tentang hal tersebut bagi seorang muslim[5]” [Hajjatul-Wadaa’, hal. 354].
Perkataan seseorang – siapapun dia – yang digunakan untuk menyaingi perkataan Nabi merupakan serangan terhadap kedudukan beliau . Mengedepankan perkataan seseorang selain Nabi merupakan kedhaliman, karena kedhaliman adalah meletakkan sesuatu yang bukan pada tempat semestinya.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu mengatakan bahwa mengutamakan perkataan seseorang daripada Allah dan Rasul-Nya dapat mewariskan adzab. Ini sesuai dengan firman Allah :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
2.    ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، قَالَ: " شَهِدْتُ عُثْمَانَ، وَعَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَعُثْمَانُ يَنْهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَأَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا رَأَى عَلِيٌّ أَهَلَّ بِهِمَا لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجَّةٍ، قَالَ: مَا كُنْتُ لِأَدَعَ سُنَّةَ النَّبِيِّ ﷺ لِقَوْلِ أَحَدٍ "
Dari Marwaan bin Al-Hakam, ia berkata : Aku menyaksikan ‘Utsmaan dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa. ‘Utsmaan melarang tamattu’ dan menggabung antara keduanya (haji dan ‘umrah). Ketika ‘Aliy melihatnya, maka ia berniat ihram untuk keduanya dengan mengucapkan : “Labbaika bi-‘umratin wa hajjatin”. Kemudian ia berkata : “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Nabi karena perkataan seseorang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1562].
Tidak dipungkiri, ‘Utsmaan bin ‘Affaan lebih utama dibandingkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahumaa. Namun ketika tidak ada alasan kuat pelarangan tamattu’ berdasarkan sunnah dari Nabi , maka ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tidak bertaqlid kepada ‘Utsmaan dan meninggalkan sunnah Nabi yang ia ketahui.
Faedah:
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِي قِصَّة عُثْمَان وَعَلِيّ مِنْ الْفَوَائِد إِشَاعَة الْعَالِم مَا عِنْده مِنْ الْعِلْم وَإِظْهَاره ، وَمُنَاظَرَة وُلَاة الْأُمُور وَغَيْرهمْ فِي تَحْقِيقه لِمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ لِقَصْدِ مُنَاصَحَة الْمُسْلِمِينَ ، وَالْبَيَان بِالْفِعْلِ مَعَ الْقَوْل ، وَجَوَاز الِاسْتِنْبَاط مِنْ النَّصّ لِأَنَّ عُثْمَان لَمْ يَخْفَ عَلَيْهِ أَنَّ التَّمَتُّع وَالْقِرَان جَائِزَانِ ، وَإِنَّمَا نَهَى عَنْهُمَا لِيُعْمَلَ بِالْأَفْضَلِ كَمَا وَقَعَ لِعُمَر ، لَكِنْ خَشِيَ عَلِيّ أَنْ يَحْمِل غَيْره النَّهْي عَلَى التَّحْرِيم فَأَشَاعَ جَوَاز ذَلِكَ ، وَكُلّ مِنْهُمَا مُجْتَهِد مَأْجُور
“Dalam kisah ‘Utsmaan dan ‘Aliy terdapat beberapa faedah, yaitu : (a) bolehnya seorang ‘aalim menyebarkan ilmu yang ia miliki dan menampakkannya; (b) bolehnya perdebatan/diskusi dengan penguasa dan selainnya untuk mewujudkannya bagi orang yang mampu melakukkanya dengan tujuan menasihati kaum muslimin, serta penjelasan (satu permasalahan) melalui perkataan dan perbuatan sekaligus; (c) bolehnya beristinbaath dari nash karena tidak samar bagi ‘Utsmaan bahwa haji tamattu’ dan qiraan diperbolehkan dalam syari’at, namun dirinya hanyalah melarang untuk melakukan yang lebih utama sebagaimana dilakukan juga oleh ‘Umat. ‘Aliy khawatir pelarangan tersebut dipahami orang lain sebagai pengharaman, sehingga ia (‘Aliy) menyiarkan (kepada khalayak) tentang kebolehannya. Dan keduanya (‘Utsmaan dan ‘Aliy) adalah mujtahid yang diberikan pahala (dengan ijtihadnya)[6]” [Fathul-Baariy, 3/425].
3.    ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
عَنْ سَالِم بْن عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا "، قَالَ: فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ، قَالَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ، فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا، مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ، وَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
Dari Saalim bin ‘Abdillah : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid apabila mereka meminta izin kalian pergi ke sana”. Saalim berkata : “Bilaal bin ‘Abdillah berkata : ‘Demi Allah, kami akan melarang mereka (pergi ke masjid)”. Saalim berkata : “Maka ‘Abdullah menghadap kepadanya, lalu mencacinya dengan cacian yang jelek yang belum pernah aku mendengarnya seperti itu sedikitpun. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : ‘Aku mengkhabarkan kepadamu dari Rasulullah , sedangkan engkau mengatakan ‘demi Allah, sungguh kami akan melarangnya’!!” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 442].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa mengingkari anaknya (Bilaal) dengan pengingkaran yang sangat keras karena perkataannya yang sangat cepat dalam menyanggah/menentang sabda Nabi yang disampaikannya dengan ra’yu/pendapatnya. Padahal alasan Bilaal bisa dikatakan ‘masuk akal’, sebagaimana riwayat Muslim yang lain:
لَا نَدَعُهُنَّ يَخْرُجْنَ فَيَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا
“Kami tidak akan membiarkan mereka keluar, sehingga kesempatan itu mereka pergunakan untuk melakukan dosa[7]” [selesai].
Al-‘Adhiim Al-Aabaadiy rahimahullah menjelaskan:
وَإِنَّمَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ اِبْن عُمَر لِتَصْرِيحِهِ بِمُخَالَفَةِ الْحَدِيث . وَأُخِذَ مِنْ إِنْكَار عَبْد اللَّه عَلَى وَلَده تَأْدِيب الْمُعْتَرِض عَلَى السُّنَن بِرَأْيِهِ وَعَلَى الْعَالِم بِهَوَاهُ ، وَتَأْدِيب الرَّجُل وَلَده ، وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا إِذَا تَكَلَّمَ بِمَا لَا يَنْبَغِي لَهُ ، وَجَوَاز التَّأْدِيب بِالْهِجْرَانِ
“Ibnu ‘Umar hanyalah mengingkarinya (Bilaal) karena perkataannya yang terang-terangan menyelisihi hadits. Diambil faedah dari pengingkaran ‘Abdullah terhadap anaknya tersebut : (a) (disyari’atkannya) pemberian pengajaran/adab terhadap orang yang menolak/menentang sunnah dengan ra’yu/pendapatnya semata dan (yang menentang) seorang ‘aalim dengan hawa nafsunya; (b) pengajaran/adab seseorang kepada anaknya, meskipun anaknya tersebut telah dewasa jika ia berbicara dengan sesuatu yang tidak seharusnya (tidak sopan/beradab); serta (c) bolehnya pengajaran/adab (terhadap seseorang) dengan cara hajr (boikot)” [‘Aunul-Ma’buud, 2/193].
NB : Bilaal bin ‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah seorang ulama dan fuqahaa’ yang tsiqah generasi taabi’iin. Ia dimasukkan Yahyaa Al-Qaththaan diantara fuqahaa’ penduduk Madiinah [Tahdziibut-Tahdziib, 1/504].
4.    ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu
عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ " فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari Abis-Sawwaar Al-‘Adawiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Imraan bin Hushain berkata : Telah bersabda Nabi : “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. (Mendengar itu), lalu Busyair bin Ka’b berkata : “Tertulis di dalam lembaran ahli hikmah : ‘Sesungguhnya sebagian dari malu adalah kewibaan dan sebagian dari malu adalah ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku mengatakan kepadamu hadits dari Rasulullah , namun engkau malah mengatakan kepadaku dari lembaranmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117].
Ketika ‘Imraan bin Hushain menyebutkan hadits Nabi tentang keutamaan sifat malu, Busyair bin Ka’b hanya menyebutkan keutamaan lain tambahan dari sifat malu dari lembaran hikmah yang ia baca. Tidak ada yang salah darinya, dan bahkan perkataan hikmah tersebut baik. Namun bagaimana sikap ‘Imraan ?.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
وَقَالَ الْقُرْطُبِيّ : .... وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ سَاقَهُ فِي مَعْرِض مَنْ يُعَارِض كَلَام الرَّسُول بِكَلَامِ غَيْره ، وَقِيلَ إِنَّمَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ كَوْنه خَافَ أَنْ يَخْلِط السُّنَّة بِغَيْرِهَا
“Al-Qurthubiy berkata : ‘…. Perkataan tersebut hanyalah diingkari ketika ia dibawakan pada waktu orang menentang perkataan Rasulullah dengan perkataan selainnya. Dan dikatakan : Perkataan tersebut diingkari karena dikhawatirkan tercampurnya sunnah dengan selainnya” [Fathul-Baariy, 10/522].
Dan bagaimana pula seandainya perkataan selain dari Nabi itu nyata-nyata berlawanan dengan hadits Nabi ?.
Hadits ini juga dapat diambil faedah bahwa satu hukum apabila telah shahih dan jelas maksud/maknanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka asalnya tidak membutuhkan selain keduanya karena telah mencukupi.[8]
5.    ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: لَأَنْ أُصْبِحَ مُطَّلِيًا بِقَطِرَانٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصْبِحَ مُحْرِمًا أَنْضَخُ طِيبًا، قَالَ: فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَأَخْبَرْتُهَا بِقَوْلِهِ، فَقَالَتْ: " طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَطَافَ فِي نِسَائِهِ، ثُمَّ أَصْبَحَ مُحْرِمًا "
Dari Muhammad bin Al-Muntasyir, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, aku berlumuran dengan ter lebih aku sukai daripada aku berihram dalam keadaan dengan memakai wewangian". Muhammad bin Muntasyir berkata : Lalu aku menemui ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, kemudian aku memberitahukannya tentang perkataan Ibnu ‘Umar tersebut. ‘Aaisyah berkata : "Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah , lalu beliau menemui istri-istrinya, dan kemudian setelah itu pada pagi harinya beliau berihram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1192].
Dalam riwayat lain disebutkan lafadh jawaban ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَيَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ، ثُمَّ يُصْبِحُ مُحْرِمًا يَنْضَخُ طِيبًا
“Semoga Allah merahmati Abu ‘Abdirrahmaan. Dulu aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah , lalu beliau menemui istri-istrinya. Kemudian di pagi harinya beliau dalam keadaan berihram dengan memerciki wewangian (di tubuhnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 267, Ahmad 6/175, dan Ibnu Khuzaimah no. 2588].
Dalam riwayat lain ditambahkan lafadh:
فَسَكَتَ ابْنُ عُمَرَ
“Maka Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pun terdiam” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy 1/264 no. 218 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/132 no. 3613; shahih].
Dulu, ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah melarang orang yang berihram memakai wewangian sebelum niat ihram dan sebelum thawaf ifadlah setelah melempar jumrah. Belum sampai kepada ‘Umar hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana di atas yang menjelaskan bahwa ‘Aaisyah pernah memberikan wewangian kepada Rasulullah sebelum berihram untuk ihram beliau dan sebelum thawaf ifadlah[9]. Dan begitu juga hal itu belum diketahui oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Ketika sampai khabar bahwa keduanya melarangnya, maka ‘Aaisyah menjelaskan haditsnya. Dan dalam riwayat lain, ia merespon dengan jawaban:
أَنَا طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ تُتَّبَعَ
“Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah , dan sunnah Rasulullah lebih berhak untuk diikuti” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2938; shahih].
فَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِهَا مِنْ سُنَّةِ عُمَر
“Maka sunnah Rasulullah lebih berhak untuk diambil daripada sunnah ‘Umar radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aani;-Aatsaar, 2/231 no. 4044; shahih].
Perkataan ini selaras dengan firman Allah :
قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمْ مَنْ لا يَهِدِّي إِلا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah: "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” [QS. Yuunus : 35].
Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah yang terkumpul padanya semua pengetahuan tentang sunnah-sunnah Rasulullah . Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وليس أحد بعد رسول الله ﷺ إلاّ وقد خفيت عليه بعض سُنة رسول الله من الصحابة فمن بعدهم
“Tidak ada seorang pun sepeninggal Rasulullah dari kalangan shahabat dan orang-orang setelah mereka, kecuali pasti akan tersembunyi padanya sebagian sunnah Rasulullah ”.
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut:
وصدق أبو عمر رضي الله عنه ؛ فإن مَجموع سُنة رسول الله مِن أقواله وأفعاله وإقراره لا يوجد عند رجل واحد أبدا ، ولو كان أعلم أهل الأرض
“Dan benarlah Abu ‘Umar (yaitu : Ibnu ‘Abdil-Barr – Abul-Jauzaa’) radliyallaahu ‘anhu, karena seluruh sunnah Rasulullah berupa perkataan, perbuatan, dan iqraar (pengakuan) tidak akan didapatkan pada satu orang selamanya, meskipun dirinya orang yang paling ‘alim dari penduduk bumi” [Ash-Shawaa’iqul-Mursalah, 2/553].
Dengan demikain, sangat mungkin satu sunnah tidak diketahui/luput dari seorang ulama namun didapatkan pada selain dirinya.
Contoh : Terluput dari Asy-Syaafi’iy rahimahullah hadits sutrah Nabi dengan binatang. Ketika membahas perkataan Asy-Syaafi’iy : ‘tidak boleh bersutrah dengan wanita dan binatang’, maka An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما الدابة ففى الصحيحين عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي ﷺ كان يعرض راحلته فيصلي إليها " زاد البخاري في روايته " وكان ابن عمر يفعله " ولعل الشافعي رحمه الله لم يبلغه هذا الحديث وهو حديث صحيح لا معارض له فيتعين العمل به لاسيما وقد أوصانا الشافعي رحمه الله بأنه إذا صح الحديث فهو مذهبه
“Adapun binatang, maka dalam Shahiihain dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : ‘Bahwasannya Nabi melintangkan hewan kendaraannya di hadapannya dan kemudian shalat menghadapnya’. Al-Bukhaariy menambahkan dalam riwayatnya : ‘’Ibnu ‘Umar juga pernah melakukannya’. Kemungkinan belum sampai hadits tersebut kepada Asy-Syaafi’iy, dan hadits tersebut adalah hadits shahih yang tidak pertentangan padanya sehingga mesti diamalkan. Terlebih lagi, Asy-Syaafi’iy rahimahulah pernah berwasiat kepada kita bahwa apabila telah shahih sebuah hadits, maka itu adalah madzhabnya” [Al-Majmuu’, 3/248].
Terluput dari Maalik bin Anas rahimahullah hadits larangan minum minum langsung dari siqaa’/qirbah[10], sebagaimana disitir oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah:
فَقَدْ نَقَلَ اِبْن التِّين وَغَيْره عَنْ مَالِك أَنَّهُ أَجَازَ الشُّرْب مِنْ أَفْوَاه الْقِرَب وَقَالَ : لَمْ يَبْلُغنِي فِيهِ نَهْي
“Ibnut-Tiin dan yang lainnya menukil dari Maalik bahwa ia membolehkan minum dari mulut qirbah seraya berkata : ‘Belum sampai larangan padaku dalam permasalahan itu” [Fathul-Baariy, 10/91].
6.    ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا الْمُعَافَى، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ الله تَعالَيَ: " إِنَّهُ لَا رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَإِنَّمَا رَأْيُ الْأَئِمَّةِ فِيمَا لَمْ يَنْزِلْ فِيهِ كِتَابٌ، وَلَمْ تَمْضِ بِهِ سُنَّةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَا رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’aafaa, dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ta’ala pernah menulis : 'Tidak boleh ada pendapat seseorang tentang perkara yang telah ditetapkan dalam Kitabullah. Pendapat para imam hanyalah pada perkara yang tidak ada ketetapannya dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah . Dan tidak ada pendapat seorang pun dalam perkara yang telah ditetapkan dalam sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasullah ” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy hal. 401 no. 446; sanadnya hasan].
7.    Maalik bin Anas rahimahullah
عَنْ عُثْمَان بْن عُمَرَ، : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ، فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dari ‘Utsmaan bin ‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda Rasulullah begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata : “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 236, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 6/326, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 294].
Maalik tidak mau dan marah ketika perkataannya ingin dihadapkan dengan sabda Nabi .[11] Tidak boleh ada pendapat seorang pun sejajar dengan sabda beliau .
إذا ورد الأثر بطل النظر
“Apabila telah tetap nash, batallah segala pendapat”.
8.    Wakii’ bin Al-Jarraah rahimahullah
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وسَمِعْت أَبَا السَّائِبِ، يَقُولُ: كُنَّا عِنْدَ وَكِيعٍ، فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ مِمَّنْ يَنْظُرُ فِي الرَّأْيِ: أَشْعَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَيَقُولُ أَبُو حَنِيفَةَ هُوَ مُثْلَةٌ، قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: الْإِشْعَارُ مُثْلَةٌ، قَالَ: فَرَأَيْتُ وَكِيعًا غَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: أَقُولُ لَكَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ، ثُمَّ لَا تَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَنْ قَوْلِكَ هَذَا
Dan Aku mendengar Abus-Saaib, ia berkata : “Ketika kami bersama Waki', ia berkata kepada seorang laki-laki di sisinya yang berpegang pada ra’yu[12] : ‘Rasulullah pernah memberi tanda pada hewan, sedangkan Abu Haniifah mengatakannya perbuatan itu termasuk mutslah’. Orang itu berkata : ‘Sesungguhnya hal tersebut telah diriwayatkan dari Ibraahiim An-Nakha’iy bahwa ia mengatakan memberi tanda pada hewan termasuk mutslah’. Abus-Saaib berkata : Maka aku melihat Wakii’ sangat marah seraya berkata : ‘Aku katakan padamu ‘telah bersabda Rasulullah, dan engkah katakan ‘telah berkata Ibraahiim’ ?. Sungguh engkau pantas untuk dipenjara dan tidak dikeluarkan sampai engkau menarik ucapanmu itu" [Al-Jaami’ Al-Kabiir/Sunan At-Tirmidziy, 2/239-240].
9.    Dan lain-lain.
Sikap para imam di atas perlu diteladani oleh kaum muslimin semuanya sebagai bentuk pengagungan terhadap nash. Apabaila datang kepadanya pilihan : ‘Al-Qur’an dan As-Sunnah, ataukah pendapat Fulaan ?’; tentu kita akan memilih Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana sikap yang tergambar dari para imam dalam riwayat-riwayat di atas. Tidak mungkin dan tidak akan sanggup kita mengatakan ‘aku pilih pendapat Fulaan dan aku tinggalkan nash’.
Oleh karena itu, ketika seorang yang awam hendaknya bertanya kepada seorang hakim/ustadz yang ia percayai jika ada perkara agama yang tidak ia ketahui sebagai implementasi firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiyaa’ : 7].
Apabila si hakim/ustadz telah menjelaskan hukum beserta dalil-dalilnya, maka jawaban tersebut hendaknya ia ambil.
Jika setelah itu datang kepadanya orang yang membantah bahwa ulama/kiyai Fulaan berpendapat begini dan begitu tanpa menyertakan dalil, maka tidak patut baginya berpegang pada pendapat yang tidak menyertakan dalil.
Ulama/kiyai Fulaan lebih memahami dalil daripada ustadz Anda serta lebih ‘alim daripada Anda dan ustadz Anda’.
Ini perkataan satir yang sering diucapkan kepada orang yang beramal dengan dalil.
Pertanyaannya adalah : Apakah Anda mengetahui dalil yang dipakai ulama Fulaan tersebut?. Jika tidak, lantas bagaimana si orang awam dapat yakin bahwa dalam hal ini ulama Fulaan – misalnya saja Asy-Syaafi’iy rahimahullah – berada dalam kebenaran tanpa tahu dasar dalilnya dari si penyanggah ?. Sementara kita ketahui dari contoh di atas, ada sebagian sunnah yang tidak sampai kepada ulama. Jika si penyanggah bisa berhusnudhdhan pada Asy-Syaafi’iy rahimahullah, bukankah orang awam tersebut juga bisa berhusnudhdhan kepada ustadz/hakim yang ia tanya bahwa ustadznya lebih ‘alim terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat Asy-Syaafi’iy daripada si penyanggah ?. Ketika Ibnu Hazm berkomentar terhadap ‘Urwah yang menyanggah Ibnu ‘Abbaas :
وَنَحْنُ نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami katakan kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah , Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas) lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu”
maka hal yang sama dapat dikatakan kepada si penyanggah:
“Si hakim/ustadz lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan Asy-Syaafi’iy daripadamu. Ia lebih dikedepankan terhadap keduanya daripadamu”
Ya,… sangat logis karena orang awam tersebut bertanya kepada orang yang ia percayai, ia anggap berilmu dalam masalah agama. Ini sudah cukup baginya.
Kecuali dirinya mampu melakukan penelaahan lanjutan atau bertanya kepada hakim/ustadz lain untuk membandingkannya dan kemudian mengambil apa yang membuat hatinya lebih dari jawaban yang diberikan, maka ini lebih utama[13]
Satu catatan penting, ittibaa’ kepada dalil bukan berarti meninggalkan perkataan ulama. Banyak orang yang memberikan tuduhan kosong bahwa ketika kita mengutamakan pendalilan, kita meninggalkan perkataan ulama. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah telah membantahnya dengan jawaban yang sangat bagus sebagai berikut :
إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة - زعموا - وما أحسن قول سليمان التيمي رحمه الله تعالى:
(إن أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله)
رواه ابن عبد البر (٢/٩١-٩٢) وقال عقبة :
( هذا إجماع لا أعلم فيه خلافا )
فهذا الذي ننكره وهو وفق الإجماع كما ترى
وأما الرجوع إلى أقوالهم والاستفادة منها والاستعانة بها على تفهم وجه الحق فيما اختلفوا فيه مما ليس عليه نص في الكتاب والسنة أو ما كان منها بحاجة إلى توضيح فأمر لا ننكره بل نأمر به ونحض عليه لأن الفائدة منه مرجوة لمن سلك سبيل الاهتداء بالكتاب والسنة.
قال العلامة ابن عبد البر رحمه الله تعالى (٢/١٧٢):
( فعليك يا أخي بحفظ الأصول والعناية بها واعلم أن من عني بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن ونظر في أقاويل الفقهاء - فجعله عونا له على اجتهاده ومفتاحا لطرائق النظر وتفسيرا لجمل السنن المحتملة للمعاني - ولم يقلد أحدا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها على كل حال دون نظر ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها واقتدى بها في البحث والتفهم والنظر وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرؤوا أنفسهم منه فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح وهو المصيب لحظه والمعاين لرشده والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم
ومن أعف نفسه من النظر وأضرب عما ذكرنا وعارض السنن برأيه ورام أن يردها إلى مبلغ نظره فهو ضال مضل ومن جهل ذلك كله أيضا وتقحم في الفتوى بلا علم فهو أشد عمى وأضل سبيلا).
“Anggapan ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu. Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”. Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir (kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap. Oleh karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Sulaiman At-Taimiy rahimahullahu ta’ala :
‘Apabila engkau mengambil keringanan (rukhshah) dari setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu setiap keburukan’.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr (2/91-92). Kemudian ia berkomentar :
‘Ini adalah satu ijma’ yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya’.
Inilah yang kami ingkari, dimana hal itu berkesesuaian dengan ijma’ sebagaimana yang engkau lihat.
Adapun ruju’ (kembali) kepada perkataan mereka (para ulama), mengambil faedah dalam memahami sisi kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan yang tidak ada nash-nya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalam rangka memahami sesuatu yang membutuhkan penjelasan; maka hal itu sama sekali tidak kami ingkari. Bahkan kami turut memerintahkannya dan menganjurkannya, karena faedah yang ada padanya diharapkan oleh orang yang menempuh jalan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullahu ta’ala berkata (2/172) :
‘Wajib bagimu - wahai saudaraku - untuk menjaga dan memperhatikan ushul (prinsip) ini. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang menjaga sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang di-nash-kan dalam Al-Qur’an, dan melihat berbagai perkataan fuqahaa’ – yang kemudian ia jadikan sebagai penolong dalam ijtihadnya, pembuka jalan-jalan penelitiannya, dan penjelas sunnah-sunnah yang mempunyai berbagai kemungkinan makna – tanpa bersikap taqlid kepada seorang pun di antara mereka sebagaimana layaknya ia ‘bertaqlid’ kepada nash-nash As-Sunnah yang memang wajib diikuti dalam segala keadaan tanpa banyak pertimbangan/penelitian; tidak merasa puas dengan apa yang telah diambil, dihafal, dan diperhatikan para ulama; mengikuti mereka (para ulama) dalam pemahaman, pembahasan, dan penelitian; berterima kasih kepada mereka atas berbagai faedah yang diberikan dan berbagai peringatan mereka; serta memuji mereka atas kebenaran yang mendominasi perkataan mereka; serta tidak membebaskan mereka dari segala kesalahan/ketergelinciran sebagaimana mereka tidak membebaskan hal itu pada diri mereka sendiri; maka dia adalah penuntut ilmu yang berpegang teguh dengan apa yang as-salafush-shaalih berada di atasnya. Dia adalah orang yang benar dalam hal penjagaannya (terhadap agama), saksi atas petunjuk Allah bagi dirinya, dan muttabi’ (orang yang mengikuti) atas sunnah Nabinya serta para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
Barangsiapa memaafkan dirinya untuk melakukan penelitian, menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, serta berpaling dari sunnah-sunnah kepada akalnya dan bermaksud mengembalikannya kepada kadar pandangannya; maka ia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui semua itu dan mencela fatwa tanpa ada pengetahuan, maka ia adalah orang yang lebih buta dan lebih sesat jalannya’.
[Shifat Shalat Nabi minat-Takbiiri ilat-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, hal. 69-70].
Semua perkataan tentang syari’at, tidak boleh keluar dari pemahaman salaf dan para ulama terdahulu, baik yang mereka sepakati maupun yang mereka perselisihkan.
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
إِذَا اجْتَمَعُوا أَخَذْنَا بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَإِنْ قَالَ وَاحِدُهُمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ غَيْرُهُ أَخَذْنَا بِقَوْلِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفُوا أَخَذْنَا بِقَوْلِ بَعْضِهِمْ وَلَمْ نُخَرِّجْ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ كُلِّهِمْ
“Apabila para shahabat bersepakat, maka kami ambil kesepakatan mereka tersebut. Apabila salah seorang di antara mereka berpendapat tanpa ada yang menyelisihi, kami pun mengambil pendapatnya. Apabila mereka berselisih, maka kami mengambil perkataan sebagian di antara mereka dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka itu semuanya” [Al-Madkhal ilas-Sunan Al-Kubraa, 1/45].
Kita rujuk seperti rujuknya para ulama yang mengikuti dalil yang lebih kuat, tidak terbelenggu dalam kotak (ta'ashshub) madzhab. Tidak mungkin kebenaran selamanya ada di lisan satu orang ulama dan menetap pada satu madzhab. Sebagaimana Zufar bin Al-Hudzail Al-Kuufiy Al-Hanafiy – pembesar madzhab Hanafiyyah – yang pernah rujuk dan keluar dari pendapat madzhabnya dalam masalah muslim yang membunuh orang kafir.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَذَكَرَ أَبُو عُبَيْد بِسَنَدٍ صَحِيح عَنْ زُفَرَ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْل أَصْحَابه فَأَسْنَدَ عَنْ عَبْد الْوَاحِد بْن زِيَاد قَالَ : قُلْت لِزُفَرَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ تُدْرَأُ الْحُدُود بِالشُّبُهَاتِ فَجِئْتُمْ إِلَى أَعْظَمِ الشُّبُهَات فَأَقْدَمْتُمْ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ يُقْتَل بِالْكَافِرِ ، قَالَ : فَاشْهَدْ عَلَى أَنِّي رَجَعْت
“Abu ‘Ubaid menyebutkan riwayat dengan sanad shahih dari Zufar, bahwasannya ia rujuk dari perkataan ulama Hanafiyyah. Ia (Abu ‘Ubaid) menyebutkan sanadnya dari ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad, ia berkata : Aku berkata kepada Zufar : ‘Sesungguhnya engkau mengatakan huduud dibatalkan karena syubuhaat, lalu engkau datang dengan sebesar-besar syubuhaat. Engkau tuntut seorang muslim untuk dibunuh dengan sebab membunuh orang kafir’. Zufar berkata : ‘Persaksikanlah bahwa sesungguhnya aku rujuk (dari pendapatku semula)[14]” [Fathul-Baariy, 12/262].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab. Semoga ada manfaatnnya.
[abul-jauzaa’ – 14 Syawwal 1439]. 



[1]    Allah berfirman:
أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الأرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ
Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari” [QS. An-Nahl : 45].
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?” [QS. Al-Mulk : 16].
أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ وَكِيلا
Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindung pun bagi kamu” [QS. Al-Israa’ : 68].
[2]     Dengan tashghiir, maksudnya 'Urwah.
[3]    Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan meninggal tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[4]    Ibnu Hazm rahimahullah membawakan sanadnya dari Ayyuub langsung kepada ‘Urwah, tanpa melalui perantaraan Ibnu Abi Mulaikah. Ini keliru, karena yang benar adalah melalui perantaraan Ibnu Abi Mulaikah sebagaimana riwayat-riwayat yang lain. Wallaahu a’lam.
[5]    Adz-Dzahabiy rahimahullah memberikan ‘udzur kepada ‘Urwah dengan perkataannya:
قلت: ما قصد عروة معارضة النبي صلى الله عليه وسلم بهما، بل رأى أنهما ما نهيا عن المتعة إلا وقد اطلعا على ناسخ.
“Aku katakan : ‘Urwah tidak bermaksud menolak/membantah Nabi , akan tetapi dirinya memandang keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar) tidak melarang tamattu’ kecuali keduanya melihat/mengetahui adanya naasikh” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/243].
[6]    Nabi bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352 dan Muslim no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu].
[7]    Berupa kerusakan, penipuan, dan timbulnya keragu-raguan (suami terhadap istrinya) [lihat : Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 4/162].
[8]    Begitu juga seandainya ada kebaikan atau faedah yang terdapat pada ulama Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah, maka kita hanya mencukupkan diri pada ulama Ahlus-Sunnah.
[9]    ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata:
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah untuk ihramnya ketika berihram, dan (memakaikan wewangian) untuk tahallul beliau sebelum thawaf (ifadlah) di Ka’bah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1539].
طَيَّبْتُ النَّبِيَّ ﷺ بِيَدِي لِحُرْمِهِ، وَطَيَّبْتُهُ بِمِنًى قَبْلَ أَنْ يُفِيضَ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Nabi dengan tanganku untuk ihramnya, dan aku pun memakaikan wewangian kepada beliau di Mina sebelum thawaf ifadlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5922].
[10]   Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ، وَأَنْ يَمْنَعَ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي دَارِهِ
“Rasulullah melarang minum dari mulut qirbah atau siqaa’ dan melarang seseorang mencegah tetangganya menyandarkan kayu di rumahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5627-5628, Ibnu Maajah no. 3420, Ad-Daarimiy no. 2164, dan yang lainnya].
Pembahasan selengkapnya silakan baca artikel : Minum dari Qirbah/Siqaa’/Botol.
[11]   Sebagai suplemen, silakan baca artikel : Atsar Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang Bid’ah.
[12]   Ahlur-ra’yi, yaitu madzhab penduduk Kuufah (Hanafiyyah).
[13]   Jika ada orang awam meminta fatwa kepada dua orang 'alim, dan ternyata dua orang 'alim ini memberikan fatwa yang berbeda; maka bagaimana yang seharusnya dilakukan orang awam tersebut ?. Dalam hal ini ada 2 kondisi.
Pertama, jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna/dalam pemahamannya, maka wajib baginya untuk bertanya kepada orang lain pendapat mereka tentang jawaban 2 mufti tersebut dan hujjah mereka terhadap masing-masingnya. Lalu orang awam tersebut mengambil yang RAJIH (menurutnya). (Kedua) apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang lebih utama diantara 2 mufti tersebut (menurutnya).
Dikatakan : dirinya bebas mengambil fatwa dari 2 orang mufti itu. Ini (pun) pendapat yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang 'alim yang terpercaya (menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi.
Inilah ringkasan penjelasan dari Abu 'Abdillah Az-Zubair bin Ahmad Az-Zubairiy yang dibawakan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahumullah dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih (2/431-432). Atsar terakhir dalam kitabnya tersebut.
[14]   Jumhur ulama berpendapat dengan hadits tentang tidak dibunuhnya muslim (sebagai qishash) karena membunuh orang kafir. Masyhur dalam madzhab Hanafiyyah penyelisihan terhadap jumhur dimana mereka berpendapat seorang muslim yang membunuh kafir dzimmiy mesti dibunuh juga. Dalil yang dipakai jumhur adalah hadits:
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ، وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ، وأن لا يقتل مسلم بكافر
Dari Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Apakah kalian menyimpan wahyu lain selain yang ada dalam Kitabullah?". Ia menjawab : "Demi Dzat Yang telah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan Yang menciptakan jiwa, aku tidak mengetahuinya kecuali pemahaman yang Allah telah berikan kepada seseorang tentang Al-Qur'an dan yang terdapat dalam lembaran ini". Aku bertanya : "Apa yang ada dalam shahifah tersebut?". Ia menajwab : "Pembayaran diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuhnya seorang muslim karena membunuh orang kafir" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3046].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar