Saya
terus terang masih bingung mendefinisikan islAm
NUSantara. Sebagian tokoh lokal menjelaskan
ide baru ini sebagai identitas keislaman orang Indonesia yang ‘moderat’ dan
penuh ‘rahmat’; mesti diinternasionalisasikan ke manca negara. Islam yang dalam
pikiran sebagian tokoh tergambarkan sebagai Islam yang mengadopsi budaya lokal,
nggak mau kearab-araban (atau bahkan anti Arab?), tapi sangat hobi –
kalau tidak mau dikatakan rakus – mengadopsi style kebarat-baratan. Islam
yang menjadi opisisi ‘Islam Arab’ (?). Islam yang pemahaman nash-nashnya mesti
di-reinterpretasi sesuai kondisi dan kebutuhan, sebagaimana diskusi naas belum
lama ini yang berhasil membuat girang Benyamin Netanyahu.[1]
Saya
menjadi bertanya-tanya, apakah Islam yang ada sekarang ini tidak mencukupi kebutuhan
para pengusung ide islAm NUSantara?
‘Islam
Arab’ – katakanlah untuk sementara begitu – telah mengajarkan sikap pertengahan
(moderat) dalam beragama. Versi yang diajarkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ adalah sikap pertengahan antara tafriith
(meremehkan) dan ifrath (melampaui batas). Contoh mudah tergambar
dalam ayat yang minimal 17 kali kita ucapkan:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat” [QS. Al-Faatihah : 6-7].
Jalan
pertengahan berupa ash-shiraathul-mustaqiim adalah jalan yang senantiasa
kita mohonkan. Tidaklah kita diperintahkan untuk
memohon suatu jalan kecuali jalan tersebut pasti membawa keselamatan dunia dan
di akhirat. Ash-Shiraathul-Mustaqiim adalah jalan kehidupan yang
ditempuh Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya radliyallaahu
‘anhum.
‘Abdullah
bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ketika menjelaskan makna ash-shiraathul-mustaqiim
berkata:
هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ "، قَالَ: فَذَكَرْنَا
ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ: " صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ
وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
“(Ash-shiraathul-mustaqiim)
adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan para
shahabatnya”. Perawi (yaitu ‘Aashim) berkata : “Kemudian kami menyebutkan hal
tersebut kepada Al-Hasan (Al-Bashriy), lalu ia menjawab : ‘Ia benar, demi
Allah, ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim)
adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr,
dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak,
2/259; dan ia menshahihkannya].
‘Abdullah
bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, bukan orang ecek-ecek jebolan
STAIN atau Leiden, tapi ia adalah pakar tafsir yang direkomendasikan Nabi ﷺ dengan doanya:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي
الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya
Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir) kepadanya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/266 & 1/314 & 1/335, Ibnu Hibbaan 15/531 no.
7055, dan yang lainnya; shahih[2]].
Al-Hasan
Al-Bashriy rahimahullah adalah ulama besar generasi taabi’iin negeri
Bashrah. Anak pesantren hampir semua tahu nama besar beliau.
Lantas
mengapa dikatakan kehidupan Rasulullah dan para shahabatnya dulu dianggap
sebagai jalan pertengahan (moderat) yang membawa kepada keselamatan ?. Tidak
lain karena Nabi ﷺ adalah orang yang paling tahu kebaikan
yang diinginkan Allah ﷻ bagi manusia, paling tahu maksud dan
implementasi Al-Qur’an yang menjadi pedoman kehidupan manusia, dan paling kasih
sayang terhadap orang-orang yang beriman. Allah ﷻ telah menjadikan beliau ﷺ sebagai sosok teladan sepanjang masa bagi orang-orang
beriman.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Adapun
para shahabat radliyallaahu ‘anhum secara komunitas, mereka adalah
orang-orang pilihan yang telah Allah ridlai jalan kehidupannya sebagaimana
dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida
kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah :
100].
Allah
ﷻ
telah menegaskan mereka adalah golongan orang yang diridlai oleh-Nya, sudah
pasti perikehidupan mereka adalah yang terbaik, meski secara individu (para
shahabat) tidak lepas dari kekeliruan, dan mereka adalah orang yang paling
cepat rujuk/taubat dari kekeliruan.
Kembali
ke Surat Al-Fatihah ayat 6-7…
Ketika
Allah memerintahkan kita memohon petunjuk agar dapat meniti ashi-shiraathul-mustaqiim,
maka Allah ﷻ
memberikan clue bahwa jalan tersebut bukan jalan yang ditempuh dua
golongan orang:
1.
(jalan) mereka yang
dimurkai, yaitu Yahudi
2.
(jalan) mereka yang
sesat, yaitu Nashara.
Dari salah seorang shahabat Nabi ﷺ, ia meriwayatkan:
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ
بُلْقِينٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: "
هَؤُلَاءِ الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ "، فَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ، فَقَالَ
مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " هَؤُلَاءِ الضَّالُّونَ " يَعْنِي النَّصَارَى
Ada seorang laki-laki dari Bulqiin yang
bertanya kepada Nabi ﷺ : “Wahai Rasulullah, siapakah mereka ?”.
Beliau ﷺ
menjawab : “Mereka adalah al-maghdluub ‘alaihim (orang-orang yang
dimurkai)”. Lalu beliau ﷺ berisyarat kepada Yahudi. Laki-laki itu
kembali bertanya : “Siapakah mereka ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Mereka adalah adl-dlaalluun
(orang-orang yang sesat)” - yaitu Nashara [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/77;
shahih].
Dalam riwayat ‘Adiy bin Haatim, Nabi ﷺ bersabda:
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ
عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Sesungguhnya Yahudi adalah maghdluubun
‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), sedangkan Nashara adalah dlullaal
(orang-orang yang sesat)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2954 dan
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/183].
Yahudi disebut sebagai orang-orang yang
dimurkai karena mereka melakukan tafriith (peremehan). Mereka mengetahui
kebenaran, namun:
1.
Enggan mengerjakannya.
Allah
ta’ala berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ
تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al
Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
[QS. Al-Baqarah : 44].
2.
Menutupinya.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ
أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al
Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah
: 146].
3.
Mengubah-ubahnya.
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا
بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
"Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan
(mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak
mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa’ina", dengan
memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan:
"Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami",
tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk
mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis" [QS. An-Nisaa' : 46].
4.
Menentangnya
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا
مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الْكَافِرِينَ
“Dan
setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada
pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 86].
5.
Memusuhinya
(kebenaran) dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا
بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ
“Lalu
ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta
mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak
dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan
melampaui batas” [QS. Al-Baqarah: 61].
Inilah karakter-karakter Yahudi yang banyak
dicela dalam Al-Qur’an.
Adapun Nashara disebut sebagai orang-orang
sesat, karena mereka berani beramal tanpa ilmu dan berbicara tentang Allah
dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Lihatlah bagaimana kelancangan mereka
dalam:
1.
Mempertuhankan ‘Iisaa
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ
لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ
سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ
قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي
نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah?" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya
maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib” [QS. Al-Maaidah : 116].
2.
Membuat-buat konsep
Trinitas
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ
وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ
لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan
itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang
pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
3.
Menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal
Ini
adalah konsep beragama yang lahir dari buah pikir para pendeta/rahib mereka,
sebagaimana firman Allah ta’ala:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا
وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”
[QS. At-Taubah : 31].
Hudzaifah
bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah
mereka (orang-orang Nashara) menyembah (shalat) kepada mereka (para
pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah menjawab:
لا، وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حُرِّمَ
عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ
لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
“Tidak,
akan tetapi mereka (para pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah
atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan
mereka (para pendeta/rahib) mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka,
dan kemudian orang-orang Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab
itu para pendeta/rahib itu seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan
oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya
no. 1073, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal
no. 258-259; shahih].
‘Islam
Arab’ yang dibawa Nabi ﷺ memberi tatanan kehidupan
yang sempurna, paripurna, dan pertengahan (moderat) antara dua karakter jelek
Yahudi dan Nashara di atas. Yaitu : mengamalkan apa yang diperintahkan Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ,
berhenti dari apa yang dilarang Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ,
tidak membuat aturan/syari’at baru dan/atau yang bertentangan dengan aturan/syari’at
Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, mencintai apa yang dicintai Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ,
serta membenci apa yang dibenci Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ.
Apa yang datang dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ sudah
pasti baik dan memberikan kemaslahatan bagi manusia. Allah ta’ala yang
menciptakan manusia dan Ia lebih tahu kebaikan hakiki yang bermanfaat bagi umat
manusia.
Inilah
diantara sifat pertengahan (moderat) ‘Islam Arab’.
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap pertengahan
(moderat) dalam takfir.[3]
Tidak bermudah-mudah dalam mengkafirkan kaum muslim yang berbuat dosa, namun
sebaliknya; (harus) tidak ragu dan pelo untuk mengatakan kafir orang
yang jelas-jelas kekafirannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " أَيُّمَا
امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ
كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ"
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Barangsiapa yang
berkata kepada saudaranya ‘wahai kafir’, sungguh akan kembali pada salah seorang di antara keduanya.
Apabila saudaranya itu seperti yang ia katakan (yaitu kafir), maka perkataan
itu akan tertuju padanya. Jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada
pengucapnya” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].
Seandainya pun ada
orang yang (secara dhahir) melakukan perbuatan kekufuran – seperti misal minta
tolong ke dukun, ber-istighatsah kepada orang shalih yang telah mati, dan
yang lainnya – tidak boleh langsung dikafirkan sebelum terpenuhi
syarat-syaratnya dan hilang berbagai penghalangnya.[4] Namun
demian, tidak juga berkonsekuensi kita jadi anti takfir. Orang yang jelas
dikafirkan Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ harus
kita katakan kafir seperti orang kafir asli yang tidak pernah
masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[5],
Nashrani[6],
orang-orang musyrik[7], Hindu,
Budha, Konghucu, Shinto, Tao, dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan
Allah dan Rasul-Nya tanpa ada perselisihan. Begitu juga atheis dan orang murtad
yang menyatakan dirinya keluar dari agama Islam menjadi selain Islam, harus
kita nyatakan kafir juga.[8]
Jangan seperti contoh kasus Pilkada DKI tempo
hari dimana ada segerombolan manusia yang tidak rela dan tidak mau mengatakan
Ah*k kafir. Gimana tidak kafir, lha wong dianya sendiri mengaku tidak beragama Islam serta tidak mau mengatakan beriman kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. KBBI sudah menjelaskan definisi ‘kafir’:
ka.fir
Alhamdulillah,
para pakar bahasa kita di Kemendikbud lebih jernih pikirannya daripada
gerombolan tersebut.
Inilah ajaran ‘Islam Arab’ yang sangat masuk
akal dan sangat ilmiah. Pertengahan (moderat) antara dua sekte sampah :
Khawaarij yang mudah sekali mengkafirkan dan Murji’ah yang tidak mau
mengkafirkan.
Jangan karena adanya fakta ekstrimitas ISIS
(yang kebetulan media kita senang sekali mem-blow up-nya) – kelompok minoritas
Islam – digunakan untuk generalisasi sifat bagi seluruh kaum muslimin. Saya
yakin, banyak orang Kristen tidak senang agama mereka direpresentasikan
oleh Ku Klux Klan (KKK) dan Army of God (AOG).
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap pertengahan
(moderat) dalam masalah muamalah terhadap para pemimpin muslim. Taat kepada
mereka hanya dalam perkara yang ma’ruuf dan tidak bertentangan dengan
syari’at dalam rangka mewujudkan persatuan, stabilitas, dan kemaslahatan yang
lebih besar. Ssenantiasa sabar atas kedhaliman mereka dan menasihati mereka
dalam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’
: 59].
Nabi ﷺ bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ
وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا
سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan
taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci,
kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia
menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh
taat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2955 & 7144, Muslim no. 1839, At-Tirmidziy no. 1707, dan Ibnu Majah no.
2864].
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf
(kebajikan)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7257, Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan
lain-lain].
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى
تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya
kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak
rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di
haudl” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7057 dan
Muslim no. 1845].
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ،
وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya
: “Untuk siapa ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 55].
Pertengahan antara sikap:
1.
‘Menjilat’ dan ABS
(Asal Bapak Senang)
Nabi
ﷺ
bersabda:
إِنَّهُ
يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ
فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا،
أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
“Akan diangkat para penguasa untuk kalian.
Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah
berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas diri
(darinya). Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan
tetapi, (lain halnya dengan) orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin
tersebut”. Para
shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”.
Beliau ﷺ menjawab
: ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang
membenci dan mengingkari dengan hatinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1854].
Oleh
karena itu, tidak boleh menyebarkan hoax - meski membangun – dalam
rangka menjilat asal bapak senang, serta membenarkan dan mendukung kebijakan pemimpin/pemerintah
yang merugikan kaum muslimin.
2.
Konfrontatif, provokatif,
dan waton suloyo (asal beda).
Bahasa
politik asal beda dan harus jadi opisisi ketika tidak kebagian roti sudah
menjadi trend di negara kita. Sudah buncit perut rakyat kenyang
tersumpal aksi teatrikal para pelawak. Sebagian orang lebih suka menggunakan
bahasa provokatif yang menyulut kemarahan dan aksi masyarakat. Setiap rezim
pemerintahan seakan dijadikan common enemy. Tinggal menunggu giliran,
siapa yang dilawan dan yang melawan.
Sungguh,
seandainya kita mampu menahan diri dan senantiasa berdoa dengan doa yang
diucapkan Nabi Ibraahiim ‘alaihis-salaam:
رَبِّ اجْعَلْ
هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wahai,
Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan
hari kemudian” [QS. Al-Baqarah : 126]
dan
berdoa:
اَللَّهُمَّ
أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ
وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى
الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ
إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Ya
Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada
mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan
kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana
yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka
dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah
orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb
semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum muslimin sebagai orang yang
baik, di mana pun mereka berada”
niscaya
lebih baik.
Jadi,
ajaran ‘Islam Arab’ yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan
penjelasan para ulama Ahls-Sunnah dari mulai generasi salaf hingga khalaf sudah
sangat memadai. Benar, tepat, akurat, dan solutif.
Kemudian masalah ‘rahmah’. Katanya, islAm NUSantara
adalah bentukan Islam yang penuh kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.
Yang jadi pertanyaan saya : Apakah selama ini
‘Islam Arab’ yang dibawa Nabi ﷺ serta yang dipraktekkan para shahabat dan
para ulama - yang notabene mereka orang Arab - kurang menggambarkan ajaran
‘rahmah’ alias kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama yang dimaui islAm NUSantara?.
Bener dah…. pingin ketawa saya membaca ajaran islAm NUSantara
yang ini ….
Saya contohkan beberapa gambaran ‘rahmah’
yang diajarkan dan dipraktekkan Nabi Muhammad ﷺ - yang
berasal dari Arab – agar diteladani kaum muslimin secara universal baik di
Timur dan di Barat:
1.
Kasih sayang kepada
binatang saat menyembelih
Diantara
bentuk ‘rahmah’ atau kasih sayang tersebut menjauhkan pandangan hewan
sembelihan ketika menajamkan pisau.
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى
صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يُحِدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصَرِهَا،
فَقَالَ: " أَفَلا قَبْلَ هَذَا تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَيْنِ
Dari
Ibnu ’Abbaas, ia berkata : ”Rasulullah ﷺ melewati seorang laki-laki yang meletakkan
kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya,
sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Maka beliau ﷺ berkata
: ‘Apakah sebelum ini engkau hendak mematikan dengan dua kali?” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 3590 dan dalam Al-Kabiir 11/332-333
no. 11916 HR. Al-Baihaqiy 9/280 no. 19141, dan Al-Haakim 4/231 &
4/233; shahih].
Konsep
‘rahmah’ dalam adab penyembelihan yang mungkin banyak tidak diketahui para
pegiat islAm NUSantara.
2.
Mengutamakan
kebutuhan orang lain daripada diri sendiri.
Allah
ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Al-Hasyr : 9].
Ayat
ini mempunyai sababun-nuzuul-nya, sebagaimana diceritakan Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا
أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ، فَقُلْنَ: مَا مَعَنَا إِلَّا
الْمَاءُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا
"، فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى
امْرَأَتِهِ، فَقَالَ: أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَتْ: مَا
عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي، فَقَالَ: هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي
سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً، فَهَيَّأَتْ
طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا، ثُمَّ قَامَتْ
كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ، فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا
يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ فَقَالَ: " ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا
"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Ada
seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, lalu beliau menghubungi istri-istri
beliau. Mereka berkata : "Kami tidak punya apa-apa selain air". Lalu
Rasulullah ﷺ
bersabda (kepada para shahabat) : "Siapakah yang mau mengajak atau
menjamu orang ini?". Maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang
berkata : "Aku". Kemudian shahabat Anshar itu pulang bersama
laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata : "Muliakanlah tamu
Rasulullah ﷺ
ini". Istrinya berkata : "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali
sepotong roti untuk anakku". Shahabat Anshaar itu berkata : “Suguhkanlah
makananmu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka
hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu
mematikan lampu dan menidurkan anaknya. Lalu ia berdiri seakan hendak
memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami-istri tersebut hanya
menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut
menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak
makan malam. Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda : "Malam ini Allah
tertawa atau terkagum-kagum atas apa yang kalian berdua lakukan". Kemudian
Allah menurunkan firman-Nya : “Dan mereka lebih mengutamakan orang lain
(Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang
mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr : 9) [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3798 & 4889].
Akhlaq
dan keikhlasan orang Anshaar ini tidak akan dapat disamai pegiat islAm NUSantara
dimanapun. Sifat kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama yang dipersaksikan
Allah ﷻ
di atas langit.
Please,
jangan disamakan dengan acara bagi-bagi sembako dalam kresek yang diberi foto
dua orang sambil dikasih stiker bertulis : ‘Adil, Merakyat, Kasih Sayang, dan
Peduli terhadap Sesama’. Jauh sekali antara dasar bumi dan langit ketujuh.
3.
Memperhatikan dan peduli
terhadap tetangga
Memberikan
makanan kepada tetangga kafir:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو، أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يَقُولُ لِغُلامِهِ:
أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ
حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ "
Dari
‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya ia pernah disembelihkan kambing untuknya.
Lalu ia berkata kepada pembantunya : “Sudahkah engkau hadiahkan kepada tetangga
Yahudi kita ? Sudahkah engkau hadiahkan kepada tetangga Yahudi kita ? Aku mendengar
Rasulullah ﷺ
bersabda : ‘Jibriil senantiasa berwasiat kepadaku terhadap tetangga, hingga
aku mengira mereka akan mewarisinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad
no. 105 dan At-Tirmidziy no. 1943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Al-Adabil-Mufrad hal. 66].
Menjenguk
tetangga kafir yang sedang sakit:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ ﷺ
فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ ﷺ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ
لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ، وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ
أَبَا الْقَاسِمِ ﷺ فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ "
Dari
Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ada anak laki-laki Yahudi yang
bekerja membantu Nabi ﷺ sedang sakit. Maka Nabi ﷺ datang menjenguknya. Lalu beliau ﷺ duduk di dekat kepalanya seraya bersabda :
“Masuk Islamlah”. Anak laki-laki memandang bapaknya yang kebetulan ada
di dekatnya. Lalu bapaknya tersebut berkata : "Taatilah Abul-Qaasim ﷺ”. Maka anak laki-laki itu pun masuk Islam.
Setelah itu Nabi ﷺ keluar dan mengucapkan : "Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1356, Abu Daawud no. 3095, Ahmad 3/175, dan
yang lainnya].
Menerima
titipan orang kafir dan menjaganya dengan penuh amanat.
Saat
di Makkah, Rasulullah ﷺ banyak dititipi barang oleh
orang-orang kafir. Mereka percaya karena sifat amanah beliau ﷺ -
dan beliau adalah orang Arab – . Ketika hendak hijrah ke Madiinah, maka beliau ﷺ menyuruh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu mengembalikan semua barang titipan yang ada pada beliau ﷺ kepada pemiliknya masing-masing
[Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyaam 2/142 dan Ath-Thabariy dalam Taariikh-nya
2/378 – melalui perantaraan As-Siirah An-Nabawiyyah fii
Dlauil-Mashaadiril-Ashliyyah hal. 268]. Nabi ﷺ melarang
segala bentuk khianat, termasuk khianat dalam masalah titipan:
أَدِّ الْأَمَانَةَ
إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah
amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati
orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264 dan Abu
Daawud no. 3535; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan
At-Tirmidziy 2/36].
4.
Kasih sayang terhadap
tawanan perang
Sedikit
diantara banyak yang dapat dicontohkan adalah memberi mereka (para tawanan) makan
dan pakaian.
Allah ﷻ berfirman:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan” [QS. Al-Insaan : 8].
عَنْ أَبِي
رَزِينٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ فَمَرَّ عَلَيْهِ أُسَارَى
مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ تَلَا
هَذِهِ الْآيَةَ: وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا
وَأَسِيرًا
Dari
Abu Raziin, ia berkata : “Aku pernah bersama Syaqiiq bin Salamah. Lalu ada
beberapa orang tawanan dari kalangan musyrikin melewatinya. Ia pun
memerintahkanku agar bershadaqah kepada mereka, kemudian ia membaca ayat : ‘Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan’ (QS. Al-Insaan : 8)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 3/68 no. 10494].
عَنْ جَابِر بْن
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " لَمَّا كَانَ يَوْمَ
بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ بِالْعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ،
فَنَظَرَ النَّبِيُّ ﷺ لَهُ قَمِيصًا فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أُبَيٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ فَكَسَاهُ النَّبِيُّ ﷺ إِيَّاهُ
Dari
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Ketika
terjadi perang Badr, para tawanan perang didatangkan dan diantaranya Al-'Abbaas
yang tidak mengenakan pakaian. Kemudian Nabi ﷺ memandang
perlu dicarikan baginya gamis (baju), lalu mereka (para shahabat) pun mendapatkan
gamis 'Abdullah bin Ubay yang cocok buat ukuran badannya. Kemudian Nabi ﷺ memberikan
gamis tersebut kepadanya (Al-'Abbaas)….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3008].
Beliau
ﷺ juga melarang memisahkan antara antara ibu
dan anak yang ditawan.
عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ: أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ كَانَ فِي جَيْشٍ فَفُرِّقَ
بَيْنَ الصِّبْيَانِ وَبَيْنَ أُمَّهَاتِهِمْ، فَرَآهُمْ يَبْكُونَ، فَجَعَلَ
يَرُدُّ الصَّبِيَّ إِلَى أُمِّهِ.وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ:
" مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا، فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْأَحِبَّاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Dari
Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy : Bahwasannya Abu Ayyuub pernah berada dalam
sebuah pasukan. Ada anak-anak yang dipisahkan dengan ibu-ibu mereka. Ia (Abu
Ayyuub) melihat anak-anak tersebut menangis, sehingga mengembalikan
masing-masing ke ibunya seraya berkata : “Rasulullah ﷺ pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang
memisahkan apntara anak dengan orang tuanya, niscaya Allah akan memisahkannya
dengan orang-orang yang ia cintai pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy
no. 1283 & 1566, Ad-Daarimiy no. 2522, dan Ahmad 5/414; dihasankan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/45].
5.
Dan lain-lain.
Saya
kira akan terlalu banyak untuk menyebutkan kebaikan Islam asli (baca : ‘Islam
Arab’) yang diajarkan Nabi ﷺ. Jika di atas dicontohkan bagaimana
baiknya muamalah Nabi ﷺ dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum terhadap
orang kafir, maka terhadap orang Islam (muslim) terlebih lagi. [10]
Semua
terbingkai dalam ayat :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا
مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِي
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud
mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Selagi
orang-orang kafir tidak berbuat aniaya kepada kita, maka kita dilarang berbuat
aniaya terhadap mereka. Kita diperbolehkan bermuamalah dan berbuat baik kepada
mereka dalam urusan dunia.
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ
إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah
tidak melarangkamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS.
Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, kita tetap harus membenci
mereka karena kekafiran mereka, serta tidak boleh menjadikan mereka
pemimpin dan teman dekat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ
عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Bagi
mereka yang berlaku aniaya atau dhalim, seperti kelakuan Yahudi Israel, harus
tegas, nggak boleh cengengas-cengenges dan cengar-cengir menjilat
untuk riuh tepuk tangan audiens dan akomodasi PP.
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka”
[QS. Al-Mujaadilah : 22].
Semua aturan ini bukan buatan orang Arab,
akan tetapi buatan Allah ﷻ, Tuhan yang menciptakan manusia, yang
kelak akan memasukkan mereka ke dalam surga atau neraka. Barangsiapa yang mematuhi
aturan-Nya, akan masuk surga; sebaliknya barangsiapa yang berpaling dari
aturan-Nya, akan masuk neraka. Begitu simple….
Apakah agama Islam perlu di-reinterpretasi sesuai
RPJMN 2014-2019, renstra Kemenag, kurikulum utan kayu[12],
atau ide islAm NUSantara ? Tentu tidak, karena agama Islam sudah sempurna,
lengkap, dan paripurna. Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsiir rahimahullah
berkata:
هذه أكبر نعم الله ، عز وجل، على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم ،
فلا يحتاجون إلى دين غيره، ولا إلى نبي غير نبيهم، صلوات الله وسلامه عليه؛ ولهذا
جعله الله خاتم الأنبياء، وبعثه إلى الإنس والجن، فلا حلال إلا ما أحله، ولا حرام
إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه
“Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla
yang paling besar terhadap umat ini ketika Allah ta’ala menyempurnakan
bagi mereka agama mereka. Maka, mereka tidak lagi butuh kepada agama selain
Islam, tidak butuh nabi selain nabi mereka (yaitu Muhammad shalawaatullahu
wa salaamuhu ‘alaih). Oleh karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai
penutup para nabi serta mengutus beliau kepada manusia dan jin, sehingga tidak
ada kehalalan kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada keharaman kecuali yang
diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkan olehnya” [Tafsiir
Ibni Katsiir, 3/26].
Rasulullah ﷺ sudah menjelaskan segala sesuatu yang
dapat mendekatkan manusia ke surga dan menjauhkan mereka dari neraka. Baik
‘aqidah, ibadah, muamalah, adab/akhlaq, dan semua hal yang terdefinisi masuk
dalam perkara agama (syari’at).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَمَا طَائِرٌ
يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا،
قَالَ: فَقَالَ ﷺ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ
النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah ﷺ meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada
burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah
menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun
yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan
kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir
2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
Jika ada ribut-ribut saling klaim
kebenaran, maka kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’
: 59].
Mengembalikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman dan praktek di zaman Nabi ﷺ dan para shahabat masih hidup. Nabi ﷺ bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena
siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya
perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah
Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia
dengan gigi geraham….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607,
At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, dan yang lainnya; shahih].
Beliau ﷺ juga bersabda:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً،
قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan
berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka
kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat)
bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada
di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219,
Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85,
Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah
1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat
lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا
عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Siapa
saja yang berada di atas jalan yang aku dan para shahabatku berada di atasnya
pada hari ini” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy
dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724
dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Karena di masa mereka lah Islam yang murni
sepanjang zaman eksis. Apabila ada yang keliru dalam memahami ayat, maka Allah ﷻ dan/atau Rasul-Nya akan segera
mengoreksinya dengan ayat ataupun sunnah (hadits). Oleh karena itu, merekalah
(para shahabat) generasi terbaik dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik ummatku adalah yang
orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427,
dan Abu Dawud no. 4657].
Jadi jangan sampai ada yang bilang :
a.
Makna jilbab harus
direinterpretasi sesuai dengan kearifan lokal. Cukup pakai handuk 15 ribuan yang
ditaruh di kepala, itu sudah dikatakan jilbab.
b.
Keharaman riba mesti ditinjau
kembali karena ada kebutuhan investasi. Haramnya jika berlebihan atau tanpa ada
kerelaan orang yang berhutang.
c.
Pemahaman kebencian Islam
terhadap orang-orang kafir dan kekafirannya sudah selayaknya disingkirkan untuk
memantapkan kebhinekaan.
d.
Syari’at Islam dan
pengamalannya 1400 tahun yang lalu (oleh Nabi ﷺ dan para shahabatnya) di sejengkal tanah
purba – katanya – sudah tidak relevan, dan orang yang ingin menerapkan Islam
secara kaaffah dianggap tidak waras.
e.
Dan semisalnya
Semua ini adalah perkataan kufur yang dapat
mengeluarkan seseorang dari wilayah Islam.
Setelah sedikit kita tuliskan pemahaman
‘Islam Arab’, ternyata memang induknya dari Nabi ﷺ dan para shahabat. Ajaran Islam itu
sendiri, Islam yang universal. Islam yang dipahami para ulama Ahlus-Sunnah di
seluruh penjuru dunia. Penyebutan ’Islam Arab’ hanyalah cara pendikotomian
syari’at Islam oleh segelintir orang idiot yang mengatasnamakan Islam. Tak ada
konsep Islam secara geografis.
Saya khawatir, penyebutan ‘Islam Arab’ ini muncul
karena ada angapan Islam (baca : Arab) ‘menginvasi’ Nusantara seperti mirip
cerita orang-orang Majapahit yang merasa diinvasi orang-orang Islam (lalu
lahirlah Mataram Islam) sehingga mereka berhijrah menepi ke wilayah Dieng,
Bromo, Semeru, dan Bali untuk mempertahankan agama dan budaya mereka. Seandainya
benar demikian, konsep Islam geografis Indonesia – yaitu islAm NUSantara
– dikhawatirkan justru ingin menghidupkan kembali budaya klenik dan pagan yang
memang dulunya menjadi platform budaya Nusantara dengan baju Islam. Bahaya
banget gan !!
So, para pegiat islAm NUSantara yang menyuarakan
sentiment anti Arab (baik langsung maupun tidak langsung) dengan jargon-jargon
menghidupkan budaya lokal, jangan nanggung-nanggung lah yang ujungnya cuma
bikin marah umat Islam. Bikin saja yang lebih jelas. Lebaran jangan pakai
penanggalan Islam, pakai saja penanggalan Masehi. Pilih 17 Agustus misalnya,
pas hari kemerdekaan RI dan lomba makan krupuk. Pasti ramai. Buka puasa,
makanlah petai dan jengkol yang asli spesies Indonesia – bukan kurma, makanan
Arab. Setelah penciptaan tilawah Al-Qur’an langgam Jawa, apa nggak sekalian
dicoba pembacaan serat Darmo Gandhul dengan nada ala murattal Su’uud
Asy-Syuraim dan Misyari Rasyid Al-‘Affasiy biar semakin nge-blend ajaran
gado-gadonya?. Hewan kurban, carilah yang murah meriah yang banyak tersedia di
masyarakat kita : ayam kampung, lebih legit. Shalat dengan bahasa daerah, yang
penting artinya sama. Muatan lokal (mulok). Dan lain-lain. Biar nanti lebih
jelas garis pembeda antara ajaran islAm NUSantara dengan Islam yang dibawa Nabi ﷺ yang notabene orang Arab.
Btw,…. sudah cukup untuk sementara sebagian
uneg-uneg dituliskan.
Pesan saya, jauhi paham islAm NUSantara
dan orang-orangnya. Doakan saja agar mereka mendapat hidayah, atau kalau tidak,
kita berdoa agar kita dapat beristirahat dari gangguan mereka.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 3 Syawwaal 1439 H di Ciper].
[1] Sebagaimana kicauan Twitter-nya tertanggal 14
Juni 2018.
[2] Takhrij selengkapnya dilakan baca
artikel : Shahih
Atsar Ibnu ‘Abbas.
[3] Mumpung lagi hangat (kembali) masalah takfir
pasca bom pra-Ramadlaan di Jawa Timur dan beberapa tempat lainnya dari kaum
ekstrimis Islam (baca : Khawaarij).
[4] Silakan baca artikel Kaidah-Kaidah
dalam Pengkafiran.
[5] Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ
اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan
orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah
ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[6] Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
[7] Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[8] Silakan baca : Mengkafirkan
Orang Kafir.
Semoga
smartphone mereka segera diinstal aplikasi KBBI. Sia-sia HP berlabel smartphone,
jika pemiliknya tidak smart.
[10] Bagaimana menurut Anda jika dibandingkan
gerakan kasih sayang pasukan akar rumput : bubarkan pengajian dan siap jaga
gereja ?
[11] Silakan baca artikel : Al-Walaa’
wal-Baraa’ dalam Islam.
[12] Islam Liberal.
Ijin share di FB boleh ustadz?
BalasHapusTyphografinya untuk judul mantab ustadz, heheheh....
BalasHapuspenulis atau lebih pasnya postinger artikel ini memang bodoh bahkan layak untuk jadi paling bodoh. Islam nusantara adalah istilah untuk melawan paham islam yang dibawa dari timur tengah yang penuh dengan radikalisme. islam nusantara bukan istilah untuk melawan islam itu sendiri, ini yang tidak bisa dimengerti oleh salafi sontoloyo.
BalasHapusIslam ya tetap islam dimanapun berada, adanya islam nusantara adalah untuk membedakan diri dari islam yang radikal dan anti toleran.
Ini kira2 seperti penamaan ahlussunnah untuk membedakan dengan ahlul bidah. karena kami orang indonesia tidak mau islam itu harus copy paste dari islamnya orang2 radikal yang berkembang dan dibawa dari arab atau lebih tepatnya timur tengah seperti syiria, afganistan atau arab saudi.
Sampean yg sontoloyo....grand Syaikh Al-Azhar saja gak setuju islAm NUSantara, Sa'id aqil Siroj cengengesan dinasehatin...liat di YouTube mas
HapusJazaakallahu Khairan Ustadz....semoga pengusung & pendukung islAm NUSantara mendapat hidayah
BalasHapusAnonim 22 Juni 2018 05.18
BalasHapusyg mengaku toleran, yg menuduh orang lain intoleran, ternyata mereka sendirilah yg hobi membubarkan pengajian.
ABU JAUZA KETURUNAN ABU JAHAAALLL
BalasHapus