Telah
jamak diketahui oleh kaum muslimin – kecuali yang tidak – tentang diharamkannya
memakai perhiasan emas (bagi seorang laki-laki) atau bejana dan perkakas emas (bagi
kaum muslimin secara umum); sebagaimana tertera larangannya di banyak hadits,
antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ
فَطَرَحَهُ، وَقَالَ: " يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ
فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ "، فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا آخُذُهُ
أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
Dari
‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang laki-laki memakai
cincin emas di tangannya. Kemudian beliau ﷺ mencabut
cincin itu lalu membuangnya seraya bersabda : “Apakah salah seorang diantara
kamu sudi meletakkan bara api di tangannya ?”. Setelah Rasulullah ﷺ pergi,
ada yang berkata kepada laki-laki itu : ”Ambillah cincinmu! Engkau dapat memanfaatkannya!”.
Ia berkata : ”Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya lagi sebab
Rasulullah ﷺ telah membuangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 2090].
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ،
نَهَانَا عَنْ: خَاتَمِ الذَّهَبِ، وَلُبْسِ الْحَرِيرِ، وَالدِّيبَاجِ،
وَالْإِسْتَبْرَقِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَالْمِيثَرَةِ وَأَمَرَنَا: أَنْ
نَتْبَعَ الْجَنَائِزَ، وَنَعُودَ الْمَرِيضَ، وَنُفْشِيَ السَّلَامَ
Dari
Al-Barraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah ﷺ memerintahkan kami 7 perkara dan melarang
kami 7 perkara. Beliau ﷺ melarang kami memakai cincin emas, sutera,
diibaaj, istabraq, qasiy, dan miitsarah. Beliau ﷺ memerintahkan
kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, dan menebarkan salam”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5650 & 5863].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ : Bahwasannya beliau melarang memakai
cincin emas” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5864].
عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: إِنَّ اللَّهَ ﷻ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ، وَالذَّهَبَ،
وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا
Dari
Abu Muusaa (Al-Asy’ariy) : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah
menghalalkan sutera dan emas bagi kaum wanita dari umatku, dan mengharamkannya
bagi laki-lakinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1720, An-Nasaa’iy
no. 5148 & 5265, Ahmad 4/392, dan yang lainnya; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/376-377].
عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: كَانَ
حُذَيْفَةُ بِالْمَدَايِنِ فَاسْتَسْقَى فَأَتَاهُ دِهْقَانٌ بِقَدَحِ فِضَّةٍ
فَرَمَاهُ بِهِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَرْمِهِ إِلَّا أَنِّي نَهَيْتُهُ فَلَمْ
يَنْتَهِ وَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَانَا عَنِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ
وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
Dari
Ibnu Abi Lailaa, ia berkata : Dulu ketika Hudzaifah ada di Madaain, ia pernah
meminta air untuk minum, lalu Dihqan memberinya air minum di dalam gelas yang
terbuat dari perak, maka ia membuangnya seraya berkata : "Sesungguhnya aku
tidak membuangnya kecuali karena aku pernah melarangnya namun ia tidak
mengindahkannya. Dan sesungguhnya Nabi ﷺ melarang kami memakai sutera serta minum
dari bejana emas dan perak. Dan beliau ﷺ bersabda : ‘Itu semua untuk mereka
(orang kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5632].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
أَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم
الذَّهَب لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا
مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم
أَنَّهُ أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه لَا حَرَام ، وَهَذَانِ
النَّقْلَانِ بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الَّتِي
ذَكَرهَا مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum
muslimin bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi wanita, dan mereka
bersepakat pula diharamkannya cincin emas bagi laki-laki. Kecuali yang
dihikayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin Hazm yang
memperbolehkannya. Juga dari sebagian ulama yang menyatakan makruh saja, tidak
haram. Dua nukilan ini batil, dan yang mengatakannya dihujjahi dengan
hadits-hadits yang disebutkan Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’ sebelumnya
yang menyatakan keharamannya” [Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ وَغَيْره : فِي الْحَدِيث
تَحْرِيم اِسْتِعْمَال أَوَانِي الذَّهَب وَالْفِضَّة فِي الْأَكْل وَالشُّرْب ،
وَيُلْحَق بِهِمَا مَا فِي مَعْنَاهُمَا مِثْل التَّطَيُّب وَالتَّكَحُّل وَسَائِر
وُجُوه الِاسْتِعْمَالَات ، وَبِهَذَا قَالَ الْجُمْهُور
“Al-Qurthubiy
dan yang lainnya berkata : ‘Dalam hadits ini terdapat pengharaman memakai
bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Dan yang terkait
dengannya dalam maknanya adalah semisal (memakai bejana emas dan perak) untuk
wewangian, bercelak, dan seluruh bentuk pemakaian. Inilah pendapat jumhur
ulama” [Fathul-Baariy, 10/97].
Lantas
bagaimana jika memakai emas untuk gigi palsu ?
Mari
kita perhatikan beberapa riwayat berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا
أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ طَرَفَةَ، أَنَّ جَدَّهُ
عَرْفَجَةَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ
أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ، فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ
يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ ".
قَالَ يَزِيدُ: فَقِيلَ لِأَبِي الْأَشْهَبِ:
أَدْرَكَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ جَدَّهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Telah
menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abul-Asyhab, dari ‘Abdurrahmaan bin Tharafah, bahwasannya kakeknya – ‘Arfajah –
hidungnya pernah terpotong saat perang Kulaab di masa Jaahiliyyah. Lalu dirinya
memakai hidung (palsu) dari perak yang kemudian ternyata membusuk (berbau
busuk). Maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk memakai hidung
(palsu) dari emas.
Yaziid
berkata : Dikatakan kepada Abul-Asyhab :”Apakah ‘Abdurrahmaan bertemu dengan
kakeknya ?”. Ia menjawab : “Iya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/342 (31/344) no. 19006].
Disebutkan
pula ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/23 (33/398) no. 20271]
dan kemudian diikuti dengan riwayat:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ
الْكُوفِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ الْمُغِيرَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ شَدَّ
أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ، فَذُكِرَ مِثْلَ ذَلِكَ لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: لَا
بَأْسَ بِهِ، حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْت
أَبِي، يَقُولُ: جَاءَ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، فَاسْتَأْذَنُوا عَلَى
أَبِي الْأَشْهَبِ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَقَالُوا: حَدِّثْنَا، قَالَ: سَلُوا،
فَقَالُوا: مَا مَعَنَا شَيْءٌ نَسْأَلُكَ عَنْهُ، فَقَالَتْ ابْنَتُهُ مِنْ
وَرَاءِ السِّتْرِ: سَلُوهُ عَنْ حَدِيثِ عَرْفَجَةَ بْنِ أَسْعَدَ أُصِيبَ
أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ
Telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Syaibaan :
Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Hammaad bin Abi Sulaimaan
Al-Kuufiy, ia berkata : Aku pernah melihat Al-Mughiirah bin 'Abdillah
mengencangkan gigi-giginya dengan emas. Maka disebutkan hal semisal itu kepada
Ibraahiim (An-Nakhaa'iy), lalu ia berkata : "Tidak mengapa
dengannya".
Telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah Abu 'Abdirrahmaan, ia berkata : Aku
mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : "Suatu ketika, sekelompok
ahli hadits pernah mendatangi. Mereka meminta izin untuk bertemu dengan
Abul-Asyhab dan kemudian ia (Abul-Asyhab) mengizinkan mereka. Mereka berkata :
'Riwayatkanlah kepada kami hadits'. Abul-Asyhab berkata : 'Mintalah'. Mereka
berkata : 'Kami tidak punya sesuatu yang mesti kami minta kepadamu'. Maka anak
perempuannya berkata di balik tabir : 'Mintalah kepadanya hadits 'Arfajah bin
As'ad yang hidungnya terpotong pada perang Kulaab[1]"
[idem, 5/23 (33/401) no. 20276; sanadnya hasan].
Ath-Thahawiy
rahimahullah berkata:
وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِمَّا قَدِ اخْتَلَفَ
أَهْلُ الْعِلْمِ فِي مِثْلِهَا، وَهُوَ شَدُّ الأَسْنَانِ إذَا تَحَرَّكَتْ بِمَا
يُحْتَاجُ إلَى شَدِّهَا بِهِ مِنْ وَرِقٍ، وَمِنْ ذَهَبٍ.
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ فِي شَدِّهَا
بِالذَّهَبِ قَوْلانِ مُخْتَلِفَانِ، أَحَدُهُمَا: كَرَاهَةُ ذَلِكَ، كَمَا قَدْ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَبَّاسِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، عَنْ يَعْقُوبَ، عَنْ أَبِي
حَنِيفَةَ بِذَلِكَ، وَلَمْ يَحْكِ فِيهِ خِلافًا.
وَالآخَرُ مِنْهُمَا: مَا قَدْ حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ
الْوَلِيدِ الْكِنْدِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا يُوسُفَ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو
حَنِيفَةَ: لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَلَمْ يَحْكِ فِي ذَلِكَ
خِلافًا.
وَفِي الرِّوَايَتَيْنِ جَمِيعًا عَنْ أَبِي
حَنِيفَةَ، أَنَّهُ لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَقَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ الْحَسَنِ فِي رَأْيِهِ، مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْعَبَّاسِ: لا
بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ.
“Permasalahan
ini diperselisihkan para ulama, yaitu (permasalahan) mengencangkan gigi-gigi
jika goyang dengan sesuatu yang dapat mengencangkannya dari perak dan emas.
Diriwayatkan
dari Abu Haniifah tentang permasalahan mengencangkan gigi dengan emas dua pendapat
yang berbeda. Pertama, adalah makruh sebagaimana telah diceritakan kepada kami oleh
Muhammad bin ‘Abbaas, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
Ma’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan, dari
Ya’quub, dari Abu Haniifah tentang hal tersebut, dan tidak disebutkan adanya
perbedaan pendapat padanya.
Kedua,
adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Ja’far bin Ahmad Al-Waliid,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Waliid Al-Kindiy, ia
berkata : Aku mendengar Abu Yuusuf berkata : Telah berkata Abu Haniifah :
‘Tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas’. Dan tidak disebutkan adanya
perbedaan pendapat padanya.
Dalam
dua riwayat tersebut dari Abu Haniifah, bahwasannya tidak mengapa mengencangkan
gigi dengan emas. Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan dalam pandangannya (pada
permasalahan tersebut) dari riwayat Muhammad bin Al-‘Abbaas : ‘Tidak mengapa
mengencangkan gigi dengan emas” [Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/35-36].
Al-Baghawiy
rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَقَدْ أَبَاحَ أَهْلُ الْعِلْمِ اتِّخَاذَ
الأَنْفِ، وَرَبْطَ الأَسْنَانِ بِالذَّهَبِ، لأَنَّهُ لا يَنْتُنُ. قَالَ
شُعْبَةُ: رَأَيْتُ أَبَا حَمْزَةَ نَصْرَ بْنَ عِمْرَانَ، وَأَبَا التَّيَّاحِ،
وَأَبَا نَوْفَلِ بْنَ أَبِي عَقْرَبٍ يُضَبِّبُونَ أَسْنَانَهُمْ بِالذَّهَبِ
“Dan
para ulama membolehkan memakai hidung (palsu) dan mengikat/meyambung gigi
dengan emas karena emas tidak menyebabkan busuk. Syu’bah berkata : ‘Aku melihat
Abu Hamzah Nashr bin ‘Imraan, Abut-Tayyaah, dan Abu Naufal bin Abi ‘Aqrab
memakai gigi emas[2]” [Syarhus-Sunnah
12/115].
Al-Baihaqiy
rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَرُوِّينَا عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ
شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ. وَعَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُوسَى بْنِ
طَلْحَةَ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، كَذَلِكَ. وَرُوِّينَا عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ لَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَأَمَّا التَّخَتُّمُ بِالذَّهَبِ
فَلا يَجُوزُ ذَلِكَ لِلرِّجَالِ
Dan
kami meriwayatkan dari Anas bin Maalik bahwasannya ia mengencangkan giginya
dengan emas. Begitu juga dari Al-Hasan Al-Bashriy, Muusaa bin Thalhah, dan
Ismaa’iil bin Zaid bin Tsaabit (hal yang semisal). Dan kami meriwayatkan dari
Ibraahiim (An-Nakha’iy) bahwasannya ia memandang hal tersebut tidak apa-apa.
Adapun memakai cincin emas, maka tidak diperbolehkan untuk laki-laki” [Syu’abul-Iimaan,
8/343-344 no. 5917].
Riwayat
Anas yang dimaksud dibawakan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubraa 2/426.
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 1/104 no. 293, Ath-Thabaraaniy
dalam Al-Kabiir 1/241 no. 667, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah
1/232 no. 793-794; semuanya dari jalan Muhammad bin Sa’daan, dari ayahnya.
Abul-Yaqdhaan
rahimahullah berkata:
لم يكن عُثْمَان بالطويل ولا بالقصير، وكان حسن
الوجه، رقيق البشرة، كثير الشعر، عظيم اللحية، أسمر اللون، وكان يشد أسنانه بالذهب
“’Utsmaan
(bin ‘Affaan) tidak tinggi, tidak pula pendek. Wajahnya tampan, kulitnya halus,
rambutnya banyak, jenggotnya tebal, dan warna kulitnya kemerahan. Ia
mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ad-Diinawariy dalam
dalam Al-Mujaalasah no. 238 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq
39/19].
Beberapa
riwayat yang ternukil dari salaf dalam permasalahan ini antara lain:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ طُعْمَةَ
الْجَعْفَرِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ
بِالذَّهَبِ
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Tha’mah Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku melihat
Muusaa bin Thalhah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah 8/365 no. 25648; sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu
Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/84 & 6/466].
Muusaa
bin Thalhah adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin yang
wafat tahun 103 H.
حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا
رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مَنْجُوفٍ،
قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا رَافِعٍ مُشَبَّكَةً أَسْنَانُهُ بِالذَّهَبِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Umayyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Rauh bin ‘Ubaadah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
Suwaid bin Manjuuf, ia berkata : “Aku pernah melihat Abu Raafi’ sedang menjalin
gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykiilil-Aatsaar 4/38; sanadnya hasan].
Abu
Raafi’ Al-Madaniy adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin.
حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ ثَابِتِ
بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ مَرْبُوطَةً أَسْنَانُهُ
بِخِرْصَانِ الذَّهَبِ
Telah
menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Tsaabit bin Qais, ia berkata : “Aku
melihat Naafi’ bin Jubair giginya terikat dengan ring emas” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah no. 25649; sanadnya hasan].
Naafi’
bin Jubair adalah seorang ulama taabi’iin yang wafat tahun 99 H.
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ
سَلَمَةَ، عَنْ حُمَيْدٍ، أَنَّ الْحَسَنَ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari Hammaad bin Salamah, dari Humaid :
Bahwasannya Al-Hasan (Al-Bashriy) mengencangkan gigi-giginya dengan emas [idem
no. 25650; sanadnya shahih].
Hasan
bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Hasan
Al-Bashriy adalah seorang ulama taabi’iin yang tsiqah, faqiih,
mempunyai banyak keutamaan, lagi masyhuur. Wafat tahun 110 H dalam usia 88/89
tahun.
أخبرنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُسْأَلُ عَنْ رَبْطِ الأَسْنَانِ
بِالذَّهَبِ، قَالَ: لا بَأْسَ بِهِ، رَبَطَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ
أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Ibnu Juraij, ia berkata :
Aku mendengar Ibnu Syihaab ditanya tentang mengikat gigi dengan emas. Ia
menjawab : Tidak mengapa dengannya. ‘Abdul-Malik bin Marwan mengikat
gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/121;
shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ no. 605 dari
jalan Muhammad bin ‘Amru dari Ibnu Juraij].
Ibnu Syihaab adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah
bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang imam dari kalangan taabi’iin
yang wafat tahun 125 H.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، قَالَ: ثَنَا الْخَصِيبُ،
قَالَ: " رَأَيْتُ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَسَنِ قَاضِيَ الْبَصْرَةِ،
قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Al-Khashiib, ia berkata : “Aku melihat ‘Ubaidullah bin Al-Hasan hakim kota
Bashrah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy
dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6751; sanadnya hasan].
‘Ubaidullah
bin Al-Hasan adalah ulama kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang wafat tahun
168 H.
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قال:
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ أَبَا التَّيَّاحِ
وَثَابِتَ الْبَنَانِيَّ قَدْ ضَبَّبَا أَسْنَانَهُمَا بِالذَّهَبِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad bin Zaid, ia berkata : “Aku pernah melihat Abut-Tayyaah dan
Tsaabit Al-Bunaaniy memakai emas pada gigi-giginya” [Diriwayatkan oleh Abu
Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 1793; sanadnya shahih].
Abut-Tayyaah adalah laqab dari Yaziid bin Humaid Adl-Dluba’iy
Al-Bashriy,
seorang ulama taabi’iin yang tsiqah
lagi tsabat, wafat tahun 126 H. Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy
adalah seorang ulama taabi’iin tsiqah
lagi ahli ibadah yang wafat tahun 123
H/127 H.
Ini
adalah madzhab jumhur ulama yang membolehkan menggunakan emas untuk gigi palsu
atau untuk mengencangkannya, dengan mengambil dalil hadits ‘Arfajah bin Sa’d radliyallaahu
‘anhu.
Setelah
menyebutkan riwayat-riwayat dari salaf dalam permasalahan ini, Ath-Thahawiy rahimahullah
memberikan kesimpulan:
وَلا نَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنَ
الْمُتَقَدِّمِينَ خِلافًا لِهَذَا الْقَوْلِ، غَيْرَ مَا ذَكَرْنَاهُ فِيهِ عَنْ
أَبِي حَنِيفَةَ مِنْ قَوْلِهِ الَّذِي يُخَالِفُهُ فِيهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ، لا
سِيَّمَا وَقَدْ كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي ذَلِكَ مِنَ الإِبَاحَةِ
لِعَرْفَجَةَ.....
“Dan
kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama mutaqaddimiin yang
menyelisihi pendapat ini (yaitu pembolehan memakai emas untuk
menambal/mengencangkan gigi – Abul-Jauzaa’) selain dari apa yang
kami sebutkan dari pendapat Abu Haniifah yang menyelisihi para ulama. Terlebih
lagi (menyelisihi) Rasulullah ﷺ yang membolehkan ‘Arfajah dalam penggunaan
emas ……” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 4/39].
Pembolehan
inilah yang raajih.
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
وأما قول المصنف إن اضطر إلى الذهب جاز استعماله
فمتفق عليه قال أصحابنا فيباح له الأنف والسن من الذهب ومن الفضة, وكذا شد السن
العليلة بذهب وفضة جائز
“Adapun
perkataan penulis : ‘Sesungguhnya terpaksa memakai emas, maka boleh
menggunakannya’, maka itu disepakati. Para ulama Syaafi’iyyah berkata : ‘Diperbolehkan
memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas dan perak. Begitu pula mengencangkan
gigi sakit/rusak dengan emas dan perak juga diperbolehkan” [Al-Majmuu’,
1/256].
Ibnu
Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
فأما الذهب ، فلا يباح إلا في الضرورة ، كأنف
الذهب ، لأن النبي (صلى الله عليه وسلم) : رخص لعرفجة بن سعد لما قطع أنفه يوم
الكلاب واتخذ أنفاً من ورق فأنتن عليه ، فأمره أن يتخذ أنفاً من الذهب . قال الترمذي:
هذا حديث حسن صحيح . ويباح ربط أسنانه بالذهب إذا خشي سقوطها ، لأنه في معنى أنف
الذهب.
“Adapun
emas, maka tidak diperbolehkan kecuali darurat, seperti hidung dari emas karena
Nabi ﷺ
memberikan keringanan bagi ‘Arfajah bin Sa’d ketika hidungnya terpotong pada
perang Kulaab. Ia memakai hidung (palsu) dari emas namun ternyata malah
membusuk (mengeluarkan bau busuk). Maka beliau ﷺ memerintahkannya untuk memakai hidung
(palsu) dari emas. At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits hasan shahih’. Dan
diperbolehkan mengikat gigi-gigi dengan emas apabila khawatir tanggap/copot,
karena itu masuk dalam cakupan makna hidung emas” [Al-Kaafiy, 1/15].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin memberikan komentar atas perkataan Ibnu
Qudaamah rahimahumallah di atas dengan perkataannya:
وأما ما ذكره من اتخاذ الأنف والسن من الذهب للضرورة
فهذا صحيح فإذا قال قائل ما الفرق بين التحلي واتخاذ الأنف فالجواب الفرق بينهما
ظاهر لأن اتخاذ الأنف من باب تغطية العيب والتحلي من باب التجمل والكمال فهذا هو
الفرق ولهذا نقول لو أن الرجل اتخذ سنا من ذهب للتجمل صار هذا حراما لأنه لا يحل
له أن يتجمل بالذهب ولو اتخذه للحاجة صار حلالا وهل للمرأة أن تتخذ سنا من الذهب
للتجمل؟ نعم لها أن تتخذ هذا لأنها كما تتجمل بالذهب على صدرها وفي أذنها وفي يدها
كذلك أيضا في سنها.
“Adapun
yang disebutkan oleh Ibnu Qudaamah dengan memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas
karena darurat, maka ini benar. Ada yang berkata : ‘Lantas apa perbedaan antara
berhias dengan menggunakan hidung (palsu) ?’. Maka jawabannya : ‘Perbedaan
antara keduanya jelas, karena menggunakan hidung palsu masuk dalam bab menutupi
aib, sedangkan masuk dalam bab mempercantik diri dan menyempurnakannya. Inilah
perbedaannya. Oleh karena itu kami katakan seandainya ada seorang laki-laki
memakai gigi palsu dari emas untuk berhias, maka hukumnya menjadi haram karena
tidak halal baginya berhias dengan menggunakan emas. Namun seandainya ia
memakainya karena ada hajat/kebutuhan, maka hukumnya menjadi halal. Apakah
wanita diperbolehkan memakai gigi emas dalam rangka berhias ?. Iya,
diperbolehkan baginya untuk memakainya karena itu hal itu sebagaimana dirinya diperbolehkan
berhias dengan emas di dadanya (kalung), telinganya (anting), tangannya (gelang).
Maka begitu juga diperbolehkan berhias di giginya” [Ta’liiqaat ‘alal-Kaafiy
li-Ibni Qudaamah, 1/53].
Silakan
baca pula Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah 21/281.
Jika
menggunakan gigi emas (dan perak) diperbolehkan yang asalnya diharamkan, maka
menggunakan bahan lain selain emas (dan perak) diperbolehkan lagi. Bahkan, jika
memungkinkan menggunakan gigi palsu dari bahan selain emas, maka itu lebih
diutamakan – sebagaimana sekarang banyak dipergunakan dalam kedokteran gigi.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
قوله: " ونحوه " أي : مثل السن والأذن.
مثاله: رجل انكسر سنه، واحتاج إلى رباط من
الذهب، أو سن من الذهب، فإنه لا بأس به.
ولكن إذا كان يمكن أن يجعل له سناً من غير الذهب
، كالأسنان المعروفة الآن ، فالظاهر أنه لا يجوز من الذهب ؛ لأنه ليس بضرورة ، ثم
إن غير الذهب وهي المادة المصنوعة أقرب إلى السن الطبيعي من سن الذهب ، وكذلك إذا
اسودّ السن ولم ينكسر، فإنه لا يجوز تلبيسه بالذهب ؛ لأنه لا يعتبر ضرورة ما لم
يخش تكسره أو تآكله ، فإنه يجوز.
“Perkataan
Al-Hijawiy : ‘dan yang semisalnya’, yaitu semisal gigi dan telinga.
Contohnya
: seorang laki-laki yang patah giginya, ia perlu mengikatnya dengan emas atau (memasang)
gigi emas, maka tidak mengapa dengannya.
Akan
tetapi, apabila memungkinkan baginya untuk menggunakan gigi yang terbuat dari
selain emas, seperti gigi-gigi (palsu) yang dikenal zaman sekarang; maka
dhahirnya tidak diperbolehkan baginya untuk menggunakan emas karena itu bukan
darurat. Selain itu, bahan/material selain emas lebih mirip dengan gigi asli
daripada gigi emas. Dan begitu pula apabila gigi menghitam namun tidak patah,
maka tidak diperbolehkan memakai emas, karena tidak dianggap darurat kecuali
jika dikhawatirkan akan patah dan keropos, maka yang demikian diperbolehkan” [Asy-Syarhul-Mumtii’,
6/117-118].
Wallaahu
a’lam.
Semoga
artikel singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– ciper – 26 Ramadlaan 1439].
[1] Di sini dapat kita lihat bagaimana
Abul-Asyhab mendidik anak perempuannya sehingga ia mengetahui riwayat yang ada ayahnya.
[2] Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6750 dan Syarh Musykiilil Aatsaar 4/37 dengan
sanad shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar