10 Juni 2018

Gigi Palsu dari Emas


Telah jamak diketahui oleh kaum muslimin – kecuali yang tidak – tentang diharamkannya memakai perhiasan emas (bagi seorang laki-laki) atau bejana dan perkakas emas (bagi kaum muslimin secara umum); sebagaimana tertera larangannya di banyak hadits, antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ، وَقَالَ: " يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ "، فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya. Kemudian beliau mencabut cincin itu lalu membuangnya seraya bersabda : “Apakah salah seorang diantara kamu sudi meletakkan bara api di tangannya ?”. Setelah Rasulullah pergi, ada yang berkata kepada laki-laki itu : ”Ambillah cincinmu! Engkau dapat memanfaatkannya!”. Ia berkata : ”Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya lagi sebab Rasulullah telah membuangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2090].

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ، نَهَانَا عَنْ: خَاتَمِ الذَّهَبِ، وَلُبْسِ الْحَرِيرِ، وَالدِّيبَاجِ، وَالْإِسْتَبْرَقِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَالْمِيثَرَةِ وَأَمَرَنَا: أَنْ نَتْبَعَ الْجَنَائِزَ، وَنَعُودَ الْمَرِيضَ، وَنُفْشِيَ السَّلَامَ
Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah memerintahkan kami 7 perkara dan melarang kami 7 perkara. Beliau melarang kami memakai cincin emas, sutera, diibaaj, istabraq, qasiy, dan miitsarah. Beliau memerintahkan kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, dan menebarkan salam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5650 & 5863].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi : Bahwasannya beliau melarang memakai cincin emas” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5864].
عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ ﷻ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ، وَالذَّهَبَ، وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا
Dari Abu Muusaa (Al-Asy’ariy) : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menghalalkan sutera dan emas bagi kaum wanita dari umatku, dan mengharamkannya bagi laki-lakinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1720, An-Nasaa’iy no. 5148 & 5265, Ahmad 4/392, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/376-377].
عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: كَانَ حُذَيْفَةُ بِالْمَدَايِنِ فَاسْتَسْقَى فَأَتَاهُ دِهْقَانٌ بِقَدَحِ فِضَّةٍ فَرَمَاهُ بِهِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَرْمِهِ إِلَّا أَنِّي نَهَيْتُهُ فَلَمْ يَنْتَهِ وَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَانَا عَنِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
Dari Ibnu Abi Lailaa, ia berkata : Dulu ketika Hudzaifah ada di Madaain, ia pernah meminta air untuk minum, lalu Dihqan memberinya air minum di dalam gelas yang terbuat dari perak, maka ia membuangnya seraya berkata : "Sesungguhnya aku tidak membuangnya kecuali karena aku pernah melarangnya namun ia tidak mengindahkannya. Dan sesungguhnya Nabi melarang kami memakai sutera serta minum dari bejana emas dan perak. Dan beliau bersabda : ‘Itu semua untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5632].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم الذَّهَب لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم أَنَّهُ أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه لَا حَرَام ، وَهَذَانِ النَّقْلَانِ بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الَّتِي ذَكَرهَا مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum muslimin bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi wanita, dan mereka bersepakat pula diharamkannya cincin emas bagi laki-laki. Kecuali yang dihikayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin Hazm yang memperbolehkannya. Juga dari sebagian ulama yang menyatakan makruh saja, tidak haram. Dua nukilan ini batil, dan yang mengatakannya dihujjahi dengan hadits-hadits yang disebutkan Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’ sebelumnya yang menyatakan keharamannya” [Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ وَغَيْره : فِي الْحَدِيث تَحْرِيم اِسْتِعْمَال أَوَانِي الذَّهَب وَالْفِضَّة فِي الْأَكْل وَالشُّرْب ، وَيُلْحَق بِهِمَا مَا فِي مَعْنَاهُمَا مِثْل التَّطَيُّب وَالتَّكَحُّل وَسَائِر وُجُوه الِاسْتِعْمَالَات ، وَبِهَذَا قَالَ الْجُمْهُور
“Al-Qurthubiy dan yang lainnya berkata : ‘Dalam hadits ini terdapat pengharaman memakai bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Dan yang terkait dengannya dalam maknanya adalah semisal (memakai bejana emas dan perak) untuk wewangian, bercelak, dan seluruh bentuk pemakaian. Inilah pendapat jumhur ulama” [Fathul-Baariy, 10/97].
Lantas bagaimana jika memakai emas untuk gigi palsu ?
Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ طَرَفَةَ، أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ، فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ ".
قَالَ يَزِيدُ: فَقِيلَ لِأَبِي الْأَشْهَبِ: أَدْرَكَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ جَدَّهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Asyhab, dari ‘Abdurrahmaan bin Tharafah, bahwasannya kakeknya – ‘Arfajah – hidungnya pernah terpotong saat perang Kulaab di masa Jaahiliyyah. Lalu dirinya memakai hidung (palsu) dari perak yang kemudian ternyata membusuk (berbau busuk). Maka Nabi memerintahkannya untuk memakai hidung (palsu) dari emas.
Yaziid berkata : Dikatakan kepada Abul-Asyhab :”Apakah ‘Abdurrahmaan bertemu dengan kakeknya ?”. Ia menjawab : “Iya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/342 (31/344) no. 19006].
Disebutkan pula ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/23 (33/398) no. 20271] dan kemudian diikuti dengan riwayat:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ الْكُوفِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ الْمُغِيرَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ، فَذُكِرَ مِثْلَ ذَلِكَ لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ، حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْت أَبِي، يَقُولُ: جَاءَ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، فَاسْتَأْذَنُوا عَلَى أَبِي الْأَشْهَبِ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَقَالُوا: حَدِّثْنَا، قَالَ: سَلُوا، فَقَالُوا: مَا مَعَنَا شَيْءٌ نَسْأَلُكَ عَنْهُ، فَقَالَتْ ابْنَتُهُ مِنْ وَرَاءِ السِّتْرِ: سَلُوهُ عَنْ حَدِيثِ عَرْفَجَةَ بْنِ أَسْعَدَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Syaibaan : Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Hammaad bin Abi Sulaimaan Al-Kuufiy, ia berkata : Aku pernah melihat Al-Mughiirah bin 'Abdillah mengencangkan gigi-giginya dengan emas. Maka disebutkan hal semisal itu kepada Ibraahiim (An-Nakhaa'iy), lalu ia berkata : "Tidak mengapa dengannya".
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah Abu 'Abdirrahmaan, ia berkata : Aku mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : "Suatu ketika, sekelompok ahli hadits pernah mendatangi. Mereka meminta izin untuk bertemu dengan Abul-Asyhab dan kemudian ia (Abul-Asyhab) mengizinkan mereka. Mereka berkata : 'Riwayatkanlah kepada kami hadits'. Abul-Asyhab berkata : 'Mintalah'. Mereka berkata : 'Kami tidak punya sesuatu yang mesti kami minta kepadamu'. Maka anak perempuannya berkata di balik tabir : 'Mintalah kepadanya hadits 'Arfajah bin As'ad yang hidungnya terpotong pada perang Kulaab[1]" [idem, 5/23 (33/401) no. 20276; sanadnya hasan].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِمَّا قَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي مِثْلِهَا، وَهُوَ شَدُّ الأَسْنَانِ إذَا تَحَرَّكَتْ بِمَا يُحْتَاجُ إلَى شَدِّهَا بِهِ مِنْ وَرِقٍ، وَمِنْ ذَهَبٍ.
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ فِي شَدِّهَا بِالذَّهَبِ قَوْلانِ مُخْتَلِفَانِ، أَحَدُهُمَا: كَرَاهَةُ ذَلِكَ، كَمَا قَدْ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَبَّاسِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، عَنْ يَعْقُوبَ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ بِذَلِكَ، وَلَمْ يَحْكِ فِيهِ خِلافًا.
وَالآخَرُ مِنْهُمَا: مَا قَدْ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ الْكِنْدِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا يُوسُفَ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَلَمْ يَحْكِ فِي ذَلِكَ خِلافًا.
وَفِي الرِّوَايَتَيْنِ جَمِيعًا عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهُ لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ فِي رَأْيِهِ، مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْعَبَّاسِ: لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ.
“Permasalahan ini diperselisihkan para ulama, yaitu (permasalahan) mengencangkan gigi-gigi jika goyang dengan sesuatu yang dapat mengencangkannya dari perak dan emas.
Diriwayatkan dari Abu Haniifah tentang permasalahan mengencangkan gigi dengan emas dua pendapat yang berbeda. Pertama, adalah makruh sebagaimana telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin ‘Abbaas, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ma’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan, dari Ya’quub, dari Abu Haniifah tentang hal tersebut, dan tidak disebutkan adanya perbedaan pendapat padanya.
Kedua, adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Ja’far bin Ahmad Al-Waliid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Waliid Al-Kindiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Yuusuf berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas’. Dan tidak disebutkan adanya perbedaan pendapat padanya.
Dalam dua riwayat tersebut dari Abu Haniifah, bahwasannya tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas. Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan dalam pandangannya (pada permasalahan tersebut) dari riwayat Muhammad bin Al-‘Abbaas : ‘Tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas” [Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/35-36].
Al-Baghawiy rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَقَدْ أَبَاحَ أَهْلُ الْعِلْمِ اتِّخَاذَ الأَنْفِ، وَرَبْطَ الأَسْنَانِ بِالذَّهَبِ، لأَنَّهُ لا يَنْتُنُ. قَالَ شُعْبَةُ: رَأَيْتُ أَبَا حَمْزَةَ نَصْرَ بْنَ عِمْرَانَ، وَأَبَا التَّيَّاحِ، وَأَبَا نَوْفَلِ بْنَ أَبِي عَقْرَبٍ يُضَبِّبُونَ أَسْنَانَهُمْ بِالذَّهَبِ
“Dan para ulama membolehkan memakai hidung (palsu) dan mengikat/meyambung gigi dengan emas karena emas tidak menyebabkan busuk. Syu’bah berkata : ‘Aku melihat Abu Hamzah Nashr bin ‘Imraan, Abut-Tayyaah, dan Abu Naufal bin Abi ‘Aqrab memakai gigi emas[2]” [Syarhus-Sunnah 12/115].
Al-Baihaqiy rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَرُوِّينَا عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ. وَعَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُوسَى بْنِ طَلْحَةَ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، كَذَلِكَ. وَرُوِّينَا عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ لَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَأَمَّا التَّخَتُّمُ بِالذَّهَبِ فَلا يَجُوزُ ذَلِكَ لِلرِّجَالِ
Dan kami meriwayatkan dari Anas bin Maalik bahwasannya ia mengencangkan giginya dengan emas. Begitu juga dari Al-Hasan Al-Bashriy, Muusaa bin Thalhah, dan Ismaa’iil bin Zaid bin Tsaabit (hal yang semisal). Dan kami meriwayatkan dari Ibraahiim (An-Nakha’iy) bahwasannya ia memandang hal tersebut tidak apa-apa. Adapun memakai cincin emas, maka tidak diperbolehkan untuk laki-laki” [Syu’abul-Iimaan, 8/343-344 no. 5917].
Riwayat Anas yang dimaksud dibawakan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubraa 2/426. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 1/104 no. 293, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 1/241 no. 667, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah 1/232 no. 793-794; semuanya dari jalan Muhammad bin Sa’daan, dari ayahnya.
Abul-Yaqdhaan rahimahullah berkata:
لم يكن عُثْمَان بالطويل ولا بالقصير، وكان حسن الوجه، رقيق البشرة، كثير الشعر، عظيم اللحية، أسمر اللون، وكان يشد أسنانه بالذهب
“’Utsmaan (bin ‘Affaan) tidak tinggi, tidak pula pendek. Wajahnya tampan, kulitnya halus, rambutnya banyak, jenggotnya tebal, dan warna kulitnya kemerahan. Ia mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ad-Diinawariy dalam dalam Al-Mujaalasah no. 238 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 39/19].
Beberapa riwayat yang ternukil dari salaf dalam permasalahan ini antara lain:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ طُعْمَةَ الْجَعْفَرِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Tha’mah Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku melihat Muusaa bin Thalhah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/365 no. 25648; sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/84 & 6/466].
Muusaa bin Thalhah adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin yang wafat tahun 103 H.
حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مَنْجُوفٍ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا رَافِعٍ مُشَبَّكَةً أَسْنَانُهُ بِالذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Umayyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Suwaid bin Manjuuf, ia berkata : “Aku pernah melihat Abu Raafi’ sedang menjalin gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/38; sanadnya hasan].
Abu Raafi’ Al-Madaniy adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin.
حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ مَرْبُوطَةً أَسْنَانُهُ بِخِرْصَانِ الذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Tsaabit bin Qais, ia berkata : “Aku melihat Naafi’ bin Jubair giginya terikat dengan ring emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25649; sanadnya hasan].
Naafi’ bin Jubair adalah seorang ulama taabi’iin yang wafat tahun 99 H.
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ حُمَيْدٍ، أَنَّ الْحَسَنَ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari Hammaad bin Salamah, dari Humaid : Bahwasannya Al-Hasan (Al-Bashriy) mengencangkan gigi-giginya dengan emas [idem no. 25650; sanadnya shahih].
Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Hasan Al-Bashriy adalah seorang ulama taabi’iin yang tsiqah, faqiih, mempunyai banyak keutamaan, lagi masyhuur. Wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun.
أخبرنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُسْأَلُ عَنْ رَبْطِ الأَسْنَانِ بِالذَّهَبِ، قَالَ: لا بَأْسَ بِهِ، رَبَطَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Syihaab ditanya tentang mengikat gigi dengan emas. Ia menjawab : Tidak mengapa dengannya. ‘Abdul-Malik bin Marwan mengikat gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/121; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ no. 605 dari jalan Muhammad bin ‘Amru dari Ibnu Juraij].
Ibnu Syihaab adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang imam dari kalangan taabi’iin yang wafat tahun 125 H.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، قَالَ: ثَنَا الْخَصِيبُ، قَالَ: " رَأَيْتُ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَسَنِ قَاضِيَ الْبَصْرَةِ، قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Khashiib, ia berkata : “Aku melihat ‘Ubaidullah bin Al-Hasan hakim kota Bashrah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6751; sanadnya hasan].
‘Ubaidullah bin Al-Hasan adalah ulama kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang wafat tahun 168 H.
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قال: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ أَبَا التَّيَّاحِ وَثَابِتَ الْبَنَانِيَّ قَدْ ضَبَّبَا أَسْنَانَهُمَا بِالذَّهَبِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, ia berkata : “Aku pernah melihat Abut-Tayyaah dan Tsaabit Al-Bunaaniy memakai emas pada gigi-giginya” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 1793; sanadnya shahih].
Abut-Tayyaah adalah laqab dari Yaziid bin Humaid Adl-Dluba’iy Al-Bashriy, seorang ulama taabi’iin yang tsiqah lagi tsabat, wafat tahun 126 H. Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy adalah seorang ulama taabi’iin tsiqah lagi ahli ibadah yang wafat tahun 123 H/127 H.
Ini adalah madzhab jumhur ulama yang membolehkan menggunakan emas untuk gigi palsu atau untuk mengencangkannya, dengan mengambil dalil hadits ‘Arfajah bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu.
Setelah menyebutkan riwayat-riwayat dari salaf dalam permasalahan ini, Ath-Thahawiy rahimahullah memberikan kesimpulan:
وَلا نَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ خِلافًا لِهَذَا الْقَوْلِ، غَيْرَ مَا ذَكَرْنَاهُ فِيهِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ مِنْ قَوْلِهِ الَّذِي يُخَالِفُهُ فِيهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ، لا سِيَّمَا وَقَدْ كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي ذَلِكَ مِنَ الإِبَاحَةِ لِعَرْفَجَةَ.....
“Dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama mutaqaddimiin yang menyelisihi pendapat ini (yaitu pembolehan memakai emas untuk menambal/mengencangkan gigi – Abul-Jauzaa’) selain dari apa yang kami sebutkan dari pendapat Abu Haniifah yang menyelisihi para ulama. Terlebih lagi (menyelisihi) Rasulullah yang membolehkan ‘Arfajah dalam penggunaan emas ……” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 4/39].
Pembolehan inilah yang raajih.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما قول المصنف إن اضطر إلى الذهب جاز استعماله فمتفق عليه قال أصحابنا فيباح له الأنف والسن من الذهب ومن الفضة, وكذا شد السن العليلة بذهب وفضة جائز
“Adapun perkataan penulis : ‘Sesungguhnya terpaksa memakai emas, maka boleh menggunakannya’, maka itu disepakati. Para ulama Syaafi’iyyah berkata : ‘Diperbolehkan memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas dan perak. Begitu pula mengencangkan gigi sakit/rusak dengan emas dan perak juga diperbolehkan” [Al-Majmuu’, 1/256].
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
فأما الذهب ، فلا يباح إلا في الضرورة ، كأنف الذهب ، لأن النبي (صلى الله عليه وسلم) : رخص لعرفجة بن سعد لما قطع أنفه يوم الكلاب واتخذ أنفاً من ورق فأنتن عليه ، فأمره أن يتخذ أنفاً من الذهب . قال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح . ويباح ربط أسنانه بالذهب إذا خشي سقوطها ، لأنه في معنى أنف الذهب.
“Adapun emas, maka tidak diperbolehkan kecuali darurat, seperti hidung dari emas karena Nabi memberikan keringanan bagi ‘Arfajah bin Sa’d ketika hidungnya terpotong pada perang Kulaab. Ia memakai hidung (palsu) dari emas namun ternyata malah membusuk (mengeluarkan bau busuk). Maka beliau memerintahkannya untuk memakai hidung (palsu) dari emas. At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits hasan shahih’. Dan diperbolehkan mengikat gigi-gigi dengan emas apabila khawatir tanggap/copot, karena itu masuk dalam cakupan makna hidung emas” [Al-Kaafiy, 1/15].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin memberikan komentar atas perkataan Ibnu Qudaamah rahimahumallah di atas dengan perkataannya:
وأما ما ذكره من اتخاذ الأنف والسن من الذهب للضرورة فهذا صحيح فإذا قال قائل ما الفرق بين التحلي واتخاذ الأنف فالجواب الفرق بينهما ظاهر لأن اتخاذ الأنف من باب تغطية العيب والتحلي من باب التجمل والكمال فهذا هو الفرق ولهذا نقول لو أن الرجل اتخذ سنا من ذهب للتجمل صار هذا حراما لأنه لا يحل له أن يتجمل بالذهب ولو اتخذه للحاجة صار حلالا وهل للمرأة أن تتخذ سنا من الذهب للتجمل؟ نعم لها أن تتخذ هذا لأنها كما تتجمل بالذهب على صدرها وفي أذنها وفي يدها كذلك أيضا في سنها.
“Adapun yang disebutkan oleh Ibnu Qudaamah dengan memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas karena darurat, maka ini benar. Ada yang berkata : ‘Lantas apa perbedaan antara berhias dengan menggunakan hidung (palsu) ?’. Maka jawabannya : ‘Perbedaan antara keduanya jelas, karena menggunakan hidung palsu masuk dalam bab menutupi aib, sedangkan masuk dalam bab mempercantik diri dan menyempurnakannya. Inilah perbedaannya. Oleh karena itu kami katakan seandainya ada seorang laki-laki memakai gigi palsu dari emas untuk berhias, maka hukumnya menjadi haram karena tidak halal baginya berhias dengan menggunakan emas. Namun seandainya ia memakainya karena ada hajat/kebutuhan, maka hukumnya menjadi halal. Apakah wanita diperbolehkan memakai gigi emas dalam rangka berhias ?. Iya, diperbolehkan baginya untuk memakainya karena itu hal itu sebagaimana dirinya diperbolehkan berhias dengan emas di dadanya (kalung), telinganya (anting), tangannya (gelang). Maka begitu juga diperbolehkan berhias di giginya” [Ta’liiqaat ‘alal-Kaafiy li-Ibni Qudaamah, 1/53].
Silakan baca pula Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah 21/281.
Jika menggunakan gigi emas (dan perak) diperbolehkan yang asalnya diharamkan, maka menggunakan bahan lain selain emas (dan perak) diperbolehkan lagi. Bahkan, jika memungkinkan menggunakan gigi palsu dari bahan selain emas, maka itu lebih diutamakan – sebagaimana sekarang banyak dipergunakan dalam kedokteran gigi.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
قوله: " ونحوه " أي : مثل السن والأذن.
مثاله: رجل انكسر سنه، واحتاج إلى رباط من الذهب، أو سن من الذهب، فإنه لا بأس به.
ولكن إذا كان يمكن أن يجعل له سناً من غير الذهب ، كالأسنان المعروفة الآن ، فالظاهر أنه لا يجوز من الذهب ؛ لأنه ليس بضرورة ، ثم إن غير الذهب وهي المادة المصنوعة أقرب إلى السن الطبيعي من سن الذهب ، وكذلك إذا اسودّ السن ولم ينكسر، فإنه لا يجوز تلبيسه بالذهب ؛ لأنه لا يعتبر ضرورة ما لم يخش تكسره أو تآكله ، فإنه يجوز.
“Perkataan Al-Hijawiy : ‘dan yang semisalnya’, yaitu semisal gigi dan telinga.
Contohnya : seorang laki-laki yang patah giginya, ia perlu mengikatnya dengan emas atau (memasang) gigi emas, maka tidak mengapa dengannya.
Akan tetapi, apabila memungkinkan baginya untuk menggunakan gigi yang terbuat dari selain emas, seperti gigi-gigi (palsu) yang dikenal zaman sekarang; maka dhahirnya tidak diperbolehkan baginya untuk menggunakan emas karena itu bukan darurat. Selain itu, bahan/material selain emas lebih mirip dengan gigi asli daripada gigi emas. Dan begitu pula apabila gigi menghitam namun tidak patah, maka tidak diperbolehkan memakai emas, karena tidak dianggap darurat kecuali jika dikhawatirkan akan patah dan keropos, maka yang demikian diperbolehkan” [Asy-Syarhul-Mumtii’, 6/117-118].
Wallaahu a’lam.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper – 26 Ramadlaan 1439].


[1]    Di sini dapat kita lihat bagaimana Abul-Asyhab mendidik anak perempuannya sehingga ia mengetahui riwayat yang ada ayahnya.
[2]    Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6750 dan Syarh Musykiilil Aatsaar 4/37 dengan sanad shahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar