Tanya
: Bolehkah
kita bertawassul di kuburan orang shalih meminta mereka berdoa kepada Allah
agar mengabulkan hajat-hajat kita?.
Jawab
: Perbuatan
itu tidak disyari'atkan dengan sebab:
1.
Orang yang telah meninggal
tidak dapat mendengar orang yang masih hidup[1].
Allah
ta’ala berfirman:
وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا
الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي
الْقُبُورِ
“Dan
tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat
mendengar” [QS. Faathir : 22].
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ
الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula)
menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah
berpaling membelakang”
[QS. An-Naml : 80].
Asy-Syaukaaniy
rahimahullah berkata:
وظاهر نفي إسماع الموتى العموم، فلا يخص منه إلا
ما ورد بدليل كما ثبت في الصحيح
أنه صلى الله عليه وسلم خاطب القتلى في قليب بدر........
“Dhahirnya, (ayat
tersebut) meniadakan pendengaran dari orang mati secara umum. Maka tidaklah
dikhususkan darinya kecuali apa-apa yang datang dari dalil sebagaimana telah
tetap dalam Ash-Shahiih (Al-Bukhaariy-Muslim) bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada orang-orang kafir yang terbunuh di sumur-sumur Badr…….” [Fathul-Qadiir, 5/376].
2. Orang yang
telah meninggal telah terputus amalnya.
Berdoa adalah amal shaalih yang mendatangkan
pahala bagi pelakunya. Ia hanya dapat dilakukan oleh orang yang masih hidup.
Adapun orang yang telah meninggal dunia, maka terputus amalannya dan tidak
dapat lagi melakukan amal shaalih yang mendatangkan pahala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ، إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ،
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah darinya amalannya kecuali tiga hal : shadaqah jariyyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak shaalih yang mendoakannya[2]”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1631].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
قَالَ الْعُلَمَاء : مَعْنَى الْحَدِيث أَنَّ
عَمَل الْمَيِّت يَنْقَطِع بِمَوْتِهِ ، وَيَنْقَطِع تَجَدُّد الْجَوَاب لَهُ ،
إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاء الثَّلَاثَة
“Para
ulama berkata : Makna hadits adalah bahwa amalan mayit/orang yang telah meninggal
terputus dengan kematiannya, dan terputus pula untuk menjawab seruan yang dikatakan
kepadanya, kecuali dalam tiga hal tersebut” [Syarh Shahiih Muslim,
11/85]/
Abuth-Thayyib
Al-‘Adhiim Aabaadiy rahimahullah berkata:
(
اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَله ) : أَيْ فَائِدَة عَمَله وَتَجْدِيد ثَوَابه
“Sabda
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘terputuslah darinya amalannya’,
yaitu : faedah amalannya dan
pembaharuan pahalanya” [‘Aunul-Ma’buud, 6/343 – via Syaamilah].
3.
Menyelisihi amalan
salaf.
عَنْ أَنَسٍ،
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا
اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَ: " اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ "
Dari Anas : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu apabila terjadi kekeringan, maka ia berdoa melalui perantaraan
Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib agar diturunkan hujan. Ia berkata: Ya Allah,
sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan (doa)
Nabi-Mu, Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul
kepada-Mu dengan perantaraan (doa) paman Nabi kami, maka berilah kami hujan”.
Lalu turunlah hujan kepada mereka [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1010
& 3710].
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak
pergi bertawassul ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
untuk
meminta doa beliau, padahal
tidak diragukan lagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama
dibandingkan Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu. Tidak pula ada halangan
bagi ‘Umar untuk hadir di kubur Nabi karena sama-sama di kota Madiinah. Namun
ternyata ia malah mendatangi Al-‘Abbaas bertawassul melalui perantaraan doanya
agar diturunkan hujan.
Ini menunjukkan bertawassul di kubur Nabi dan
meminta doa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan. Seandainya disyari’atkan, tentang
‘Umar – atau para shahabat lain
–telah mendahului kita.
Jika demikian, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang kedudukannya jauh di bawah kedudukan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16081435/15062014 – 07:24].
[1] Silakan baca pembahasannya pada artikel
berjudul : Orang
Mati Tidak Bisa Mendengar.
[2] Takhrij hadits selengkapnya, silakan
baca artikel berjudul : Takhrij
Hadits : Apabila Seseorang Meninggal Dunia, Maka Terputuslah Amalannya Kecuali
Tiga.....
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
BalasHapusustadz, ana minta bahasan berseri terhadap qaul-qaul yang ada di link berikut
http://ronihaldi.blogspot.com/2012/04/tentang-tawassul.html
jazakallah khairan
CONTOH TAWASSUL MENURUT AL QUR'AN
BalasHapusAl Qur'an menuntun kita kaum Muslim dalam bertawassul adalah melalui orang yang masih hidup ya yang paling afdhal adalah orang tua kita sendiri, ya baru orang lain sebaiknya ya nabi atau rasul atau bisa juga ulama, kiyai, ustadz, habib dsb. Mari simak di bawah ini tawassul anak melalu ayahnya:
Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". (qs. 12:97)
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/06/tawassul-dengan-orang-shaalih-yang.html#more