Saya mendapatkan hak pilih saya semenjak era
reformasi digulirkan. Hanya sekali saya gunakan saat heboh Mega-Bintang di Solo
dan sekitarnya yang diprakarsai pak Mudrick Sangidoe. Setelah itu vakum dengan
melewatkan moment Pemilu tanpa peduli. Saat itu saya sangat memegang erat fatwa
ulama yang melarang andil dalam Pemilu.
Di tengah masa itu, kebetulan
saya menyaksikan jam-jam pemilihan presiden via televise di era Pemilu tahun
1999. Kandidat presidennya adalah Gus Dur, Megawati, dan Yusril. Sambil
menyaksikan, dalam hati saya khawatir Megawati - yang didukung nasionalis,
sekuler, Kristen, dan anti Islam - akan naik tahta presiden yang kebijakannya
mengangkangi kepala saya. Secara syar'i pun saya tahu, haram hukumnya kepala
negara dipegang oleh wanita. Suara Islam pecah menjadi dua, sementara kubu
merah dalam satu bungkusan.
Sambil menikmati pesimitas saya, saya berharap ada
'sesuatu' yang berubah. Dan benar..... di detik-detik terakhir, Yusril yang
lebih saya harapkan naik, mundur setelah ada kompromi. Suara nasionalis Islam
jadi satu di bawah Gus Dur. Tinggal pilihan antara Gus Dur dan Megawati.
Ya....... saya tahu Gus Dur dan rekam jejaknya
saat itu. Tapi pilihan lain adalah Megawati. Saya masih bisa husnudhdhan dengan
Gus Dur waktu itu karena di belakangnya adalah gabungan partai Islam (melalui
gerbong Poros Tengah). Tapi saya sangat susah berhusnudhdhan dengan Megawati
dengan dasar kapasitas dirinya dan pihak-pihak yang membonceng di belakangnya.
Berharap-harap cemas saat menyaksikan berjalannya voting anggota dewan. Dan....
akhirnya Gus Dur menang dengan selisih suara yang tak terlalu banyak
dibandingkan Megawati. Wallahi, saya
begitu senang melihatnya. Bukan senang dengan Gus Dur dan paham pluralitas yang
dibawanya, tapi senang karena presiden saya bukan wanita. Senang karena
terhindar mendapatkan pilihan paling jelek dari dua pilihan yang ada. Senang
karena partai yang condong ke Islam 'menang' terhadap partai nasionalis
sekuler, Kristen, dan anti Islam.
Tapi kesenangan saya sebatas senang saja dalam
hati, karena saya abstain alias golput.
Seiring waktu, saya menjadi berpikir ulang secara
bertahap. Sungguh aneh sikap saya.... senang, tapi golput. Gak suka Megawati jadi presiden, tapi golput. Senang jika keputusan mereka sesuai dengan yang saya harapkan, dan susah jika sebaliknya. Sepertinya saya hidup
di suatu planet dan menyaksikan peristiwa di planet lain yang tidak ada
hubungannya dengan kehidupan saya.
Kemudian...... setelah saya lebih sering bergaul
dengan internet, saya pun lebih mendapat informasi yang lebih luas. Membaca
beberapa literatur berbahasa Arab dan Inggris. Dengannya, saya mendapatkan
informasi antimainstream dari para ulama kibar di luar negeri dengan segala
analisanya yang membolehkan Pemilu dan bahkan andil di parlemen, yang itu semua
jarang dipopulerkan para ustadz dalam negeri. Memang, pendapat ini sangat
sangat tidak populer di tanah air waktu itu, dan saya menyikapi informasi tersebut
sebatas untuk pengetahuan pribadi saja. Saya jadi memahami istidlal dan istinbath
para ulama yang saya anggap masih antimainstream di sini.....
Ya.... memilih pemimpin adalah satu keniscayaan.
Kita bersikap atau abstain, tetap saja sistem berjalan dan menghasilkan produk
pimpinan dari sistem yang tidak kita sukai tersebut. Suka atau tidak suka, yang
terpilih akan memimpin kita dan kita akan letakkan loyalitas kepadanya.
Kok saya nggak
percaya ya kalau ada orang mengatakan mau terpilih siapa saja presidennya,
baginya sama saja. Tetap istiqamah,
tawakal kepada Allah. Tidak masuk logika rasanya. Apalagi ditinjau dari
sisi maqaashidusy-syari'ah, maslahat dan mafsadat. Apa iya, ketika kita dikasih pilihan hukuman yang tak
bisa kita tolak antara digebuk satpam 5 kali sehari dengan 10 kali sehari kita
katakan sama saja. Toh sama-sama hukuman..... Kalau saya, meski sama-sama
menyakitkan, saya memilih hukuman gebuk 5 kali sehari saja.
Taruhlah sekarang kita diberikan hukuman diberikan
calon pemimpin yang satu maling saja dan yang lain maling plus tukang sodomi. Masak kita akan bilang sama saja,
terserah teman teman milih apa, saya golput, ngikut saja. Siapapun yang
terpilih saya akan mematuhinya…......(?). Kalau saya, ya kalau memang
pilihannya cuma dua tanpa ada ketiganya, saya akan pilih pemimpin yang maling
saja. Logika saya, kalau cuma maling, paling banter harta saya yang hilang. Tapi
kalau maling plus tukang sodomi, bisa jadi penderitaan saya
bertambah. Anak saya berpotensi diserang secara seksual oleh orang-orang yang genetika psikisnya sama dengan Emon Sukabumi. Dapat herpes pula...... Saya punya pilihan untuk mencegah kemungkinan paling buruk menimpa diri saya.
Saya rasa, itu bukan sesuatu yang tak masuk akal
ya.....
Rekan, ..... pilihan itu ada di depan kita
sekarang. Mereka bukan maling, bukan pula teman si Emon tukang sodomi. Tapi
mereka orang-orang yang punya kelebihan dan kekurangan. Mungkin pilihan yang
ada saat ini laiknya pilihan barang kualitas kaki lima. Semua di bawah
rata-rata, tak ada yang ideal, minus semua. Tapi saya yakin rekan..... bahwa
diantara pilihan barang kualitas kaki lima itu, ada yang lebih mending
dibannding yang lain. Yang lebih memberikan maslahat dan lebih sedikit
mafsadatnya kepada Islam, kaum muslimin, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dan saya saat ini lebih milih Prabowo-Hatta.
#myselfdeclare
#bukan_pro_demokrasi
#bukan_jurkam_partai
Ngikut syaikh,..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMelihat gelagat beberapa dekade belakangan ini, orang cenderung memandang, memilih pemimpin bukan karena agamanya, tapi pada faktor selain itu (terlihat jujur, mampu memimpin, cepat memberi solusi...dll) karena bagi mereka standard nya bukan agamanya, tapi pada faktor selain itu. Ini memprihatinkan.
BalasHapusLihat DKI,.....sedikit banyak menggambarkan bagaimana pemilih menentukan pilihannya, walau mereka tahu bahwa tidak benar memilih dan mengangkat pemimpin dari non muslim.
Memang tidak ada jaminan siapapun yang menjadi presidennya nanti akan mampu membela Islam, lihat pemimpin yang telah lalu dan akan berlalu. Mereka "tersandera oleh koalisi".
Saya pribadi saat ini cenderung memilih yamg mempunyai rekam jejak yang baik.
bukan ikut-ikutan tapi dengan banyak pertimbangan saya juga pilih PRABOWO - HATTA.
BalasHapusDan sepertinya tulisan ini adalah kisah ana juga .....
semoga Allah memberi kita pemimpin yang istiqomah dan adil ya ..
anang dc
Saya pribadi juga cenderung ke Prabowo. Ada satu hal yang emnarik utk dicermati, jika pertimbangannya adalah memilih yang lebih irngan diantara 2 madhorot, bukankah mendirikan partai Islam juga demikian ustadz? sekali lagi partai yg merepresentasikan ajaran Islam yg benar, artinya partai2 yg beredar sekarang tidak masuk dalam kriteria Partai Islam spt yg saya maksudkan karena tujuannya mengepul massa saja demi kekuasaan. Jika tidak ada satupun dari kaum muslimin yang mendirikannya maka tidak ada yg mewakili kepentingan mereka? walhasil kursi kekuasaan bisa jatuh ke tangan musuh Islam padahal dimungkinkan buat Islam utk mendapatkannya
BalasHapussaya masih bingung bener ini ustadz
BalasHapussaya perhatikan kalo jokowi pidato cotohnya waktu pengundian no urut dia mengawali pidato dengan "Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, wabihi nasta'inu 'alaa umuriddunya waddin, wa'ala habiibina, wasyafi'ina..." sedangkan pak prabowo mengawali pidato dengan assalamualaikum dilanjut dengan "syalom dam om swaswiastu"
lalu saya juga perhatikan ibu prabowo kristen, adik prabowo kristen, anaknya prabowo (didit hediprasetyo) tidak jelas agamanya dan westernis.
padahal di satu sisi PDIP, partai pengusung jokowi kita kenal sebagai partai yang sekuler liberal dan terdapat kader syi'ah-nya, banyak UU mengenai ekonomi syariah, pendidikan, jaminan produk halal, dll sebagainya yang banyak ditolak oleh PDIP, PDIP selalu berseberangan dengan para politisi islam.
lalu, partai pendukung prabowo semua berbasis islam semuanya,
jadi gimana ya?
Dari Abu Ahmad Al Jawi
BalasHapusSesungguhnya sih boleh2 saja untuk mencoblos dalam pemilu guna menegakkan kemashlahatan umat dan/atau meminimalisir mafsadat yang ada. Tapi harus diingat sebagaimana kita ketahui bahwa dalam sistem demokrasi itu tidak berhukum kepada Allah dan termasuk syiik akbar. Sedangkan pemilu adalah suatu cara untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam sistem demokrasi. Sehingga pemilu adalah wasilah demokrasi di mana ada kaidah hukum wasilah disamakan dengan tujuannya. Adapun nanti kita mencoblos guna memilih dan mengangkat pemimpin yang tak berhukum kepada Allah maka sama saja ketika kita ada perselisihan dg saudara kita terus kita dan saudara kita bersepakat mencari hakim yang tak berhukum kepada Allah dan keputusan sang hakim tak merujuk kepada hukum Allah maka kita sebagai hamba Allah telah melakukan kesyirikan akbar. Ingat ini wahai kaum muslimin
Perkataan antum paradoks. Silakan dicermati.
BalasHapusIttkhaadz akhaffadl-dlaararain.... Setidaknya nanti kita memilih pemimpin yang lebih kecil mafsadatnya bagi kita. Pemimpin yang lebih memberikan ruang kebebasan bagi kaum muslimin untuk berdakwah, paling kecil efek kerusakan bagi masyarakat, dst. Sebagai ilustrasi/gambarannya,.... tentu kita akan lebih condong pada pemimpin yang mempunyai program menutup perjudian, lokalisasi, dan hiburan malam daripada pemimpin yang punya program sebaliknya. Tak memilih pun, salah satu dari keduanya pun akan memimpin kita. Saya rasa, kaedah-kaedah para ulama dalam hal ini sudah sedemikian jelasnya. Sehingga, mereka membolehkan berpartisipasi dalam Pemilu di negara kafir untuk memilih orang-orang yang lebih kecil mafsadatnya bagi minoritas muslim di sana.
Saya rasa pardoks gmana,bukankah manhaj salaf itu mendahulukan dakwah tauhid daripada politik,jadi apa yang katakan itu sudah masuk perkara politik. Terakhir fatwa2 itu tak bisa diterapkan di setiap negara,lah yang mengharamkan saja itu dari Yaman jelas2 dari negara demokrasi dan malah banyak Syi`ahnya kok gak seheboh sini ketakutan Syi`ah kasian amat ya,terus membolehkan dari negara2 nondemokrasi jadi klo mau ikuti fatwa jelas dong dari negara2 mengalami sistem demokrasi juga....^_^
BalasHapusYa betul, pernyataan Anda di awal dan di akhir itu paradoks. Silakan baca kembali.
BalasHapusDakwah salaf memang mendahulukan dakwah ketauhidan. Namun demikian, dakwah salaf juga tidak meninggalkan urusan politik. Tentu saja, politik yang dimaksud di sini adalah politik syar'iy. Politik jangan Anda persepsikan hanya masalah terjun di kabinet, memilih presiden, dan yang lainnya; akan tetapi luas sebagaimana disebutkan definisinya sebagai berikut:
تدبير الشئون العامة للدولة الإسلامية بما يكفل تحقيق المصالح ودفع المضار مما لا يتعدى حدود الشريعة وأصولها الكلية، وإن لم يتفق وأقوال الأئمة المجتهدين
“Pengaturan kepentingan rakyat banyak dalam ruang lingkup daulah Islam (negara Islam) dengan cara-cara yang dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umum, dapat menolak segala macam kerugian, dapat menolak segala macam kerugian, dan tidak melanggar syari’at Islam serta kaidah-kaidah asasinya; sekalipun tidak sejalan dengan pendapat para alim mujtahid” [Siyasah Syar’iyyah karangan Abdul-Wahhab Khallaf halaman 15].
Tujuan keikutsertaan kaum muslimin dalam Pemilu - sekali lagi (meskipun telah berulang-ulang dikatakan) - untuk menghindari mafsadat yang lebih besar dan mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin secara lebih luas. Memangnya jika Anda tidak ikut Pemilu, mafsadat terpilihnya pemimpin yang jelek di negara Anda dapat Anda hindari ?. Apakah Anda berpikir dengan Anda abstain, Pemilu akan berhenti seketika?.
Mana yang lebih baik antara berusaha memilih orang yang lebih kecil mafsadatnya atau duduk di pinggir lapangan sambil berharap-harap cemas ?. Kalau Anda berkata bahwa Anda akan berdakwah dan berdoa, maka kami pun demikian. Kami tetap berdakwah dan berdoa. Hanya saja bedanya, kami tetap berusaha untuk menghindari mafsadat yang paling banyak yang kemungkinan akan menimpa kita.
Seandainya Anda tinggal di Surabaya, saya yakin Anda tidak merasa nyaman dengan pemimpin yang punya program melestarikan prostitusi Dolly dan hiburan malam.... Saya yakin Anda lebih suka pada pemimpin yang lebih dekat kepada Islam dan punya program memberantas kemaksiatan.
Jumhur ulama memfatwakan kebolehan berpartisipasi ikut Pemilu adalah karena melihat realitas yang ada di mayoritas negara yang ditinggali kaum muslimin, baik di negara Islam maupun negara kafir, yang menganut sistem yang tidak Islamiy (termasuk demokrasi). Lihat pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada para ulama yang berasal di berbagai negeri.
Pada asalnya, fatwa ulama yang membolehkan kaum muslimin berpartisipasi dalam Pemilu itu dapat diterapkan secara umum di semua negeri Islam, karena kaedah yang diterapkannya pun umum. Bahkan mereka membolehkan partisipasi dalam Pemilu di negera kafir, padahal jelas sekali, negara kafir induknya sistem demokrasi.
Syi'ah memang ancaman, tapi ia bukan satu-satunya ancaman. Masih ada di sana orang-orang yang anti-Islam dan pro-kekufuran dan kemaksiatan.
Yaman bukan pula menjadi ukuran. Kalau Anda memandang dari ijtihaad dari mayoritas murid Syaikh Muqbil, maka memang akan menghasilkan kesimpulan demikian. Tapi beberapa ulama lain tidak seperti itu ijtihadnya. Mereka tetap membolehkan partisipasi Pemilu di Yaman berdasarkan fatwa-fatwa jumhur ulama. Baik dari Yaman ataupun non-Yaman.
Sangat disayangkan,... sebagian di antara kita masih senang membelok-belokkan fatwa yang sudah jelas.
mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana kita orang kebanyakan tahu bahwa capres 1 atau 2 itu mafsadat nya paling ringan ? tolok ukurnya apa, personalitasnya atau barisan pengusungnya(partai koalisinya)?
BalasHapusWahai Abul-Jauzaa
BalasHapusAda sebuah perkataan bagus dari salah seorang sahabat ana seandainya mencoblos dalam pemilu adalah mubah kenapa pemilu gak halal kan mencoblos bagian dari pemilu??!! Bukankah makan babi haram apa iya makan kaki babi gak haram??!!
Itu bukan perkataan bagus seandainya antum menyadari.
BalasHapusPemilu diikuti bukan karena ingin asal hukumnya adalah boleh. Dari sini saja sudah terlihat pincangnya analog antum. Ia diikuti hanya karena memilih mafsadat terkecil.
Antum pernah dengarkan gembong munafik di jaman Nabi yang bernama 'Abdullah bin Ubay bin Saluul ?. Orang ini momok bagi umat Islam. Membiarkan ia hidup dan membunuhnya sama-sama punya mafsadat bagi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Mafsadat membiarkannya hidup adalah timbulnya hasutan-hasutan dan fitnah-fitnah yang senantiasa dihembuskan olehnya ke tubuh kaum muslimin. Adapun mafsadat membunuhnya adalah nanti orang-orang jauh dan dekat akan mengira Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam membunuh para shahabatnya (karena Ibnu Saluul ini menampakkan keislamannya namun menyembunyikan kekafirannya), sehingga membuat orang-orang enggan menerima dakwah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dari dua mafsadat ini, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ternyata memilih membiarkan Ibnu saluul dan rekan-rekannya hidup. Hingga ketika 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu merasa sangat geram dan bertanya mengapa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak membunuh Ibnu Sauul, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لا يتحدث الناس أنه كان يقتل أصحابه
“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [HR. Al-Bukhari no. 3518].
Sikap Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak berarti boleh hukumnya membiarkan orang-orang munafiqin hidup tanpa hukuman di negara Islam. Bukan begitu. Tapi sikap beliau tersebut hanya merupakan sikap memilih mafsadat terkecil di antara dua mafsadat yang akan menimpa.
Balik lagi pada Pemilu.... Jika antum Golput, memangnya antum dapat menghindar dari terpilihnya pemimpin yang jahat dan jelek ?. Jika antum Golpot, memangnya antum dapat berlepas dari ketaatan kepada pemimpin yang jelek seandainya nanti pemimpin yang jelek itu terpilih ?. Apakah dengan golput antum dapat menghindari kemungkinan diterbitkannya peraturan dan kebijakan yang merugikan umat Islam ?.
Bukankah lebih baik - setidaknya menurut ulama yang membolehkannya - untuk berpartisipasi dalam Pemilu untuk memilih pilihan yang lebih sedikit mafsadatnya bagi umat Islam, sementara mafsadat-mafsadat itu memang ada di hadapan kita dan tidak bisa kita hindari dengan cara Golput ?. Dakwah dan doa tetap jalan terus.
Dapatkah pemahaman atas kaedah itu
Abul-Jauza yang terhormat:
BalasHapusBuukankah ada:
Sekarang kita perhitungkan syarat ini dan kita lihat kepada Pemilu apakah ada atau tidak:
1. Hendaknya maslahat yang akan dicapai dengan melakukan dharar tersebut adalah maslahat haqiqiyyah (pasti tercapai) bukan maslahat wahmiyah (mungkin tercapai, mungkin tidak). Sekarang saya tanya maslahatnya, orang yang masuk Pemilu apakah pasti tercapai akan terpilih atau masih kemungkinan? Jawabnya, mungkin, tidak ada kepastian. Syarat pertama sudah tidak terpenuhi.
2. Syarat yang kedua, hendaknya mafsadah yang terjadi ketika menjalani bahaya itu lebih ringan daripada hasil yang hendak dicapai. Sekarang saya tanya, 34 kerusakan ini ringan atau tidak? Wallâhi, berat, dan beratnya lebih berat daripada maslahat yang hendak mereka capai. Tidak terpenuhi syarat yang kedua.
3. Syarat yang ketiga, disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullâh bahwasanya tidak ada jalan lain lagi kecuali itu.
EMANG DAH TERPENUHI BUAT MENCOBLOS???? ^_^
Perkataan antum merupakan respon yang tidak nyambung dengan komentar saya di atas.
BalasHapusMaslahat yang ingin diperoleh adalah terambilnya mafsadat paling ringan.
Sekarang ini mafsadat ada di depan kita. Mau tidak mau - atau boleh dikatakan pasti - akan kita hadapi. Kalau tidak terpilih A, ya pasti B. Dua-duanya ada mafsadatnya. Bukankah begitu?.
Apakah dengan antum golput akan dapat menghindari dua mafsadat itu ?. Ya, antum dapat menghindarinya dengan pindah negara. Kalau tidak, mengapa tidak memilih mafsadat paling ringan ?.
Apakah yang kita pilih nantinya sudah pasti merupakan mafsadat paling ringan ?. Kita tidak memastikan, tapi kita berusaha memilih mafsadat teringan agar terhindar mafsadat yang lebih besar. Allah ta'ala berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [QS. Al-Baqarah : 286].
Kalau antum mau diam, silakan. Tapi maaf, saya memutuskan untuk menentukan sikap dalam pilihan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus@Mas Anonim :
BalasHapusYang jelas, siapapun diantara pak Joko & pak Bowo yang terpilih nanti, kita tetap WAJIB untuk taat.
Mau jadi "plural & liberal" ala Jokowi atau "ber-aturan" ala Prabowo kah nanti negara kita, kita tetap mau tak mau harus menerimanya.
Meskipun kita golput, itu tak akan merubah Indonesia sama sekali kok mas..
Terlebih lagi jika yang kita lakukan hanya saling tahdzir dengan saudara sendiri, atau hanya mau berdakwah pada sesamanya saja (enggan dakwah langsung ke Masyarakat awam & asing yang jelas-jelas butuh penjelasan).
Jika seperti ini kenyataannya, bagaimana mungkin Indonesia jadi negeri Islam?
Jangankan membuat Indonesia (yang jelas-jelas plural) bersatu dalam naungan Islam dan manhaj Salaf, jika perbedaan ijtihad muamalah dalam satu tubuh manhaj dan didalam satu tubuh agama saja tak bisa ditolerir, apakah impian meng-Islam-kan sistem bernegara Indonesia yang penuh dengan tipe Masyarakat beraneka warna itu mungkin?
Rasanya hanya akan menjadi mimpi saja.
Tapi Prabowo kan juga plural & liberal, plural+liberal banget malahan..
BalasHapusSaya dulu pernah bertanya sama ustadz Firanda kenapa lebih condong kepada Prabowo daripada Jokowi, namun belum dijawab sampai detik ini.
Padahal sapanjang yang saya tahu (saya orang Solo), pak Jokowi ini lebih condong pada Islam dalam hal sikap. Hanya saja beliau ini Suffi fanatik, itulah kenapa kaum Aswaja & Syi'ah kuat banget dukungannya pada beliau.
Dan orang-orang Kristen tahu bahwa Suffi ini lebih bisa menerima perbedaan (diluar Islam), itulah kenapa mereka banyak memihak Jokowi.
Saya ingin bertanya,
Mana yang lebih baik antara Islam tapi Suffi & sebagian Syi'ah, atau Sekuler seperti Prabowo?
Karena saya sangat bingung.
Saya benar-benar ingin tahu, Demi Allah..
Mohon Ustadz. Abul Jauzaa untuk membaca pertanyaan saya ini baik-baik.
Kenapa harus memilih Prabowo?
1) Apakah karena dibelakangnya beliau didukung oleh partai-partai Islam?
Padahal kita tahu bahwa partai-partai Islam pendukung Prabowo pun juga oportunis kan?
Seperti misalnya PKS yang mengangkat caleg non-Muslim di Indonesia daerah Tengah & Timur.
Lagipula PKS ikut mendukung Prabowo karena aliansinya (Demokrat) ada disana.
2) Atau apakah karena Prabowo dimusuhi oleh Amerika karena urusan HAM tahun 1998?
Pada waktu itu memang diterapkannya pada para aktivis Komunis-Sosialis & corong Beijing garis keras, namun apakah anda tidak khawatir jika Fasisme-Nasionalisme ala beliau ini diterapkan pada Islam?
Karena bisa jadi akibat ulah para "Muj4h1d" abal-abal pemburu polisi, maka negara pun akan memukul rata bahwa semua "Salafi" harus ditekan.
Antum tidak perlu bersumpah hanya untuk berkomentar di sini.....
BalasHapusSaya juga orang Solo (Wonogiri), sehingga juga tahu info mengenai bapak Jokowi.
Kalau beliau dikatakan lebih Islami, saya kira nggak juga. Sebelas dua belas saja dengan pak Prabowo. Saya sudah cari informasi tentang track record beliau (pak Jokowi). Tentu saja, sebatas kemampuan saya.
Saya hanya menjawab sebatas yang antum tanyakan:
1. Ya. Setidaknya partai Islam itu lebih baik daripada sekuler murni seperti PDIP. Minimal kita tahu sejarah bagaimana PDIP menolak kontent syari'at masuk dalam RUU kita seperti RUU Sisdiknas, Pornografi, dll. Dan belum lama, Trimedya Panjaitan (Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK) menyatakan akan menentang semua Perda Syari'at di Indonesia. Pak JK - cawapres pak Jokowi - sudah mengisyaratkan pengaminannya (http://jusufkalla.info/archives/2014/02/10/jk-perda-syariat-rendahkan-derajat-islam/). Dari sini saja sudah kelihatan.
Selain itu, perahu pak Jokowi-JK banyak penumpang gelapnya yang menyimpan banyak agenda. Orang-orang non-Islam, pluralis-sekuler murni, Syi'ah, Ahmadiyyah, LDII, dan yang lainnya yang mempunyai ketidaksukaan terhadap Islam ngumpul di biduk beliau (Pak Jokowi). Apakah di kubu pak Prabowo tidak ada orang yang semisal ?. Ya ada, tapi dalam hal kualitas dan kuantitasnya, tidak seperti yang ada dalam kubu pak Jokowi.
Saya tidak pernah mengatakan partai Islam Nasionalis yang mendukung pak Prabowo itu benar atau putih seratus persen. Tidak pula mengatakan mereka berjuang sesuai dengan pilar-pilar manhaj salaf. Akan tetapi, rabun lebih baik daripada buta sama sekali. Semoga antum paham dengan maksud saya.
2. Ndak juga seperti itu. Saya mendukung pak Prabowo bukan semata-mata dimusuhi Amerika. Kalau cuma patokannya dimusuhi Amerika, saya juga mesti mendukung Korut, Kuba, dan Iran dalam hal ini. Saya condong mendukung pak Prabowo karena semata-mata mafsadat yang ada pada beliau dan gerbong yang dibelakangnya lebih sedikit dibanding pak Jokowi dan gerbong yang ada di belakangnya. Saya tidak mengatakan sedikit atau kecil, tapi lebih sedikit dan lebih kecil. Ini dalam konteks perbandingan. Bisa dibedakan ya... Semoga tidak salah paham.
Tentang pelanggaran HAM tahun 1998, ini masalah pelik. Saya dulu mengalami sendiri era 1998 dan bergabung dengan para mahasiswa di gedung MPR. Tentang siapa yang bersalah, biarlah proses hukum yang menyelesaikannya, meski saya sendiri mempunyai kecondongan dan kesimpulan dari data yang saya terima dan peristiwa yang telah saya alami (dulu). Tentang fasisme, saya tidak tahu dari mana antum menyimpulkan ada pada diri pak Prabowo ?. Atau cuma dari kasus Ahmad Dhani kemarin yang memakai seragam Wehrmacht Jerman ?. Ini salah kaprah. Pertama, apa yang dipakai Ahmad Dhani bukan instruksi pak Prabowo. Kedua, Wehrmacht Jerman tidak identik dengan fasisme Mussolini. Silakan cek beberapa referensi yang menjelaskan tentang ideologi masing-masing. Ketiga, Wehrmacht pun tidak identik dengan Nazi sependek pengetahuan saya (itupun kalau mau mengkait-kaitkannya dengan Nazi).
Tidak ada istilah golput wahai abul jauzaa yang ada memilih golongan Islam,memilih mafsadat paling ringan emang mafsadat apa yang ditimbulkan dari salah satu calon tersebut sehingga dikatakan akan ada mafsadat berat umat Islam,apa karena SYi`ah berlindung di salah satunya,ya mafsadat mereka aja masih kecil,janganlah termakan isu mereka dan berita2 lum bisa dipastikan. Hati2 lah dan terlalu naif lah.
BalasHapusTerima kasih atas nasihatnya. Insya Allah saya sudah berusaha hati-hati dan mengkroscek informasinya.
BalasHapusNB : Jangan sampai satu kenyataan dianggap hanya sebagai isu dan kembang tidur saja.
Sebenarnya bukan hanya syari'at, namun semua yang berbau agama.
BalasHapusEntah itu Islam, Kristen, Budha, kecuali Hindu (wilayah Bali sudah mutlak boleh memakai undang-undang Hindu Adat).
Benar, pak Jokowi itu fanatik Islam, tapi Islam ala Sufi Aswaja.. Beliau sangat rajin juga ke kuburan..
Tapi seperti yang kita tau, orang-orang Sufi itu terkenal lebih mengutamakan Aqli daripada Naqli.
Bagi mereka,
Kemakmuran itu tak bisa ditempuh dengan hal-hal ghaib (seperti mentaati Allah dan menegakkan syariat-Nya), namun dengan menyatukan keanekaragaman Indonesia dibawah satu Nasionalisme.
Itulah mengapa rencana Sekulernya PDIP didukung penuh oleh sebagian besar Sufi Aswaja, termasuk pak Kalla.
Bagi mereka,
Memihak kepentingan bersama (baca: manusia) itu lebih menjanjikan kemakmuran daripada memihak Allah dan Rasul-Nya.
Logika yang sama ini yang digunakan oleh Gusdur beberapa tahun silam, hingga beliau (Gusdur) tanpa segan menancapkan belati di punggung saudaranya sendiri (kaum Muslimin) demi "kedamaian" Indonesia sebagai negara Plural.
Sebagai bumbu,
Tim pemenangan Jokowi-JK dunia maya pun berusaha mengorek-ngorek aib para Politisi Muslim dari PKS & Demokrat yang tersangkut kasus Korupsi dan wanita.
Mereka jadikan bukti: "inilah orang yang mengatakan Islam akan membawa kemakmuran, nyatanya malah membawa skandal kan?" (quote disamping dirangkum dari forum sekuleris indonesia, KASKUS).
Sulit memang ya..
Kalau mau pindah negara nanti dibilang pengkhianat, tapi kalau tak pindah negara juga berbahaya, karena Indonesia ini sudah lebih dari pantas untuk diturunkan adzab atasnya.
Hanya karena didalamnya banyak orangtua renta yang semangat beribadah & para da'i penegak Sunnah saja lah Indonesia ini masih ditahan dari adzab.
@Ukhty Aisyah: sebaiknya kita tinggalkan forum semacam kaskus itu. karena meramaikannya sama saja mempopulerkannya.
BalasHapusBenar juga
BalasHapusLucu memang ya negara kita..
Ketuhanan ditaruh di nomor Wahid Pancasila tapi cuman sebatas nama doang. Mensekulerkan Indonesia berarti mencabut sila pertama Pancasila yang (katanya) sangat sakral dan mutlak tak boleh dilanggar.
Polisi syariat di Aceh di bully abis-abisan di media massa seakan-akan mereka adalah pelanggar HAM saat menertibkan para wanita yang berpakaian seronok di jalanan.
Sedangkan pecalang di Bali dipuji abis-abisan saat sweeping warung buka pas Nyepi,meskipun mereka bawa keris & golok sekalipun.
Negara ini ibaratnya sudah sakit. Lupa sama siapa dulu yang berperan besar memerdekakan Indonesia disaat para liberalis, atheis, dinamis, maupun kristenis bisa duduk santai dibawah komando Belanda.
Bismillaahi
BalasHapusSaya pikir tidakada kebaikan dr sistem politik yg dianut dinegara ini, pun para pelaku politiknya....bahkan partai yg berlabel islamy sekalipun.
Bismillaahi, saya berlepasdiri dr urusan ini
tak usah bingung dalam memilih saudaraku, sederhana saja..
BalasHapusKetika kita coblos no satu, otomatis kita memilih Prabowo sbg presiden, Hatta sbg wapres dan Jokowi sbg gubernur DKI..
kalau coblos no 2, kita memilih JKW sbg presiden, JK wapres dan otomatis juga memilih Ahok yg non muslim sebagai pemimpin DKI ibukota RI..
bolehkah kita memilih pemimpin non muslim ?
Bismillaah..
BalasHapusIkut memilih atau tidak, pada akhirnya kaum Muslimin wajib taat pada siapapun calon yang menang.
Pada hal ini yang menang adalah pemimpin beragama Islam namun memiliki keyakinan bahwa Islam itu hanyalah simbol saja, tak perlu diikutsertakan didalam perundang-undangan negara.