Penanya : “Apa kabar ya syaikh ?”.
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Baik saja, alhamdulillah”
Penanya : “Wahai syaikh, ada sebagian pemuda ketika kami
menukilkan fatwa Anda Asy-Syaikh Ihsaan Ilahi Dhaahir adalah seorang ‘Ikhwaaniy
(pengikut/berpemikiran kelompok Al-Ikhwaanul-Muslimuun)…….”
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Apa ?”.
Penanya : “Asy-Syaikh Ihsaan Ilahi Dhaahir………”
Penanya : “Kami katakan kepada mereka bahwa ia (Asy-Syaikh
Ihsaan) seorang ikhwaaniy, namun mereka mengatakan ia memiliki……..”.
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Orang ini unggul dalam perkara yang berkaitan dengan
Syi’ah. Ia menyingkap keadaan mereka (Syi’ah) dengan sangat baik. Adapun
perkara-perkara yang lain, maka itu tersembunyi dari kami, kecuali kami
mengetahui ia seorang ikhwaaniy”.
Penanya : “Kami mempunyai beberapa buku dan rekaman darinya. Apa
yang mesti kita lakukan dengannya?”.
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Aku tidak mengira itu akan bermanfaat bagimu. Baarakallaahu
fiikum. Orang ini ikhwaaniy”.
Penanya : “Ia memiliki beberapa buku yang membahas tentang Syi’ah”.
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Buku-bukunya tentang Syi’ah boleh dimanfaatkan
sebatas pengetahuanku”.
Penanya : “Ada seorang pemuda yang memperdagangkan kaset-kaset
rekamannya. Ia menjual buku-buku dan kaset-kaset rekamannya. Apakah ia boleh
terus menjualnya ataukah mesti berhenti ?”.
Asy-Syaikh ‘Ubaid : “Demi Allah, aku berpendapat agar ia berhenti saja menjual
kaset-kaset rekamannya kecuali yang berkaitan dengan Syii’ah. Aku berpendapat
ia baik dalam bab ini (Syi’ah)”.
Penanya : “Baarakallaahu fiikum, waffaqakumullah”
[transkripnya ada di kulalsalafiyeen].
Itulah pendapat Asy-Syaikh ‘Ubaid
Al-Jaabiriy hafidhahullah tentang Asy-Syaikh Ihsaan Ilahiy Dhaahir rahimahullah.
Padahal kita ketahui, para
ulama besar telah memuji beliau dan tidak pernah mencela beliau sebagaimana
yang dikatakan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah.
Diantaranya Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah berkata dengan penuh penghormatan:
لقد كان من الأذكياء، ولا أنسى أخلاقه وتأدّبه معي
“Sungguh ia termasuk
orang-orang yang cerdas. Aku tidak lupa akan akhlaq dan sopan-santunnya yang
baik terhadapku” [sumber : sini].
Bahkan, Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah
sendiri berkata:
وعرفته مجاهداً في ميدان العقيدة دعوةً إليها وذباً عنها وعن حملتها من
الصحابة ومن تبعهم بإحسان من أهل الحديث وأئمة أهل السنّة والجماعة، وذبّاً عن
القرآن والسنّة، وردّاً على مختلف الفرق الضالّة من الروافض والقاديانية والبهائية
والبريلوية
“Aku mengetahuinya seorang mujaahid
dalam medan ‘aqiidah, mendakwahkannya, membelanya, serta membela orang yang
membawanya dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik
dari kalangan ahli hadits dan para imam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Membela Al-Qur’an
dan As-Sunnah, serta membantah bermacam-macam kelompok sesat dari kalangan
Raafidlah, Qadiyaaniyyah, Bahaaiyyah, dan Brelwiyyah….” [sumber : sahab].
Apakah kita harus memegang
perkataan Asy-Syaikh ‘Ubaid dan membuang perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy serta
Asy-Syaikh Rabii’ ? Ataukah sebaliknya ?.
Atau…… kita berpegang pada
kaedah bahwa perkara al-jarh wat-ta’diil adalah perkara ijtihadiyyah
seperti permasalahan-permasalahan fiqh yang tidak boleh menimbulkan perpecahan
di antara kaum muslimin[1] ?. Konsekuensinya, kita
mesti saling menghormati dan tidak boleh memaksakan kehendak/pendapat pada yang
lain.
[abul-jauzaa’ – 29032014 – 23:40 - silakan baca riwayat ringkas tentang Asy-Syaikh Ihsaan Ilahiy Dhaahir rahimahullah di almanhaj.or.id].
BismiLLAH
BalasHapusUstadz, ana sependapat dengan antum bahwa jarh wa ta'dil adalah perkara ijtihadiyah, sehingga ada keluasan di dalamnya...hanya yang masih menjadi isykal bagi ana adalah bagaimana menkompromikan kaidah diatas dengan kaidah jarh mufassar muqoddam 'ala atta'dil?
JazaakaLLOHU khoiron
ni bukan masalah jarh dan ta'dil.. jarh dan ta'dil yang dibenarkan ulamak pun asalnya dalam masalah hadis krn ia melibatkan ucapan nabi dan sesiapa yang berdusta atas nabi.. nerakalah tempatnya... kesilapan walaupun kecil tidak boleh berlaku pada hadis krn ia sumber syariat dan kehormatan nabi... tapi kalau kata2 dan pandangan ulamak walaupun sedikit tersasar bukanlah mudah kita nak menghukumnya dengan kesesatan.. kalau cepat tuduh macam2 pada ulamak inilah dipanggil taksub membabi buta... bukan jarh ta'dil tapi kebencian ... ini dosa bukan pahala ini fitnah bukan kebaikan pada agama
BalasHapus