Pembahasan
ini menarik di kalangan peneliti, setidaknya ketika Asy-Syaikh ‘Amru bin
‘Abdul-Mun’im hafidhahullah mengangkatnya dan kemudian menghukumi
(tambahan) lafadh tersebut tambahan lafadh yang tidak sah. Hal ini bertentangan dengan
pendapat ‘mainstream’ yang telah ‘eksis’ sebelumnya yang menyatakan
sah.
To
the point, hadits tersebut dengan lafadh lengkap (plus ziyaadah-nya)
adalah sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قال:
أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي
عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: " مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ
ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ "، ثُمَّ يَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا
وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ " وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ احْمَرَّتْ
وَجْنَتَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ
يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ، ثُمَّ قَالَ: " مَنْ تَرَكَ مَالًا
فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ،
وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Utbah bin ‘Abdillah[1],
ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnul-Mubaarak[2],
dari Sufyaan[3],
dari Ja’far bin Muhammad[4],
dari ayahnya[5],
dari Jaabir bin ‘Abdillah[6],
ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa
berkhuthbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan apa-apa yang layak
bagi-Nya. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya.
Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan
petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap
kesesatan ada di dalam neraka”. Kemudian beliau bersabda : “Ketika
aku diutus, jarak antara aku dan hari kiamat seperti jarak dua jari ini”.
Apabila beliau menyebutkan tentang hari kiamat, maka kedua pipinya memerah,
suaranya meninggi, dan amarahnya bertambah, seolah-olah beliau memperingatkan
pasukan. Beliau bersabda : “Berhati-hatilah jika ia datang pada waktu pagi
dan sore kalian. Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu buat keluarganya dan
barangsiapa meninggalkan utang atau sesuatu yang hilang maka itu tanggunganku. Dan aku lebih berhak terhadap orang-orang yang beriman” [Diriwayatkan oleh
An-Nasaa’iy no. 1578].
Dhahir
sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat kecuali Ja’far bin Muhammad,
seorang yang shaduuq.
Diriwayatkan
juga oleh :
a.
An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
2/308 no. 1799 & 5/384-385 no. 5861, Ibnu Khuzaimah 3/143 no. 1785, dan
Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 3/189; dari jalan ‘Utbah bin ‘Abdillah,
b.
Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar
hal. 251 no. 448, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/170 no. 90 &
1/388-389 no. 446, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (Al-Qadar) 2/85
no. 1491, Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad 1/184-185 & dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat 1/202-203 no. 137; dari jalan Hibbaan bin Muusaa[7],
c.
Ibnu Baththah dalam
Al-Ibaanah (Al-Qadar) 2/85 no. 1491, dari jalan Suwaid bin
Nashr[8],
d.
‘Abdullah
Al-Anshaariy dalam Dzammul-Kalaam 3/46-49 no. 417; dari jalan ‘Abdaan
(‘Abdullah bin ‘Utsmaan),
semuanya
dari jalan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Ja’far bin
Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah dengan tambahan lafadh : wa
kullu dlalaalatin fin-naar.
‘Abdullah
bin Al-Mubaarak mempunyai mutaba’ah dari Wakii’ bin Al-Jarraah[9];
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no.
1953 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/202-203 no. 137;
dari beberapa jalan (Abu Bakr bin Abi Syaibah[10],
‘Utsmaan bin Abi Syaibah[11],
dan Salm bin Junaadah[12]),
semuanya dari jalan Wakii’, dari Sufyaan Ats-Tsauriy dengan membawakan tambahan
lafadh : kullu dlalaalatin fin-naar.
Adapun
Ahmad 3/371, Muslim no. 867, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 24
& 259 (dari jalan Ibnu Abi Syaibah), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/214
(3/303) no. 5800 (dari jalan Ibnu Abi Syaibah); meriwayatkan dari jalan Wakii’
tanpa tambahan.
Di
sini dapat dipahami bahwa tambahan lafadh ‘kullu dlalaalatin fin-naar’
dari jalan Wakii’ adalah mahfuudh, sehingga poros lafadh tersebut
terletak pada Sufyaan Ats-Tsauriy – bukan pada Ibnul-Mubaarak.
Kemudian.......
Sufyaan
Ats-Tsauriy diselisihi oleh :
a.
Yahyaa bin Sa’iid
Al-Qaththaan (tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah)[13]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 3/319, dan Al-Marwaziy dalam As-Sunnah
no. 74,
b.
Sulaimaan bin
Bilaal (tsiqah)[14]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 867, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa
1/258 no. 298, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/213-214 (3/302-303) no.
5798-5799, dan Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 1952,
c.
‘Abdul-Wahhaab bin
‘Abdil-Majiid (tsiqah, namun berubah hapalannya tiga tahun sebelum
kematiannya)[15]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 867, Ibnu Maajah no. 870, Abu Ya’laa
no. 2111, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1798, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa
1/258 no. 297, Ibnu Hibbaan no. 10, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no.
202, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 1951, dan Al-Laalikaaiy
dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 82,
d.
Anas bin ‘Iyaadl (tsiqah)[16]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 3/143 no. 1785 dan Ibnu
Abid-Dunyaa dalam Al-Ahwaal no. 3 & dalam Qisharul-Amal no.
124,
e.
Wuhaib bin Khaalid
(tsiqah lagi tsabat,
namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya)[17]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2119,
f.
Ad-Daraawardiy (tsiqah)[18]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 1/181 dan As-Sarraaj dalam Hadiits-nya
no. 2248,
g.
Yahyaa bin Sulaim
Ath-Thaaifiy (shaduuq, namun jelek hapalannya)[19]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 212 dan Ibnu Wadldlaah dalam Al-Bida’
no. 57,
h.
Muhammad bin Ja’far
bin Muhammad (seorang yang diperbincangkan)[20]
– sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 75,
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 9418, As-Sahmiy dalam Taariikh
Jurjaan 1/364, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 51/227,
semuanya
dari jalan Ja’far bin Muhammad tanpa membawakan tambahan lafadh : kullu
dlalaalatin fin-naar.
Penyelisihan
Ats-Tsauriy terhadap kesembilan perawi ini menurut sebagian muhaqqiqiin dianggap penyelisihan yang tidak diterima. Atau dengan kata
lain, ziyaadah yang dibawakan Ats-Tsauriy ini adalah syaadz,
bukan termasuk katagori ziyaadatuts-tsiqah yang diterima.
Adapun saya lebih cenderung mengikuti pendapat para
ulama/peneliti yang menshahihkannya dengan mengkatagorikan tambahan lafadh wa
kullu dlalaalatin fin-naar sebagai ziyaadatuts-tsiqah yang diterima.
Beberapa qariinah yang menyebabkan penerimaan tersebut antara lain adalah :
1.
Sufyaan Ats-Tsauriy
adalah seorang imam yang terkenal keluasan ilmu dan riwayatnya, ketsiqahannya,
akurasinya, sehingga Ibnu Hajar rahimahullah menghukuminya dengan : ‘tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah’.
Bukan hal mustahil seorang yang mempunyai kedudukan seperti Ats-Tsauriy
mempunyai memiliki riwayat yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata :
إن تفرد الثقة المتقن يعد
صحيحاً غريباً
“Sesungguhnya tafarrud
perawi tsiqah lagi mutqin terhitung shahih namun ghariib”
[Miizaanul-I’tidaal, 3/140-141].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وأما أكثر الحفاظ
المتقدمين فإنهم يقولون في الحديث إذا انفرد به واحد وإن لم يرو الثقات خلافه :
أنه لا يتابع عليه ، ويجعلون ذلك علة فيه ، اللهم إلا أن يكون ممن كثر حفظه
واشتهرت عدالته وحديثه كالزهري ونحوه ، وربما يستنكرون بعض تفردات الثقات الكبار
أيضاً
“Kebanyakan para huffaadh mutaqaddimiin, mereka mengatakan hadits yang seorang perawi bersendirian (tafarrud)
dengannya dan tidak ada perawi tsiqaat menyelisihinya dengan
sebutan : ‘tidak ada mutaba’ah-nya’
– dan menjadikan hal tersebut sebagai ‘illat dalam hadits tersebut. Allahumma,
kecuali hadits tersebut berasal dari perawi yang banyak hapalannya, terkenal ‘adalah-nya,
dan haditsnya seperti Az-Zuhriy dan semisalnya. Dan kadang mereka (para ulama)
mengingkari juga sebagian tafarrud para perawi tsiqaat kibaar” [Syarh
‘Ilal At-Tirmidziy, 1/352-354].
2.
Para
perawi yang tidak membawakan tambahan lafadh di atas kedudukannya di bawah Ats-Tsauriy
(atau bahkan sebagiannya jauh di bawahnya), kecuali Yahyaa bin Sa’iid
Al-Qaththaan yang bisa dikatakan sepadan dengannya.
3.
Sufyaan
Ats-Tsauriy termasuk tingkatan kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang tafarrud-nya
dapat diterima. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
فهؤلاء الحُفَّاظُ الثقات
، إذا انفرد الرجلُ منهم من التابعين ، فحديثهُ صحيح . وإن كان من الأتباعِ قيل :
صحيح غريب . وإن كان من أصحاب الأتباع قيل : غريبُ فَرْد
“Mereka adalah
kalangan huffaadh lagi tsiqaat. Apabila seorang dari mereka yang
ber-tafarrud termasuk kalangan taabi’iin, maka haditsnya shahih.
Apabila mereka termasuk atbaa’ut-taabi’iin, maka shahih ghariib.
Namun apabila mereka termasuk murid-murid atbaa’ut-taabi’iin, dikatakan
: ghariib fard” [Al-Muuqidhah, hal. 77].
4.
Tambahan lafadh
tersebut tidak menafikkan riwayat jama’ah. Bahkan, tambahan lafadh tersebut
sejalan dengan riwayat induk/jama’ah.
Kesesatan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran dan petunjuk. Jika dikatakan setiap bid’ah adalah
sesat, maka sudah merupakan konsekuensi (pelaku) kesesatan[22]
diancam dengan neraka.
Allah ta’ala berkata :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ
إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan”
[QS. Yuunus : 32].
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا
الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
“Mereka itulah orang yang membeli
kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan
tidaklah mereka mendapat petunjuk” [QS. Al-Baqarah : 16].
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ
فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى
“Barangsiapa
yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” [QS. Thaha : 123].
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ
فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوعَدُونَ إِمَّا
الْعَذَابَ وَإِمَّا السَّاعَةَ فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَكَانًا
وَأَضْعَفُ جُنْدًا
“Katakanlah: "Barangsiapa yang
berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang
tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan
kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang
lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya” [QS. Maryam : 75].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain)[23],
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-An’aam : 153].
5.
Hadits dengan
tambahan lafadh tersebut telah dishahihkan oleh beberapa ulama terdahulu,
antara lain : Ibnu Khuzaimah yang telah memasukkan dalam kitab Shahiih-nya,
Abu Nu’aim, Al-Baihaqiy,
Ibnu Taimiyyah rahimahumullah.
Abu Nu’aim berkata
: “Hadits ini shahih lagi tsaabit dari hadits Muhammad bin ‘Aliy.
Diriwayatkan oleh Wakii’ dan yang lainnya dari Ats-Tsauriy” [Hilyatul-Auliyaa’,
3/189].
Al-Baihaqiy berkata
: “Dan telah diriwayatkan kepada kami hadits yang tsaabit dari Jaabir
bin ‘Abdillah, ia berkata : ....(lalu ia menyebutkan hadits Jaabir dengan
tambahan lafadh : wa kullu dlalaalatin fin-naar)” [Al-I’tiqaad, 1/184].
Ibnu Taimiyyah setelah menyebutkan hadits Jaabir di
atas berkata : “Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dengan sanad shahih, dan ia
menambahkan lafadh : ‘fakullu bid’atin fin-naar’ (setiap bid’ah ada di
dalam neraka)[24]”
[Iqaamatud-Daliil ‘alaa Ibthaalit-Tahliil, hal. 163].
Dishahihkan pula oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan An-Nasaa’iy 1/512
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
NB : Pembahasan mengenai ziyaadatuts-tsiqaat
sebagaimana ada dalam inti artikel telah menjadi perdebatan sehingga
menghasilkan pandangan dan pendapat yang berbeda-beda dalam menyikapinya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas
permai, ciapus, ciomas, bogor - 14121434/19102013 – 22:40].
[1] ‘Utbah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah Al-Yuhmidiy Al-Azdiy,
Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-10, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib
hal. 658 no. 4465 dan Tahriirut-Taqriib 2/430 no. 4433].
[2] ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy
At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat,
faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir
tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540
no. 3595].
[3] Sufyaan bin
Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah.
Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[4] Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy
bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang shaduuq,
faqiih, lagi imam. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 148 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 958].
[5] Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy
Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai
keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117
H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
[6] Jaabir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Haraam Al-Anshaariy
Al-Khazrajiy As-Sulamiy, Abu ‘Abdillah/Abu ‘Abdirrahmaan/Abu Muhammad
Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 879].
[7] Hibbaan bin Muusaa bin Sawwaar As-Sulamiy,
Abu Muhammad Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10,
dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan
An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 217 no. 1085].
[8] Suwaid bin
Nashr bin Suwaid Al-Marwaziy, Abul-Fadhl Ath-Thuusaaniy – laqabnya Asy-Syaah;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 150 H,
dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 425 no. 2714].
[9] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu
Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat 196H/197 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
[10] ‘Abdullah bin
Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-Khawaasitiy Al-‘Absiy, Abu Bakr bin Abi
Syaibah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, shaahibut-tashaanif
(mempunyai banyak karangan/tulisan). Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat
tahun 235 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3600].
[11] ‘Utsmaan bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy
Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh.
Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 156 H, dan wafat tahun 239 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Tahdziibut-Tahdziib, 7/151].
[12] Salm bin Junaadah bin Salm bin Khaalid bin Jaabir bin
Samurah As-Suwaa’iy Al-‘Aamiriy, Abus-Saaib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah,
namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 174 H,
dan wafat tahun 254 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 396 no. 2477].
[13] Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan
At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin,
haafidh, imaam, lagi qudwah.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198
H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[14] Sulaimaan bin Bilaal Al-Qurasyiy At-Taimiy,
Abu Muhammad/Abu Ayyuub Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-8 dan wafat tahun 177 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 405 no. 2554].
[15] ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid
bin Ash-Shalt Ats-Tsaqafiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,
namun berubah hapalannya tiga tahun sebelum kematiannya. Termasuk thabaqah ke-8
dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633
no. 4289 dan Al-Mukhtalithiin hal. 78-79 no.
32].
[16] Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Al-Laitsiy, Abu
Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8,
lahir tahun 104 H, dan wafat tahun 200 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154
no. 569].
[17] Wuhaib bin Khaalid bin ‘Ajlaan Al-Baahiliy, Abu Bakr
Al-Bashriy; tsiqah lagi tsabat,
namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-7 dan wafat tahun 165 H
atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1045 no. 7537].
[18] ‘Abdul-‘Aziiz
bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy, Abu Muhammad Al-Juhhaniy. Termasuk thabaqah
ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.Ada beberapa komentar ulama
tentangnya :
Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan
Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai
seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih.
Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia
membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah
bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada
Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian
Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di
lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek
hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia
keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak
kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya
yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d
berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa
kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu
Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering
keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy
berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia
mempunyai banyak keraguan” [lihat :Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no.
680].
Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya
lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu
Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih
engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku
senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al-Bardza’iy lembar
424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk
Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu
wat-Taariikh, 1/349].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia
meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 615 no. 4147]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah”
[Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah”
[Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al-Albaaniy
berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295].
Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang
sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari
‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[19] Yahyaa bin
Sulaim Al-Qurasyiy Ath-Thaaifiy, Abu Muhammad/Abu Zakariyyaa Al-Makkiy
Al-Hadzdzaa’ Al-Kharraaz; seorang yang shaduuq, namun jelek hapalannya.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 193 atau setelahnya di Makkah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.
1057 no. 7613].
[20] Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy
bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ishaaq bin
Ja’far bin Muhammad lebih tsiqah daripadanya”. Adz-Dzahabiy berkata :
“Ia diperbincangkan” [Al-Kaamil 7/462 no. 1697, Al-Jarh wat-Ta’diil 7/220
no. 1218, dan Al-Mughniy 2/275 no. 5360].
[21] Mush’ab bin Sallaam
At-Tamiimiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah
ke-8 dan dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib hal. 946 no.
6735 dan Tahriirut-Taqriib 3/382 no. 6690].
[22] As-Sindiy rahimahullah berkata :
(وَكُلّ ضَلَالَة
فِي النَّار) أَيْ صَاحِبُهَا فِي النَّار
“Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan
setiap kesesatan ada di dalam neraka’ – yaitu pelakunya di dalam neraka” [Haasyiyyah
As-Sindiy, 3/47].
حَدَّثَنَا
أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ، ثنا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عِيسَى بْنِ مَيْمُونٍ،
ثنا ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ،
قَالَ: " الْبِدَعُ وَالشُّبُهَاتُ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahyaa bin Khalaf : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aashim, dari ‘Iisaa bin Maimuun : Telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang firman Allah : ‘dan jangan kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain) ((QS. Al-An’aam : 153); ia berkata : “Bid’ah-bid’ah dan syubuhaat”
[As-Sunnah no. 20; shahih].
[24] Begitulah
yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dan yang benar – dan kemungkinan
inilah yang beliau maksudkan – adalah : ‘wa kullu dlalaalatin fin-naar’.
Beliau rahimahullah berhujjah dengan hadits ini pada beberapa tempat
dalam kitabnya.
Alhamdulillah ustaz, penjelasan yang terang.Kerana setakat ini saya cukup terkesan dengan pendhaifan syaikh Amru tersebut. namun yg saya dapatkan hadith ini dishahihkan/di hasankan oleh Al-albani, Ibn Baz dan Utsaimin tanpa keterangan yang details. Jazakallah khairan.
BalasHapus