07 Januari 2013

Bolehkah Suami Bercampur dengan Istri Jika Ia Belum Menyerahkan Maharnya ?


Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ، قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَعْطِهَا شَيْئًا "، قَالَ: مَا عِنْدِي شَيْءٌ، قَالَ: " أَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ "
“Ketika ‘Aliy menikahi Faathimah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Berilah ia sesuatu (untuk mahar)’. ‘Aliy berkata : ‘Aku tidak memiliki apa-apa’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Dimanakah baju besi khuthamiyyah-mu ?”.[1]
Hadits tersebut pada kitab Sunan Abi Daawud berada di bawah Baab : Fir-Rajuli Yadkhulu bi-Imra-atihi Qabla An-Yunqaduhaa (Bab : Tentang Laki-Laki yang Mencampuri Istrinya Sebelum Memberikan Mahar Kepadanya).
Adapun dalam kitab Sunan An-Nasaa’iy, hadits tersebut berada di bawah Baab : Nihlatul-Khulwah (Pemberian Mahar karena Berkhalwat), dengan lafadh :
أَنَّ عَلِيًّا، قَالَ: " تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: " أَعْطِهَا شَيْئًا
Bahwasannya ‘Aliy berkata : Aku menikahi Faathimah radliyallaahu ‘anhaa. Lalu aku berkata : “Wahai Rasulullah, bolehkah ia aku campuri ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berilah ia sesuatu”.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَنْ تَزَوَّجَ فَسَمَّى صَدَاقًا أَوْ لَمْ يُسَمِّ: فَلَهُ الدُّخُولُ بِهَا - أَحَبَّتْ أَمْ كَرِهَتْ - وَيُقْضَى لَهَا بِمَا سَمَّى لَهَا - أَحَبَّ أَمْ كَرِهَ - وَلا يُمْنَعْ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ مِنْ الدُّخُولِ بِهَا، لَكِنْ يُقْضَى لَهُ عَاجِلا بِالدُّخُولِ، وَيُقْضَى لَهَا عَلَيْهِ حَسْبَمَا يُوجَدُ عِنْدَهُ بِالصَّدَاقِ.
فَإِنْ كَانَ لَمْ يُسَمِّ لَهَا شَيْئًا قُضِيَ عَلَيْهِ بِمَهْرِ مِثْلِهَا، إلا أَنْ يَتَرَاضَيَا بِأَكْثَرَ أَوْ بِأَقَلَّ
“Barangsiapa yang menikah baik dengan menyebutkan maharnya ataupun tidak, maka ia boleh bercampur dengan istrinya – baik istrinya itu sukarela ataupun terpaksa - . Dan hendaknya ia segera menunaikan mahar yang telah sebutkan baginya – baik dalam keadaan sukarela maupun terpaksa - . Tidak menjadi halangan untuk bercampur baginya (suami) dengan sebab itu (penundaan mahar), akan tetapi ia hendaknya segera memberikan maharnya setelah ia mencampurinya. Hendaknya ia menunaikan mahar kepada istrinya seukuran kemampuannya (apabila mahar telah disebutkan/ditentukan). Apabila ia belum menyebutkan mahar bagi istrinya, ia harus membayar mahar mitsl untuknya (istri), kecuali bila keduanya sepakat dengan pembayaran mahar dengan jumlah lebih banyak atau lebih sedikit (dari mahar mitsl)”.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
أجمع كل من يُحْفَظُ عنه من أهل العلم، أن للمرأة أن تمتنع من دخول الزوج عليها، حتى يعطيها مهرها
“Semua ulama telah bersepakat bahwa wanita berhak untuk menolak keinginan suaminya untuk mencampurinya sebelum suaminya itu membayarkan mahar kepadanya”.
Penulis kitab Al-Muhallaa mengomentari pendapat tersebut di atas dengan perkataannya :
وَلا خِلافَ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فِي أَنَّهُ مِنْ حِينِ يُعْقَدُ الزَّوَاجُ فَإِنَّهَا زَوْجَةٌ لَهُ " فَهُوَ حَلالٌ لَهَا وَهِيَ حَلالٌ لَهُ، فَمَنْ مَنَعَهَا مِنْهُ حَتَّى يُعْطِيَهَا الصَّدَاقَ أَوْ غَيْرَهُ فَقَدْ حَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ بِلا نَصٍّ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى، وَلا مِنْ رَسُولِهِ - صلى الله عليه وسلم - لَكِنَّ الْحَقَّ مَا قُلْنَا أَنْ لا يُمْنَعَ حَقَّهُ مِنْهَا، وَلا تُمْنَعَ هِيَ حَقَّهَا مِنْ صَدَاقِهَا، لَكِنْ يُطْلَقُ عَلَى الدُّخُولِ عَلَيْهَا - أَحَبَّتْ أَمْ كَرِهَتْ - وَيُؤْخَذُ مِمَّا يُوجَدُ لَهُ صَدَاقُهَا - أَحَبَّ أَمْ كَرِهَ.
وَصَحَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَصْوِيبُ قَوْلِ الْقَائِلِ " أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin bahwa setelah aqad nikah dilangsungkan, maka si wanita menjadi istrinya. Laki-laki itu halal bagi si wanita, dan si wanita pun halal baginya. Barangsiapa yang menghalangi wanita itu dari suaminya hingga suami memberi si wanita mahar atau yang lainnya, sungguh ia telah menghalangi antara suami dan istri itu tanpa dasar nash dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi yang benar adalah seperti yang kami katakan, yaitu belum dibayarkannya mahar tidaklah menghalangi hak suami terhadap istrinya, dan tidaklah pula istri dihalangi haknya dari maharnya. Akan tetapi dimutlakkan kebolehan suami untuk mencampurinya – baik dengan sukarela atau terpaksa - , dan mahar itu diambil dari harta yang ada pada suami – baik dengan sukarela ataupun terpaksa - .
Dan telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang membenarkan perkataan seseorang : ‘Tunaikanlah hak setiap orang yang hak[2]”.[3]
Asy-Syaikh Husain Al-‘Awaaisyah pernah bertanya kepada gurunya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy, rahimahullah : “Apakah pernikahan itu sah dengan keberadaan wali dan dua orang saksi yang dengannya dihalalkan kemaluan ?. Apakah itu tergantung (pembayaran) maharnya ?”.
Maka beliau (Al-Albaaniy) rahimahullah menjawab :
ليس له علاقة، فيمكن أن يبني بزوجته؛ بالشرطين المذكورين في الحديث، وأن يؤخر المهر لها؛ دون الاتفاق على كميّة المهر، وإذا الختلفوا؛ فهو مكلّف شرعاً بأن يدفع لها مهر المثل - أي : مثيلاتها من نساء قبيلتها - : سنّها، ثيّب، بكر، قبيحة، جميلة، ويمكن في صورة نادرةٍ جداً؛ أن يجعل مهرها تعليمها القرآن، بل ثبتَ أن أم سُليم  قد جعلَت مهر أبي طلحة - رضي اللهُ عنهما - إسلامه، فأسلم، وكان مهرَ زوجه
“Hal itu tidaklah tergantung (pada pemberian mahar). Kehalalan antara dia dan istrinya adalah dengan dua syarat yang disebutkan dalam hadits, dan kemudian ia mengakhirkan pemberian mahar untuk istrinya, meskipun tanpa kesepakat tentang jumlah mahar. Apabila mereka berdua berselisih, maka suami wajib memberikan mahar mitsl untuknya – yaitu sebesar mahar yang biasa diberikan kepada wanita kabilahnya yang tergantung dari umur, status janda atau gadis, jelek atau cantik. Bahkan dimungkinkan pembayaran mahar itu pada bentuk yang sangat jarang, yaitu membayarkan mahar untuknya berupa pengajaran Al-Qur’an. Bahkan telah shahih bahwa Ummu Sulaim menjadikan mahar Abu Thalhah radliyallaahu ‘anhumaa berupa keislamannya. Abu Thalhah pun masuk Islam, dan hal itu menjadi mahar bagi istrinya”.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata dalam As-Sailul-Jaraar (2/276) :
أقول لم يرد ما يدل على أن المهر شرط من شروط العقد أو ركن من أركانه وأما قوله سبحانه وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ  فالمراد أن المهر وأجب للمنكوحة لا يجوز مطلها منه ولو كان العقد لا يصح الا بالمهر لم يقل الله عز و جل لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً فإن هذه الاية تفيد أن العقد قد يقع قبل فرض المهر
“Aku katakan : Tidak ada dalil yang menunjukkan mahar sebagai syarat dari syarat-syarat akad pernikahan atau rukun dari rukun-rukun pernikahan. Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’ala : ‘Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya’ (QS. Al-Mumtahanah : 10). Maksudnya : mahar wajib ditunaikan bagi wanita yang telah dinikahi, tidak boleh ditangguhkan pembayarannya. Seandainya akad pernikahan tidak sah kecuali dengan pembayaran mahar, niscaya Allah ‘azza wa jalla tidak akan berfirman : ‘Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya’ (QS. Al-Baqarah : 236). Sesungguhnya ayat ini memberikan faedah bahwa akad pernikahan terjadi sebelum penetapan mahar”.
Kemudian Asy-Syaukaaniy menyebutkan beberapa dalil bagi pendapatnya itu.
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata dalam Majmuu’ Al-Fataawaa (32/208) :
إذا خلا الرجل بالمرأة فمنعته نفسها من الوطء ولم يطأها لم يستقر مهرها في مذهب الإمام أحمد الذي ذكره أصحابه كالقاضي أبي يعلى وأبي البركات وغيرهما وغيره من الأئمة الاربعة مالك والشافعي وأبي حنيفة وإذا اعترفت بأنها لم تمكنه من وطئها لم يستقر مهرها باتفاقهم ولا يجب لها عليه نفقة ما دامت كذلك باتفاقهم وإذا كانت مبغضة له مختارة سواه فإنها تفتدي نفسها منه
“Apabila seorang laki-laki (suami) berkhalwat (berduaan) dengan istrinya, lalu istrinya itu menolak untuk dicampuri, sehingga laki-laki itu pun tidak jadi mencampurinya, maka tidak ada mahar baginya (wanita) berdasarkan madzhab Al-Imaam Ahmad – sebagaimana disebutkan ashhaab-nya seperti Al-Qaadliy Abu Ya’laa, Abul-Barakaat, dan yang lainnya. Demikian juga pendapat para imam lain dari kalangan imam yang empat : Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Abu Haniifah. Apabila wanita itu memberitahukan bahwa dirinya tidak mau dicampuri oleh suaminya, maka tidak ada mahar baginya (wanita) menurut kesepakatan ulama. Tidak pula ada kewajiban bagi suami tersebut untuk memberikan nafkah kepadanya selama ia masih menolaknya, berdasarkan kesepakatan ulama. Dan apabila ia tidak suka kepada suami dan lebih memilih laki-laki lain, maka hendaknya ia menebus dirinya dari suaminya itu (yaitu meminta khulu’)”.
[selesai].
[diterjemahkan oleh Abul-Jauzaa’ dari buku Al-mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah karya Asy-Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaaisyah hafidhahullah, 5/166-169, Daaru Ibni Hazm, Cet. 1/1425, dengan sedikit perubahan – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 07012013 - 23:37].



[1]      Diriwayatkan oleh Abu Daawud (Shahih Abi Daawud) no. 1865 dan An-Nasaa’iy (Shahiih An-Nasaa’iy) no. 3161.
[2]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3160.
[3]      Lihat : Al-Muhallaa (11/87-91). Disebutkan Sayyid Saabiq rahimahullah dalam Fiqhus-Sunnah (2/483-484).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar