Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan :
“Kebanyakan
pelaku amar ma’ruf nahi munkar melampaui batas. Adakalnya karena kebodohan
dan adakalanya karena kedhaliman. Permasalahan ini harus dilakukan
dengan teliti, baik dalam mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik,
fasik, atau pelaku maksiat”.
Kemudian
beliau melanjutkan :
“Melaksanakan
amar ma’ruf nahi munkar hendaklah mengikuti tuntunan syari’at dari ilmu,
fiqh, rifq (lemah-lembut), kesabaran, niat yang ikhlash, dan mengikuti
jalan yang lurus. Karena hal itu termasuk dalam firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى
اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak
akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah
kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan” [QS. Al-Maaiadah : 105]”.
Beliau
melanjutkan :
“Di
dalam ayat ini terdapat makna lain, yaitu hendaklah seseorang berusaha
mendapatkan kemaslahatan dirinya, ilmu, dan amalnya dan berpaling dari sesuatu
yang tidak berguna sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam :
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
“Di
antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna
baginya”.[1]
Apalagi
melakukan sesuatu secara berlebihan, yang tidak ada nilai kepentingannya dalam
masalah diin (agama) dan orang lain. Khususnya berbicara karena hasad
(dengki) atau ambisi kepemimpinan. Demikian juga amalannya, maka pelakunya adakalanya
jahat lagi dhalim atau bodoh lagi pandir.
Alangkah
banyaknya amalan setan yang menodai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di
jalan Allah, padahal hal itu termasuk kedhaliman dan kejahatan”
[Majmuu Al-Fataawaa, XIV/481-482].
[selesai
– dikutip oleh Abul-Jauzaa’ dari buku Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karangan guru kami, Al-Ustadz Yaziid bin Abdil-Qadir
Jawas, hal. 135-137].
[1] Shahih : HR. At-Tirmidzi (no. 2317),
Ibnu Majah (no. 3976), Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIV/320, no.
4132), Ibnu Hibban (no. 229 – At-Ta’liiqaatul-Hisaan), dan Ibnu
Abid-Dunyaa dalam kitab Ash-Shamtu (no. 108) dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu.
Ustadz, Ibnu Rajab dalam Jami' Ulum wal Hikam mendhoifkan hadits tersebut (من حسن اسلام المرء...(, bagaimana komentar ulama' lain terhadap pendhoifan itu?
BalasHapusBenar, beliau mendla'ifkan hadits ini, karena menguatkan yang jalur mursal dari 'Aliy bin Al-Husain. Beliau rahimahullah menukil ulama mutaqaddimiin yang menguatkan jalur mursal antara lain adalah : Ahmad, Ibnu Ma'iin, Al-Bukhaariy, dan Ad-Daaruquthniy.
BalasHapusAdapun yang menshahihkannya adalah Ibnu Hibbaan. Yang menghasankannya antara lain adalah An-Nawawiy.
Tashhih di atas saya nukil dari buku Amar Ma'ruf yang saya sebutkan di atas.
ustadz, adakah keharusan kita bergabung dengan ormas2 islam dalam berdakwah/Amar Ma’ruf Nahi Munkar?jazakalloh khair
BalasHapusSaya sangat kagum dengan artikel yang anda tulis karena mengajarkan berbagai ilmu tentang islam dan kebaikan. Sehingga membuat para pembaca sadar tentang pentingnya beribadah. Salam kenal.
BalasHapus@Anonim 5 November 2012 16:15,... tidak harus.
BalasHapusSaya pernah menegur da'i dan orang awam di lain waktu yang memutar musik di masjid. Kedua teguran itu saya tujukan ketika berkumpul orang2 disekitarnya. Saya mengatakan: "Mas/Pak ini masjid bukan gereja, matikan musiknya ya".
BalasHapusKondisi kami memang mayoritas protestan.
Kalo yang ngaku da'i mematikan. Kalo yang orang awam mau memukul saya hampir berkelahi karena saya ngeyel untuk mematikan, dia ngeyel untuk tetap menghidupkan. Apa saya dholim?
Tegurlah dengan lemah lembut, karena barangkali orang awam tersebut meyakini bahwa nyetel musik itu hukumnya mubah, termasuk di masjid.
BalasHapushmm... Kalau kita sudah tegur dengan kalem dia tetep ngeyel, apakah kita pergi saja? Toh kita sudah mengatakan apa yang ingin kita katakan/nasehatkan kalau musik itu sebenarnya haram. Dia mau terima atau tidak bukan urusan kita. Dia tetap membunyikan musik di masjid jadi bukan beban kita lagi. Begitukah? Atau saya salah menyimpulkan?
BalasHapusLalu untuk da'i abal-abal ini bagaimana? Bukannya berdakwah dengan benar, kok malah bagi-bagi lagu, cukur jenggot, musbil lagi. Saya mau protes tapi takut kena syubhat, jadi saya diam saja. Kecuali masalah musik di masjid karena sebal sekali kalau dengar. Apakah diam saya itu berdosa?
Semuanya perlu dipertimbangkan maslahat dan mafsadatnya. Seandainya antum kuasa/mampu untuk merubahnya dengan tangan antum (karena antum sebagai ta'mir masjid misalnya), maka itu masyru' dilakukan. Nmaun jika tidak, atau malah menimbulkan perkelahian yang tak bermanfaat, maka tidak dimasyru'kan. Antum bisa meminta bantuan pada orang yang lebih dihormati oleh masyarakat sekitar untuk menegurnya.
BalasHapusSama saja dengan si da'i. Kalau dia tidak mengerti hukum, sama saja dia awam akan hukum tersebut.
Diamnya kita jika kita sudah berusaha mencegah tidaklah berdosa, insya Allah.
wallaahu a'lam.