Dimanakah
riwayatnya ?. Perhatikan yang ini :
حَدَّثَنِي
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَبَّاسِ الشَّهِيدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
أَنْبَأَ أَبُو حَاتِمِ بْنُ مَحْبُوبٍ، ثَنَا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْعَلاءِ،
ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ
عَلِيَّ بْنَ الْحُسَيْنِ، يَقُولُ: " إِنَّ ابْنَ عُمَرَ أَزْهَدُ الْقَوْمِ
وَأَصْوَبُ الْقَوْمِ رَأْيًا "
Telah
menceritakan kepadaku Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-‘Abbaas Asy-Syahiid radliyallaahu
‘anhu : Telah memberitakan Abu Haatim bin Mahbuub : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-Jabbaar bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan,
dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin
Al-Husain berkata : “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar orang yang paling zuhud dan orang
yang paling benar pendapat/pandangannya” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak
(At-Tatabbu’ – Muqbil Al-Wadii’iy), 3/689 no. 6451].
Berikut
keterangan perawinya :
1. Muhammad
bin Al-‘Abbaas bin Ahmad bin ‘Ushm, Abu ‘Abdillah bin Abi Dzuhl Adl-Dlabbiy,
terkenal dengan nama Al-‘Ushmiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat.
Wafat tahun 378 H [Taariikh Baghdaad, 4/203-205 no. 1404 dan Rijaal Al-Haakim hal. 220-221 no. 1370].
2.
Abu
Haatim bin Mahbuub, maka ini keliru (ada kemungkinan terjadi tashhif).
Yang benar adalah Haatim bin Mahbuub Asy-Saamiy[1],
karena ia lah yang terkenal dari jajaran guru/syaikh Muhammad bin Al-‘Abbaas
[lihat : Taariikh Baghdaad, 4/203]. Haatim bin Mahbuub Abu Yaziid Al-Qurasyiy As-Saamiy
Al-Harawiy; seorang yang tsiqah lagi shaalih. Wafat tahun 321 H [Taariikh
Al-Islaam, 24/82-83 no. 21].
3.
‘Abdul-Jabbaar
bin Al-‘Alaa’ bin ‘Abdil-Jabbaar Al-‘Aththaar, Abu Bakr Al-Bashriy Al-Makkiy;
seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Laa ba’sa bih (tidak mengapa
dengannya)’. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H. Dipakai
oleh Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal.
562-563 no. 3767]. Bahkan ia seorang yang tsiqah.
Telah ditsiqahkan oleh An-Nasaa’iy, Al-Baihaqiy, Al-Haakim, dan Al-‘Ijliy. Ibnu
Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Mutqin”.
Ahmad berkata : “Aku melihatnya di sisi Ibnu ‘Uyainah periwayatan yang baik (hasanul-akhdz)”.
Tautsiq inilah yang dikuatkan oleh Adz-Dzahabiy [Al-Kaasyif,
1/612 no. 3087].
4.
Sufyaan bin ‘Uyainah bin
Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah
ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198
H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
5.
Ja’far bin Muhammad bin
‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu
‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq, faqiih, lagi
imaam”. Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun
148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 200 no. 958]. Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan para
imam seperti : Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, Syu’bah bin
Al-Hajjaaj, Ibnu Abi Khaitsamah, An-Nasaa’iy, Abu Haatim, Ibnu ‘Adiy, Ibnu
Hibbaan, Al-Haakim, Al-‘Ijliy, dan yang lainnya. Tautsiq inilah yang
dikuatkan oleh Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy, 1/211 no. 1156].
6.
Muhammad
bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi
Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang
tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan
wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
7. ‘Aliy
bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy
Abul-Husain/Abul-Hasan/Abu Muhammad Al-Madaniy, dikenal dengan nama :
Zainul-‘Aabidiin; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah
ke-3, dan wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 693 no. 4749].
Tidak
ketinggalan pula anaknya, Abu Ja’far Al-Baaqir rahimahullah, pun
memujinya :
حَدَّثَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ الْعَدْلُ،
ثَنَا أَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصْرٍ، ثَنَا أَبُو غَسَّانَ
مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ، عَنْ
أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا أَحْذَرَ أَنْ لا يَزِيدَ
فِيهِ وَلا يُنْقِصَ مِنَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Diinaar
Al-‘Adl : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Nashr
: Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassaan Maalik bin Ismaa’iil : Telah
menceritakan kepada kami Zuhair, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Ja’far, ia
berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa aalihi wa sallam apabila mendengar satu hadits dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa aalihi wa sallam yang lebih bersemangat untuk memperingatkan
agar tidak menambah ataupun menguranginya daripada Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’
– Muqbil Al-Wadii’iy), 3/690 no. 6453].
Sanad
riwayat ini hasan.
Berikut
keterangan perawinya :
1.
Muhammad
bin ‘Abdillah bin Diinaar, Abu ‘Abdillah Al-Mu’addal Az-Zaahid; seorang yang tsiqah.
Wafat tahun 338 H [Taariikh Baghdaad 3/474-476 no. 1005 dan Siyaru
A’laamin-Nubalaa’ 15/382-383 no. 205].
2.
Ahmad
bin Muhammad bin Nushair/Nashr Al-Labbaad Al-Faqiih, Abu Nashr An-Naisaabuuriy;
syaikh penduduk Ray dan termasuk pemimpin di kalangan mereka. Wafat tahun 280 H
[Rijaal Al-Haakim, hal. 192-193 no. 364].
3.
Maalik bin Ismaa’iil bin Dirham
– atau dikatakan : bin Ziyaad bin Dirham An-Nahdiy, Abu Ghassaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, mutqin,
shahiihul-kitaab, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, dan
wafat tahun 217 H. Dipakai
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no.
6464].
4.
Zuhair bin Mu’aawiyyah bin
Hudaij Abu Khaitsamah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari
Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar
riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu
Ishaaq). Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 100 H, dan wafat tahun 172
H/173 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 342 no. 2062].
5.
Muhammad bin Suuqah
Al-Ghanawiy, Abu Bakr Al-Kuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah lagi diridlai.
Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 852
no. 5979].
6.
Abu Ja’far, ia adalah : Muhammad
bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi
Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy – telah disebutkan keterangan
tentangnya.
Abu
Ghassaan Al-Kuufiy mempunyai mutaba’ah dari Al-Fadhl bin Dukain
sebagaimana diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/438 : Telah
mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain Abu Nu’aim : Telah mengkhabarkan
kepada kami Zuhair bin Mu’aawiyyah, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Ja’far.
Sanad
riwayat ini shahih.
Al-Fadhl bin Dukain –
‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah
ke-9, lahir tahun 129/130 H, dan wafat tahun 218 H/219 H. Dipakai
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].
Jika
dikatakan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa enggan menambahi atau
mengurangi lafadh hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tentu ia
akan jauh lebih enggan untuk membuat-buat hadits dan kemudian diatasnamakan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Terkait
dua riwayat yang disebutkan di atas, mari kita mengingat kembali beberapa
riwayat yang dibawakan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa yang dikatakan
sebagai orang yang paling benar pendapatnya dan jujur dalam riwayat :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah : Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata
: “Kami memilih-milih orang terbaik di antara manusia pada jaman Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan kami pun memilih (yang terbaik
tersebut) adalah Abu Bakr, kemudian 'Umar bin Al-Khaththaab, kemudian 'Utsmaan
bin 'Affaan radliyallaahu 'anhum" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3655].
‘Abdullah
bin ‘Umar menyatakan pendapat para shahabat di jaman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang umat terbaik sepeninggal beliau adalah : Abu
Bakr, lalu ‘Umar, lalu ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: " سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ، فَقَالَ:
لَا نَعْلَمُهَا إلَّا السِّفَاحَ "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Saalim, dari
ayahnya (Ibnu ‘Umar); ia (Saalim) berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang pernikahan
mut’ah dengan wanita, lalu ia menjawab : “Kami tidak mengetahuinya
kecuali perbuatan itu merupakan zina” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf 4/2 : 292-293 no. 17354; shahih].
‘Abdullah
bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berpendapat bahwa nikah mut’ah yang
dilakukan setelah adanya larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk
katagori zina.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ، وَوَاصِلُ
بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبَانَ، وَأَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ
الْوَكِيعِيُّ، قَالُوا: حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ:
سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، يَقُولُ: يَا أَهْلَ
الْعِرَاقِ مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيرَةِ، وَأَرْكَبَكُمْ لِلْكَبِيرَةِ،
سَمِعْتُ أَبِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيءُ مِنْ هَاهُنَا،
وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنَا
الشَّيْطَانِ، وَأَنْتُمْ يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا قَتَلَ
مُوسَى الَّذِي قَتَلَ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ خَطَأً، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
لَهُ وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا
"
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin
‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu
Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail,
dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata
: “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku
tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah
bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini
- ia menunjukkan tangannya ke arah timur - dari arah munculya dua tanduk
setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh orang
yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir'aun itu karena tidak sengaja. Lalu
Allah 'azza wa jalla berfirman padanya : 'Dan kamu
pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan
Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan." (Thaahaa: 40)”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 (50)].
‘Abdullah
bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa memahami hadits yang ia bawakan tentang
fitnah yang muncul dari arah timur adalah ‘Iraaq.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ :
Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam [Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy
dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy
dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar 12/378; shahih].
Jika
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa benci mengusap kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tentu ia akan lebih benci mengusap kubur orang yang
lebih rendah kedudukannya dari beliau.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ،
حَدَّثَنِي صَخْرُ بْنُ جُوَيْرِيَةَ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: لَمَّا خَلَعَ النَّاسُ يَزِيدَ بْنَ
مُعَاوِيَةَ، جَمَعَ ابْنُ عُمَرَ بَنِيهِ
وَأَهْلَهُ، ثُمَّ تَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّا قَدْ
بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ الْغَادِرَ يُنْصَبُ لَهُ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانٍ "، وَإِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْغَدْرِ إلَا
أَنْ يَكُونَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَنْ يُبَايِعَ رَجُلٌ رَجُلًا
عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، ثُمَّ يَنْكُثَ بَيْعَتَهُ، فَلَا يَخْلَعَنَّ
أَحَدٌ مِنْكُمْ يَزِيدَ، وَلَا يُشْرِفَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ فِي هَذَا الْأَمْرِ
فَيَكُونَ صَيْلَمٌ بَيْنِي وَبَيْنَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepadaku Shakhr bin
Juwairiyah, dari Naafi’, ia berkata : Ketika manusia
melepaskan ketaatan kepada Yaziid bin Mu’aawiyyah, maka Ibnu ‘Umar mengumpulkan
anak-anak dan keluarganya kemudian bertasyahud dan berkata : “Amma ba’du,
sesungguhnya kita telah membai’at orang ini (yaitu Yaziid bin Mu’aawiyyah) di
atas bai’at Allah dan Rasul-Nya. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya bagi seorang pengkhianat
akan ditancapkan baginya bendera pada hari kiamat dan akan dikatakan kepadanya
: ‘Inilah (bendera) pengkhianatan si Fulan’. Dan sesungguhnya
pengkhianatan yang paling besar bila tidak ada pengkhianatan lain yang lebih
besar dari perbuatan syirik kepada Allah, adalah : Seseorang yang berbaiat
kepada orang lain dalam rangka bai’at (taat) kepada Allah dan Rasul-Nya lalu ia
mengkhianati bai’atnya itu. Maka janganlah ada diantara kalian yang melepaskan
bai’at kepada Yazid, dan janganlah ada di antara kalian yang berlebih-lebihan
dalam perkara ini yang dengan itu dapat memisahkan hubungan antara aku
dengannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/48; shahih].
Seandainya Yaziid bin
Mu’aawiyyah itu kafir – sebagaimana perkataan sebagian orang-orang bodoh - ,
tentu ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak akan memberikan
baiat kepadanya.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
نُمَيْرٍ. ح وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ
وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ
نَافِعٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا
يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَأَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا افْتُرِضَ
رَمَضَانُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ، فَمَنْ شَاءَ
صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Numair (ح).
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair – dan lafadh hadits ini adalah
miliknya - : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada
kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya orang-orang Jaahiliyyah dulu
biasa berpuasa pada hari ‘Aasyuuraa’. Dan bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin juga berpuasa padanya sebelum
diwajibkannya puasa Ramadlaan. Namun ketika telah diwajibkan puasa Ramadlaan,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya
‘Aasyuuraa’ adalah hari di antara hari-hari kepunyaan Allah. Barangsiapa yang
ingin, ia boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin ia pun boleh
meninggalkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1126].
‘Abdullah
bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa mengatakan dari hadits Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bahwa yang disunnahkan untuk dilakukan pada hari
‘Aasyuuraa’ adalah berpuasa. Bukan acara meratap dan ‘gebuk diri massal’.
Anda tahu
kaum yang menyelisihi ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas
?. Ya, satu kaum yang mencacinya dan mencaci ayahnya (‘Umar bin Al-Khaththaab) radliyallaahu
‘anhumaa.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – 18072012].
"Anda tahu kaum yang menyelisihi ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas ?"
BalasHapusPertanyaan yg ga butuh jawaban, ustadz...hehe
dan 'kaum' itu dah ga berani nongol lagi di mari... soalnya kebongkar terus kedoknya, paling nanti2 mengail di air keruh...................... atau lempar batu sembunyi tangan
BalasHapus