Ibnu
Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ،
عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ
عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى حُجْرَةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ، وَنِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ ! "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Al-Jurairiy, dari Al-Hakam bin
Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang shalat
Dluhaa, yang ketika itu punggungnya bersandar pada kamar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Ia menjawab : “Bid’ah, dan itu adalah sebaik-baik
bid’ah” [Al-Mushannaf, 2/405 no. 7859].
Sanad
riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat. Ibnu ‘Ulayyah termasuk
perawi yang mendengar riwayat dari Al-Jurairiy sebelum ikhtilaath-nya [lihat : Al-Mukhtalithiin oleh
Al-‘Alaaiy (bersama komentar muhaqqiq-nya), hal. 37-38 no. 16,
tahqiq : Raf’at bin Fauziy & ‘Aliy bin ‘Abdil-Baasith; Maktabah
Al-Khaanijiy, Kairo].
Telah
masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah
seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat
tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ:
ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ
ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya
kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah” [idem,
2/406 no. 7866].
Sanadnya
shahih.
Sebagian
orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di
atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai
sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.
Pendalilan
mereka tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut :
1.
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak mengetahui mengetahui
adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang mendasarinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ،
عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ مُوَرِّقٍ، قَالَ: " قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي الضُّحَى؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ:
لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لَا إِخَالُهُ "
Telah menceritakan
kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari
Syu’bah, dari Taubah, dari Muwarriq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
“Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali
bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya
: “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”.
Ia menjawab : “Aku kira tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175].
Padahal, ada
riwayat shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
dan memerintahkan shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: "
مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ
وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ
أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ "
Telah menceritakan
kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan
kepada kami ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Abi
Lailaa berkata : “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dluhaa
kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia pernah berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau
mandi dan melakukan shalat delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat
yang lebih ringan daripada itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan
sujudnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1176].
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ،
حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ،
وَيَزِيدُ مَا شَاءَ "
Telah menceritakan
kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk : Telah
menceritakan kepadaku Mu’aadzah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa : “Berapa raka’at Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa ?”. ‘Aaisyah menjawab :
“Empat raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang Allah kehendaki” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 719].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ، سَمِعَ عَاصِمَ بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ
الضُّحَى "
Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah,
dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim bin Dlamrah meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengerjakan shalat Dluhaa” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/89; Al-Arna’uth berkata
: “sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ
الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ
مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ
يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ
سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ
تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ
صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ،
وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah menceritakan
kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Waashil maulaa
Abi ‘Uyainah, dari Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar, dari Abul-Aswad
Ad-Dualiy, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pada
setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa
menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi
sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar
juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan raka’at yang
dilakukan pada waktu Dluha” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 720].
Orang yang
mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.
2.
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan
jika baru datang dari bepergian.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ
بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي
الضُّحَى إِلا أَنْ يَقْدَمَ مِنْ غَيْبَةٍ "
Telah menceritakan
kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Ash-Shawwaaf : Telah menceritakan kepada kami Saalim
bin Nuuh Al-‘Aththaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengerjakan shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/230-231 no. 1229; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah].
3.
Bersamaan dengan
itu, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah mengerjakannya.
ثَنَا لَيْثٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ
يُسْأَلُ عَنْ صَلاةِ الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ:
" إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا
عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "
Telah menceritakan
kepada kami Laits, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia pernah
ditanya tentang shalat Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula
memerintahkannya. Ia berkata : “Aku hanyalah melakukannya sebagaimana aku lihat
para shahabatku melakukannya. Akan tetapi janganlah kalian mengerjakannya
ketika matahari terbit dan tenggelamnya" [Diriwayatkan oleh Abu Jahm
Al-Baghdaadiy dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih].
Jelasnya lagi dalam
riwayat :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ،
حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي
يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى
فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ
يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ
الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ
يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ
رَاكِبًا وَمَاشِيًا، قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ
أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ
شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ
وَلَا غُرُوبَهَا
Telah menceritakan
kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy : Telah menceritakan kepada kami
Ibnu ‘Ulayyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’ :
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak pernah mengerjakan
shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu hari ketika dia mengunjungi Makkah
saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah
kemudian shalat dua raka'at di belakang maqaam (Ibraahiim). Dan yang
lain adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa', yang ia mendatanginya pada hari
Sabtu. Bila ia telah memasukinya, maka ia enggan untuk keluar darinya hingga ia
shalat terlebih dahulu di dalamnya. Berkata Nafi' : "Dan Ibnu'Umar radliallaahu
'anhumaa menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
pernah mengunjungi (masjid Qubaa') baik dengan berkendaraan ataupun berjalan
kaki". Berkata Nafi' : Dan Ibnu 'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata
: "Sesungguhnya aku mengerjakan yang demikian seperti aku melihat para
sahabatku melakukannya, namun aku tidak melarang seseorangpun untuk mengerjakan
shalat pada waktu kapanpun yang ia suka baik di waktu malam maupun siang hari,
asalkan tidak bersamaan waktunya saat terbitnya matahari atau saat
tenggelam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1192].
Dari
sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan
oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah terkait shalat sunnah mutlak
yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu malam dan siang, dan kemudian
orang-orang banyak melakukannya pada waktu Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar
mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan malam itu adalah masyru’,
namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil pendawaman shalat Dluhaa secara
khusus di luar waktu ketika tiba dari bepergian.
Dengan
kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait
dengan shalat sunnah mutlak yang banyak dikerjakan kaum muslimin pada waktu
Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu sendiri.
Oleh
karena itu, bid’ah dalam perkataan ‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa adalah bid’ah secara bahasa (lughawiy). Bukan bid’ah secara
istilah. Telah masyhur perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang
penafikan eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana riwayat :
أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ،
وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ،
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru,
mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy : Telah
menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin
Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah
sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Dan
inilah praktek Ibnu ‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah :
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ،
حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ،
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ:
" الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami
Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali
Al-Jaarud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di
samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah
was-salaamu ‘alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan
bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku mengatakan : alhamdulillah
was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari
kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : ‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’
(Alhamdulillah dalam segala kondisi)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738].
Seluruh
perawinya tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia
mempunyai mutaba’ah dari Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena
itu riwayat ini adalah hasan.
Kembali
ke awal pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah. Seandainya ada yang tetap
keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah hasanah, maka hakekatnya
ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri terhadap riwayat-riwayat
lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk menghasilkan satu pemahaman
komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah bid’ah.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– wonokarto, wonogiri, 12072012].
Mantab akhi..
BalasHapusJazakallahu khairan untuk ilmu yang antum sampaikan
Wah akhirnya dibikin artikel penuh juga ya ustadz.. jazakallahu khairan katsiran.. Jawaban yang mantab dan komprehensif..
BalasHapusDari sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhaa adalah terkait shalat sunnah mutlak...
BalasHapusMungkin yang antum maksud, rodhiallaahu `anhumaa?
-- Abu Yahya --
Ya, antum benar. Telah saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan.
BalasHapusAssalamu'alaikum ustadz,
BalasHapusafwan sebelumnya, saya cuma mau tanya tetentang sunnah meratakan kuburan atau meninggikan paling tinggi 1 jengkal menurut pendapat lain.
Saya juga lebih mengikuti pendapat dilarangnya menyemen, mengapur, apalagi sampai membuat kubah atau yang semisal dengannya.
tapi yang terjadi di makam Rosulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, abi bakr dan 'umar radhiyallahu 'anhum adalah sebaliknya.
yang ingin saya tanyakan, apa sebenarnya yang menghalangi para ulama salaf seperti syaikh ibnu wahhab, al albani, ibnu baz, al utsaimin, dan para ulama lain yang diantara mereka telah sepakat tentang hukum meratakan kuburan, tetapi tidak melakukan yang demikian kepada ketiga hamba Allah tersebut? sedangkan makam para shahabat yang lain seperti yang berada di baqi' semuanya telah diratakan?
mohon jawabannya ustadz.
Jazakallahu khoiron.
wassalamu 'alaikum.
Ustadz ditempat kami bekerja, dalam rangka memperingati maulid nabi mengadakan acara khitanan massal untuk warga miskin..Bolehkah kita menyumbang untuk acara tersebut ?Niat kita bukan nyumbang maulidnya tapi untuk khitanan massal saja..Terimakasih jawabannya ustadz..
BalasHapus@Mohammad Rojab,.... wallaahu a'lam. Kemungkinan itu pertimbangan maslahat dan mafsadat. Seandainya kuburan itu diratakan - padahal ini masyru' - akan timbul mafsadat lain yang lebih besar, yaitu pergolakan dan/atau kemarahan sebagian kaum muslimin (yang jahil) di berbagai penjuru negeri Islam. Isu kubur Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tentu tidak bisa disamakan dengan isu kubur selain beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam.
BalasHapus====
@Anonim,... uang antum bisa antum salurkan pada khitanan massal yang tidak diadakan untuk mendukung acara bid'ah.
ustad, bukankah ummar bin khottob adalah sahabat yang selalu menutup pintu yang dapat menghantarkan kepada maksiat? lalu mengapa beliau berani mengatakan "sebaik2 bid'ah adalah ini"? bukankah perkataan ini dapat menyebabkan seseorang beranggapan adanya bid'ah hasanah? begitu juga dengan perkataan anak beliau ibnu ummar di atas. logikanya, bayangkan andaikan antum yang ditanya demikian apakah berani antum menjawab seperti itu? apalagi mereka adalah generasi teladan. sepertinya pemahaman bid'ah antum berbeda dengan pemahaman para sahabat.
BalasHapusMakanya itu, kembalikanlah sesuatu pada lisan orang 'Arab, jangan orang 'Ajam (non-'Arab). Orang 'Arab itu biasa menyebutkan suatu kata dalam makna bahasa atau syari'at (makna khusus). Sunnah, taqlid, dan yang lainnya dalam nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) sering digunakan dalam makna syari'at dan juga makna bahasa.
BalasHapusJadi, kalau misal 'Umar mengatakan ni'ma bid'atun hadzihi, ya itu bukan hal yang luar biasa menurut lidah dan pemahaman orang Arab.
lalu apakah ulama2 wahabi yang berbahasa arab berani mengatakan ni'ma bid'atun hadzihi ketika menjelaskan suatu perkara? coba berikan kalau ada buktinya. kalau ulama wahabi sja tidak mau seharusnya para sahabat lebih takut lagi kan? afwan kalau ada yang kurang berkenan. aqidah kita insya Alloh sama tapi saya sedikit berbeda tentang memahami bid'ah ini.
BalasHapusTo Anonim 10 Januari 2013 15:50
BalasHapusUlama wahabi yg berbahasa arab gak ngomong begitu karena khawatir banyak orang awam kayak ente yang salah paham nantinya. Gak bisa bedain mana makna secara bahasa dan mana makna secara istilah.
Nabi shollallaahu`alaihiwasallam melarang keras bid'ah, ini sudah cukup menjadi alasan untuk menjauhinya.
Wallaahu`alam.
pada dasarnya, mereka yang membagi bid'ah menjadi 2 -yaitu hasanah dan dholalah-, ketika misalnya ada yang mencap dirinya ahlul bid'ah tidak akan terima, karena cap AHLUL BID'AH itu sudah pasti cap yang buruk.
BalasHapuskalau cap AHLUL BID'AH itu sudah pasti sesuatu yang buruk, lalu kenapa dia tidak bisa menerima bahwa setiap bid'ah itu juga pasti sesuatu yang buruk?
mas abu yahya.
BalasHapuskomentar antum malah menunjukkan kebenaran pendapat sya. kalau ulama wahabi yang berbahasa arab saja tidak mau mengatakan hal itu karena takut orang awam salah paham, seharusnya sahabat yang merupakan generasi teladan lebih takut lagi mengatakan hal itu, apalagi kita tahu bagaimana begitu kuatnya ummar bin khottob dalam menutup pintu keburukan. tentu seharusnya mereka lebih takut lagi dalam mengatakan hal tersebut. bukankah di zaman mereka juga masih banyak arab badui yang lebih awam?
mas anonim 14 Januari 2013 20.11
BalasHapusperkataan Ibnu 'Umar "sebaik-baik bid'ah adalah ini" adalah terkait dengan sholat dhuha.
apakah sholat dhuha itu adalah memang suatu bid'ah?
jika iya, lalu harus dikemanakan hadits2 yang menyebutkan bahwa Rosululloh pernah mengerjakan sholat dhuha?
jika tidak, maka jangan menyeret2 perkara lain yang memang asli bid'ah, kemudian menyamakannya dengan sholat dhuha.
Mengenai bid'ah menurut imam syafii ada 5 yaitu bid'ah mubah dan sebagainya, lalu kenapa semua bid'ah itu diartikan sebagai bid'ah secara bahasa padahal sudah jelas bahwa perkataan imam syafii adalah membagi bid'ah tsb. Mengapa ada yang memberi maksud bahwa yang dimaksud imam syafii tsb adalah bid'ah secara bahasa, secara tekstual ijma ulama tersebut membagi bid'ah akan tetapi kenapa maksudnya itu secara bahasa.
BalasHapusImam Syaafi'iy tidak membagi bid'ah menjadi lima.
BalasHapusuntuk
BalasHapusAnonim 11 Januari 2013 09.37
generasi shahabat adalah generasi terbaik, berbeda dengan generasi kita.
menyimak
BalasHapusassalamu'alaikum, mau tanya ust. bgaimna sehrusnya sikap kita dlm perbedaan pendapat para ulama? bukankah sehrusnya kita memilih pendapat yng kita anggap kuat dan menghormati pendapat yg lainnya? maslah bid'ah ini sebenarnya juga termsuk yang diperselisihkan ulama kan? lalu mengapa kita mencela orang2 yang mengikuti pendpat ulama yng lain tentang bid'ah ini sementara kita memuji2 ulama tersebut? seharusnya kalau mau mencela, cela lah ulama2nya dulu, bgaimna tanggapan ust
BalasHapusWa'alaikumus-salaam.
BalasHapusKita harus bijak dalam memahami perbedaan pendapat para ulama. Hanya saja, perlu dibedakan, mana perbedaan pendapat yang sifatnya mu'tabar dan ghairu mu'tabar, mana perbedaan pendapat yang kuat dan yang lemah.
Ada perkataan bagus dari Ibnu Hazm rahimahullah :
فإن قال قائل: إن الصحابة قد اختلفوا وأفاضل الناس، أفيلحقهم هذا الذم؟
قيل له، وبالله تعالى التوفيق:
كلا، ما يلحق هؤلاء شيء من هذا، لأن كل امرىء منهم تحرى سبيل الله ووجهة الحق، فالمخطىء منهم مأجور أجراً واحداً لنيته الجميلة في إرادة الخير، وقد رفع عنهم الإثم في خطئهم لأنهم لم يتعمدوه ولا قصدوه ولا استهانوا بطلبهم والمصيب مأجور منهم أجرين. وهكذا كل مسلم إلى يوم القيامة فيما خفي عليه من الدين ولم يبلغه، وإنما الذم المذكور والوعيد الموصوف، لمن ترك التعلق بحبل الله تعالى الذي هو القرآن وكلام النبي بعد بلوغ النص إليه، وقيام الحجة به عليه وتعلَّق بفلان وفلان مقلِّداً عامداً للاختلاف، داعياً إلى عصبية وحمية الجاهلية، قاصداً للفرقة، متحرياً في دعواه برد القرآن والسنة إليها، فإن وافقها النص أخذ به، وإن خالفها تعلق بجاهليته وترك القرآن وكلام النبي صلى الله عليه وسلم فهؤلاء هم المختلفون المذمومون. وطبقة أخرى وهم قوم بلغت بهم رقة الدين، وقلة التقوى، إلى طلب ما وافق أهواءهم في قول كل قائل، فهم يأخذون ما كان رخصة من قول كل عالم، مقلدين له غير طالبين ما أوجبه النص عن الله تعالى، وعن رسوله صلى الله عليه وسلم
“Jika ada yang mengatakan bahwa para sahabat dan manusia terbaik pernah berselisih, maka apakah celaan ini juga mengenai mereka ?
Maka dengan taufiq Allah, dikatakan kepada mereka :
Sekali-kali tidak !! Tak sedikitpun celaan mengenai mereka, karena setiap orang dari mereka menempuh jalan Allah dan mencari kebenaran. Maka yang salah sekalipun mendapatkan satu pahala dikarenakan niatnya yang benar dan hanya mencari kebaikan, dan telah diangkat kesalahan mereka karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud melakukannya, dan mereka tidak pernah meremehkan dalam mencarinya (kebenaran). Adapun yang benar dari mereka maka baginya dua pahala. Dan demikian pula setiap muslim hingga hari kiamat dalam perkara agama yang tidak diketahui dan belum sampai ilmu kepadanya. Celaan yang disebutkan itu hanya ditujukan kepada orang yang tidak berpegang kepada tali Allah ta’ala, yaitu Al-Qur’an dan sabda Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setelah sampai nash itu kepadanya dan hujjah telah ditegakkan atasnya. Dan justru celaan itu ada pada orang-orang tertentu dan bertaklid secara penuh untuk berselisih, seraya mengajak kepada fanatisme dan slogan-slogan jahiliyyah dengan tujuan memecah belah. Dia menakar Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kepentingan kelompoknya. Jika nash sesuai dengannya maka dia mengambil nash itu, tetapi jika bertentangan maka dia mengambil kejahiliyahannya dan mencampakkan Al-Qur’an dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang berselisih seperti inilah yang tercela.
Ada lagi satu kelompok yang dikarenakan sangat dangkal nilai agama dan sangat sedikit ketaqwaan dalam diri mereka membuat mereka mencari dan mengambil perkataan siapa saja yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka mengambil rukhshah (keringanan) dari perkataan setiap ulama, kemudian bertaklid kepadanya dan tidak mempelajari apa yang diwajibkan oleh nash dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [selesai].
Semoga perkataan beliau dapat menjadi clue....
terima ksh ats jwbannya ust. cuma maksud sya, bukankh yng menyatakn adanya bid'ah hasanah adalah ulama2 besar seperti imam asy syafi'i, imam al izz, imam an nawawi, ibnu hajar al asqolani dan lainnya. apakah bijak jika kita mencela orang yng mengikuti fatwa mereka? seperti maulid misalnya, imam ibnu hajar al asqolani sja menyatakn jika tidak ada hal yng menyelisihi syariat maka maulid itu adalah kebaikan, lalu bijak kah jika kita mencela orang yng merayakan maulid padahal kita memuliakan imam ibnu hajar?
BalasHapusapakah lebih baik jika kita saling menghargai pendapat saja ust? maaf kalau ada yang kurang berkenan
BalasHapusPertama, yang didahulukan adalah perkataan Allah dan Rasul-Nya dibandingkan semua perkataan manusia setelahnya.
BalasHapusKedua,... lafadh bid'ah hasanah memang pernah diucapkan oleh Al-Imaam Asy-Syaafi'iy rahimahullah. Akan tetapi, yang dimaui bid'ah hasanah oleh beliau dengan yang dimaui oleh orang sekarang itu beda jauh. Ada kesamaan lafadh, namun beda hakekat.
Ketiga,.... sikap menghargai bukan berarti tidak boleh mengkritik, memberikan tanggapan, atau semisalnya.
Keempat, terima kasih atas masukannya.
Salam ustaz, mohon tanggapannya
BalasHapushttp://www.aswj-rg.com/2013/12/ibnu-umar-r-a-dan-bidaah-hasanah-meluruskan-pemahaman-abul-jauzaa.html
Tidak ada komentar tambahan dari saya. Aswaja itu hanya menterjemahkan saja artikel berbahasa Arab tanpa melihat langsung riwayat-riwayat yang ia sebut dalam kitab. Makanya, beberapa pembahasannya agak aneh.
BalasHapusDi sini saya menegaskan bahwa dalam menilai manhaj Ibnu 'Umar, kita mesti riwayat secara keseluruhan. Di atas telah saya tunjukkan :
1. Ibnu 'Umar membid'ahkan shalat Dluhaa karena tidak mengetahui adaya perintah atau perbuatan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Ini selaras dengan penjelasan Ibnu Hajar :
وفي الجملة ليس في أحاديث ابن عمر هذه ما يدفع مشروعية صلاة الضحى ، لأن نفيه محمول على عدم رؤيته ، لا على عدم الوقوع في نفس الأمر
[Fathul-Bariy].
Tapi anehnya, orang Aswaja itu tidak melihat pandangan Ibnu Hajar yang ini, dan langsung mencuplik kalimat setelahnya :
أو الذي نفاه صفة مخصوصة كما سيأتي نحوه في الكلام على حديث عائشة . قال عياض وغيره : إنما أنكر ابن عمر ملازمتها وإظهارها في المساجد وصلاتها جماعة ، لا أنها مخالفة للسنة . ويؤيده ما رواه ابن أبي شيبة ، عن ابن مسعود أنه رأى قوما يصلونها فأنكر عليهم ، وقال : إن كان ولا بد ففي بيوتكم
????
Adapun perkataan aswaja itu :
Anda tidak cermat dan kurang teliti melihat persoalan ini wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak mengingkari sholat dhuha yang dilakukan Nabi, bahkan beliau pun pernah melakukannya. Yang beliau katakan bid’ah dalam sholat dhuha adalah sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, yaitu sholat dhuha dengan menentukan tempat dan waktu tertentu.
Adakah penjelasan perkataan di atas yang berasal dari riwayat Ibnu 'Umar ?. Ataukah hanya mengakit-kaitkan dengan riwayat yang bukan berasal dari dirinya ?. Adakah pengingkaran Ibnu 'Umar terhadap shalat Dluhaa itu terkait dengan pelaksanaan di masjid dan di awal waktu ?. Atau khusus berjama'ah ?. Kalau iya, silakan sebutkan riwayatnya (yang berasal dari Ibnu 'Umar).
[kalau pengingkaran Ibnu 'Umar terhadap shalat Dluhaa pada waktu-waktu terlarang, ya itu ada riwayatnya].
Kemudian terkait pembid'ahan Ibnu 'Umar di atas, bagaimanakah perincian penafikkan Ibnu 'Umar tersebut ?. Itu dijawab di point setelahnya :
2. Ibnu 'Umar menafikkan shalat Dluhaa, kecuali saat datang dari safar saja.
Ini sangat jelas dalam riwayat yang disebutkan dalam point kedua bahwa dengan tegas Ibnu 'Umar menyatakan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian.
4. Selain statement di nomor 3, Ibnu 'Umar juga melakukan shalat Dluhaa saat safar yang ia lakukan di Makkah dan masjid Qubaa'.
Dan di hadits di point ini, Ibnu 'Umar tidak menafikkan pelaksanaan shalat sunnah malam dan siang - shalat Dluhaa termasuk di antaranya - kecuali dikerjakan di waktu terlarang.
5. Ibnu 'Umar menafikkan adanya bid'ah hasanah :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)".
-----
Dari lima point di atas, lantas yang dimaksud dengan perkataan Ibnu 'Umar tentang shalat Dluhaa : "Bid’ah, dan itu adalah sebaik-baik bid’ah”
??????
Apakah bid'ah hasanah versi aswaja ?. Jika demikian, mau dikemanakan perkataan Ibnu 'Umar bahwa semua bid'ah itu sesat meski hasanah ?.
Atau memahaminya bahwa pembid'ahan Ibnu 'Umar itu hanya terkait shalat sunnah mutlak yang dikerjakan orang-orang di waktu Dluhaa yang di satu sisi ada dalilnya, namun di sisi lain ia tidak mengetahui dalil dari Nabi tentag shalat Dluhaa ketika mukim ?. Sehingga di sini dipahami bid'ah itu hanyalah secara lughawiyyah saja, ia masyru' dengan dalil umum (kebolehan melakukan shalat sunnah di waktu Dluhaa) - baik mukim atau safar - , namun ia tidak mengetahui dalil khusus dari Nabi tentang shalat Dluhaa. Ini senafas dengan perkataan Ibnu Hajar yang saya sitir di atas :
وفي الجملة ليس في أحاديث ابن عمر هذه ما يدفع مشروعية صلاة الضحى ، لأن نفيه محمول على عدم رؤيته ، لا على عدم الوقوع في نفس الأمر
Semoga dapat dipahami.
Salam ustaz, bagaimana dengan pandangan antum yang berikut
BalasHapusPandangan Ibnu 'Umar r.a mengatakan ia bid'ah yang baik adalah kerana sahabat seperti Uthman r.a melakukannya
Salim bin Abdullah bin Umar :
فقد روى عن أبيه أنه قال : لقد قتل عثمان وما أحد يسبحها ، وإنها لمن أحب ما أحدث الناس إليّ
“ Sungguh telah meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya ia berkata. “ Sunnnguh Utsman telah terbunuh, dan tak ada seorang pun yang melakukan sholat dhuha, sesungguhnya sholat itu adalah perkara baru yang dilakukan manusia yang paling aku cintai"
Substansinya disini ialah perlakukan kaum muslimun yang dianggap baik itu merujuk kepada tindakan Uthman r.a
Jadi Ibnu 'umar r.a tidak melarangnya bahkan menganggap baik
tapi yang dilarang adalah melakukannya pada matahari terbit dan tenggelam
apa komentar ustaz?
Terjemahannya salah sehingga menghasilkan pemahaman yang salah.
BalasHapusYang paling dicintai di situ kembali ke shalat, bukan ke 'Utsmaan.
"Sesungguhnya shalat Dluhaan termasuk hal baru yang paling aku cintai yang dilakukan oleh manusia"
Persisnya riwayat tersebut dalam Mushannaf 'Abdirrazzaaq :
لَقَدْ قُتِلَ عُثْمَانُ وَمَا أَحَدٌ يُسَبِّحُهَا، وَمَا أَحْدَثَ النَّاسُ شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْهَا
Pembahasannya adalah sebagaimana dalam komentar saya sebelumnya.
wallaahu a'lam.