Ibnu
Abid-Dun-yaa rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ
حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، قَالَ: " أَدْرَكْتُ أَرْبَعَةً
مِنْ أَفْضَلِ مَنْ أَدْرَكْتُ، فَكَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يَقُولُوا: اللَّهُمَّ
أَعْتِقْنَا مِنَ النَّارِ، وَيَقُولُونَ: إِنَّمَا يُعْتَقُ مِنْهَا مَنْ
دَخَلَهَا، وَكَانُوا يَقُولُونَ: نَسْتَجِيرُ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ، وَنَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ "
Telah
menceritakan kepada kami Haaruun bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami
Sayyaar : Telah menceritakan kepada kami Ja’far : Telah menceritakan kepada
kami Abu ‘Imraan Al-Jauniy, ia berkata : “Aku telah bertemu dengan empat orang
dari kalangan seutama-utama orang yang pernah aku temui. Mereka membenci berdoa
: ‘Allaahumma a’tiqnaa minan-naar (Ya Allah, bebaskanlah aku dari
neraka)’. Mereka berkata : ‘Orang yang dibebaskan dari neraka adalah orang yang
pernah memasukinya’. Akan tetapi mereka mengatakan : ‘Nastajiiru billaahi
minan-naar wa na’uudzu billaahi minan-naar (Kami memohon
perlindungan kepada Allah dari api neraka dan kami berlindung kepada Allah dari
api neraka)” [Ash-Shamt no. 348].
Keterangan
para perawinya adalah sebagai berikut :
1.
Haaruun bin ‘Abdillah bin
Marwaan Al-Baghdaadiy, Abu Muusaa Al-Bazzaaz Al-Haafidh – terkenal dengan nama
Al-Hammaam; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 243 H. Dipakai oleh Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1014 no. 7284].
2.
Sayyaar bin Haatim
Al-‘Anaziy, Abu Salamah Al-Bashriy;
seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah
ke-9, dan wafat tahun 200 H atau sebelumnya. Dipakai oleh At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 427 no. 2729].
Al-Qawaariiriy mengatakan bahwa ia tidak
berakal, namun tidak berdusta. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Ibnu Ma’iin berkata : “Ia seorang yang shaduuq lagi tsiqah, tidak
mengapa dengannya. Namun aku tidak menulis sedikitpun darinya”. Al-Fasawiy
berkata : “Tidak setiap orang mengambil riwayat darinya. Tidaklah aku dulu
meriwayatkan darinya”. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Dalam haditsnya ada
sebagian pengingkaran (manaakiir)’. Al-‘Uqailiy berkata :
“Hadits-haditsnya diingkari, Ibnul-Madiiniy telah melemahkannya”. Al-Azdiy
berkata : “Padanya terdapat pengingkaran”. Al-Haakim menshahihkan haditsnya dan
berkata : “Adapun Abu Salamah Sayyaar bin Haatim Az-Zaahid, maka ia seorang
ahli ibadah. Ahmad bin Hanbal banyak meriwayatkan hadits darinya”. Al-Mizziy rahimahullah
mengatakan bahwa ia mempunyai riwayat yang sangat banyak dari Ja’far
Adl-Dluba’iy [lihat : Al-Mustadrak 1/122, Tahdziibul-Kamaal
12/307-308, dan Tahdziibut-Tahdziib 4/290].
3.
Ja’far bin Sulaimaan
Adl-Dluba’iy, Abu Sulaimaan Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun
berpemahaman tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun
178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 199 no. 950].
4.
Abu
‘Imraan Al-Jauniy, namanya adalah : ‘Abdul-Malik bin Habiib
Al-Azdiy/Al-Kindiy – masyhur dengan kun-yah-nya; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 128 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 621 no. 4200].
Diriwayatkan
juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/314 : Telah menceritakan kepadaku
Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan : Telah menceritakan kepadaku Sayyaar, dan
selanjutnya seperti sanad di atas.
Asy-Syaikh
‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut jayyid.
Ath-Thahawiy
rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
رَوْحُ بْنُ الْفَرْجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: كَانَ أَبُو وَائِلٍ
يَكْرَهُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ: اللَّهُمَّ أَعْتِقْنِي مِنَ النَّارِ. وَقَالَ:
إنَّمَا يَعْتِقُ مَنْ يَرْجُو الثَّوَابَ
Telah
menceritakan kepada kami Rauh bin Al-Farj, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Yuusuf bin ‘Adiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Aashim, ia berkata : “Adalah Abu Waail membenci
seseorang yang berkata : ‘Ya Allah, bebaskanlah aku dari neraka. Membebaskan
itu hanyalah orang yang mengharapkan upah (dan Maha Tinggi Allah dari hal
tersebut – Abul-Jauzaa’)” [Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/358].
Keterangan
para perawinya adalah sebagai berikut :
1.
Rauh bin Al-Faraj
Al-Qaththaan, Abul-Zinbaa’ Al-Mishriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-11, lahir tahun 198 H, dan wafat tahun 282 H [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 330 no. 1978].
2.
Yuusuf bin ‘Adiy bin
Zuraiq bin Ismaa’iil At-Taimiy, Abu Ya’quub Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 232 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1094 no. 7929].
3.
Abu
Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang
yang tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika beranjak tua, hapalannya
berubah/jelek, dan kitabnya adalah shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir
tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua
tahun sebelum itu. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].
4.
‘Aashim bin Bahdalah/Ibnu
Abin-Nujuud Al-Asadiy Al-Kuufiy, Abu Bakr Al-Muqri’; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan (wahm). Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 128 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 471 no.
3071].
5.
Abu Waail, namanya adalah
: Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-2,
wafat pada pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 439 no. 2832].
Al-Arna’uth
berkata : “Sanadnya hasan”.
Orang
yang mengatakan : Allaahumma a’tiqnii minan-naar (ya Allah, bebaskanlah
aku dari neraka) – seakan-akan ia mengetahui dirinya termasuk ahli neraka yang
kemudian keluar darinya. Atau minimal, ia menyangka dirinya dengan sangkaan
yang buruk bahwa ia termasuk orang yang berhak masuk neraka, kemudian ia
memohon kepada Allah agar membebaskan dirinya dari neraka.
Adapun
perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah agar kita berdoa dengan sangkaan
yang baik (kepada Allah ta'ala), penuh optimis mengharapkan surga, dan agar dijauhkan atau diberikan
perlindungan dari (masuk ke dalam) neraka.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ
بْنُ خُلَيْدٍ، قَالَ: نا أَبُو تَوْبَةَ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ، عَنْ
يَزِيدَ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ حَيَّانَ أَبِي النَّضْرِ، قَالَ: لَقِيتُ وَاثِلَةَ
بْنَ الأَسْقَعِ، فقال: سمعت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
" قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنَّ ظَنَّ خَيْرًا
فَخَيْرٌ، وَإِنَّ ظَنَّ شَرًّا فَشَرٌّ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Khulaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada
kami Abu Taubah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
Muhaajir, dari Yaziid bin ‘Ubaidah, dari Hayyaan Abun-Nadlr, ia berkata : Aku
berjumpa dengan Waatsilah bin Al-Asqa’, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Aku
sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik,
maka baik. Dan apabila ia berprasangka buruk, maka buruk” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 401; shahih].
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ، فَإِنَّهُ
لَا مُكْرِهَ لَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abuz-Zinaad,
dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan salah
seorang di antara kalian mengatakan (dalam doanya) : Ya Allah, ampunilah aku
jika Engkau berkehendak. Ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkehendak’. Seharusnya
ia bersungguh-sungguh dalam permintaannya/doanya, karena tiada sesuatu pun yang
memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6339].
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ، عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " ......فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ
الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ.....
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami
Fulaih, dari Hilaal bin ‘Aliy, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “.....Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus,
karena ia adalah surga yang letaknya paling tengah dan paling tinggi.....”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2790].
حَدَّثَنَا
حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ
بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ
ثَلَاثًا، قَالَتْ الْجَنَّةُ: اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ
اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ ثَلَاثًا، قَالَتْ النَّارُ: اللَّهُمَّ
أَعِذْهُ مِنَ النَّارِ "
Telah
menceritakan kepada kami Hujain bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada
kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Buraidah bin Abi Maryam, dari Anas bin
Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Barangsiapa yang memohon kepada Allah surga sebanyak tiga
kali, maka surga berkata : ‘Ya Allah, masukkanlah ia ke dalam surga’. Dan
barangsiapa berlindung kepada Allah dari api neraka sebanyak tiga kali,
maka neraka akan berkata : ‘Ya Allah, lindungilah ia dari neraka”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/208].
Al-Arna’uth
berkata : “Sanadnya shahih, para perawinya tsiqaat, termasuk para perawi
Asy-Syaikhain, kecuali Buraid bin Abi Maryam. Al-Bukhaariy dan Ashhaabus-Sunan
telah meriwayatkan darinya dalam Al-Adabul-Mufrad, dan ia seorang
yang tsiqah” [selesai].
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَأَسْحَرَ، يَقُولُ: سَمِعَ سَامِعٌ
بِحَمْدِ اللَّهِ وَنِعْمَتِهِ وَحُسْنِ بَلَائِهِ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ
صَاحِبْنَا فَأَفْضِلْ عَلَيْنَا، عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Sulaimaan bin
Bilaal, dari Suhail bin Abi Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan
safar dan masuk waktu sahur, beliau berdoa : “semoga Allah mendengar pujian
kami kepada-Nya, limpahan nikmat-Nya, dan baiknya cobaan yang diberikan kepada
kami. Ya Allah, temanilah kami dan berikanlah karunia-Mu kepada kami’ –
seraya meminta perlindungan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 5086].
Al-Albaaniy
rahimahullah berkata : “Shahih” [Shahiih Sunan Abi Daawud,
3/249-250].
أَخْبَرَنِي
الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: ثَنَا
الأَوْزَاعِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ،
يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ، وَمَنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمَنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ayahki, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Al-Auzaa’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Abi Katsiir,
ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, ia
berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Berlindunglah kalian kepada Allah dari ‘adzab
neraka, ‘adzab kubur, fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari kejelakan
Al-Masiih Ad-Dajjaal” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 2044; shahih].
عَنِ ابْنِ
التَّيْمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ:
" طُفْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عَمْرٍو، فَلَمَّا فَرَغْنَا مِنَ
السَّبْعِ رَكَعْنَا فِي دُبُرِ الْكَعْبَةِ، فَقُلْتُ: أَلا تَتَعَوَّذُ؟ قَالَ:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ، ثُمَّ مَشَى، فَاسْتَلَمَ الرُّكْنَ
Dari
Ibnu Taimiy, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata :
Aku pernah thawaf bersama ‘Abdullah bin ‘Amru. Ketika kami selesai dari tujuh
putaran, kami rukuk di belakang Ka;bah. Aku bertanya : “Tidakkah engkau berdoa
meminta perlindungan kepada Allah ?”. Ia berkata : “A’uudzu billaah
minan-naar (Aku berlindung kepada Allah dari neraka)”. Kemudian
ia berjalan lagi, lalu mengusap Rukun....” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
9043; sanadnya hasan].
Wallaahu
a’lam.
Mengambil
faedah dari penjelasan Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah yang
ada di :
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, 01072012].
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah wash sholatu was salaamu 'ala rasulillah wa 'alihi wa shohbih.
BalasHapusTidak diragukan lagi bahwa berdoa dengan sangkaan yang baik (kepada Allah ta'ala), penuh optimis mengharapkan surga, dan agar dijauhkan atau diberikan perlindungan dari (masuk ke dalam) neraka merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW karena Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik, maka baik. Dan apabila ia berprasangka buruk, maka buruk.”
Begitu juga berlindung kepada Allah dari api neraka merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan dalam Islam.
Namun tidak benar jika hal itu berdampak dibencinya berdoa dengan lafal lain semisal, "Ya Allah, bebaskanlah aku dari api neraka." Apalagi jika ditambah keyakinan bahwa orang yang "meminta dibebaskan" berarti ia telah yakin akan masuk neraka. Pemahaman ini keliru ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: sisi sanad atsar di atas
Dua atsar dari sebagian salafush sholeh yang menyatakan ketidaksukaan terhadap lafal doa seperti di atas patut ditinjau ulang, terutama atsar pertama yang melalui jalur Sayyaar bin Haatim Al-‘Anaziy. Penulis sendiri telah mengetahui bahwa Al-Qawaariiriy mengatakan bahwa ia (Sayyaar) tidak berakal, meskipun tidak berdusta. Oleh karena itu, Ibnu Ma’iin tidak menulis sedikitpun darinya. Begitu juga Al-Fasawiy tidak meriwayatkan darinya. Apalagi menurut Abu Ahmad Al-Haakim dan Al-Azdiy, dalam hadits Sayyaar ini ada sebagian pengingkaran (manaakiir) dan menurut Al-‘Uqailiy hadits-haditsnya diingkari sehingga Ibnul-Madiiniy telah melemahkannya. Ini adalah indikasi kuat bahwa atsar ini bermasalah. Sangat mungkin sekali riwayat ini termasuk yang diingkari.
Kedua: dari degi matan
Pemahaman bahwa "Orang yang dibebaskan dari neraka adalah orang yang pernah memasukinya" adalah pemahaman yang keliru. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, "Engkau adalah orang yang dibebaskan dari neraka." Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahiihah-nya nomor 1574 dan Shahiih Al-Jaami nomor 2362.
Dalam kamus Lisanul 'Arab disebutkan: "'Atiiq adalah nama (Abu Bakar) Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Dikatakan bahwa ia dinamakan demikian karena Allah SWT membebaskannya dari api neraka."
Apakah berarti Abu Bakar akan masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian dibebaskan darinya? Subhanallah.
Kemudian, pemahaman bahwa orang yang "membebaskan itu hanyalah orang yang mengharapkan upah" ini juga keliru. Orang yang membebaskan budak tidak selalu berarti ia mengharapkan upah. Dari sisi bahasa saja, al-'itq (membebaskan) itu artinya adalah al-karam (kedermawanan). Bagaimana mungkin sifat kedermawanan disamakan dengan sifat mengharapkan upah? Bahkan sebaliknya, orang dermawan adalah orang yang suka memberi dan tidak identik dengan suka mengharapkan upah. Ketika Allah membebaskan para hamba-Nya dari api neraka, bukan berarti Allah menginginkan upah dari pembebasan itu, sebagaimana ketika Allah berfirman, "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku" bukan berarti Allah butuh disembah atau mengharapkan sesembahan. Itu tidak lain menunjukkan kedermawanan Allah semata.
BalasHapusJadi, kesimpulan penulis bahwa "Orang yang mengatakan : Allaahumma a’tiqnii minan-naar (ya Allah, bebaskanlah aku dari neraka) – seakan-akan ia mengetahui dirinya termasuk ahli neraka yang kemudian keluar darinya. Atau minimal, ia menyangka dirinya dengan sangkaan yang buruk bahwa ia termasuk orang yang berhak masuk neraka, kemudian ia memohon kepada Allah agar membebaskan dirinya dari neraka" ini adalah kesimpulan yang keliru sebagaimana penjelasan di atas.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَللهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ
"Apabila memasuki malam pertama bulan Ramadhan, para syetan dibelenggu dan juga jin pembangkang, pintu neraka ditutup, tak satupun yang terbuka, pintu surga terbuka dan tak satupun yang tertutup. Ada yang berseru: wahai para pecinta kebaikan, datanglah, wahai pecinta keburukan berhentilah. Allah memiliki para hamba yang dibebaskan dari api neraka, hal itu setiap malam." Dishahihkan oleh Al-Albani.
Perhatikan kalimat "Allah memiliki para hamba yang dibebaskan dari api neraka", apakah para hamba itu telah memasuki neraka kemudian dibebaskan darinya? Ataukah maknanya: Allah menyelamatkan mereka agar tidak sampai memasuki neraka kelak di akhirat?
Terakhir, sebagai penutup:
Syaikh Ibnul 'Utsaimin pernah ditanya:
Wahai syaikh yang terhormat, ada sebuah doa yang digunakan oleh sebagian orang yaitu, "Allahumma a'tiq riqobana minan-naar" (Ya Allah, bebaskanlah leher-leher kami dari api neraka). Ada salah satu PENUNTUT ILMU yang mengatakan bahwa doa ini tidak selayaknya diucapkan, atau kira-kira seperti itu. Dia juga mengatakan, seolah-olah orang yang berdoa telah menghukumi dirinya termasuk penghuni neraka.
Jawaban:
Tidak. Ini tidak benar. Kalau ada orang mengatakan, "Ya Allah, selamatkanlah aku dari api neraka." Apakah maknanya bahwa ia telah masuk ke dalamnya? Tentu saja tidak. Akan tetapi saya mengira, mengapa ia meminta dibebaskan sebagai ganti diselamatkan? Saya katakan, tidak apa-apa meminta dibebaskan sebagai ganti diselamatkan sebagai telah disebutkan dalam hadits bab puasa Ramadhan, "Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari api neraka, dan itu setiap malam." Dalam hadits lain tentang orang yang membebaskan budak, "Allah akan membebaskannya, bagi setiap satu organ tubuh budak itu Allah membebaskan satu organ tubuh orang yang membebaskannya dari api neraka." (Liqoo' Al-Baab Al-Maftuuh 122/27)
Baca juga: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=118007
Dalam hadits lain disebutkan:
BalasHapusما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة و إنه ليدنو ،
ثم يباهي بهم الملائكة ، فيقول : ما أراد هؤلاء ؟
"Tidak ada hari yang paling banyak Allah membebaskan hamba-Nya selain pada hari Arafah." (Silsilah Shahiihah Al-Albani nomor 2551)
Apakah maknanya, mereka semua akan dimasukkan neraka terlebih dahulu baru dibebaskan? Sungguh ini adalah pemahaman yang keliru.
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showpost.php?p=87765&postcount=8
http://www.youtube.com/watch?v=2MLtrhPaSOs
Wallahu a'lam.
Assalamu'alaykum,
BalasHapusoleh karena itu, Artikel di atas di beri judul :
Kebencian SEBAGIAN Salaf
Wallohu ta'alaa a'lam
Terima kasih atas komentarnya yang berharga.
BalasHapusArtikel di atas saya beri judul : "Kebencian Sebagian Salaf tentang Doa : ‘Ya Allah, Bebaskanlah Aku dari Neraka’".
Saya mengambil kata 'sebagian', karena memang ulama kita berbeda pendapat dalam hal ini. Dan itu telah disinggung oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar.
Selanjutnya,... mengenai kritik antum tentang sanad, saya rasa perkataan antum kurang kuat. Antum berkata :
"Dua atsar dari sebagian salafush sholeh yang menyatakan ketidaksukaan terhadap lafal doa seperti di atas patut ditinjau ulang, terutama atsar pertama yang melalui jalur Sayyaar bin Haatim Al-‘Anaziy. Penulis sendiri telah mengetahui bahwa Al-Qawaariiriy mengatakan bahwa ia (Sayyaar) tidak berakal, meskipun tidak berdusta. Oleh karena itu, Ibnu Ma’iin tidak menulis sedikitpun darinya. Begitu juga Al-Fasawiy tidak meriwayatkan darinya. Apalagi menurut Abu Ahmad Al-Haakim dan Al-Azdiy, dalam hadits Sayyaar ini ada sebagian pengingkaran (manaakiir) dan menurut Al-‘Uqailiy hadits-haditsnya diingkari sehingga Ibnul-Madiiniy telah melemahkannya. Ini adalah indikasi kuat bahwa atsar ini bermasalah. Sangat mungkin sekali riwayat ini termasuk yang diingkari" [selesai].
Pertama, antum hanya mengomentari sanad atsar pertama saja. Yang kedua ?. Dalam penghukuman atsar, saya murni menyandarkan pada penghukuman Syaikh 'Aliy dan Syaikh Al-Arna'uth hafidhahumallah.
Kedua, kritikan antum kurang relevan. Ibnu Ma'iin jelas sekali mengatakan shaduuq lagi tsiqah - sementara diketahui ia seorang ulama yang sangat ketat dalam penilaian rawi. Maka, kalau antum berhujjah ingin melemahkan Sayyaar dari sisi bahwa Ibnu Ma'iin tidak menulis hadits darinya, ya ini gak tepat lah. Tidak menulis hadits darinya itu mempunyai beberapa kemungkinan, karena barangkali Ibnu Ma'iin memang benar-benar tidak punya riwayat darinya. Jarh ulama tidak menulis riwayat darinya itu sifatnya umum dan tidak mu'tamad. Ia mesti ada qarinah tambahan untuk mendla'ifkan seorang perawi. Perkataan : fiihi manaakir atau fiihi ba'dli manaakir itu tidak sama dengan munkarul-hadiits. Benar bahwasannya ia mempunyai beberapa riwayat yang diingkari. Tapi ingat, Al-Mizziy mengatakan saat menyebutkan Ja'far bin Sulaimaan : wa jalla riwaayatuhu 'anhu. Artinya, ia mempunyai riwayat yang besar/banyak dari Ja'far. Tentu beda halnya jika ia hanya sedikit meriwayatkan dari Ja'far, sehingga kekhawatiran adanya manaakir dalam hadits Ja'far itu besar.
Ibnu Hajar mengatakan : shaduuq lahu auhaam, sedangkan Adz-Dzahabiy mengatakan : shaduuq.
Bahwasannya jika antum mengatakan bahwa orang yang dibebaskan adalah orang yang pernah memasukinya adalah keliru, mungkin saja. Dan memang saya sudah membaca keterangan dari Syaikh Ibnu 'Utsaimiin dan yang lainnya sebelum antum menuliskan tersebut. Namun dari segi pandang bahasa - dan saya persilakan untuk membuka kitab Lisaanul-'Araab - , al-'atiq itu maknanya al-hurriyyah. Tidak dinamakan dibebaskan dari sesuatu kecuali ia memang berhubungan dengan sesuatu itu. Maka pada artikel di atas disebutkan :
BalasHapus"Orang yang mengatakan : Allaahumma a’tiqnii minan-naar (ya Allah, bebaskanlah aku dari neraka) – seakan-akan ia mengetahui dirinya termasuk ahli neraka yang kemudian keluar darinya. Atau minimal, ia menyangka dirinya dengan sangkaan yang buruk bahwa ia termasuk orang yang berhak masuk neraka, kemudian ia memohon kepada Allah agar membebaskan dirinya dari neraka" [selesai].
Itulah ringkasan penjelasan dari Syaikh 'Aliy Al-Halabiy.
Selain itu, apakah ada lafadh doa yang ma'tsuur dan shahih dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam agar dibebaskan dari api neraka ?.
Adapun tentang hadits bahwa Allah akan membebaskan dst....., maka itu adalah disandarkan oleh pengetahuan Allah tentang orang-orang yang memang berhak masuk neraka. Bukan dilihat dari sisi si hamba. Selain itu, dalil-dalil itu hanyalah bersifat khabar, bukan dalam doa. Tentu beda antara keduanya.
Oleh karena itu, doa yang diperintahkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah agar Allah memberikan perlindungan atau menjauhkan kita dari api neraka.
Selanjutnya, silakan baca jawabannya di :
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=9800.
wallaahu a'lam.
Bismillah...
BalasHapusMengenai kata "sebagian" dalam judul artikel di atas memang sejak awal saya tidak mempermasalahkannya, meskipun judul yang di Kulalsalafiyeen.com tidak disebutkan "sebagian" tapi langsung "salafus sholeh".
Mengenai "al-'atiq itu maknanya al-hurriyyah" memang benar, itu adalah salah satu maknanya. Namun kalau dikatakan bahwa "tidak dinamakan dibebaskan dari sesuatu kecuali ia memang berhubungan dengan sesuatu itu" ini tidak benar. Sebab kebebasan tidak selalu bermakna terkekang sebelumnya, sebagaimana kemerdekaan tidak selalu bermakna dijajah atau diperbudak sebelumnya. Umar bin Khatthaab pernah menegur Amr bin Aash dengan mengatakan:
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحرارا؟
"Sejak kapan kau memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?"
Kalimat "mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka" tidak berarti sebelumnya mereka adalah budak bukan? Manusia sejak normal memang terlahir sebagai orang merdeka (bebas) dan bukan sebagai budak.
Jadi, memohon agar dibebaskan dari api neraka tidak berarti sebelumnya harus masuk neraka terlebih dahulu. Sama seperti orang yang meminta kepada Allah agar dibebaskan dari musibah, bencana, penyakit dan sebagainya, tidak berarti harus ditimpa terlebih dahulu baru berdoa, tapi boleh berdoa sebelum semua itu menimpa.
Di samping itu, dalam sebuah ayat disebutkan, "Tidak ada satu pun dari kalian kecuali pasti akan mendatangi neraka." (QS. Maryam: 71)
Ibnu Jarir Ath-Thobari menafsirkan:
يقول تعالى ذكره: وإن منكم أيها الناس إلا وارد جهنم
"Allah Ta'aala mengatakan: tidak ada satu pun di antara kalian wahai manusia kecuali akan mendatangi neraka Jahannam."
Kemudian Ibnu Jarir menyebutkan makna "mendatangi" dalam ayat tersebut yang salah satunya adalah "memasuki" (ad-dukhuul).
Berdasarkan ayat di atas, maka tidak salah jika orang berdoa agar dibebaskan dari neraka dengan maksud agar dihindarkan darinya.
Adapun pertanyaan "apakah ada lafadh doa yang ma'tsuur dan shahih dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam agar dibebaskan dari api neraka ?" hal ini tidak berarti apa-apa, sebab tidak adanya lafal doa bukan berarti lafal doa itu tidak boleh diucapkan.
BalasHapusSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri pernah mengatakan -sebagaimana disampaikan oleh muridnya, yakni Ibnul Qoyyim:
من واظب على أربعين مرة كل يوم بين سنة الفجر وصلاة الفجر ياحي ياقيوم لاإله إلا أنت برحمتك أستغيث حصلت له حياة القلب ولم يمت قلبه
"Barangsiapa rutin membaca 40 kali setiap hari antara sunnah Fajar dan Shalat Shubuh: Ya Hayyu Ya Qoyyum, Laa ilaaha illaa anta birohmatika astaghiitsu, ia akan mendapatkan kehidupan hati dan tidak akan mati hatinya." (Madarijus Salikin)
Padahal kita semua tahu bahwa rangkaian lafal doa itu "Ya Hayyu Ya Qoyyum, Laa ilaaha illaa anta birohmatika astaghiitsu" tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkannya.
Imam Nawawi juga pernah berkomentar mengenai doa berikut ini:
اللهم بيض به أسناني وشد به لثاتي وثبت به لهاتي وبارك لي فيه يا أرحم الراحمين
"Ini meskipun tidak memiliki asal (dasar), tidak apa-apa melakukannya karena ia adalah doa yang baik." (Al-Majmu' 1/156)
Dan pandangan ulama dalam masalah ini telah jelas sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab mereka.
Benar bahwa "Allah akan membebaskan dst..... itu adalah disandarkan oleh pengetahuan Allah tentang orang-orang yang memang berhak masuk neraka." Dan dalam ayat di atas, Allah telah mengetahui bahwa semua manusia pada hakikatnya berhak mendatangi (memasuki) neraka, lalu Allah memilih dan membebaskan di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki agar tidak memasukinya.
Benar pula bahwa "dalil-dalil itu hanyalah bersifat khabar, bukan doa" namun tidak mengapa berdoa berdasarkan pemahaman terhadap dalil, baik ayat maupun hadits. Misalnya Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar." Lalu kita berdoa, "Ya Allah, jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang bersabar." atau hadits yang berbunyi, "Beruntunglah kaum ghuroba." lalu kita berdoa, "Ya Allah, jadikanlah hamba termasuk kaum ghuroba," dan ayat-ayat maupun hadits-hadits lainnya. Meskipun lafal doa itu tidak pernah disebutkan secara tertulis, namun bukan berarti berdoa dengannya tidak boleh atau dibenci.
Wallahu a'lamu bish showab.
Salam,
Muslim
Kalau Anda tidak mempermasalahkannya, maka masalahnya sudah selesai bukan ?. Saya beri kata sebagian, karena saya tahu bahwa ini masalah dikhilafkan oleh ulama semenjak jamannya Ath-Thahawiy (239 H - 321 H). Atau Anda berpikir bahwa seharusnya saya saya hapus kata 'sebagian'-nya agar kritikan Anda lebih mengena ?.
BalasHapusJika kita sudah tahu bahwa bahwa memang sebagian salaf memakruhkan berdoa dengan Allaahumma a'tiqnii minan-naar, lalu apa alasannya ?. Nah, alasannya adalah sebagaimana saya sebutkan di atas. Paham Anda dengan alur ditulisnya artikel ini ?.
Di komentar sebelumnya Anda 'mengulas' tentang sanad riwayat, dan alhamdulillah telah saya tanggapi balik. Nah, sekarang giliran Anda membawakan riwayat :
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحرارا؟
"Sejak kapan kau memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?"
Anda sudah periksa sanadnya belum ?. Kalau boleh saya berikan info, ini riwayat adalah tidak shahih. Lemah dari sisi sanad dan matannya (ada nakarah).
Seandainya saya berhenti sampai di sini, itu pun sudah bisa dimaklumi, karena landasan Anda rapuh. Inilah pentingnya menegakkan pondasi sebelum tiangnya.
Akan tetapi, seandainya shahih pun, tidak ada hubungannya. Coba renungi kembali. Makna kalimat 'dalam keadaan merdeka' adalah tidak diperbudak oleh siapapun.
Selanjutnya,..... perkataan Anda :
"Jadi, memohon agar dibebaskan dari api neraka tidak berarti sebelumnya harus masuk neraka terlebih dahulu. Sama seperti orang yang meminta kepada Allah agar dibebaskan dari musibah, bencana, penyakit dan sebagainya, tidak berarti harus ditimpa terlebih dahulu baru berdoa, tapi boleh berdoa sebelum semua itu menimpa" [selesai].
Saya tidak tahu Anda memahami ataukah tidak. Yang dipermasalahkan oleh sebagian ulama adalah makna dari kalimat. Benar jika ada orang yang berdoa memohon dibebaskan dari neraka, tidak otomatis oran itu pernah memasukinya. Gimana memasuki neraka, lha wong orangnya masih hidup di dunia. Tapi yang dipermasalahkan di sini adalah makna kalimat sebagaimana disinggung oleh riwayat pada artikel di atas. Kalau memakai bahasa gaul kita : penggunaan kata tersebut adalah salah kaprah.
Kalau Anda berkata bahwa berdoa agar dibebaskan dari musibah tidak mesti berarti orang yang berdoa tersebut adalah orang yang tertimpa musibah, maka saya katakan : Bahkan makna asalnya, orang yang berdoa tersebut adalah orang yang sedang tertimpa musibah. Sama halnya ketika kita memohon agar dibebaskan dari penyakit batuk, asal maknanya adalah orang yang berdoa tersebut sedang tertimpa batuk.
Kalau memang dalam tinjauan bahasa 'Arab tidak mengkonsekuensikan makna ini, minimal, khilaf di kalangan mutaqaddimiin tidak terjadi. Ath-Thahawiy dalam Syarh Al-Musykiil pun tidak mengkritisinya dari sisi bahasa.
Bahkan itu ada dalam makna hadits :
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً، أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّار
"Barangsiapa membebaskan budak muslim, Allah membebaskan setiap anggota tubuhnya karena anggota tubuh yang dibebaskannya dari neraka".
Amal pembebasan budak muslim, telah Allah ta'ala janjikan tebusannya dengan pembebasan dari neraka. Membebaskan dari neraka sebagai pahala membebaskan budak muslim. Artinya, Allah akan membebaskan siapa saja yang berhak masuk neraka bagi siapa saja yang membebaskan budak. Hanya saja, tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa orang yang berhak masuk neraka, karena itu merupakan bagian dari ilmu Allah.
Atas dasar itu, yang Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada kita adalah doa agar Allah melindungi dan menjauhkan kita dari neraka. Jangan sampai masuk neraka. Adapun seandainya kita ditaqdirkan Allah termasuk orang yang berhak masuk neraka lebih dahulu - wal-'iyaadzubillah - maka amalan-amalan kita di dunia (seperti membebaskan budak, beramal di hari 'Arafah, dan yang lainnya) akan membebaskan kita dari api neraka.
Kalaupun misal setelah ini Anda tetap akan berdoa allaahumma a'tiqnii minan-naar, yo silakan saja. Adapun saya, lebih senang berdoa dengan lafadh-lafadh yang ma'tsur dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
BalasHapusSemoga dapat dipahami.
Wallaahu a'lam.
O iya, ada satu lagi yang penting yang masih tertinggal, yaitu tentang firman Allah ta'ala :
BalasHapusوَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا
"Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu" [QS. Maryam : 71].
Anda harus lihat ayat sebelum dan sesudahnya. Berikut saya bawakan :
ثُمَّ لَنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا * ثُمَّ لَنَحْنُ أَعْلَمُ بِالَّذِينَ هُمْ أَوْلَى بِهَا صِلِيًّا * وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا * ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
"Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan kemudian Kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka. Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut" [QS. Maryam : 69-72].
Tentang ayat 71-nya (Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu), para ulama berbeda pendapat tentang makna neraka yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Namun yang raajih maknanya adalah ash-shiraath yang terbentang di atas neraka. Di sinilah setiap orang akan melewatinya/menempuhnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنِ السُّدِّيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيَّ، عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَافَحَدَّثَنِي أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ حَدَّثَهُمْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَرِدُ النَّاسُ النَّارَ ثُمَّ يَصْدُرُونَ مِنْهَا بِأَعْمَالِهِمْ، فَأَوَّلُهُمْ كَلَمْحِ الْبَرْقِ ثُمَّ كَالرِّيحِ ثُمَّ كَحُضْرِ الْفَرَسِ ثُمَّ كَالرَّاكِبِ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ كَشَدِّ الرَّجُلِ ثُمَّ كَمَشْيِهِ "، قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepada kami 'Ubaidullah bin Muusaa, dari Israaiil, dari As-Suddiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Murrah Al-Hamdaaniy tentang firman Allah 'azza wa jalla : Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu (QS. Maryam : 71), maka ia menceritakan kepadaku bahwa Ibnu Mas'uud telah menceritakan kepada mereka, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Manusia akan mendatangi neraka, kemudian ia melaluinya dikarenakan amalnya. Adapun yang paling awal diantara mereka secepat kilat, lalu seperti angin, kemudian seperti larinya kuda, kemudian seperti seorang yang menunggangi tunggangan, kemudian seperti seseorang yang berlari, kemudian seperti (seseorang yang) berjalan". [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3159, dan ia berkata : Ini adalah hadits hasan"].
sesuatu yang tidak perlu dibantah, malah dibantah.. Hadeh @,@
BalasHapusAbul Jauzaa (AJ): "Saya beri kata sebagian, karena saya tahu bahwa ini masalah dikhilafkan oleh ulama semenjak jamannya Ath-Thahawiy (239 H - 321 H)"
BalasHapusAlhamdulillah, sebenarnya pernyataan ini yang saya tunggu-tunggu sehingga tidak ada pembaca yang salah paham lalu menyangka bahwa masalah ini adalah masalah yang disepakati (muttafaq/mujma' 'alaihi).
Kalau pun tetap mau dianggap disepakati, maka pernyataan Murtadho Az-Zabidi, "Telah masyhur doa semacam ini tanpa ada pengingkaran." Lebih tepat dianggap sebagai sesuatu yang disepakati.
AJ: "Kalaupun misal setelah ini Anda tetap akan berdoa allaahumma a'tiqnii minan-naar, yo silakan saja. Adapun saya, lebih senang berdoa dengan lafadh-lafadh yang ma'tsur dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam."
Alhamdulillah, saya senang membaca jawaban ini. Semoga sikap toleran ini ditiru oleh para murid anda.
Mengenai tarjih anda terhadap kata "neraka", hal itu saya maklumi. Setiap orang berhak mentarjih apa yang ia anggap paling kuat dan mendekati kebenaran. Lagipula hadits riwayat Tirmidzi yang anda bawakan di atas sudah jelas menggunakan kata "neraka" (an-naar) bukan "ash-shiraath". Dan sebenarnya tidak ada perbedaan antara memaknainya dengan "neraka" maupun dengan "shirath" karena shirath terletak di atas neraka sehingga setiap yang mendatangi shirath berarti juga mendatangi nereka. Oleh karena itu, tidak mengapa seseorang berdoa, "Ya Allah, bebaskanlah aku dari api neraka." Semoga Allah membebaskan kita semua dari api neraka, amiin.
Alhamdulillah, dari awal saya termasuk orang yang sadar dengan kata "SEBAGIAN" pada judul artikel di atas.
BalasHapussemoga yang lain juga begitu,
aamin
Kalau Anda cermat, sebenarnya sudah bisa terbaca dari judulnya. Dan kalau Anda cermat, sebenarnya telah saya katakan semenjak pertama kali saya komentari perkataan Anda (2 Juli 2012 11:18). Dan bahkan - sekali lagi - kalau Anda cermat, Anda pun telah tahu dari tulisan Anda sendiri bahwa 'Salafy Wahabiy' berbeda pendapat, karena Anda telah menukilkan perkataan Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah.
BalasHapusNB :
Ada yang kurang dalam komentar saya di atas sehingga saya khawatir ada kekeliruan pemahaman :
"para ulama berbeda pendapat tentang makna neraka yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Namun yang raajih maknanya adalah ash-shiraath yang terbentang di atas neraka" [selesai].
Ada kata yang kurang. Maksud saya : para ulama berbeda pendapat tentang makna 'mendatangi neraka' (wuruud an-naar). Ini maksud saya. Pendapat yang raajih, yang dimaksud adalah ash-shiraath. Yaitu mendatangi dengan melewati (al-muruur) ash-shiraath yang terbentang di atas neraka.
Jika dikaitkan dalam bahasan di atas, tentu beda esensi. Di atas Anda membawakan salah satu pendapat tentang makna mendatangi neraka, yaitu masuk ke dalam neraka (ad-dukhuul). Dan itu Anda gunakan untuk menguatkan alasan Anda, yaitu masyru'-nya berdoa allaahumma a'tiqnii minan-naar. Maka, jika Anda katakan sama saja maknanya dengan mendatangi ash-shiraath yang terbentang di atas neraka, tentu beda. Bahkan sangat beda. Makna mendatangi ash-shiraath mengkonsekuensikan pendalilan Anda dengan QS. Maryam : 71 menjadi tidak mengena. Mendatangi neraka dengan melewati ash-shiraath, tentu beda esensi dengan masuk neraka bukan ?. Riwayat yang dibawakan At-Tirmidziy, maka itu merupakan penafsiran dari ayat. Memang tidak secara tekstual disebutkan ash-shiraath. Namun itu mudah dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah ash-shiraath. Dan itu lah yang dipahami oleh para ulama.