13 April 2012

Validitas Ijma’ Salaf tentang Kekafiran Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Malas dan Meremehkan

Dalam bahasan hukum meninggalkan shalat, seringkali dinukil nash ijma’ di kalangan salaf tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Jika kita ingin menelaah lebih lanjut, perlu kita perhatikan pada siapa ijma’ dinisbatkan dan seperti apa gambaran ijma’-nya. Oleh karena itu, saya ingin mengajak rekan-rekan untuk mempelajari bersama dua hal ini dan sekaligus mengecek validitas ijma’. Di antara nash-nash ijma’ yang sering disebutkan, antara lain sebagai berikut :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 2622; shahih].

‘Abdullah bin Syaqiiq rahimahullah menisbatkan pendapat ini pada golongan shahabat tanpa membuat perkecualian, sehingga beberapa ulama menggunakan atsar ini sebagai nash ijma’ dari kalangan shahabat.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، قَالَ: "تَرْكُ الصَّلاةِ كُفْرٌ، لا يُخْتَلَفُ فِيهِ"
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, ia berkata : “Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia kafir. Tidak ada perselisihan padanya” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 978; shahih].
Atsar Ayyuub As-Sukhtiyaaniy rahimahullah di atas minimal dinisbatkan pada thabaqah taabi’iin, sebab Ayyuub (w. 131 H) termasuk shighaarut-taabi’iin.
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، ......وَلا نُكَفِّرُ أَحَدًا بِذَنْبٍ إِلا تَرْكَ الصَّلاةِ، وَإِنْ عَمِلَ بِالْكَبَائِرِ....
Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy berkata : Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Inilah perkataan para imam yang diambil perkataannya dalam Islam dan Sunnah : Ridlaa dengan qadla’ Allah,..... dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab dosa kecuali meninggalkan shalat, meskipun ia berbuat dosa besar....” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 2; shahih].
Atsar Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah ini disandarkan pada pendapat ulama Ahlus-Sunnah secara umum tanpa membuat ruang perkecualian (adanya perbedaan pendapat) akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat.
Lalu, bagaimanakah penggambaran (tashawwur) klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat di kalangan salaf ini ?. Berikut penjelasannya :
Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
وقد جاء عن عمر ، وعبد الرحمن بن عوف ، ومعاذ بن جبل ، وأبي هريرة ، وغيرهم من الصحابة رضي الله عنهم أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد
“Dan telah ada riwayat dari ‘Umar, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, Mu’aadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan yang lainnya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum, bahwasannya siapa saja yang meninggalkan satu shalat fardlu secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka ia kafir lagi murtad” [Al-Muhallaa, 2/15].
Perkataan Ibnu Hazm rahimahullah ini memberikan penjelasan bahwa yang dikatakan ijma’ di kalangan shahabat di atas adalah orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya, meskipun hanya satu shalat. Gambaran Ibnu Hazm rahimahullah tentang ijma’ ini diperkuat oleh atsar berikut :
Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء أن من سب الله عز وجل أو سب رسول الله صلى الله عليه وسلم أو دفع شيئا أنزله الله، أو قتل نبيا من أنبياء الله، وهو مع ذلك مقر بما أنزل الله أنه كافر، فكذلك تارك الصلاة حتى يخرج وقتها عامدا
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang memaki Allah ‘azza wa jalla atau memaki Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu (syari’at) yang diturunkan Allah, atau membunuh salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah – meskipun ia mengakui segala sesuatu yang diturunkan Allah - , maka ia kafir. Begitu pula meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya dengan sengaja” [At-Tamhiid, 4/226].
سَمِعْتُ إِسْحَاقَ، يَقُولُ: قَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ كَافِرٌ، وَكَذَلِكَ كَانَ رَأْيُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ لَدُنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ عَمْدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا كَافِرٌ
“Aku mendengar Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : Telah shahih riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Begitu juga pendapat dari kalangan ulama semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga era kita sekarang : Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ‘udzur hingga keluar dari waktunya adalah kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu-Qadrish-Shalaah, hal. 609; shahih].
Gambaran ijma’ dari Ishaaq bin Rahawaih (w. 238 H) sama seperti Ibnu Hazm rahimahumallah, yaitu orang yang sengaja tidak mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Apa yang dikatakan Ishaaq ini selaras dengan perkataan Ibnul-Mubaarak (w. 181 H), Sulaimaan bin Daawud Al-Haasyimiy (w. 219 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), dan Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb (w. 264 H) rahimahumullah.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ يَعْمَرَ بْنَ بِشْرٍ أَبَا عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " مَنْ أَخَّرَ صَلاةً حَتَّى يَفُوتَ وَقْتُهَا مُتَعَمِّدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، كَفَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah, ia berkata : Aku mendengar Ya’mar bin Bisyr Abu ‘Amru, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubaarak radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Barangsiapa yang mengakhirkan shalat hingga lewat waktunya dengan sengaja tanpa ‘udzur, maka ia kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 979; shahih].
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمَ الْجَوْزَجَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، عَنْ مَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ مُتَعَمِّدًا؟ قَالَ: " لا يُكَفَّرُ أَحَدٌ بِذَنْبٍ إِلا تَارِكُ الصَّلاةِ عَمْدًا، فَإِنْ تَرَكَ صَلاةً إِلَى أَنْ يَدْخُلَ وَقْتُ صَلاةٍ أُخْرَى يُسْتَتَابُ ثَلاثًا "، وَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ: يُسْتَتَابُ إِذَا تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا قُتِلَ، وَبِهِ قَالَ أَبُو خَيْثَمَةَ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim Al-Juuzajaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Sa’iid, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Ia menjawab : “Tidak boleh seseorang dikafirkan dengan sebab dosa, kecuali orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Jika ia meninggalkan shalat hingga masuk waktu shalat yang lain, maka ia diminta bertaubat dalam tiga kali”. Abu Ayyuub Sulaimaan bin Daawud Al-Haasyimiy berkata : “Diminta bertaubat apabila ia meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya. Jika ia bertaubat, maka diterima. Dan jika tidak, maka dibunuh. Pendapat itulah yang dipegang oleh Abu Khaitsamah” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, no. 982; shahih].
Oleh karena itu, dari sini kita memperoleh gambaran klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat di kalangan mutaqaddimiin, yaitu : meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya.[1] Sependek penelusuran saya dari beberapa kitab para ulama, tidak ada yang menyebutkan klaim ijma’ ini mempersyaratkan meninggalkan shalat secara keseluruhan – sebagaimana banyak ternukil dari kalangan muta’akhkhiriin.
Sekarang,... benarkah klaim ijma’ tersebut ?.
Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ الأَشْجَعِيُّ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " يَدْرُسُ الإِسْلامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ وَهُمْ لا يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ غَيْرَ أَنَّ الرَّجُلَ وَالْعَجُوزَ يَقُولُونَ: قَدْ أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَهُمْ يَقُولُونَ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ". فَقَالَ صِلَةُ: وَمَا تُغْنِي عَنْهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَهُمْ لا يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ، وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: " مَا تُغْنِي عَنْهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَا صِلَةُ؟ ! يَنْجُونَ بِلا لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مِنَ النَّارِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Maalik Al-Asyja’iy, dari Rib’iy bin Khiraasy, dari Hudzaifah, ia berkata : “Islam akan usang sebagaimana usangnya pakaian. Di waktu pagi orang-orang bangun dalam keadaan tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah. Kecuali seorang laki-laki tua yang berkata : ‘Sungguh  kami pernah mendapati orang-orang berkata : Laa ilaha illallaah. Maka kami pun ikut mengatakan : Laa ilaha illallaah”. Shilah berkata : “Apakah mencukupkan mereka kalimat Laa ilaha illallaah, sementara mereka tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah ?”. Maka Hudzaifah berkata : “Apakah mencukupi darinya kalimat Laa ilaha illallaah wahai Shilah ?. Bahkan mereka selamat karena kalimat Laa ilaha illallaah” [Diriwayatkan oleh Adl-Dlabbiy dalam Ad-Du’aa no. 15; shahih].
Ini adalah jawaban Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu atas pertanyaan Shillah bin Zufar seputar pemahamannya bahwa kalimat tauhid tidak akan bermanfaat jika tidak diiringi  dengan shalat puasa, dan ibadah lainnya. Hudzaifah menjawab dengan jawaban yang umum bahwa dzat kalimat tauhid memang dapat menyelamatkan mereka dari kekekalan neraka. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan ibadah yang lain – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata : “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna. Diperkuat lagi dengan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ صِلَةَ بْنَ زُفَرَ يُحَدِّثُ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " الإِسْلامُ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ: الإِسْلامُ سَهْمٌ، وَالصَّلاةُ سَهْمٌ، وَالزَّكَاةُ سَهْمٌ، وَالْحَجُّ سَهْمٌ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ سَهْمٌ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ سَهْمٌ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ سَهْمٌ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَهْمٌ، وَقَدْ خَابَ مَنْ لا سَهْمَ لَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia berkata : Aku mendengar Shilah bin Zufar menceritakan dari Hudzaifah, ia berkata : “Islam terdiri dari delapan bagian. Islam adalah satu bagian, shalat adalah satu bagian, zakat adalah satu bagian, haji adalah satu bagian, puasa Ramadlan adalah satu bagian, memerintahkan yang baik adalah satu bagian, melarang dari yang munkar adalah satu bagian, dan jihad di jalan Allah adalah satu bagian. Sungguh merugilah orang yang tidak mempunyai satu bagian pun darinya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 413; shahih].
Orang yang masih mempunyai satu bagian atau lebih meskipun tidak mempunyai bagian yang lain – menurut Hudzaifah – masih dikatakan beruntung, yaitu masuk dalam wilayah Islam. Adapun orang yang tidak mempunyai bagian dalam Islam sama sekali, maka ia lah orang yang merugi, yaitu termasuk orang-orang kafir. Riwayat ini semisal dengan riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، نا الأَعْمَشُ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مَيْسَرَةَ، وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شِبْلٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ الأَحْمَسِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: " إِنَّ مثل الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ سِهَامِ الْغَنِيمَةِ، فَمَنْ يَضْرِبُ بِأَرْبَعٍ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ بِثَلاثَةٍ، وَمَنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِثَلاثَةٍ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِسَهْمَيْنِ، وَمَنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِسَهْمَيْنِ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِوَاحِدٍ، وَمَا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy, dari Sulaimaan bin Maisarah dan Al-Mughiirah bin Syibl, dari Thaariq bin Syihaab Al-Ahmasiy, dari Salmaan (Al-Faarisiy), ia berkata : “Sesungguhnya shalat lima waktu itu seperti bagian-bagian harta ghaniimah. Barangsiapa mengerjakan empat shalat, lebih baik daripada yang mengerjakan tiga shalat. Barangsiapa yang mengerjakan tiga shalat, lebih baik dari yang mengerjakan dua shalat. Barangsiapa yang mengerjakan dua shalat, lebih baik daripada yang hanya mengerjakan satu shalat saja. Dan Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian dari Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali[2]” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 109; sanadnya shahih].
Perkataan Salmaan radliyallaahu ‘anhu ini jelas bahwasannya ia tidak berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya. Baik yang ditinggalkannya satu shalat, dua shalat, atau lebih. Seandainya Salmaan radliyallaahu ‘anhu berpendapat meninggalkan shalat itu kafir, niscaya ia akan menyamakan kedudukan orang yang meninggalkan satu shalat atau lebih dalam satu kedudukan, yaitu kafir.
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوَفِي، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: " أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلا قِيلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَأُكْمِلَتِ الْفَرِيضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، فَإِنْ لَمْ تَكْمُلِ الْفَرِيضَةُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَوُّعٌ أُخِذَ بِطَرَفَيْهِ فَقُذِفَ بِهِ فِي النَّارِ "
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Daawud bin Abi Hind, dari Zuraarah bin Aufaa, dari Tamiim Ad-Daariy, ia berkata : “Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat wajib. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka ia beruntung. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka dikatakan (kepada malaikat) : ‘Lihatlah apakah ia mempunyai amalan shalat sunnah ?. Maka disempurnakankan shalat wajib tersebut dengan shalat sunnahnya. Barangsiapa yang shalat wajibnya tidak sempurna pelaksanaannya dan ia tidak mempunyai amalan shalat sunnah, maka diambillah ujung kakinya lalu dilemparkan ke dalam neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 116; shahih].
Selain menyampaikan riwayat secara marfuu’, Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu juga menyampaikan secara mauquuf sebagaimana di atas yang menunjukkan pemahamannya dalam permasalahan ini. Seandainya orang yang meninggalkan shalat wajib itu kafir, niscaya tidak akan dilihat shalat-shalat sunnah yang pernah dilakukannya, namun langsung dicampakkan ke dalam kekekalan neraka.
Adapun di kalangan taabi’iin :
وَقَدْ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأُوَيْسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمَ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَتْرُكُ الصَّلاةَ؟ قَالَ: " إِنْ كَانَ إِنَّمَا تَرَكَهَا أَنَّهُ ابْتَدَعَ دِينًا غَيْرَ دِينِ الإِسْلامِ قُتِلَ، وَإِنْ كَانَ إِنَّمَا هُوَ فَاسِقٌ، ضُرِبَ ضَرْبًا مُبَرِّحًا وَسُجِنَ "
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Uwaisiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Ibnu Syihaab (Az-Zuhriy), bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan shalat. Maka ia menjawab : “Apabila ia meninggalkannya membuat-buat agama selain agama Islam, maka dibunuh. Namun jika ia meninggalkannya hanyalah karena kefasiqan, maka ia dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, dan dipenjara” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1035; shahih].
Ibnu Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah (w. 125 H) tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dari kalangan muslimin yang fasiq.
فَإِنَّ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ، عَنِ الأَشْعَثَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: " إِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ صَلاةً وَاحِدَةً مُتَعَمِّدًا، فَإِنَّهُ لا يَقْضِيَهَا "
Sesungguhnya Ishaaq (bin Rahawaih) telah menceritakan kepada kami, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr, dari Al-Asy’ats, dari Al-Hasan, ia berkata : “Jika seseorang meninggalkan satu shalat dengan sengaja, maka ia tidak perlu mengqadlanya” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1078; shahih].
Al-Marwadziy rahimahullah mengatakan atsar Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah (w. 110 H) ini kemungkinan mempunyai dua makna. Pertama, orang tersebut kafir sehingga tidak perlu mengqadlanya, karena orang kafir tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat. Kedua, orang tersebut tidak kafir, karena Allah ta’ala mewajibkan seseorang shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Jika ia mengqadlanya setelah itu, maka ia telah mengerjakan shalat pada waktu yang tidak diperintahkan. Perintah mengqadla shalat hanyalah bagi orang yang lupa atau mempunyai ‘udzur yang diakui syari’at.[3] Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat. Wallaahu a’lam.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ الْكَلاعِيِّ، قَالَ: أَخَذَ بِيَدِي مَكْحُولٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ؟ فَقُلْتُ: مُؤْمِنٌ عَاصٍ، فَشَدَّ بِقَبْضَتِهِ عَلَى يَدَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، " لِيَعْظُمَ شَأْنُ الإِيمَانِ فِي نَفْسِكَ، مَنْ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ، وَمَنْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Ubaid Al-Kalaa’iy, ia berkata : Mak-huul pernah memegang tanganku dan berkata : “Wahai Abul-Wahb, bagaimana pendapatmu tentang orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja ?”. Aku berkata : “Ia mukmin yang bermaksiat (kepada Allah ta’ala)”. Maka Mak-huul mengeraskan genggamannya pada tanganku lalu berkata : “Wahai Abu Wahb, semoga Allah memperbesar keimanan pada dirimu. Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, maka ia telah berlepas diri dari jaminan Allah. Dan barangsiapa yang berlepas diri dari jaminan Allah, maka ia kafir” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah no. 129; hasan].
Riwayat ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan salaf, khususnya antara ‘Ubaidullah bin ‘Ubaid Al-Kalaa’iy (w. 132 H) dengan Mak-huul Asy-Syaamiy (w. 113 H/114 H) – yang keduanya merupakan generasi shighaarut-taabi’iin.
Generasi ulama setelahnya :
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
حُضُورُ الْجُمُعَةِ فَرْضٌ، فَمَنْ تَرَكَ الْفَرْضَ تَهَاوُنًا كَانَ قَدْ تَعَرَّضَ شَرًّا، إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ، كَمَا لَوْ أَنَّ رَجُلًا تَرَكَ صَلَاةً حَتَّى يَمْضِيَ وَقْتَهَا، كَانَ قَدْ تَعَرَّضَ شَرًّا، إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ.
“Menghadiri shalat Jum’at adalah wajib. Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban karena meremehkannya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk, kecuali Allah memaafkannya. Sebagaimana jika seseorang meninggalkan shalat hingga lewat dari waktunya, maka ia pun akan mendapatkan akibat yang buruk, kecuali jika Allah memaafkannya” [Al-Umm, 1/228. Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 2/528].
Setelah meriwayat perkataan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak sebagaimana di awal artikel, Ya’mar bin Bisyr berkata tentang Sufyaan Ats-Tsauriy (w. 161 H) dan yang sependapat dengannya rahimahumullah :
خالفني سفيان وغيره من أصحاب عبد الله وأنكروه ، فدخلوا على عبد الله بالزبد انقان قال فأخبروه أن يعمر روى عليك كذا وكذا ، ولم ينكره ، وقال : فما قلت أنت . فقال سفيان لعبد الله : إنه روى عليك كذا وكذا . فقال له عبد الله : فما قلت أنت ؟ قال : إذا تركها ردا لها . فقال : ليس هذا قولي ، قست علي يا أبا عبد الله
“Sufyaan (Ats-Tsauriy) dan yang lainnya dari kalangan shahabat ‘Abdullah (bin Al-Mubaarak) telah menyelisihiku dan mereka mengingkarinya. Mereka lalu menemui ‘Abdullah, lalu mengkhabarkan kepadanya bahwa Ya’mar telah meriwayatkan bagimu begini dan begitu. Namun ‘Abdullah tidak mengingkarinya, dan kemudian berkata : “Lalu apa yang engkau katakan ?”. Sufyaan berkata kepada ‘Abdullah : “Sesungguhnya ia (Ya’mar) meriwayatnya bagimu begini dan begitu”. ‘Abdullah berkata kepadanya (Sufyaan) : “Engkau sendiri mengatakan apa ?”. Ia berkata : “Apabila meninggalkan shalat dengan menolak (kewajiban)-nya (maka itu baru kafir)”. ‘Abdullah berkata : “Itu bukan perkataanku. Engkau telah memfitnahku wahai Abu ‘Abdillah” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 926; shahih].
Ini menunjukkan pemahaman Ats-Tsauriy dan yang lainnya yang berbeda dengan Ibnul-Mubaarak rahimahumallah dalam masalah kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Orang yang meninggalkan shalat itu dikafirkan ia menolak kewajibannya. Hal ini semisal dengan satu riwayat dari Ahmad yang ternukil dari Musaddad bin Musarhad (w. 228 H). Ketika ia mengalami berbagai fitnah di jamannya, ia menulis surat kepada Ahmad bin Hanbal rahimahumallah, yang kemudian dibalas di antaranya dengan perkataan :
ولا يخرجه من الإسلام شيء، إلا الشرك بالله العظيم، أو برد فريضة اللَّه عز وجل جاحدًا بها، فإن تركها كسلا، أو تهاونا كان فِي مشيئة اللَّه، إن شاء عذبه، وإن شاء عفا عنه
“Dan tidak dikeluarkan dari Islam sedikitpun kecuali berbuat syirik kepada Allah, atau menolak kewajiban-kewajiban Allah ‘azza wa jalla dengan pengingkaran kepadanya. Namun apabila ia meninggalkannya (kewajiban-kewajiban tersebut) karena malas atau meremehkannya, maka ia berada dalam kehendak Allah. Apabila Allah kehendaki, Ia akan mengadzabnya, dan apabila Allah kehendaki, Ia akan mengampuninya” [Thabaqaat Al-Hanaabilah, 1/316].
Walhasil, klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat itu dengan sengaja itu tidak valid dalam beberapa thabaqah, mulai thabaqah shahabat, tabi’iin, dan ulama setelahnya mereka rahimahumullah. Tidak dinamakan ijma’ jika ada penyelisihan. Klaim-klaim ijma’ dari sebagian ulama adalah ijma’ dhanniy.
Akhirnya, Abu Bakr Al-ismaa’iiliy rahimahullah (w. 371 H) memetakan perbedaan pendapat masalah ini di kalangan mutaqaddimiin dengan perkataannya :
واختلفوا في متعمدي ترك الصلاة المفروضة حتى يذهب وقتها من غير عذر, فكفّره جماعة .... وتأوّل جماعة منهم بذلك تركها جاحدًا لها
“Dan para ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur. Sekelompok ulama mengkafirkannya...... dan sekelompok ulama lain menta’wilkan kekafiran tersebut jika orang bersangkutan meninggalkan shalat dalam keadaan mengingkarinya....” [I’tiqaad Aimmatil-Hadiits, hal. 341].
Mereka (salaf) pada hakekatnya tidak menghitung jumlah shalat yang ditinggalkan, baik dari kalangan yang mengkafirkan atau tidak mengkafirkan. Jika meninggalkan shalat merupakan kekafiran, maka satu shalat, dua shalat, sepuluh shalat atau lebih tidak ada bedanya dalam hukum kekafirannya.[4] Sebaliknya, jika meninggalkan shalat bukan merupakan kekafiran, maka meninggalkan satu shalat, dua shalat, sepuluh shalat, atau lebih tidak ada bedanya dalam hukum ketidakkafirannya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 13042012 – perum ciper, ciomas, bogor - diedit tanggal 18-04-2012 (editing bahasa terjemahan)].


[1]        Di kalangan kontemporer yang masih memegang pendapat ini adalah Asy-Syaikh Dr. Taqiyyuddiin Al-Hilaaliy, serta Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan ulama Lajnah Daaimah semasa diketuai oleh beliau rahimahumullah.
[2]        Merujuk pada hadits :
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ شَيْبَةَ الْخُضَرِيِّ، أَنَّهُ شَهِدَ عُرْوَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: إِذَا سَمِعْتُمْ مِثْلَ هَذَا مِنْ مِثْلِ عُرْوَةَ، فَاحْفَظُوهُ، قَالَ إِسْحَاقُ: وَحَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khaalid : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Syaibah Al-Hudlriy : Bahwasannya ia menyaksikan ‘Urwah menceritakan riwayat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah atasnya, aku tidak khawatir berdosa : Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat”. Lalu ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Apabila kalian mendengar hadits semisal ini, seperti hadits yang dibawakan ‘Urwah, hapalkanlah”.
Ishaaq berkata : Dan telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits yang semisalnya” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 4566; shahih. Ada beberapa jalan pendukung riwayat ini].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa Allah tidak akan menjadikan orang yang masih mempunyai bagian dalam Islam sama seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Seandainya meninggalkan shalat hukumnya kafir, niscaya kedudukan orang yang tidak mempunyai salah satu bagian dari Islam berupa shalat, niscaya sama dengan orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali dari Islam.
[3]        Dasarnya adalah hadits :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ، وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim dan Muusaa bin Ismaa’iil, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat, hendaklah ia segera shalat ketika ia mengingatnya. Tidak ada kafarat baginya kecuali hal itu. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan dirikanlah shalat untuk menngingat-Ku’ (QS. Thaha : 14)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 597].
[4]        Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘hingga keluar dari waktunya’. Ada yang mengatakan bentuknya adalah mengakhirkan shalat Dhuhur hingga terbenam matahari, atau mengakhirkan shalat Maghrib hingga terbitnya fajar [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 929-930]. Ada pula yang mengatakan sebagaimana dhahirnya, seperti mengakhirkan shalat Dhuhur hingga masuk waktu ‘Ashar.

24 komentar:

  1. Subhanallah tulisan yang sangat bagus, semoga alloh memberikan kemampuan menulis kepada saya seperti antum abul jauzaa

    Tentang isi tulisan, setidaknya kita tau bahwa para sahabat memahami kufur dalam meninggalkan sholat adalah kufur yang hakiki yakni kufur akbar bukan sebagaimana pemahaman yang muncul setelahnya. Ya baik lah apakah itu telah mencapai derajat ijma atau hanya sampai derajat jumhur para sahabat sebetulnya tidak jadi soal karena toh kita menjadi tau bahwa para sahabat tetap memaknai kufur dalam nash meninggalkan sholat sebagaimana zhohir hadits.

    Dan tentang Apakah pemahan kufur disini adalah meninggalkan satu sholat atau lebih dari itu…saya rasa itu ijtihadiyah dan memang lebih bijak dan valid jika penetapan kesimpulan fiqh dengan mempertimbangkan seluruh hadits yang terkait didalam satu hukum dan ini justru metode yang shohih. Bisa kita bicarakan nanti sesudah beberapa hal yang ingin dipertanyakan dalam artikel ini.

    Sebenarnya persoalannya tidak melebar keluar kepada kalangan selain sahabat, seperti tabiin atau tabiut tabiin. Karena mereka hidup lebih jauh dari masa kehidupan nabi dan setelah nabi wafat ikhtilaf menjadi semakin banyak, dan para sahabat tentunya yang hidup semasa dan sepeninggal nabi pendapatnya lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari khilaf. Lagi pula riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq bicara tetang para sahabat bukan orang setelahnya.

    Dan Jika benar tesis yang dibawa oleh artikel ini bahwa Huzaifah ibnu yaman, Salman Al-farisi dan Tamiim ad-Daariy dalam riwayat-riwayat yang antum bawakan menyelisihi pendapat para sahabat kufurnya meninggalkan sholat maka perlu kita kritisi dengan beberapa hal.

    1) Benarkan hudzaifah menjawab bersalkan pendapatnya akalnya, sementara ia mengabarkan tentang perkara yang ghoib yang ada di masa depan dan perkara selamat tidaknya seseorang dari neraka adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal. Dan adanya pertanyaan dari sillah bin zufar menunjuukkan bahwa ada isyarat bahwa pada asalnya meninggalkan sholat adalah kufur jika tidak maka ia tidak bertanya dan heran. Apakah sesuatu yang muqoyyad bisa dibawa kepada yang mutlak dengan menghilangkan taqyidnya? Karena pertanyaan sillah terkait dengan kondisi pada zaman hilangnya ilmu. Sementara Kita tau akan terjadi hukum sesuatu itu berbeda antara hukum mutlak dan muqoyyad sebagaimana hukum asal dan hukum naql minal asl apakah tidak ada perbedaan dari kedua jenis hukum ini apakah kita harus paksakan menjadi sama? Bagaimana sih kaidah anda mengambil kesimpulan fiqh dan bagaimana jalannya dari sisi ushul fiqh saya tidak faham jalan penyimpulannya? Apakah anda menggunakan kaidah dalam mengambil kesimpulan?

    BalasHapus
  2. 2) Dan perkataan Salaman alfarisi tentang qiyas sholat terhadap bagian ghonimah, Saya juga menangkapnya adalah bukan dari sisi hukum namun dari sisi tarhib wa targhib. Tidak shorih bahwa ia membicarakan hukum meninggalkan sholat. Karena qiyas terhadap ghonimah bukan qiyas secara mutlak dari sisi hukum tapi dari sisi keberuntungan memperolehnya. Karena jika qiyasnya dalam hukum maka hukum dari orang yang tidak mendapat ghonimah adalah berdosa atau kufur sebagaimana hukum orang yang meninggalkan sholat. Jelas penggunaan pendapat ini tidak tepat jika ditarik ke ranah hukum. Dan Jusrtu perkataan salman di akhir riwayat memiliki arah yang mendukung pendapat kufurnya meninggalkan sholat bagi orang yang tidak meninggalkan sholat. Karena ia menyebutkan tidak ada bagian dari islam bagi orang yang tidak mengerjakan sholat. Padahal orang yang masih ada tauhid kan dalam pendapat yang tidak mengkufurkan meninggalkan sholat tetap memiliki bagian yang besar di akhirat nanti. Dan lafadz لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ tidak ada bagian baginya dari islam jika diterapkan secara hakiki maka bertentangan dengan pendapat yang menetapkan bagian bagi orang yang masih ada tauhid tanpa amal.


    3) Tentang riwayat dari hudzaifah tentang sahm apakah bisa di simpulan darinya bahwa bahwa ia tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat? Karena riwayat itu nampaknya tidak bicara secara shorih tentang hukum atau ahkamul islam? Tapi lebih pada semacam nasihat atau targhib wa tarhib dan sejenisnya. Dan pendalilan dari riwayat ini lemah dari sisi hujjah karena berupa mafhum yang zhoniyy saja artinya tidak sorih dari teksnya bahwa riwayat itu bermakna menolak hukum kufur meninggalkan sholat. Sementara konsekuensi suatu pendapat belum tentu bisa dinisbatkan bahwa ia adalah pendapat dari hudzaifah itu sendiri, karena ini adalah mafhum dari orang yang coba mengartikan perkataan Ibnu Hudzaifah. Karena kaidahnya.

    لازمُ المذهبِ ليسَ مذهبًا
    Konsekuensi (yang tarik) dari suatu pendapat bukan pendapat itu sendiri.

    Sebagimana perkataan ibnu taimiyah dalam kitab dar’u ta’arudh aql wa naql

    لازم المذهب ليس بمذهب وليس كل من قال قولا التزم لوازمه
    Konsekuensi dari pendapat bukan pendapat itu sendiri, karena tidak lah semua yang berkata suatu perkataan mewajibkan konsekuensinya (yang difahami orang lain) adalah konsekuensi pendapat yang diharuskan kepadanya.

    Jadi konsekuensi dari pemhaman anda terhadap suatu perkataan bukan perkataan itu sendiri dan belum tentu maksud dari pengucap itu sendiri.


    4) Dan riwayat dari Tamiim Ad-Daariy maka ia meneceritakan tentang perkara ghoib seperti perhitungan di yaumil akhir.Apa ini yang antum sebut sebagai pendapat? Ini jelas bukan pendapat dan matan riwayatnya tidak mungkin berasal dari akal atau pendapat dari Tamiim Ad-Daariy. Bagaimana mungkin akal bisa mengetahui perkara ghoib tentang pertanyaan malaikat di yaumil akhir atau tentang perkara hisab tanpa wahyu? Bagaimana mungkin riwayat ini dimasukkan kepada pendapat sahabat yang menentang validitas ijma para sahabat? Sa Jadi dari sisi apa anda mengatakan ini sebagai pendapat persolan Tamiim Ad-Daariy? Sangat aneh apa anda menelurkan pendapat tanpa menggunakan kaidah dan metode fikh? Atau hanya sekedar mengumpulkan riwayat dan tidak memilah berdasarkan kaidah-kaidah hukum?

    BalasHapus
  3. @anonim jam8 kurang
    "Jusrtu perkataan salman di akhir riwayat memiliki arah yang mendukung pendapat kufurnya meninggalkan sholat bagi orang yang tidak meninggalkan sholat. Karena ia menyebutkan tidak ada bagian dari islam bagi orang yang tidak mengerjakan sholat."
    Lha perkataan anda ini benar dan saya kira sudah natural orang yg membaca akan berpendapat demikian.. tp justru kalimat ini berbalik pd komentar antum sendiri (dont you think :) ).. karena pada akhirnya perkataan ini "menarik ke ranah hukum" dan sholat yg ditinggalkan pd kalimat tsb tentunya sholat yg ditinggalkan secara keseluruhan bukan satu atau dua saja sesuai dg konteksnya.. bukankah begitu?

    BalasHapus
  4. Satu hal yang penting dalam permasalahan fiqh adalah melihat gambaran khilaf yang dibicarakan. Jika Anda menggunakan atsar shahabat atau bahkan klaim ijma' di kalangan mereka, maka Anda harus mencermati at-tark yang mereka maksudkan itu apa. Di atas telah saya sebutkan bahwa at-tark yang dimaksudkan dalam nash-nash menurut ulama mutaqaddimiin adalah muthlaqut-tark, bukan at-tarkul-muthlaq. Anda tahu kan beda keduanya ?. Oleh karena itu, Anda akan mendapati pendapat yang mengkafirkan di kalangan mutaqaddimiin itu adalah orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya.

    Jika telah kita ketahui tahriir permasalahan yang ada, maka mudah dan lebih terarah pembahasannya. Jika Anda memegang klaim ijma' shahabat (tentu saja ijma' ini maksudnya kekafiran orang yang meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya); maka ada beberapa shahabat yang menyelisihinya. Di antaranya telah saya sebutkan di atas.

    Tentang atsar Hudzaifah, saya kira tidak perlu saya ulang, karena Anda memahami jawaban Hudzaifah berdasarkan pemahaman Anda, bukan pada pemahaman Hudzaifah sendiri. Hudzaifah itu menjawab dengan jawaban umum bahwa kalimat tauhid akan menyelamatkan seseorang dari kekekalan neraka. Di bawahnya telah saya sebutkan atsar lain yang menguatkan secara makna atas jawaban Hudzaifah tersebut. Yaitu riwayat Ath-Thayaalisiy no. 413. Ini sesuai dengan makna hadits As-Sahm :

    عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "

    Dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah atasnya, aku tidak khawatir berdosa : Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat” [Diriwayatkan oleh Abu Ya'laa no. 4566; shahih].

    Silakan dicermati kembali.

    Tentang atsar Salmaan Al-Faarisiy,... yo silakan saja kalau memang logika Anda berkata seperti itu. Gak maksa kok. Kalau saya sih sudah sangat jelas bahwasannya beliau tidak berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Kalau memang kafir, maka tidak akan dikatakan bahwa ini lebih baik dari itu; tapi sama saja : kafir. Kekafiran (akbar), baik sedikit atau banyak itu sama saja. Dan yang lebih penting dari itu, Salmaan menggunakan shighah lafadh di awal : إِنَّ مثل الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ سِهَامِ الْغَنِيمَةِ (Sesungguhnya shalat lima waktu itu seperti bagian-bagian harta ghaniimah). Kemudian ditutup dengan perkataan : وَمَا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ (Dan Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian dari Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali).

    BalasHapus
  5. Jika satu shalat diibaratkan satu bagian dalam Islam; seandainya meninggalkan satu shalat adalah kafir, maka Allah ta'ala akan menyamakan kedudukan orang yang masih punya satu bagian dengan orang yang tidak punya bagian sama sekali. Dan yang lebih jelas adalah atsar Salmaan dari jalan yang lain (yang tidak saya bawakan di atas), dimana Salmaan berkata kepada budak perempuannya :

    صَلِّي "، قَالَتْ: لا، قَالَ: " اسْجُدِي وَاحِدَةً "، قَالَتْ: لا، قِيلَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، وَمَا تُغْنِي عَنْهَا سَجْدَةٌ؟ فَقَالَ: " إِنَّهَا لَوْ صَلَّتْ صَلَّتْ، وَلَيْسَ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ "

    "Shalatlah". Budaknya menjawab : "Tidak". Salman berkata : "Sujudlah sekali saja". Budaknya menjawab : "Tidak". Dikatakan kepadanya : "Wahai Abu 'Abdillah, apakah mencukupi baginya sujud sekali saja ?". Salmaan menjawab : Seandainya ia shalat, maka terhitung ia mengerjakan shalat. Dan tidaklah seseorang yang punya bagian dalam Islam seperti orang yang tidak punya bagian sama sekali" [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 6054, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 1/206 & 4/381 dan dalam Akhbaar Ashbahaan 1/80].

    Dhahir sanad ini hasan, hanya saja 'Abdus-Salaam tidak diketahui penyimakannya sebelum atau setelah ikhtilaathnya 'Athaa' bin As-Saaib. Namun makna ini dikuatkan oleh jalan Salmaan sebelumnya.

    Apakah ini tidak jelas bahwa Salmaan tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat sebagaimana jumhur shahabat yang lain ?.

    Ini selaras dengan hadits jenazah budak. Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

    وَقَالَ الْخَلَّالُ، فِي " جَامِعِهِ ": ثنا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي شَمِيلَةَ، {أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إلَى قُبَاءَ فَاسْتَقْبَلَهُ رَهْطٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَحْمِلُونَ جِنَازَةً عَلَى بَابٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا ؟ قَالُوا: مَمْلُوكٌ لِآلِ فُلَانٍ، كَانَ مِنْ أَمْرِهِ. قَالَ: أَكَانَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ؟ قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ كَانَ وَكَانَ. فَقَالَ لَهُمْ: أَمَا كَانَ يُصَلِّي ؟ فَقَالُوا: قَدْ كَانَ يُصَلِّي وَيَدَعُ. فَقَالَ لَهُمْ: ارْجِعُوا بِهِ، فَغَسِّلُوهُ، وَكَفِّنُوهُ، وَصَلُّوا عَلَيْهِ، وَادْفِنُوهُ، وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ كَادَتْ الْمَلَائِكَةُ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَهُ}.

    Dan telah berkata Al-Khallaal dalam Jaami’-nya : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan , dari ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan , dari Abu Syamiilah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menuju Qubaa’, lalu sekelompok orang dari kalangan Anshaar yang membawa jenazah menghadap beliau yang berada di pintu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapakah ini ?”. Para shahabat berkata : “Seorang budak milik keluarga Fulaan”. Beliau bersabda : “Apakah ia pernah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah ?”. Mereka berkata : “Ya, akan tetapi ia dulu begini dan begitu”. Beliau bertanya kepada mereka : “Apakah ia dulu mengerjakan shalat ?”. Mereka berkata : “Ia dulu mengerjakan shalat dan (kemudian) meninggalkannya”. Beliau bersabda kepada mereka : “Kembalilah kalian dengannya. Mandikanlah, kafanilah, shalatkanlah, lalu kuburkanlah ia. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh hampir saja malaikat menghalangi antara aku dengan dia” [Al-Mughniy, 2/158; sanadnya hasan].

    Ibnu Qudaamah berhujjah dengan riwayat ini tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat, berarapun banyak jumlah shalat yang ia tinggalkan.

    BalasHapus
  6. Tentang singgungan Anda terhadap atsar Hudzaifah, saya bingung, kok bisa-bisanya dihubungakan dengan kaedah laazimul-madzhab laisa madzhaban. Mungkin Anda kebanyakan kaedah kali ya.... Kaedah itu ada penjelasannya (dan itu tidak seperti yang Anda sangka). Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya :

    وَسُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ هَلْ لَازِمُ الْمَذْهَبِ مَذْهَبٌ أَمْ لَا

    Lalu beliau menjawab :

    وأما قول السائل : هل لازم المذهب مذهب أم ليس بمذهب ؟ فالصواب : أن مذهب الإنسان ليس بمذهب له إذا لم يلتزمه ; فإنه إذا كان قد أنكره ونفاه كانت إضافته إليه كذبا عليه بل ذلك يدل على فساد قوله وتناقضه في المقال غير التزامه اللوازم التي يظهر أنها من قبل الكفر والمحال مما هو أكثر فالذين قالوا بأقوال يلزمها أقوال يعلم أنه لا يلتزمها لكن لم يعلم أنها تلزمه ولو كان لازم المذهب مذهبا للزم تكفير كل من قال عن الاستواء أو غيره من الصفات أنه مجاز ليس بحقيقة ; فإن لازم هذا القول يقتضي أن لا يكون شيء من أسمائه أو صفاته حقيقة وكل من لم يثبت بين الاسمين قدرا مشتركا لزم أن لا يكون شيء من الإيمان بالله ومعرفته والإقرار به إيمانا ; فإنه ما من شيء يثبته القلب إلا ويقال فيه نظير ما يقال في الآخر ولازم قول هؤلاء يستلزم قول غلاة الملاحدة المعطلين الذين هم أكفر من اليهود والنصارى .

    لكن نعلم أن كثيرا ممن ينفي ذلك لا يعلم لوازم قوله بل كثير منهم يتوهم أن الحقيقة ليست إلا محض حقائق المخلوقين وهؤلاء جهال بمسمى الحقيقة والمجاز وقولهم افتراء على اللغة والشرع وإلا فقد يكون المعنى الذي يقصد به نفي الحقيقة نفي مماثلة صفات الرب سبحانه لصفات المخلوقين قيل له : أحسنت في نفي هذا المعنى الفاسد ولكن أخطأت في ظنك أن هذا هو حقيقة ما وصف الله به نفسه فصار هذا بمنزلة من قال : إن الله ليس بسميع حقيقة ; ولا بصير حقيقة ; ولا متكلم حقيقة ; لأن الحقيقة في ذلك هو ما يعهده من سمع المخلوقين وبصرهم وكلامهم والله تعالى منزه عن ذلك . فيقال له : أصبت في تنزيه الله عن مماثلته خلقه ; لكن أخطأت في ظنك أنه إذا كان الله سميعا حقيقة بصيرا حقيقة متكلما حقيقة كان هذا متضمنا لمماثلته خلقه .

    فكذلك لو قال القائل : إذا قلنا : إنه مستو على عرشه حقيقة لزم التجسيم والله منزه عنه فيقال له : هذا المعنى الذي سميته تجسيما ونفيته هو لازم لك إذا قلت : إن له علما حقيقة ; وقدرة حقيقة وسمعا حقيقة : وبصرا حقيقة ; وكلاما حقيقة ; وكذلك سائر ما أثبته من الصفات ; فإن هذه الصفات هي في حقنا أعراض قائمة بجسم فإذا كنت تثبتها لله تعالى مع تنزيهك له عن مماثلة المخلوقات وما يدخل في ذلك من التجسيم : فكذلك القول في الاستواء ; ولا فرق .

    فإن قلت : أهل اللغة إنما وضعوا هذه الألفاظ لما يختص به المخلوق فلا يكون حقيقة في غير ذلك . قلت : ولكن هذا خطأ بإجماع الأمم : مسلمهم وكافرهم وبإجماع أهل اللغات فضلا عن أهل الشرائع والديانات وهذا نظير قول من يقول : إن لفظ الوجه إنما يستعمل حقيقة في وجه الإنسان دون وجه الحيوان والملك والجني أو لفظ العلم إنما استعمل حقيقة في علم الإنسان دون علم الملك والجني ونحو ذلك بل قد بينا أن أسماء الصفات عند أهل اللغة بحسب ما تضاف إليه ; فالقدر المشترك أن نسبة كل صفة إلى موصوفها كنسبة تلك الصفة إلى موصوفها فالقدر المشترك هو النسبة فنسبة علم الملك والجني ووجوههما إليه كنسبة علم الإنسان ووجهه إليه وهكذا في سائر الصفات والله أعلم

    Atau ringkasnya begini terkait dengan bahasan di atas. Atsar Hudzaifah itu bagi saya memberikan hukum bahwa ia tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, karena ia masih mempunyai bagian lain dalam Islam. Ini kelaziman yang terambil dari perkataannya. Pertanyaannya : "Adakah riwayat lain darinya yang menafikkan konsekuensi ini ?" - sehingga Anda bisa berhujjah dengan kaedah yang dibawakan Syaikhul-islam di atas.

    BalasHapus
  7. Kalau ada, silakan bawakan. Kalau tidak ada, terus terang saja dijawab gak ada. OK ?.

    Tentang riwayat Tamiim Ad-Daariy,.... nampaknya Anda belum paham tentang apa itu riwayat mauquuf. Ketika seorang shahabat meriwayatkan satu khabar secara mauquuf, maka konsekuensi yang diambil dari riwayat mauquuf ini adalah ia memegangnya dan mempercayainya. Dan ingat, ia juga meriwayatkan secara marfuu'. Ketika ia meriwayatkan secara mauquuf kepada Zuraarah bin Aufaa, ini mengindikasikan ia mempercayai riwayat ini dan mengamalkannya. Dan hukum yang terambil dari dhahir riwayatnya itu adalah ketidakkafiran orang yang meninggalkan shalat wajib (dalam makna (muthlaqut-tark). Inilah pointnya. Jadi, permasalahannya bukan masalah ghaib atau tidak ghaib.

    Mungkin karena Anda kebanyakan kaedah, sehingga bingung dalam memahami persoalan. Kaedah mana yang tepat diterapkan dalam permasalahan tertentu.

    Wallahul-musta'aan.

    BalasHapus
  8. O iya,.... satu lagi tentang perkataan Anda :

    "Dan Jusrtu perkataan salman di akhir riwayat memiliki arah yang mendukung pendapat kufurnya meninggalkan sholat bagi orang yang tidak meninggalkan sholat. Karena ia menyebutkan tidak ada bagian dari islam bagi orang yang tidak mengerjakan sholat. Padahal orang yang masih ada tauhid kan dalam pendapat yang tidak mengkufurkan meninggalkan sholat tetap memiliki bagian yang besar di akhirat nanti. Dan lafadz لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ tidak ada bagian baginya dari islam jika diterapkan secara hakiki maka bertentangan dengan pendapat yang menetapkan bagian bagi orang yang masih ada tauhid tanpa amal" [selesai].

    I got U !!

    Pertanyaannya :

    1. Apakah Salmaan dalam riwayat di atas mengatakan tentang kufur tidaknya orang yang meninggalkkan shalat ?. Kalau sependek pengetahuan yang saya baca si, Salmaan cuma mengatakan :

    مَا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ

    "Dan Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian dari Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali".

    Gak ada di situ lafadh kafir yang sharih. Kekafiran dalam atsar Salmaan hanyalah konsekuensi perajihan kekafiran (dari kalimat itu) yang hendak Anda ambil.

    Yang ada bahwa : Orang yang punya bagian dengan tidak punya bagian dalam Islam itu tidak sama; sebagaimana orang yang punya satu bagian tidak sama dengan orang yang punya dua bagian. Dan ingat,.... bagian (as-sahm) dalam perkataan Salmaan itu maksudnya adalah shalat, karena di awal perkataan ia telah menafsirkan demikian. Jadi jelasnya yang ia (Salmaan) maksud dalam atsar di atas adalah :

    "Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai shalat (baca : mengerjakan shalat) dalam Islam tidaklah sama dengan orang yang tidak mempunyai shalat".

    Adakah ia berbicara tentang kafir tidaknya orang yang meninggalkan shalat ?.

    Justru atsar Salmaan inilah yang dijadikan dalil oleh ulama tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya sebagaimana yang diperselisihkan mutaqaddimiin.

    Yang lebih penting dari itu :

    TIDAK MASALAH (karena telah saya perkirakan sebelumnya) seandainya Anda justru menganggap bahwa atsar Salmaan ini menguatkan pendapat yang Anda pegang. Namun pada saat yang bersamaan Anda harus sepakat dengan saya bahwa Hudzaifah tidak mengkafirkan orang yang tidak mengerjakan shalat :

    حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ صِلَةَ بْنَ زُفَرَ يُحَدِّثُ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " الإِسْلامُ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ: الإِسْلامُ سَهْمٌ، وَالصَّلاةُ سَهْمٌ، وَالزَّكَاةُ سَهْمٌ، وَالْحَجُّ سَهْمٌ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ سَهْمٌ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ سَهْمٌ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ سَهْمٌ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَهْمٌ، وَقَدْ خَابَ مَنْ لا سَهْمَ لَهُ "

    Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia berkata : Aku mendengar Shilah bin Zufar menceritakan dari Hudzaifah, ia berkata : “Islam terdiri dari delapan bagian. Islam adalah satu bagian, shalat adalah satu bagian, zakat adalah satu bagian, haji adalah satu bagian, puasa Ramadlan adalah satu bagian, memerintahkan yang baik adalah satu bagian, melarang dari yang munkar adalah satu bagian, dan jihad di jalan Allah adalah satu bagian. Sungguh merugilah orang yang tidak mempunyai satu bagian pun darinya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 413; shahih].

    BalasHapus
  9. Ya,... jika Anda mengambil konsekuensi perkataan Salmaan untuk menguatkan pendapat Anda, maka - DENGAN CARA BERPIKIR YANG SAMA - Anda harus membenarkan perkataan Hudzaifah bin Yamaan yang ini bahwa merugi orang yang tidak mempunyai satu bagian pun dalam Islam. Dan ingat, 'as-sahm' dalam riwayat Hudzaifah ini berbeda dengan riwayat Salmaan. 'As-Sahm' dalam riwayat Hudzaifah berisi arkaanul-Islaam dan tambahan beberapa kewajiban lainnya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa 'as-sahm' berupa Islam (dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh : 'perkataan Laa ilaha illallaah') dalam atsar Hudzaifah merupakan pokok yang tidak bisa ditinggalkan oleh seorang muslim. Maka,..... jika seseorang masih masih mempunyai as-sahm' berupa Islam (kalimat tauhid), maka ia tidak akan merugi - , meskipun tidak mempunyai 'sahm' yang lain (misal : shalat, puasa, zakat, dll.). Bukankah begitu ?.

    Hasil : Tidak ada ijma' di kalangan shahabat.

    Dan bahkan pada saat yang bersamaan - ketika Anda menggunakan atsar Salmaan untuk menguatkan pendapat Anda - , maka Anda harus menyepakati hadits 'Aaisyah dan Ibnu Mas'uud :

    ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ،

    "Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat.....".

    Di sini Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak bicara secara langsung (tekstual) tentang kufur atau tidak. Tapi hanya mengatakan 'tidak sama'. Seandainya meninggalkan shalat itu kafir, tentu saja kedudukan orang yang masih mengerjakan puasa (tapi tidak shalat) atau mengerjakan zakat (tapi tidak shalat) atau mengerjakan puasa dan zakat sekaligus (namun tidak shalat); sama statusnya dengan orang yang meninggalkan shalat, yaitu kafir. Tapi,... hadits tersebut tidak mengatakan seperti itu.

    Dan ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits syafa'at dan bithaqah. Coba dipikir-pikir kembali.......

    BalasHapus
  10. Oh ya saya sepintas baca abu

    Rasanya memang ga perlu di perpanjang lagi. Mudah-mudahan penjelasan antum yang panjang ini ada manfaatnya untuk menjawab pertanyaan saya "terlepas dari valid tidaknya"...tapi saya no coment aja deh untuk tulisan antum yang terakhir. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi toh kan saya sudah baca penjelasannya. Dan saya hargai antum sudah berusaha menjawab. Dan kata-kata saya tidak keluar kecuali yang baik-baik saja kepada antum baik dalam keadaan sependapat atau berbeda pendapat. Saya berifikir kecil manfaatnya kalo terlalu berlarut-larut...kecuali jika memang ada ketauladanan yang baik..

    akhirul kalam . afwan jika ada kesalahan

    barakallahu fik

    BalasHapus
  11. Terima kasih atas sumbangan komentarnya. Saya pun dari dulu hargai pendapat Anda. Bukankah kita membicarakan ini telah lama. Telah berkali-kali. Bahkan, apa yang saya katakan dan tuliskan di artikel ini dan di artikel Meninggalkan Shalat pun sebagiannya telah saya sampaikan kepada Anda. Hanya saja, pendalilan Anda itu idlthiraab. Anda tidak memperhatikan apa yang telah saya katakan, dan berusaha mengulang-ulang. Kalau gak bisa dibantah dengan ini, maka dengan ini. Mulai lagi dari nol dengan nama Anonim lain.

    Kalau dirunut 'sejarahnya', Anda lah yang selalu ofensif dalam masalah ini. Mulai masalah irjaa' dampai masalah taarikush-shalaah. Tapi alhamdulillah, gaya bahasa Anda sudah mulai berubah akhir-akhir ini - walau masih belum hilang benar atsarnya (seperti penyebutan hanya belajar dari kitab, tidak pernah mulazamah pada ulama, del el el. dalam beberapa komentar terakhir). Mohon maaf jika pada kesempatan kali ini saya belajar 'ofensif' kepada Anda, karena terus terang saya bosan mengulang-ulang yang sama perkataan kepada Anda. Coba perhatikan komentar Anda di artikel Meninggalkan Shalat yang masih ada kaitannya dengan artikel ini. Mulai sejak awal Anda komentar (tanggal 2 Agustus 2010 16:57) di situ hingga akhir (14 April 2012 09:09) - di situ Anda mengganti gaya bahasa Anda.

    Saran saya, kalau memberikan komentar dikasih saja nama yang tetap, agar selalu nyambung dan berkelanjutan.

    Mohon maaf jika ada kesalahan, wa fiika baarakallaah.

    BalasHapus
  12. Sangat disayangkan perkataan dan sikap antum itu ya.!

    BalasHapus
  13. Almaidani says:
    orang yg paling 'alim dikalangan para sahabat adalah abu bakar ra
    bukan hudzaifah atau salman atau tamim addariy radiallahu anhum ajmaiin
    tidakkah antum perhatikan abu jauzaa apa yg dilakukan abu bakar ra thd orang2 yg menolak zakat
    mudah2an antum bisa mengambil ibrah dari hal itu

    BalasHapus
  14. @Anonim,... memang disayangkan. Saya mengatakan itu dengan sangat-sangat sadar karena saya kenal dengan karakter Anda. Kenal baik dengan komentar Anda, baik komentar Anda yang ada di Myquran, dalam imel, chatting, dan di Blog ini (walau Anda gak berani menulis identitas Anda, karena lebih senang memakai Anonim, lebih 'aman'). Anda telah menjalankan berbagai peran dalam berkomentar di Blog ini dan juga di media lainnya. Satu waktu berperan sebagai orang yang 'sopan', satu waktu berperan sebagai 'preman'. Mudltharib, isti'jal, dan yang lainnya.

    ======

    @Almaidani,..... terima kasih atas nasihatnya. Anda, sebagai orang yang telah mengambil ibrah dari kisah Abu Bakr, ...... kalau boleh saya mau tanya. Itu Abu Bakr memerangi dan menganggap kafir orang yang tidak membayar zakat itu kenapa ?. Apakah sekedar tidak membayar zakat atau bagaimana ?.

    BalasHapus
  15. Almaidani says:
    komentar ana ini bukan utk membela "manusia2 hewan myquran"
    ana berlepas diri dari orang2 myquran yg murtad itu
    kesimpulan antum tentang tidak kafirnya orang2 yg meninggalkan sholat membuat ana khawatir manusia akan terfitnah.
    Ana ingin agar antum sharing dahulu dgn ustadz firanda ya akhii

    BalasHapus
  16. Saya tahu forum Myquran. Sebagian moderatornya saya kenal (kalau belum ganti). Mereka bukanlah manusia hewan. Bukan pula manusia murtad. Diksi Anda cukup menggambarkan diri Anda sesungguhnya.

    Tidak ada hal yang mesti saya diskusikan dengan Ustadz Firanda. Tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan adalah pendapat jumhur fuqahaa'. Mereka bukanlah pembawa fitnah. Saran saya, belajar dulu yang rajin. Sering-sering hadir di kajian asatidz dan baca kitab-kitab para ulama. Kalau khilaf masalah shalat saja Anda awam, bagaimana Anda ingin jihad di India ? - seperti perkataan Anda tempo hari. Saya belum bisa membayangkan pemahaman Anda tentang fiqh jihad, jika fiqh shalat saja Anda belum kuasai.

    NB : Itu pertanyaan saya di atas kok dianggurin (kayak tempo hari ketika saya tanya tentang Al-Arna'uth). Katanya saya disuruh mengambil 'ibrah tentang kisah Abu Bakr. Ketika saya ingin ngambil 'ibrah kisah Abu Bakr dengan bertanya kepada Anda, Anda anggurin pertanyaan saya. Gimana Anda ini. Jangan-jangan Anda memang gak tahu ya.....

    BalasHapus
  17. Almaidani says:
    @abu jauzaa antum juga tdk bisa mencela ana krn tdk membaca kitab2
    krn ana mengikuti salaf ana ali bin abi thalib ra diatas mimbar kufah "kami di masa rasulullah tidak membaca kitab apapun selain alqur'an"
    mengenai riwayat umar maka ana mengikuti pendapat ibnu hatim dalam menilai derajat hadist mursal tsb
    mengenai syaikh syuaib al arnauth maka ana mempersaksikan bahwa beliau dicintai Allah dan rasulNYA dan kaum mukminin
    inilah perpisahan antara ana dgn antum
    spt perpisahan antara nabi khidr dan nabi musa
    barakallaahu fiikum
    spt ana katakan waktu yg akan

    BalasHapus
  18. Barokallahu Fiikum...
    Semoga Ustadz bisa lebih sabar menghadapi pada komentator, dan semoga ustadz diberikan keluasan waktu, tenaga, dan ilmu oleh Allah Ta'ala. Dan semoga Allah ta'ala memberikan keberkahan kepada keluarga antum yang memberikan banyak waktu kepada antum untuk dakwah Ilallah...

    Pak toto.

    BalasHapus
  19. Assalamu'alaykum..

    kok jadi rumit ya masalah tarkis shalah, .. o_0'

    seolah-olah yang memegang pendapat yang mengkafirkan akan mengatakan murji'ah kepada yang berseberangan, (ˇ_ˇ' )

    yang saya yakini dari artikel ilmiah di sini mengenai masalah meninggalkan shalat, adalah satu,

    yaitu Allahu ta'alaa Maha Berkehendak terhadap hambaNya,

    apabila seorang hamba bertauhid, dengan tauhid yang murni,
    tidak pernah menyekutukanNya,
    tidak pernah menyembah kepada selainNya,
    tidak pernah melakukan perbuatan yang bisa mencederai tauhid,

    tetapi hamba tersebut banyak melakukan maksiat,
    hanya sedikit atau tidak pernah melakukan amalan kebaikan,

    maka Allah akan menimbang amalannya di mizan, mengampuninya jika Dia menghendaki.
    dan memasukannya ke surga

    atau sebaliknya,

    Allah akan menimbang amalannya di mizan, mengazabnya dengan azab yang pedih, dan memasukannya ke neraka.


    tapi jika ada orang yang meyakini dengan PEDEnya,
    bahwa dengan modal kalimat laa illaha illallah doank pasti bisa langsung masuk Jannah,
    so ..ngapain beramal,

    maka itu orang yang takabur,

    karena bisa saja orang tersebut kafir di akhir hayatnya

    karena Allah Maha Membolak-balikan hati manusia.

    Silahkan di koreksi, jika yang saya yakini salah

    Wallohu ta'alaa a'lam.

    BalasHapus
  20. Assalmu'alaikum

    Ustadz, mohon penjelasan beserta dalilnya tentang penghalang kekafiran. Apa sajakah itu? Karena banyak yang pendapat yang berbeda yang pernah saya dengar.

    Terima kasih.

    Herry Setiawan - Bogor.

    BalasHapus
  21. @Almaydani,.... siapa yang menghina ?. Saya cuma menyarankan agar lebih giat belajar. Hadir di majelis ta'lim dan baca kitab-kitab ulama. Apakah saran seperti ini merupakan kehinaan bagi Anda ? - sementara Anda itu sangat butuh untuk belajar. Tentang hadits 'Aliy, itu konteks hadits bukan seperti yang Anda bayangkan - makanya belajar. Konteksnya adalah bahwa 'Aliy ditanya apakah ia mempunyai sesuatu selain Al-Qur'an dan sesuatu yang tidak ada di tangan manusia (namun 'Aliy memegangnya) ?. Lalu ia menjawab : "....Kami tidak memiliki kitab bacaan selain Kitabullah yang termaktub dalam lembaran ini...".

    Jadi, tidak ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada manusia yang kemudian hanya diberikan khusus kepada 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu. Kira-kira itu konteks haditsnya.

    Adapun jika 'Aliy dan para shahabat lain tidak memiliki kitab selain Kitaabullah, bukan berarti mereka tidak belajar selain Kitabullah. Mereka tetap belajar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, riwayat-riwayat hadits sampai kepada kita melalui perantaraan mereka. Ilmu mereka kebanyakan di dada. Setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, banyak ilmu kemudian dibukukan. Lha kalau Anda gak belajar ilmu lain selain Al-Qur'an, maka pada hakekatnya Anda gak mencontoh siapa-siapa. Tidak mencontoh 'Aliy, tidak pula selainnya.

    Contoh kejahilan Anda pun makin kentara. Anda katakan Anda mengikuti pendapat Ibnu Abi Hatim dalam menilai derajat hadist 'Umar. Bung,..... dapat saya pastikan Anda tidak pernah membuka kitabnya Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiirnya. Ibnu Abi Haatim itu gak menghukumi apa-apa. Ia hanya menyebutkan riwayat doang. Yang menyebutkan penghukuman mursal adalah Ibnu Katsiir. Hanya dengar-dengar saja ya ?. Tentang Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth, itu yang saya tanyakan tentang komentar beliau terhadap riwayat 'Umar. Gak nyambung dong tanggapan Anda. Dan,.... sehubungan Anda telah mengakui secara tidak langsung tidak (atau jarang) membaca kitab-kitab para ulama, maka saya anggap Anda itu tidak tahu tentang karya-karya Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth dan isinya. Mungkin Anda hanya dengar namanya saja.

    Anyway,... cita rasa sastra Anda boleh juga dengan mengibaratkan perpisahan Anda dengan saya ibarat perpisahan Nabi Muusaa dan Khidr 'alaihimas-salaam. Ini salah satu nilai plus Anda di antara nilai-nilai negatif yang tampak pada perkataan Anda sebelumnya.

    =====

    @Pak Heri,... semoga satu waktu nanti saya bisa menuliskannya. Mohon doanya agar senantiasa bisa istiqamah...

    BalasHapus
  22. Assalamu'alaikum

    kalo ada yang mau lihat rekaman shalat 5 waktu, tarawih, qiyamul lail, istisqa, khusuf, do'a qunut (bukan qunut shubuh), dll di Haramain (makkah jeung madinah) harap kunjungi :

    www.haramainrecordings.com

    lengkap, gratis.
    (saya tidak dibayar untuk memberitahu ini)

    BalasHapus
  23. mo tanya stadz:

    1. perkara yang diperselisihkan wajib atau sunnahnya, dan kebetulan kita berpendapat wajib... kemudian kita dapati seseorang yang sengaja meninggalkannya (hanya sekali-sekali, tidak meninggalkan secara mutlak), karena dalam pandangannya itu hanyalah sunnah...

    a. cara kita menasehati orang ini, apakah dalam sudut pandang kita menganggapnya wajib, ataukah dalam sudut pandang orang tersebut yang sunnah? (contoh: tidak sepatutunya antum meninggalkan perakra sunnah)

    b. sebaliknya, jika kita berada diposisi orang yang sekali-kali meninggalkan.. bagaimana?

    2. perkara yang diperselisihkan haram atau tidaknya, dan kebetulan kita berpendapat haram.. dan kita dapati seseorang melakukan hal tersebut (dan kita ketahui, ternyata ia berpendapat makruh atau bahkan mubah, berdasarkan dalil yang ia dapati dari gurunya)..

    a. cara kita menasehati orang ini? apakah dengan sudut pandang ktia (yang mengatakan haram)? ataukah dengan sudut pandangnya? kalau misalkan baginya itu mubah, bukankah ini sama sekali tidak mengkonsekuensikan celaan?

    b. bagaimana sikap kita jika mendapati orang yang mengharamkan.. sedangkan kita sendiri (jangankan makruh, tapi) berpendapat mubah..

    3. masalah yang diperselisihkan kafir-tidaknya (seperti shalat).. misalkan kita berada pada madzhab yang mengkafirkan (satu shalat ditinggalkan sampai habis waktu, maka kafir)..

    a.ketika kita mendapatkan orang yang meninggalkan shalat.. kita menasehatinya, dalam sudut pandang kita? yakni berkata; "janganlah meninggalkan shalat meski hanya sekali.. karena hal itu kufur akbar, yang dapat mengeluarkan kita dari islaam.."

    b. ataukah kita menasehati dalam sudut pandang dirinya (mungkin ia, sebagaimana syaafi'iyyah, dan indonesia mayoritas bermadzhab syaafi'iy, berpendapat dosa besar, tidak kafir).. dengan perkataan: "janganlah meninggalkan shalat, karena menurut madzhab syaafi'iyyah pun, ini merupakan dosa yang paling besar!"

    ----

    Sangat menanti jawaban (1ab,2ab, 3ab)-nya ustadz..

    jazaakallaahu khayran wa baarakallaahu fiik

    BalasHapus
  24. Sehubungan antum nanya ke saya,.... maka saya menjawab sebatas apa yang saya pahami (dan kemungkinan apa yang saya katakan berbeda dengan yang lain). Saya rangkum saja ya, karena saya rasa intinya sama.

    Kita dalam memberikan nasihat boleh berdasarkan perajihan yang kita ambil. Entah itu dalam permasalahan halal-haram, wajib sunnah, atau kafir tidak kafir. Contoh misal Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam masalah shalat. Beliau tahu tentang perselisihan ulama dulu dan sekarang tentang kafir tidaknya orang yang meninggalkan shalat. Namun lihatlah,..... bagaimana cara beliau menasihati orang yang meninggalkan shalat. Beliau menyampaikan nash-nash ancaman tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat - berdasarkan perajihan yang beliau ambil. Tidak jarang beliau meninggalkan pembahasan khilaf, karena tujuan nasihat beliau adalah agar orang yang bersangkutan mengerjakan shalat. Beda halnya jika tujuannya adalah bahts ilmiy.

    Mensyaratkan nasihat harus dengan perspektif orang yang diberi nasihat adalah musykil. Apakah orang yang mau memberi nasihat harus bertanya dulu kepada orang yang dinasihati : "Menurut pendapatmu, kamu meyakini pendapat yang mana dalam masalah ini ?". Tentu saja tidak. Nasihat tetap diberikan oleh si pemberi nasihat berdasarkan perspektif perajihan yang ia ambil. Namun dengan catatan, ia juga harus berlapang dada dengan khilaf permasalahan yang ia sampaikan - seandainya ada reaksi dari orang yang kita berikan nasihat. Oleh karenanya, bisa juga ia sampaikan dengan kalimat yang bisa mencakup keseluruhan khilaf tanpa meninggalkan esensi tujuan nasihat yang hendak ia sampaikan. Misalnya ia mengatakan kepada orang yang meninggalkan shalat : "Kerjakanlah shalat, karena meninggalkan shalat salah satu dosa yang sangat besar dalam Islam".

    Dalam prakteknya, tidak ada pola resmi harus begini atau begitu, karena harus melihat orang yang dinasihati, dalam suasana apa, dan yang lainnya.

    Itu saja secara ringkas yang dapat saya share, semoga ada manfaatnya.

    wallaahu a'lam bish-shawwaab.

    BalasHapus