Belum
lama saya membaca sebuah fatwa dari Hamuud bin ‘Uqalaa Asy-Syu’abiy yang di
dalamnya ia membawakan atsar di atas, yang kemudian ia jadikan salah
satu pondasi bangunan pemahaman dalam pengkafiran orang yang berhukum dengan
selain hukum Allah secara mutlak. Benarkah dakwaannya tersebut ?. Mari kita
sama-sama cek validitasnya. Riwayat dimaksud adalah riwayat yang dibawakan oleh
Ibnu Abi Haatim rahimahullah dalam Tafsiir-nya :
أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ
الأَعْلَى، قِرَاءَةً، أَنْبَأَ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ قَالَ: " اخْتَصَمَ رَجُلانِ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى بَيْنَهُمَا، فَقَالَ الَّذِي
قَضَى عَلَيْهِ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، انْطَلِقَا إِلَى عُمَرَ، فَلَمَّا
أَتَيَا عُمَرَ قَالَ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ قَضَى لِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا، فَقَالَ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ
حَتَّى أَخْرُجَ إِلَيْكُمَا فَأَقْضِيَ بَيْنَكُمَا، فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا،
مُشْتَمِلا عَلَى سَيْفِهِ فَضَرَبَ الَّذِي قَالَ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ
فَقَتَلَهُ، وَأَدْبَرَ الآخَرُ فَارًّا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَتَلَ عُمَرُ وَاللَّهِ
صَاحِبِي وَلَوْ مَا أَنِّي أَعْجَزْتُهُ لَقَتَلَنِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا كُنْتُ أَظُنُّ يَجْتَرِئُ عُمَرُ عَلَى قَتْلِ
مُؤْمِنَيْنِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا فَهَدَرَ دَمَ ذَلِكَ الرَّجُلِ
وَبَرِئَ عُمَرُ مِنْ قَتْلِهِ، فَكَرِهَ اللَّهُ أَنْ يَسُنَّ ذَلِكَ بَعْدُ،
فَقَالَ: وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ
اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ إِلَى قَوْلِهِ
وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at : Telah
memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Lahii’ah,
dari Abul-Aswad, ia berkata : “Dua orang laki-laki bertengkar dan mengadukan
perkaranya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
memutuskan perkara tersebut antara keduanya. Maka orang yang perkaranya
dikalahkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Kembalikan kami kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab”. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Baik”. Maka keduanya pergi menuju
‘Umar. Ketika keduanya mendatangi ‘Umar, laki-laki tadi berkata : “Wahai
Ibnul-Khaththaab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memberikan keputusan untuk memenangkanku atas orang ini, lalu ia berkata : ‘Kembalikanlah
kami kepada ‘Umar’. Lalu ‘Umar berkata : “Tunggulah, hingga aku keluar dan
memutuskan perkara kalian berdua”. ‘Umar kemudian keluar menuju mereka berdua
dengan menyandang pedangnya. Lalu ia memukulkan pedangnya tersebut pada orang
yang berkata : ‘Kembalikanlah kami kepada ‘Umar’. ‘Umar pun membunuhnya. Maka,
laki-laki yang satunya lari menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, demi Allah ‘Umar telah membunuh
shahabatku tadi. Seandainya aku bukan orang yang lemah menghadapinya, niscaya
ia membunuhku juga”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Tidaklah aku menduga ‘Umar berani membunuh orang mukmin”. Maka
turunlah ayat : ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 65).
Maka sia-sialah darah laki-laki yang terbunuh, dan ‘Umar bebas dari tuntutan
hukuman pembunuhan laki-laki tersebut. Allah membenci seandainya perbuatan
tersebut dijadikan contoh setelahnya. Lalu Allah ta’ala berfirman : ‘Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:
"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka
tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya
kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal
yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)’
(QS. An-Nisaa’ : 66)” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim li-Ibni Abi Haatim,
hal. 994 no. 5560].
‘Abdullah
bin Wahb mempunyai mutaba’ah dari Abu Zakariyyaa (Yahyaa bin Ishaaq
Al-Bajaliy, tsiqah), sebagaimana diriwayatkan Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy
no. 18.
Ibnu Katsiir menghukumi riwayat ini sangat ghariib; mursal
[Tafsiir Ibnu Katsiir, 4/145, 146].
Sanad
riwayat di atas ndak valid, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah.
Abul-Aswad, namanya Muhammad bin ‘Abdirrahmaan
bin Naufal bin Khuwailid bin Asad Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abul-Aswad Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah. Termasuk generasi shighaarut-taabi’iy, thabaqah
ke-6, dan wafat tahun 131 H/137 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no.6125].
Jelas saja tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu,
apalagi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat ini bahkan mu’dlal.
Ibnu
Katsiir rahimahullah membawakan riwayat lain :
قال الحافظ أبو إسحاق إبراهيم بن عبد
الرحمن بن إبراهيم بن دُحَيْم في تفسيره: حدثنا شُعَيب بن شعيب حدثنا أبو المغيرة،
حدثنا عتبة بن ضَمْرَة، حدثني أبي: أن رجلين اختصما إلى النبي صلى الله عليه وسلم
فقضى للمحق على المبطل، فقال المقضيّ عليه: لا أرضى. فقال صاحبه: فما تريد؟ قال:
أن نذهب إلى أبي بكر الصديق، فذهبا إليه، فقال الذي قُضي له: قد اختصمنا إلى النبي
صلى الله عليه وسلم فقضى لي فقال أبو بكر: فأنتما على ما قضى به النبي صلى الله
عليه وسلم فأبى صاحبه أن يرضى، قال: نأتي عمر بن الخطاب، فأتياه، فقال المقضى له:
قد اختصمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقضى لي عليه، فأبى أن يرضى، [ثم أتينا
أبا بكر، فقال: أنتما على ما قضى به رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأبى أن يرضى]
فسأله عمر، فقال: كذلك، فدخل عمر منزله وخرج والسيف في يده قدْ سَلَّه، فضرب به
رأس الذي أبى أن يرضى، فقتله، فأنزل الله: { فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ } [إلى آخر] الآية
Telah
berkata Al-Haafidh Abu Ishaaq Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin Ibraahiim bin
Duhaim dalam Tafsiir-nya : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin
Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan
kepada kami ‘Utbah bin Dlamrah : Telah menceritakan kepadaku ayahku :
Bahwasannya ada dua orang laki-laki yang bertengkar dan mengadukan berpakaranya
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau dan memenangkan
orang yang benar atas orang yang salah. Berkata orang yang dikalahkan
perkaranya : “Aku tidak ridla”. Shahabatnya berkata : “Lantas, apa maumu ?”. Ia
berkata : “Hendaknya kita pergi menemui Abu Bakr Ash-Shiddiiq”. Lalu mereka
berdua pergi menemui Abu Bakr. Orang yang dimenangkan perkaranya berkata :
“Sesungguhnya kami bertengkar dan mengadukan perkaranya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau memenangkanku”. Lalu Abu Bakr berkata :
“Kalian berdua diputuskan berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Tapi laki-laki yang kalah tadi tetap enggan untuk ridla.
Ia berkata : “Kami akan mendatangi ‘Umar bin Al-Khaththaab”. Orang yang
dimenangkan perkaranya berkata kepada ‘Umar : “Sesungguhnya kami bertengkar dan
mengadukan perkaranya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau memenangkanku. Kemudian kami mendatangi Abu Bakr, lalu ia berkata :
‘Kalian berdua diputuskan berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam’. Tapi ia enggan untuk ridla”. Lalu ‘Umar berkata :
“Begitukah ?”. Kemudian ‘Umar masuk ke rumahnya dan keluar dengan membawa
pedang di tangannya dan menghunusnya. Lalu ia memenggal kepala orang yang
enggan untuk ridla tadi, dan membunuhnya. Lalu turunlah ayat : ‘Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 65)” [Tafsiir Ibni Katsiir,
4/146-147].
Riwayat
ini juga ndak valid - sebagaimana riwayat sebelumnya – dengan sebab mursal.
Dlamrah bin Habiib
bin Shuhaib Az-Zubaidiy, Abu ‘Utbah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang
tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 130 H. Dipakai
oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 460 no. 3003]. Ia
tidak pernah bertemu ‘Umar dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
Dua riwayat ghariib
ini bertentangan dengan riwayat shahih yang menyebutkan bahwa dua laki-laki
yang bertengkar dan berperkara adalah Az-Zubair dan seorang laki-laki Anshaar radliyallaahu
‘anhumaa.
حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث
قال: حدثني ابن شهاب، عن عروة، عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما أنه حدثه: أن
رجلا من الأنصار، خاصم الزبير عند النبي صلى الله عليه وسلم في شراج الحرة، التي
يسقون بها النخل، فقال الأنصاري: سرح الماء يمر، فأبى عليه، فاختصما عند النبي صلى
الله عليه وسلم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: (اسق يا زبير، ثم أرسل
الماء إلى جارك). فغضب الأنصاري فقال: أن كان ابن عمتك؟ فتلون وجه رسول الله صلى
الله عليه وسلم، ثم قال: (اسق يا زبير، ثم احبس الماء حتى يرجع إلى الجدر). فقال الزبير:
والله إني لأحسب هذه الآية نزلت في ذلك: {فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر
بينهم}.
Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah, dari ‘Abdullah
bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa bahwasannya ia menceritakan
kepadanya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang bertengkar dengan
Az-Zubair di samping Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
aliran air di daerah Al-Harrah yang mereka gunakan untuk menyirami kebun kurma.
Orang Anshaar tersebut berkata : “Bukalah air agar bisa
mengalir”. Az-Zubair menolaknya lalu keduanya bertengkar di hadapan Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata
kepada Az-Zubair : “Wahai Az-Zubair, berilah air (untuk kebunmu dulu),
kemudian alirkanlah buat tetanggamu”. Orang Anshaar itu marah dan berkata :
“Tentu saja kamu bela dia karena dia putra bibimu”. Maka wajah Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam memerah kemudian berkata : “Wahai Zubair,
(untuk kebunmu dulu) kemudian bendunglah hingga air itu kembali ke dasar kebun".
Maka Az-Zubair berkata : “Demi Allah, sungguh aku menganggap bahwa ayat
ini turun tentang peristiwa tersebut (yaitu firman Allah QS. An-Nisaa’ : 65) :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”…
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2359-2360].
Sebagian kandungan
hukum riwayat ini telah dibahas dalam artikel : QS. An-Nisaa’ Ayat 65 Sebagai Dalil Pengkafiran Orang
yang Berhukum dengan Selain yang Diturunkan Allah ?.
Walhasil, riwayat sababun-nuzuul
QS. An-Nisaa’ ayat 65 tentang kisah pembunuhan yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu
‘anhu di atas adalah munkar, tidak shahih.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ –
wonokarto, wonogiri – 30032012].
ustad , bagaimana menurut antum pemikiran Abu Muhammad Al-Maqdisi yang pemahamannya banyak beredar di kalangan anak muda sekarang ini ?
BalasHapusAda buku ber-judul " Ya ...mereka memang thaghut " karya ust. Aman Abdurrahman , sedikit banyak berfikiran semacam itu ?
Mohon kalau ada kelonggaran waktu untuk membahasnya di sini .
Abu Muhammad Al-Maqdisiy, Aman Abdurrahman, dan voaislam itu sama saja.
BalasHapusTentang Aman Abdurrahman, maka bacaan berikut mungkin berguna :
Dialog Bersama Takfiriy.
Terimakasih ustad , sangat jelas .
BalasHapusAna cukup lama membaca voaislam di saat nganggur , dan ana juga sering bingung dengan pemilik bloqnya , kadang ada manhaj salafnya namun tidak sedikit kawarijnya .
Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk dan perlindungan-Nya , dan menjauhkan kita dari kerancuan berfikir dan beramal.
Ustadz mohon jawabannya atas syubhat di vidieo berikut http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo
BalasHapusjazakallahu khoiran.
Tidak perlu dibantah khusus, karena tidak ada manfaatnya. Karena bantahan Ustaadz Habib Rizieq Syihaab itu didasarkan pada kebodohan. Dari perkataannya saja sudah kelihatan, dimana beliau menyatakan bahwa jika dikatakan sesat, maka konsekuensinya adalah kafir. Ini menunjukkan ketidakcermatannya terhadap nushuush dan aqwaal ulama.
BalasHapusUstadz, terkait dengan link video bantahan Habib Rizieq terhadap tulisan Ust. Yazid,
BalasHapusapakah benar dalam kitab Jama' Al-Juyusy Wa Al-Dasakir 'Ala Ibnu 'Asakir terdapat perkataan para Ulama terkait kesalahan pemahaman Asy'ariyah?
saya juga pernah membaca dimana gitu, penjelasan Ibnu Abdil Bar Al-Maliki yang menghubungkan Asy'ariyah dengan Ahli Kalam...tapi lupa kalimatnya.
Link Kitab Jama' Al-Juyusy
http://ia600303.us.archive.org/23/items/jamaa_juyuch_mibrad_199/jamaa_juyuch_mibrad.pdf
Mohon penjelasannya Ustadz Jauza
terima kasih
Abu unaisah
BalasHapusTeringat perkataan ustadz. Abdul hakim abdat tentang aman abdurrahman. Ilmunya (aman abdurrahman) lebih kecil dari orangnya (sampai disini perkataan ustadz abdul hakim). Mudah2an ini menjadi pelajaran bagi yg lain tentang siapa aman abdurrahman
Abu unaisah...
BalasHapusHabib ridzieq mengatakan ketika membantah Ustadz Yazid:
Hati-hati jangan membuat kaum muslimin marah (sampai disini perkataan habib)
Yg menjadi pertanyaan adalah:
1. Memangnya Ustadz yazid termasuk kaum apa?, apakah ini termasuk lafadz pengkafiran terhadap Ustadz Yazid. Mungkin Ustadz Abul jauzaa dapat memberikan pencerahannya
Assalamua'laikum.Ustad,sy pikir ustad terlalu terburu-terburu dalam menghukumi riwayat dari jalur Dhamrah dengan mengatakan munkar dan tidak sahih.Sebab sepengetahuan sy,riwayat tersebut pun termaktub dlm Sahih tafsir ibn katsir yg disusun oleh Team ahli Tafsir dibawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri rahimahullah..Dimana dalam pengantarnya dijelaskan bhwa, hadith atau atsar yg terdapat didlm kitab sahih tafsir ibn katsir sebagian besarnya adalah Sahih.Adapun Hadith - hadith yg dha'if menjadi diterima dengan berbilangnya jalan lain.Dengan kata lain Hadith trsbut dihukumi hasan lighairihi.dan itu artinya,tidak bisa kita menolak hadith Dhamrah dgn mengatakan Munkar dan tidak sahih stelah berbilangnya jalan lain. Mungkn kesimpulan ustad diatas hanya bisa kita trima jika kita melihatnya dri sisi asal hadith Dhamrah dgn meniadakan jalan lain yg menguatkan.wallahu A'lam.
BalasHapusWa'alaikumus-salaam.......
BalasHapusAlhamdulillah saya telah menelusuri jalan-jalan periwayatannya semampu saya, dengan melihat beberapa komentar muhaqqiq tentangnya. Jalan-jalan riwayat Dlamrah ya sebatas yang saya sebutkan di atas. Gak ada yang lain lagi. Kalau antum merasa ada 'ada jalan lain', sangat saya persilakan untuk menyebutkannya. Termasuk analisis dalam Shahiih Tafsir Ibni Katsiir nya Syaikh Al-Mubarakfuriy - jika ada. Kalau alasan antum hanyalah bahwasannya riwayat Dlamrah itu dimasukkan dalam Shahiih Tafsiir Ibni Katsiir tanpa menyertakan analisa jalan-jalan periwayatan dan sebab ia menjadi hasan; tidak banyak manfaatnya.
Saya pun mempunyai pembanding. Salah satunya : Syaikh Muqbiil rahimahullah tidak memasukkan riwayat Dlamrah itu dalam kitab Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul. Ibnu Katsiir sendiri ketika membawakan riwayat Dlamrah itu mengatakan ghariib jiddan.
Tidak ada tambahan esensial dari saya.
Maaf Ustad.Kendala yg sy temukan dalam kitab shahih tafsir ibnu katsir diantaranya.Tidak disertakannya rincian periwayatan Dhamrah oleh team ahli tafsir dan tidak pula menyertakan jalan lain yg menguatkan riwayat tersebut.Sehingga menyulitkan sy untk mengkonfrontasikan hujjah seperti yg sangat dipersilahkan oleh ustad disini.Maka benarlah yg ustad katakan.Sy selain hanya sebatas bersikap menyandarkan diri pada apa yg trdapat dalam pengantar shahih tafsir ibnu katsir,saya juga belum mempunyai kitab(Ad-Durrul Mantsur,karya Imam as-Suyuthi(II/322)) yg menjadi rujukan penukilan riwayat tersebut.
BalasHapusMaaf ustad,saya ingin tanya.Menurut Ustad apa yang dimaksud dgn ucapan 'Ghariib jiddan'? Sepengetahuan sy,kata 'Ghariib' tidak lantas membuat sebuah riwayat menjadi lemah.Adapun penambahan kata 'jiddan',maka inilah yang belum sy tau.Untuk sy memohon penjelasan dari ustad.Jazakallahu Khair..
Oh iya ustad,sy kok kesulitan kirim komentar ke blog ustad via compi.Dari tadi saya coba terus tapi tetap saja tidak bisa.Tombol 'publikasikan' gak bisa di klik,makanya sy komennya via hp.
Kalau begitu, bagaimana bisa antum menyimpulkan 'keterburu-buruan' itu ?.
BalasHapusSaya dah mbuka kitabnya As-Suyuthiy yang berjudul Ad-Durrul-Mantsuur 4/524-525, tahqiq : Dr. 'Abdullah bin 'Abdil-Muhsin At-Turkiy. Di situ, selain yang saya sebutkan di atas (yaitu riwayat Duhaim), As-Suyuthiy membawakan jalur lain yang mursal dari Mak-huul (bukan Dlamrah), yang diriwayatkan oleh Al-Hakiim At-Tirmidziy dalam Nawaadirul-Ushuul. Saya buka kitab Nawaadirul-Ushuul, ketemu itu riwayat, tepatnya di juz 1 halaman 176-177 no. 268. Sanadnya adalah : Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Hujr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub bin Mudrik, ia berkata : Aku mendengar Mak-huul memarfu'kan hadits sampai kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata : "..... (matan)....".
Ini sanad sangat lemah. Sebabnya adalah Ayyuub bin Mudrik, ia seorang matruk, dan dituduh memalsukan hadits. Selain itu, riwayat Al-Hakiim At-Tirmidziy di sini tidak menyebutkan sababun-nuzuul ayat.
Tentang istilah ghariib, memang perlu perincian. Tergantung qarinah dan siapa yang mengucapkan. Misal, At-Tirmidziy jika mengatakan hadits yang ia bawakan ghariib (tanpa embel-embel lain seperti shahih ghariib, hasan ghariib), maka menurut ulama, maksudnya adalah dla'iif. Namun yang saya maksud dalam komentar saya di atas adalah : Ibnu Katsiir sendiri tidak mengatakan penghasanan hadits tersebut dalam kitabnya. Bahkan, kemudian ia cenderung menta'lil riwayat Dlamrah dengan berkata : "ghariib jiddaan,.... wahuwa atsarun ghariibun jiddan, wahuwa mursalun, wa Ibn Lahii'ah dla'iif, wallaahu a'lam".
Meskipun perkataan Ibnu Katsiir tentang Ibnu Lahii'ah perlu ditinjau kembali (karena yang meriwayatkan darinya adalah 'Abdullah bin Wahb, yang termasuk perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Lahii'ah sebelum kitabnya terbakar), namun jelas Ibnu Katsiir tidak menghukumi hadits itu hasan.
Anyway,..... menghasankan riwayat tersebut menurut saya adalah perkataan yang tidak hasan.
wallaahu a'lam.
Memang terjadi ikhtilaf pd permasalahan pemimpin yg berhukum dgn selain kitabullah,adapun syaikh shafiyurrahman almubarakfuri mengkafirkan pemimpin yg berhukum dgn selain kitabullah,adapun ulama yaman spt syaikh muqbil berpendapat sebaliknya.klu menurut ana pendapat yg lebih rajih adalah pendapat syaikh almubarakfuri agar kita tdk termasuk sbg orang yg dikeluhkan oleh rasulullah saw ketika rasulullah berdoa "ya Allah sesungguhnya kaumku menjadikan alqur'an ini sbg sesuatu yg tdk diacuhkan"(surat alfurqan)
BalasHapusKomentar antum tidak kontekstual. Terkesan bahwa Syaikh Muqbil melemahkan riwayat 'Umar karena berpendapat tidak mengkafirkan, dan Syakh Al-Mubarakfuriy menhasankan karena berpendapat mengkafirkan. Ini adalah penyimpulan yang sangat aneh. Saya pribadi belum mengetahui detail pendapat Syaikh Al-Mubarakfuriy dalam permasalahan berhukum dengan selain hukum Allah. Terus terang, saya kurang trust terhadap perkataan antum di atas.
BalasHapusAnyway,.... permasalahannya di sinilah adalah, shahihkah riwayat 'Umar membunuh orang yang berperkara sebagaimana di atas ?. Jika riwayatnya sendiri adalah lemah, maka kualitas argumen dengan mengambil riwayat ini pun lemah.
Perajihan sesuatu itu bukan menurut perasaan. Silakan cermati riwayat shahih tentang sababun-nuzull ayat (QS. An-Nisaa' ayat 65) tentang pertengkaran Az-Zubair dengan salah satu shahabat Anshaar.
Itulah kesimpulan ana tentang syaikh almubarakfuri setelah membaca kitab beliau "almishbahulmuniir" , akan tetapi ana juga tdk setuju dgn ikhwan2 yg langsung ingin membunuh pemimpin nkri,krn hal itu akan menimbulkan kekacauan yg besar di negeri kita sendiri, sikap yg lebih tepat utk negeri ini adalah dakwah, dan bagi ikhwan2 pemberani yg bersemangat utk menumpahkan darah maka sebaiknya mrk menyalakan api peperangan di negeri yg jelas2 kafir spt india misalnya krn ada hadist dari rasulullah saw tentang keutamaan kaum muslimin yg memerangi india
BalasHapushujjah anda ambigu
BalasHapusAssalamu a'laikum ustad.Sy menyimpulkan demikian disebabkan apa yg sy baca dalam pengantar shahih tafsir ibnu katsir mengatakan secara sharih bahwa "team al mishbaahul muniir sendiri telah berkomitmen utk menampilkan hadits shahih dan hasan saja, menjauhkan hadits dha'if dan maudhu'serta membuang kisah isra-iliyyat.Next, seandainya ditemukan hadith dha'if pun, maka hadith tersebut sebenarnya adalah hadits yg memiliki beberapa penguat dari hadith2 lain yg derajatnya qabul(diterima)".Adakah penafsiran lain (selain yg sy pahami (sebgaimana yg telah ustad ketahui)) dari kutipan redaksi yg sy bawakan diatas ustad? andai ustad menafsirkan kutipan tersebut sesuai dgn apa yg sy pahami,maka sy pikir,sy baru saja menjawab pertanyaan ustad mengenai keterburu-buruan itu. Memang benar ustad,dalam pembahasan ayat" falaa warobbika laa yu'minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajaro bainahum" shahih tafsir ibnu katsir selain mencantumkan riwayat al bukhari dari Urwah rahimahullah dari Zubair Rahimahullah, juga mencantumkan asbabun Nuzul lain yg dtng dari Alhafidz Abu ishaq ibrahim bin abdurrahman bin ibrahim bin Duhaim dlm tafsirnya mriwayatkan dari Dhamrah..[matan]..Namun sayangnya,dlm takhrijnya team ahli tafsir hanya menyebutkan nama kitabnya (telah lalu) dan tdk menyebutkan derajat hadits tersebut.Adapun penyebutan "hasan lighairihi" itu memang murni dari sy scara pribadi (nampaknya ketidak percayaan ustad-Alhamdulillah-telah sy benarkan)!.. Sebab yg sy ketahui,sebuah hadith yang asalnya adalah dha'if yang ringan (layyin),dgn berbilangnya jalur lain atau adanya qarinah yg menguatkannya,maka hadith trsbut akan naik derajatnya kpd hasan lighairihi..Dan ini tentu telah ustad pahami.Wallahu A'lam..Mengenai argumentasi ustad yg mengatakan bahwa syaikh Muqbil rahimahullah tdk mencantumkan hadith tersebut dlm kitab hadith shahih yg ada dlm tafsir ibn katsir,yg kmudian ustad mngtkan hadith Dhamrah munkar dan tdk shahih,sy pikir argumentasi ustad lemah.why? Sebab sudah jelas, Beliau rahimahullah HANYA mengimpun hadith2 SHAHIH saja(bukan Hasan(apa lagi Hasan lighairihi)).Yg jadi persoalan sy adalah, apakah kemudian ucapan Ghariib Jiddan nya Ibnu katsir itu memberikan pengertian BAKU bahwa itu artinya "Munkar,dan tidak shahih- nya versi ustad? Mungkin ini yg perlu di jawab ustad. Mengenai riwayat(sangat lemah) dari 'Mak-huul' yg ada dlm kitab Nawaadirul Ushul sprti yg telah ustad paparkan diatas tentang pertalian rowinya yaitu Ayyub bin Mudrik,mungkin (bahkan Harus) ustad perlu mengumpulkan seluruh perkataan para ulama Hadits serta mengklasifikasikan mereka(para ulama jarh wa ta'dil) dalam kelompok masing-masing,apakah di kelompok Mutasyaddid,Mu'tadil atau Mutasahil.Sehingga ustad dpt dgn mudah-insya Allah-menerapkan kaedah "al jarh al-mufassar muqoddam 'alaa at-ta'dil al- mubham" dan penetapan kesimpulan ustad diatas (Mungkar,dan tidak Shahih) itu memang benar-benar kuat dan tegak diatas dua kaki(bukan satu kaki).Dan sekiranya hadits trsbut tdk menyebutkan sababun Nuzul,minimal apa yang dilakukan Imam as Suyuthi mengisyaratkan kepada kita bahwa hadith Dhamrah memiliki penguat lain (meski dihukumi sangat lemah oleh ustad) dari jalur Mak-huul.Bukankah hadith hasan lighairi adalah kumpulan hadith-hadith yang dha'if ringan (layyin)? Sejujurnya, saya (dufal) dgn apa yang saya lakukan (mengajukan munaqasyah) pada ustad bukan krn sy ingin membenarkan orang-orang yg salah dlm mengaplikasikan hadith yg dipermasalahkan disini,namun niat sy semata-mata utk mempertahankan keyakinan sy (sebagaimana pustaka ibnu katsir menyerahkan kepercayaannya kepada team penyusun al mish- baahul muniir) terhadap kandungan kitab shahih tafsir ibnu katsir yg ada pada saya.
BalasHapusTerakhir..hilangkan dari ingatan ustad saat ini juga andai ustad mengira "anonim Apr 8,2012/05 :19 Am" adalah saya (dufal), yang sebelumnya telah melayangkan dua kali(sekarang yang ke 3 kali) komentar sebagai "anonim Apr 7, 2012 /07:17 am dan anonim Apr 7,2012/08:56 am"..
Wa'alaikumus-salaam....
BalasHapusSebelumnya, lain kali - sebagaimana telah saya pesankan beberapa kali di blog ini - , jika menuliskan komentar, pakailah nama. Jangan anonim saja. Anonim itu banyak.
Dari apa yang saya baca dari komentar antum, saya tulis takhrij hadits beserta sebab kelemahannya pun percuma, karena akhir komentar antum hanya akan bermuara pada : "Telah dihasankan oleh Team nya Syaikh Al-Mubarakfuriy". Ketika saya minta mana alasan yang membuat hadits itu jadi hasan, maka antum katakan : "Hadits itu telah dikuatkan dari jalan-jalan yang lain". Ketika saya tanya : Mana jalan-jalan lain yang menguatkan ?. Antum jawab : "Maaf, saya tidak punya kitab Ad-Durrul-Mantsuur yang dijadikan sandaran Team nya Syaikh Al-Mubarakfuriy". Ketika saya tunjukkan jalan riwayat di kitab Ad-Durrul-Mantsuur yang terdiri dari riwayat Duhaim dan Mak-huul, dimana riwayat Duhaim ini lemah, dan riwayat Mak-huul ini sangat lemah; maka antum katakan : "Saya berpegang pada komentar team nya Syaikh Al-Mubarakfuriy".
Ya,... nampaknya antum senang berputar-putar di ruang yang tidak menambahkan pengetahuan sedikitpun.
Sebenarnya saya tahu bahwa antum itu sebenarnya tidak tahu jalan riwayat hadits di atas. Atau pendek kata, hanya menggantungkan penghukuman pada kitab Al-Mishbahul-Muniir saja. Coba katakan ini terus terang, niscaya lebih mudah dan lebih baik bagi antum. Antum tidak perlu berkomentar panjang-panjang, berberat-berat diri, apalagi sampai berkomentar tentang al-jarh wat-ta'diil. Nampak sekali antum berkomentar tidak punya landasan. Hampa.
Antum katakan bahwa Syaikh Muqbil tidak memasukkannya dalam kitab Ash-Shahiihul-Musnad, karena beliau hanya mengumpulkan hadits shahih saja, tidak termasuk hadits hasan. Maka saya katakan : Antum ini sok tahu. Katakan saja antum belum pernah buka dan baca kitab Syaikh Muqbil rahimahullah. Benarkan ?. Kata ulama, jika ada seseorang yang berkata-kata di luar keahliannya, maka ia akan mendatangkan berbagai macam keajaiban. Dan tak dinyana, keajaiban itu antum katakan. Syaikh Muqbil telah menjelaskan sendiri dalam muqaddimah bahwa "shahih" yang dimaksud dalam judul kitab beliau itu adalah peristilah mutaqaddimiin yang meliputi shahih dan hasan, sebagaimana dijelaskan dalam Tadribur-Rawiy (hal. 21). Dan memang isi kitab beliau adalah hadits shahih dan hasan.
Kemudian komentar antum tentang Ayyuub bin Mudrik. Arah komentar antum ini kemana ?. Saya telah membaca komentar ulama tentang Ayyuub. Antum sudah atau belum ?. Jawab saja belum. Ini saya kasih tahu biar puas :
Ibnu 'Adiy berkata : "Dla'iif, meriwayatkan hadits-hadits munkar". Abul-Fath Al-Azdiy setelah menyebutkan haditsnya berkata : "Inilah yang dipalsukannya". Abu Haatim Ar-Raaziy berkata : "Dla'iiful-hadiits, matruuk". Ibnu Hibbaan berkata : "Meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang masyhur.....ia meriwayatkan dari Mak-huul berupa tulisan tangan yang palsu, dan ia tidak pernah melihatnya (Mak-huul)". Abu Zur'ah berkata : "DLa'iiful-hadiits". An-Nasaa'iy berkata : "Matruukul-hadiits". Ad-Daaruquthniy berkata : "Matruuk". Shaalih bin Muhammad Jazarah berkata : "Dla'iif". Yahyaa Ath-Thursuusiy berkata : "Matruuk". Yahyaa bin Ma'iin berkata : "Pendusta". Di lain riwayat ia berkata : "Tidak ada apa-apanya". Al-Fasawiy berkata : "Dla'iif".
Sifat-sifat jarh seperti di atas adalah jarh yang syadiid.
Kemudian tentang istilah ghariib. Kenapa sih antum takalluf (berberat-berat diri) membicarakannya ?. Apakah saya pernah mengatakan gharib = munkar dalam bahasan di atas ?. Ada atau tidak ada ?. Bukankah saya telah katakan bahwa penghukuman ghariib itu tidak bisa dimutlakkan pada kelemahan. Harus dilihat qarinah-qarinahnya dan siapa yang mengucapkannya. Beberapa ulama mengatakan bahwa hadits-hadits gharib dalam Musnad Firdaus itu tidak dapat dijadikan hujjah. Beberapa ulama mengatakan bahwa peristilahan gharib dari At-Tirmidziy itu maknanya dla'iif. Hal yang semakna dari istilah ghariib bagi sebagian mutaqaddimiin, maknanya adalah munkar seperti perkataan Ahmad yang dinukil Ibnu Shalah :
BalasHapusروَيْنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ غَيْرَ مَرَّةٍ: لاَ تَكْتُبُوا هَذِهِ اْلأَحَادِيْثَ اْلغَرَايِبَ، فَإِنَّهَا مَنَاكِيْرُ، وَعَامَّتُهَا عَنِ الضُّعَفَاءِ.
Kami telah meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal radliyallaahu 'anhu bahwasannya ia pernah berkata lebih dari sekali : Janganlah kalian menulis hadits-hadits yang gharib, karena ia adalah hadits-hadits munkar. Dan kebanyakan di antaranya berasal dari perawi-perawi dla'iif" [selesa].
Barangkali ini bermanfaat bagi antum.
Anyway,... saya mengatakan munkar dalam artikel di atas karena hadits itu lemah dan menyelisihi riwayat yang shahih. Ini namanya munkar dalam istilah ilmu hadits. Ini yang saya katakan :
"Dua riwayat ghariib ini bertentangan dengan riwayat shahih yang menyebutkan bahwa dua laki-laki yang bertengkar dan berperkara adalah Az-Zubair dan seorang laki-laki Anshaar radliyallaahu ‘anhumaa.
.........
Walhasil, riwayat sababun-nuzuul QS. An-Nisaa’ ayat 65 tentang kisah pembunuhan yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu di atas adalah munkar, tidak shahih.
Antum harus cermat. Ketika saya katakan : dua riwayat ghariib ini....; maksudnya riwayat ghariib yang telah saya terangkan kelemahannya. Not just ghariib !
======
Ringkasnya begini,... riwayat itu, kalau saya mengikuti 'kemauan' antum, maka ada 3 jalan :
1. Jalan Abul-Aswad; maka kualitasnya sangat lemah karena mu'dlal. Antum tahu makna mu'dlal kan ?. Abul-Aswad ini tidak pernah bertemu dengan generasi shahabat. Jadi, ia telah mengugurkan minimal 2 orang dalam sanad.
2. Jalan Dlamrah; maka kualitasnya lemah karena mursal.
3. Jalan Mak-huul, maka kualitasnya sangat lemah.
Saran saya, lain kali, kalau mau membela sesuatu, jangan lakukan pembelaan buta. Gak tahu dasarnya. Jika memang pengetahuan antum sebatas penshahihan dari team nya Syaikh Al-Mubarakfuriy, ya itu cukup disebutkan tanpa perlu menambahkan apa-apa. Karena sebenarnya gak ada yang antum tambahkan. Lebih-lebih antum rinci.
Wallaahul-musta'aaan....
Maaf ustad,tapi bisahkah ustad kasih tau kpada sy bagaimana caranya mengirimkan komentar diblog ustad via computer? Saat ini (dan sbelumnya) sy hanya mlalui hp,makanya sy agak ksulitan menulis komentar sy seperti yg ustad harapkan! Tolong kash tau caranya.
BalasHapuscaranya tinggal tulis saja, lalu klik publikasikan.
BalasHapuskalau tetap gak bisa, ya saya gak tau, karena saya bisa, dan teman-teman saya juga bisa.
umar said :
BalasHapusafwan ustadz, beberapa kali ana juga ga bisa mengirim komentar, tadinya ana cuma mau komentar buat anonim di atas (9 April 2012 15:26) begini :
"
ngeyel pancen angel...
aku sing moco wae isin...
"
biar ustadz tidak mengulang-ulang lagi...
tapi, semoga tetap ada faedahnya... sabar ustadz...
umar said :
BalasHapusketika kesulitan mengirim komentar
saya coba hal ini
tulis "captcha"
kemudian klik "publikasikan"
trus klik "edit"
lalu klik "publikasikan" lagi
alhamdulillah bisa...
Afw abu jauzaa, ana almaidani anonym 8april, oia sekedar pemberitahuan buat ikhwan2 tipe "warrior" yg berniat utk membunuh pemimpin nkri maka ana katakan bahwa kekafiran pemimpin nkri masih dalam jenis kafir fi'li (belum sampai murtad) ikhwan sekalian harus bisa membedakannya dgn jenis kafir i'tiqad (kafir tulen)
BalasHapusMaaf ustad,sudah sy coba tp ttp gak bisa.masalah yg ada kurang lbh sperti ini: tombol 'publikasikan' gak bisa di klik.krna tombolnya ketutup sama item-item yg ada di join network nya ustad.ini masalahnya.@umar: apa antum juga mengalami hal yg sama? Klo iya,tolong ksh taw sy cranya.agar sy bs kmbali brkomentar sprti antum smua.tolong
BalasHapusAlmaidani says:
BalasHapusabu jauzaa apa alasan antum menuduh syaikh al arnauth seorang asy'ariy?terus terang ana lebih trust pd beliau daripada antum
zaenal abidin
BalasHapus------------------
Anonim abu nasywah
2 April 2012 13:34
Habib Riziq Shihab dan Syiah Rafidhah
--------------------------------
majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
--------------------------------
http://abisyakir.wordpress.com/2012/04/08/habib-riziq-shihab-dan-syiah-rafidhah/
Anonim
BalasHapus10 April 2012 11:55
iya bner, ternyata ketutup, biar gak k'tutup, klik edit mas.. sook pasti bisa mas.. ayoooo berjuaaaang ..^_^..
zaenal
@Almaidani,..... kok nyambungnya ke Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth ya..... Lain kali, dikasih pembukaan dulu biar enak dibaca.
BalasHapusKalau belum tahu bahwa Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth banyak terjatuh dalam menta'wil hadits-hadits shifaat ala Asyaa'irah, silakan baca buku berjudul : Istidraak wa Ta'qiib 'alaa Asy-Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth fii Ta'wiilihi Ba'dli Ahaadiitsish-Shifaat karya Khaalid bin 'Abdirrahmaan Asy-Syaayi', qara-ahu wa 'allaqa 'alaihi (dibaca dan diberikan ta'liq oleh) : Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.
Di situ diterangkan rinciannya. Kalaupun tidak trust pada saya, minimal setelah baca kitab itu antum trust pada Syaikh Khaalid dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.
Assalamu A'laikum ustad..Alhamdulillah akhirnya sy bisa berkomentar lwt computer di blog yg sy cintai ini.Trimakasih atas kebaikan ustad..jazakallhu khair.
BalasHapusIya, ustad benar,anonim itu banyak.Hanya saja kalau ustad mau cermati sedikit saja,insya Allah ustad akan menemukan perbedaan antara sy dan teman-teman yg lain.kata "saya" dan "Ana" meski sama dalam arti,namun beda dari sisi penulisan ustad.Tapi apapun alasannya,tamu tetap saja tamu,harus mengikuti aturan tuan rumah..
Maaf ustad,sy pikir sy tidak sedang mengajak ustad bertamasya di taman yg tak berbunga.Sekiranya tanggapan sy atas fakta- fakta yg ustad hadirkan,membuat ustad merasa berada di ruang yg tidak menambah pengetahuan sedikitpun,maka jangan salahkan sy,sebab hanya itu yg bisa sy katakan.Tidak lebih.
"Sebenarnya saya tahu bahwa antum itu sebenarnya tidak tahu jalan riwayat hadits di atas. Atau pendek kata, hanya menggantungkan penghukuman pada kitab Al-Mishbahul-Muniir saja. Coba katakan ini terus terang, niscaya lebih mudah dan lebih baik bagi antum"
Begini ustad,seandainya sanad dan jalan lain dari riwayat diatas itu saya ketahui,tentu bisa sy mungkinkan pembicaraan sy dan ustad tidak akan berputar di ruang yg tdk menambah pengetahuan sedikitpun seperti yg ustad katakan.Insya Allah akanlebih dari pada itu.Lagian ustad pun tidak menanyakan hal tersebut pada sy secara spesifik.Harus ustad akui itu.
" Antum tidak perlu berkomentar panjang-panjang, berberat-berat diri, apalagi sampai berkomentar tentang al-jarh wat-ta'diil. Nampak sekali antum berkomentar tidak punya landasan. Hampa".
semua sy lakukan disisni(blog yg sy cintai ini), semata2 hanya untuk mencari kebenaran.Meski harus merangkak diatas salju.Untuk itulah sy secara implisit-jika tidak bisa di bilang eksplisit-,berharap agar ustad mau secara total-bukan parsial-menunjukan kekeliruan yg ada dalam buku Shahih Tafsir Ibnu Katsir dengan menunjukan 'kesalahan' yg dilakukan oleh team ahli tafsir yg berada di bawah pengawasan syaikh al mubarakfuriy rahimahullah.Dan bagi sy,membicarakan jarh wa ta'dil bukan sesuatu yg tabu ustad.Bukankah ustad juga telah memberanikan diri membahas soal ilmu hadits disini? Coba pikirkan kembali ustad.
ya,benar sy katakan hanya Shahih sj bukan hasan,apalagi hasan lighairihi.dan kalau itu salah,maka harus sy katakan saya salah! hanya saja sy ingin tanya, yg ustad maksud peristilahan Mutaqaddimiin itu ada batasannya gak? klo gak,maka saya katakan ustad KELIRU!Massa sebelum datangnya Imam At Tirmidziy,tidak ada istilah Hadits "Hasan".Dan sy pikir ustad juga tau.
"Kemudian komentar antum tentang Ayyuub bin Mudrik. Arah komentar antum ini kemana ?."
sudah ustad jawab dengan membawakan komentar ulama berikut ini:Ibnu 'Adiy berkata : "Dla'iif,dst...
Saya telah membaca komentar ulama tentang Ayyuub. Antum sudah atau belum ?. Jawab saja belum. Ini saya kasih tahu biar puas :
Tidak perlu sy jawab.Sebab kalau sy jawab,hal itu akan mengisyaratkan ustad kurang cermat.Maaf ustad..
Dufal.
mengenai istilah ghariib sendiri tidak sy persoalkan ustad.yang saya tanyakan itu "Ghariib jiddan"tolong jangan dipisahkan! Sebab ustad diatas telah mengatakan,"Ibnu Katsiir sendiri ketika membawakan riwayat Dlamrah itu mengatakan ghariib jiddan. kemudian ustad memberikan contoh Imam At Tirmidziy dst...yg kesemuanya itu,TIDAK menyentuh esensi dari pertanyaan sy ustad..
BalasHapusmengenai ucapa Imam Ahmad diatas,sy pikir masih dibutuhkan syarah untuk itu...
Mu'dlal? cukup sy katakan,iya, sy Tahu.Kemudian pertanyaan nya berbalik,bisahkah ustad jelaskan pada sy apa yg dimaksud dgn mu'dlal? jawaban dari ustad sy nantikan,agar sy bisa cocokkan dengan penjelasan yg ada dalam kitab subulus salam dan Kunci memahami Hadits Nabi.Dimana dari dua buku tersebut,sy mendapat penjelasan tentang mu'dlal jauh sebelum ustad berpikir untuk menanyakan hal tersebut pada sy.
"Saran saya, lain kali, kalau mau membela sesuatu, jangan lakukan pembelaan buta. Gak tahu dasarnya. Jika memang pengetahuan antum sebatas penshahihan dari team nya Syaikh Al-Mubarakfuriy, ya itu cukup disebutkan tanpa perlu menambahkan apa-apa. Karena sebenarnya gak ada yang antum tambahkan. Lebih-lebih antum rinci"
Maaf ustad,sy tetap berharap mendapatkan saran yang KONSTRUKTIF dari ustad,tapi TIDAK untuk kali ini.Sekiranya saran ustad coba sy amalkan,niscaya pintu ilmu akan terus tertutup untuk sy,dan akan terus begitu...Wallahu a'lam
Dufal.
Semakin membaca komentar antum semakin menunjukkan takalluf antum. Satu saja yang saya tanggapi, tentang istilah 'hasan'. Semakin jelas bagi saya bahwa antum memang belum membaca kitab Syaikh Muqbil sama sekali. Tapi anehnya, berkomentar seakan-akan telah membacanya.
BalasHapusSaya menuliskan :
"Syaikh Muqbil telah menjelaskan sendiri dalam muqaddimah bahwa "shahih" yang dimaksud dalam judul kitab beliau itu adalah peristilah mutaqaddimiin yang meliputi shahih dan hasan, sebagaimana dijelaskan dalam Tadribur-Rawiy (hal. 21). Dan memang isi kitab beliau adalah hadits shahih dan hasan" [selesai].
itu untuk mengomentari ke-sok-tahu-an antum yang mengatakan bahwa Syaikh Muqbil tidak memasukkan hadits hasan dalam kitabnya. Itu saya jawab berdasarkan penjelasan Syaikh Muqbil dalam kitabnya yang berjudul Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul. Ini teks perkataan beliau :
أما بعد فقد اخترت أن يكون بحثي الذي أقدمه للجامعة الإسلامية في الصحيح1 المسند من أسباب النزول
"Amma ba'du, aku telah memilih judul bahasan Ash-Shahiihul (1)-Musnad min Asbaabin-Nuzuul yang aku ajukan ke pihak Universitas Islam ....dst."
Kemudian angka (1) diberikan catatan kaki oleh beliau :
أعني بالصحيح على اصطلاح الأولين ما يشمل الصحيح والحسن كما في تدريب الراوي ص21
"Yang aku maksudkan dengan Ash-Shahiih menurut istilah ulama terdahulu mencakup shahih dan hasan sebagaimana terdapat dalam Tadriibur-Raawiy halaman 21" [Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 7, muqaddimah].
Paham ?.
Jadi saya menuliskan itu untuk mengkritisi kesok-tahuan antum yang berbicara tentang kitab Syaikh Muqbil rahimahullah.
Kok anehnya sekarang antum mau membahas batasan hasan, dan seterusnya. Di atas saya tidak lagi membicarakan bahasan hadits hasan. Tapi hanya ingin menunjukkan bahwa meskipun judul kitab Syaikh Muqbil itu Ash-Shahiihul-Musnad, tapi isinya juga meliputi hadits-hadits hasan. Alasannya, telah saya kutipkan dari perkataan Syaikh Muqbil rahimahullah sendiri.
Saran saya, saya pikir, pembicaraan antum disudahi saja ya. Karena secara esensi, tidak ada yang krusial.
Almaidani says:
BalasHapus@akh dufal antum jgn berkecil hati dgn perkataan abu jauzaa
yakinlah kitab yg antum pegang itu adalah sebaik2 kitab
jika abu jauzaa berpegang dgn ijtihadnya syaikh bin baaz dan syaikh muqbil maka antum berpegang dgn ijtihadnya syaikh almubarakfuri dan syaikh al arnauth
waktu yg akan membuktikan siapa syaikh yg ijtihadnya benar
Memangnya syaikh al-arna'uth bicara apa tentang riwayat di atas ? di kitab apa ?.
BalasHapusNB : Waktu tidak akan membuktikan tentang tashhiih dan tadl'iif. Yang membuktikan tashhiih dan tadl'iif adalah ilmu.
Husam said,
BalasHapusMasyaAllah.. bermanfaat sekali ustad.. mohon kalo ada info mengenai pendapat syaikh mubarakfury (ana jg kurang trust sama akhi anonim diatas) mohon dipaparkan ustad.. jazakallahu khairan
Hanya sedikit ingin mengingatkan kpada pihak2 yg berdiskusi untuk mencari kebenaran,
BalasHapusDimohon untuk bisa bersabar dan mengedepankan hikmah, bukan urat dan otot, agar kami2 yg menyimak ini bisa mendapatkan faidah dari diskusi antum. Terima kasih.
--Tommi--
Almaidani says:
BalasHapusana ingin tahu adakah diantara ikhwan2 yg memiliki keinginan yg kuat utk berjihad fii sabilillah memerangi india sebagaimana disebutkan dlm hadist?
Almaidani says:
BalasHapusana memiliki sebuah doa yg ana sangat ingin agar doa tsb dikabulkan oleh ALLAH sampai2 ana bernazar jika ALLAH mengabulkan maka ana akan berjihad fii sabilillah memerangi india.
Ana berharap jika seandainya do'a ana benar2 dikabulkan oleh ALLAH maka mudah2an ada diantara ikhwan2 yg bersedia utk ikut dgn ana berjihad fii sabilillah memerangi india utk meninggikan kalimat ALLAH 'ala fahmi salaful ummah
Jihad itu amalan yang utama. Namun jauh lebih utama jika jihad disertai ilmu yang cukup. Bukan sekedar jihad dengan semangat dan kebodohan.
BalasHapusAlmaidani says:
BalasHapus@abu jauzaa antum benar
kunci kemenangan adalah ketaqwaan dan kesabaran