Artikel ini hanya akan sedikit mengulang apa yang telah tertuliskan di sini dengan sedikit tambahan. Berikut riwayatnya :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: نَا عَمِّي، قَالَ: نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ: قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، " أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami pamanku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Nashr bin ‘Aliy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Daawud, dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Telah berkata Zaid bin ‘Aliy bin Husain : “Adapun aku, seandainya aku berposisi seperti Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, niscaya aku benar-benar akan memutuskan perkara seperti yang diputuskan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam masalah Fadak” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 52].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/302 & dalam Al-I’tiqaad 1/279 & dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/281, Hammaad bin Ishaaq dalam Tirkatun-Nabiy 1/86 no. 60; semuanya dari jalan Ismaa’iil bin Ishaaq (paman Ibraahiim bin Hammaad), dari Nashr, dan selanjutnya seperti atsar di atas.
Semua perawinya adalah tsiqaat, kecuali Muhammad bin Fudlail, ia hasan haditsnya. Kemudian ada riwayat berikut :
حدثنا محمد بن عبد الله بن الزبير قال حدثنا فضيل ابن مرزوق قال حدثني النميري بن حسان قال قلت لزيد بن علي رحمة الله عليه وأنا أريد أن أهجن أمر أبي بكر إن أبا بكر رضي الله عنه انتزع من فاطمة رضي الله عنها فدك فقال إن أبا بكر رضي الله عنه كان رجلا رحيما وكان يكره أن يغير شئيا تركه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتته فاطمة رضي الله عنها فقالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك فقال لها هل لك على هذا بينة ؟ فجاءت بعلي رضي الله عنه فشهد لها، ثم جاءت بأم أيمن فقالت أليس تشهد أني من أهل الجنة ؟ قال بلى قال أبو أحمد يعني أنها قالت ذاك لابي بكر وعمر رضي الله عنهما – قالت فأشهد أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاها فدك فقال أبو بكر رضي الله عنه: فبرجل وامرأة تستحقينها أو تستحقين بها القضية ؟ قال زيد بن علي وأيم الله لو رجع الامر إلى لقضيت فيها بقضاء أبي بكر رضي الله عنه
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair yang berkata telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepadaku An Numairiy bin Hassaan yang berkata aku berkata kepada Zaid bin Aliy [rahmat Allah atasnya] dan aku ingin merendahkan Abu Bakar bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] merampas Fadak dari Fathimah [radiallahu ‘anha]. Maka Zaid berkata “Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] adalah seorang yang penyayang dan ia tidak menyukai mengubah sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], kemudian datanglah Fathimah [radiallahu ‘anha] dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan Fadak kepadaku”. Abu Bakar berkata kepadanya “apakah ada yang bisa membuktikannya?” maka datanglah Aliy [radiallahu ‘anhu] dan bersaksi untuknya kemudian datang Ummu Aiman yang berkata “tidakkah kalian bersaksi bahwa aku termasuk ahli surga?”. Abu Bakar menjawab “benar” [Abu Ahmad berkata bahwa Ummu Aiman mengatakan hal itu kepada Abu Bakar dan Umar]. Ummu Aiman berkata “maka aku bersaksi bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan fadak kepadanya”. Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] kemudian berkata “maka apakah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan bersaksi atasnya hal ini bisa diputuskan?”. Zaid bin Ali berkata “demi Allah seandainya perkara ini terjadi padaku maka aku akan memutuskan tentangnya dengan keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] [Tarikh Al Madinah Ibnu Syabbah 1/199-200]
Yang ingin saya bahas adalah, apakah tambahan An-Numairiy bin Hasan dalam sanad kedua mahfuudh ?.
Mari kita lihat para perawi yang membawakan riwayat kedua sebelum Muhammad bin Fudlail sebagaimana dibawakan dalam sanad Taariikh Al-Madiinah :
1. Ibnu Syabbah (penulis kitab Taariikh Madiinah). Namanya adalah ‘Umar bin Abi Mu’aadz Syabbah bin ‘Ubaidah bin Zaid An-Numairiy, Abu Zaid Al-Bashriy An-Nahwiy Al-Akhbaariy. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 173 H, dan wafat tahun 262 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 721 no. 4952]. Berikut ringkasan perkataan para ulama tentang tingkat ketsiqahannya :
Ibnu Abi Haatim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Tsiqah”. Al-Marzabaaniy berkata : “Shaduuq lagi tsiqah”. Maslamah bin Al-Qaasim berkata : “tsiqah”. Muhammad bin Sahl berkata : “Shaduuq lagi cerdas”. Al-Fasawiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
Ia pernah dikritik oleh Al-Bazzaar, Ibnu ‘Asaakir, Ibnu Hajar, dan yang lainnya dalam periwayatan hadits innakum mahsyuuruun ilallaahi hufaatan ‘uraatan ghurlan...dst. karena meriwayatkan dari jalan Al-Husain bin Hafsh Al-Ashbahaaniy, dari Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari Zubaid, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) secara marfuu’. Para ulama tersebut mengkritik bahwa Ibnu Syabbah telah keliru dimana riwayat yang masyhur adalah dari Ats-Tsauriy, dari Al-Mughiirah bin An-Nu’maan, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.
Ibnu Hajar menyimpulkannya shaduuq, sedangkan Adz-Dzahabiy tsiqah.
2. Muhammad bin ‘Abdillah bin Az-Zubair bin ‘Umar bin Dirham Al-Asadiy, Abu Ahmad Az-Zubairiy Al-Habbaal. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 203 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 861 no. 6055]. Berikut ringkasan perkataan para ulama tentang tingkat ketsiqahannya :
Ibnu Numair berkata : “Shaduuq, tsiqah, shahiihul-kitaab”. Ahmad berkata : “Ia banyak salahnya dalam hadits Sufyaan”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah’. Dalam riwayat lain ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, berpemahaman Syi’ah”. Bundar berkata : “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih hapal dari Abu Ahmad Az-Zubairiy”. Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq”. Abu Haatim berkata : “Seorang haafidh dalam hadits, ahli ibadah, mujtahid, namun mempunyai beberapa keraguan (wahm)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : “Shaduuq, banyak haditsnya”. Ibnu Qaani’ berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Hajar menyimpulkan : “Tsiqah lagi tsabat, namun ia sering keliru dalam hadits Ats-Tsauriy”.
Kemudian kita lihat para perawi sebelum Muhammad bin Fudlail dalam riwayat pertama. Saya akan sebutkan tiga orang perawi saja :
1. Paman Ibraahiim bin Hammaad, yaitu Ismaa’iil bin Ishaaq bin Ismaa’iil bin Hammaad Al-Bashriy Al-Azdiy, Abu Ishaaq Al-Qaadliy [Mishbaahul-Ariib, 1/208 no. 3996]. Berikut ringkasan perkataan para ulama tentang tingkat ketsiqahannya :
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Abi Haatim berkata : “Tsiqah lagi shaduuq”. Ibnu Farhuun berkata : “Tsiqah lagi shaduuq”. Al-Khathiib berkata : “Seorang yang ‘aalim, faadlil, mutqin, lagi faqiih”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Seorang imaam, agung, lagi tsiqah. Dan ia adalah mahkota para hakim”. Al-Qaaliy ‘Iyaadl berkata : “Tsiqah”. Adz-Dzahabiy menyebutnya : “Al-‘Allaamah, al-haafidh”.
2. Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin ‘Aliy bin Shahbaan bin Abil-Azdiy Al-Jahdlamiy, Abu ‘Amru Al-Bashriy. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 250 H di Bashrah. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1000 no. 7170]. Berikut ringkasan perkataan para ulama tentang tingkat ketsiqahannya :
Ahmad berkata : “Tidak mengapa dengannya” – dan ia meridlainya. Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. Dan bahkan ia (Abu Haatim) menyatakan Nashr bin ‘Aliy lebih tsiqah dan lebih haafidh daripada Abu Hafsh Ash-Shairafiy[1]. An-Nasaa’iy dan Ibnu Khiraasy berkata : “Tsiqah”. ‘Abdullah bin Muhammad Al-Farhiyaaniy berkata : “Nashr di sisiku termasuk orang-orang yang mulia”. Maslamah bin Al-Qaasim berkata : “Tsiqah”. Al-Khasysyaniy berkata : “Aku tidak pernah menulis dari seseorang pun di kota Bashrah yang lebih pandai daripada Nashr bin ‘Aliy”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat”.
Ibnu Hajar menyimpulkan : “Tsiqah lagi tsabat”. Adz-Dzahabiy menyimpulkan : “Seorang haafidh”.
3. Ibnu Daawud adalah ‘Abdullah bin Daawud bin ‘Aamir Al-Hamdaaniy Asy-Sya’biy. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126 H, dan wafat tahun 213 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. [Taqriibut-Tahdziib, hal. 503 no. 3317]. Berikut ringkasan perkataan para ulama tentang tingkat ketsiqahannya :
Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah lagi ahli ibadah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah, shaduuq, lagi ma’muun”. Ad-Daarimiy berkata : “Tertinggi (kedudukannya)”. Abu Zur’ah dan An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah lagi zaahid”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan dalam Al-Masyaahir ia berkata : “Seorang yang mutqin”. Ibnu Qaani’ berkata : “Tsiqah”. Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Hajar menyimpulkan : tsiqah lagi ‘aabid. Adz-Dzahabiy menyimpulkan : “Tsiqah, hujjah, lagi shaalih”.
Manakah dua jalan periwayatan tersebut yang mahfuudh ?.
Menurut saya, yang mahfuudh adalah riwayat tanpa penyebutan An-Numairiy. Ada beberapa sebab di antaranya :
1. Penyebutkan An-Numairiy bin Hassaan dalam sanad riwayat tidaklah ditemukan – sepanjang pengetahuan saya – kecuali dibawakan Ibnu Syabbah dalam kitab Taariikh Al-Madiinah dan dalam riwayat ini saja – wallaahu a’lam. Jadi, sanadnya sangatlah ghariib. Dan An-Numairiy sendiri tidaklah dikenal (majhuul).
2. Ibnu Syabbah, walaupun ia seorang yang tsiqah, namun bukan dalam derajat ketsiqahan yang tinggi (dengan melihat perkataan para ulama tentangnya di atas). Ibnu Hajar bahkan perlu menunjukkan contoh riwayatnya yang dikritik para ulama. Barangkali inilah yang menurunkan kredibilitasnya sehingga menurutnya ia hanyalah berpredikat shaduuq.
3. Muhammad bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, meskipun ia seorang yang tsiqah (lagi tsabat), namun ia mendapat kritikan dalam riwayat hadits Ats-Tsauriy. Kemungkinan sebabnya adalah karena kitabnya yang berisi riwayat Ats-Tsauriy hilang, sehingga ia banyak keliru meriwayatkan. Adapun Abu Haatim mensifatinya dengan banyak mengalami wahm, tanpa men-taqyid-nya dalam periwayatan Ats-Tsauriy.
4. Ismaa’iil bin Ishaaq, Nashr bin ‘Aliy, dan Ibnu Abi Daawud adalah tiga orang perawi yang mempunyai martabat ketisqahan yang tinggi. Tidak ternukil jarh yang menjatuhkan dari ulama pada mereka.
5. Matan riwayat yang dibawakan Ibnu Syabbah kontradiktif dan bertentang dengan riwayat yang shahih. Berikut perinciannya :
a. Faathimah berkata : [إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك] “sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepadaku Fadak”. Konsekuensi perkataan ini, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan Fadak sebelum beliau meninggal. Padahal dalam banyak hadits shahih disebutkan bahwa Faathimah datang atau mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk meminta miiraats (harta warisan). Barang yang telah diberikan kepada seseorang tidaklah dinamakan harta warisan. Alasan Abu Bakr menahan Fadak pun berdasarkan hadits : ‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’.
b. Perkataan Zaid bin ‘Aliy bahwa seandainya ia di posisi Abu Bakr maka ia akan memutuskan sebagaimana keputusan Abu Bakr dalam masalah Fadak; tidak cocok dibawakan dalam konteks riwayat Ibnu Syabbah. Mengapa ?. Riwayat Ibnu Syabbah menetapkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan Fadak kepada Faathimah dengan persaksian ‘Aliy dan Ummu Aimaan – sementara Zaid bin ‘Aliy tetap berkeinginan akan memutuskan seperti keputusan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu – dalam keadaan ia (Zaid) tahu Fadak telah diberikan pada Faathimah. Jika ia tahu tentang persaksian kakeknya ‘Aliy dan Ummu Aimaan, apakah mungkin ia tetap berkeinginan menahan tanah Fadak ?.
Pendek kata, sanad dan perawi yang dibawakan Ibnu Syabbah ini sangat ghariib, dan tambahan matannya kontradiktif. Tidak menutup kemungkinan bahwa penambahan sisipan rawi dan matan berasal dari kekeliruan Ibnu Syabbah dan/atau Abu Ahmad Az-Zubairiy.
Adapuan riwayat pertama di atas (tanpa tambahan perawi dan lafadh), maka itulah yang mahfuudh dan lebih masyhuur di kalangan para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, 04022012].
jazakallohu khoyr atas tulisan ini. Ini jg sbagai bantahan thd salah satu artikel si "ahli hadits" -wannabe- SP
BalasHapusmantap ust.
Mantap ustadz, telak membantah artikelnya ahli hadits kacangan yg hobi jual pempek palembang, si SP.
BalasHapusAfwan ustadz, setelah saya lihat2 lg, ada salah ketik ya?
BalasHapus1. Penyebutan An-Numairiy bin Hassaan dalam sanad riwayat tidaklah ditemukan – sepanjang pengetahuan saya – kecuali dibawakan Ibnu Syabbah dalam kitab Taariikh Al-Madiinah dan dalam riwayat ini saja – wallaahu a’lam. Jadi, sanadnya sangatlah ghariib. Dan An-Nu’maan sendiri tidaklah dikenal (majhuul).
Di kalimat akhirnya disebutkan An-Nu'maan, bukankah seharusnya An-Numairiy ya ustadz?
Benar. Telah saya koreksi. Saya ucapkan terima kasih, jazaakallaahu khairan.
BalasHapus