Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.
Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Tepatkah kemudian jika ada orang yang mengatakan larangan membangun kubur merupakan buatan orang-orang Wahabiy ?. Atau, mungkin mulai sekarang orang tersebut harus menyangka bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Abu Haniifah, Maalik bin Anas, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah ‘bermadzhab’ dengan madzhabnya orang-orang Wahabiy ? (tentu saja tidak demikian, karena orang-orang Wahabiy justru bermadzhab dengan madzhab mereka)..... Sungguh bahagia orang-orang Wahabiy itu.....
Bandingkan dengan amalan orang-orang non-Wahabiy yang melestarikan beberapa situs berikut :
Gambar 1. Makam Siti Jenar di Tuban, Jawa Timur.
Gambar 2. Makam Habib ‘Aliy Kwitang
Gambar 3. Makam Habib Husain Al-Qadriy di Kalimantan Barat.
Gambar 4. Makam Pangeran Syarif di Lubang Buaya, Jakarta.
Gambar 5. Makam Mbah Priok di Jakarta.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper, ciapus, ciomas, bogor].
barakallaahu fiykum..artikelnya sangat bermanfaat ustadz..judulnya sangat pas.
BalasHapusana akan copy paste artikel ini.
Mengapa sebagian besar sauadara-saudara kita banyak melanggar larangan Allah & RasulNya.
BalasHapusSmoga Allah 'azza wa jalla menunjuki umat muslim di negri tercinta ini,
Ijin share di http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.com/
BalasHapusSyukron
ada masukan ustadz
BalasHapusdi atas sudah ada contoh kuburan yg dibangun,
mungkin lebih bagus lagi antum tambah dengan contoh kuburan di saudi yg sesuai sunnah supaya tahu perbandingannya...
Afwan Ustadz,
BalasHapusMungkin judulnya bisa ditambahkan kata 'Larangan' di depannya.
Barokallohu fiykum,
Apakah kuburan Nabi dan para sahabat di Arab Saudi membangun kubur seperti ulasan Ustadz di artikel ini ( pakai tembok atau apa seperti foto di atas ).
BalasHapusJazakalllah khoiron
Bingung seribu bingung sama saudara kita sesama muslim.. kok mau2nya di bodohi orang2 kaafir yang menginovasi kata2 "WAHABI"
BalasHapusApa mereka tidak sadar mereka bermain dengan nama Allah
Kalu sedang doa, mereka bilang:
Innaka antal wahhaab
Tapi kalo sedang debat mereka teriak :
Innaka antal Wahaby!!
Allahul musta'an
Beda mas,,
HapusArti antara wahhab dgn wahab..
Terdapat tasydid dan mad d antara salah satu'y..
Sementara wahabi berasal dr nama ulama wahaby..
Na'am akhiy..
BalasHapusMenyedihkan sekali saudara-saudara kita yang terhasut.
Penyebutan "wahabi" sendiri rancu dalam banyak sisi
Ustadz klo dikelilingin dgn batu2 aja gimana? dan gimana ama batu nisan yang bertuliskan nama, tgl lahir dan tgl wafat?
BalasHapusbagaimana dengan makam nabi di madinah yang di bangun dengan begitu Indah, coba antum cari di google dengan kata kunci "makam nabi".
BalasHapusIbnu Hari,... tidak boleh menulisi makam.
BalasHapus=====
Anonim, makam Nabi itu dibuat batas dan pagar karena itu menjadi satu kompleks dengan perluasan Masjid Nabawiy. Dulu di jaman shahabat, makam Nabi itu berada di luar masjid.
Seandainya itu tetap Anda anggap sebagai 'bangunan indah'; maka tetap saja kita harus mendahulukan nash daripada perkataan dan perbuatan manusia.
Ya Nabi salam alaika,
BalasHapusya Rasul salam alaika,
ya Habib salam alaika,
sholawatullah alaika...
Ustadz bolehkah hanya menambahkan rumput diatas makam,meskipun tinggi tanah makam tidak lebih dari sejengkal dan tidak membuat tulisan serta hanya menancapkan batu...
BalasHapusSebaiknya tidak usah.
BalasHapusLalu bagaimana cara terbaik memberikan masukan agar mereka sadar dari perbuatan itu, karena di suatu daerah yang yg kuat dengan radisi budaya turun berturun, rasanya susah untuk berubah. Trim responnya.
BalasHapusWasalam
Amalkan islam dengan baik dan benar, namun jangan merasa paling benar..
HapusKarna kitapun belum tentu benar,sebab tidak ada sertifikat yg mengkhususkan bahwa aliran yg kita percayai benar..
@@~ Hari Wuryanto :
BalasHapusJika kita tekun berdakwah, berlemah lembut terhadap mereka, dan bersungguh-sungguh hingga tiba masanya suatu daerah itu berubah menjadi daerah Islami sebagaimana Rasul dulu mencontohkan (Rasul dulu hidup dilingkungan Pagan, dan dengan dakwah beliau yang penuh kesabaran, maka munculah hasilnya suatu saat, dimana seluruh jazirah Arab menjadi negeri Islam).
Sekarang mulai ramai dibicarakan tentang makam ustad Jefri AL Bukhari...seharusnya para kiai muda itu baca hadisnya. Atau mereka sdh tahu kok masih dibangun makam setinggi itu. Atau mereka punya dalil dalil sendiri ya, tolong dicarikan dalil yg memperbolehkan membangun makam...wassalamualaikum wr.wb.
BalasHapusTo: Anonim : 25 september 2013
BalasHapus"Amalkan islam dengan baik dan benar, namun jangan merasa paling benar..
Karna kitapun belum tentu benar,sebab tidak ada sertifikat yg mengkhususkan bahwa aliran yg kita percayai benar.. "
yaa akhy..
Anaa melihat tulisan diatas tidak ada unsur2 pembenaran, krn disini kita sama2 mencari kebenaran berdasarkan Alquran,Sunnah,Ijma dan Qiyas..krn tulisan diatas dilandaskan atas nukilan2 atau perkataan Ulamaa dari hadist2 yg sohih BUKAN perkataan/tulisan Uts.ABul Jauzaa.
Saling menasehati sesama muslim adalah bagian dari dakwah amar ma'ruf nahi mungkar dan disampaikan secara 'ilmiyah dgn Dalil atau Nash yg kuat.
Kalimat2 seperti diatas sering kita jumpai dan dengar...Memang Benar sekilas apa yg diutarakan..yg jadi pertanyaan saya :
"jadi apa sih standarisasi kebenaran agama ini menurut saudara Anonim ?"
"Jadi apakah imaam As-syafi'iy ataupun Imaam Hanafiy salah dalam berijithad? "
Abuerzha
untuk Anonim 25 September 2013 08.49
BalasHapusbukankah Rasulullah shallalaahu 'alayhi wasallam, para shahabat radliyallaahu 'anhum, para tabi'in, para ulama ahlussunnah setelahnya merasa benar?
syaratnya punya bukti
bedakan merasa paling benar dengan merasa sudah pasti masuk surga
para shahabat radliyallaahu 'anhum, para tabi'in, para ulama ahlussunnah setelahnya merasa benar tapi tidak pernah merasa sudah pasti masuk surga
Assalamu'alaykum
BalasHapusUntuk kuburan orang-orang Shaleh hal itu diperbolehkan, karena hal itu telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Coba lihalatlah kuburan Imam Syafii.
Coba lihat komentar Imam Al-Hakim di dalam Mustadrik :
Hadist ini (larangan membangun bangunan) tidak diterapkan untuk selurh para Imam, Darai seluruh Timur dan Barat telah membangun di atas kuburan para Imam, dan hal ini menjadi dasar ulama setelahnya (Khalaf) mengikuti ulama sebelumnya (salaf) :Al-Burzuli berkata : 'OLeh karena itu hal ini (membangun di kuburan orang-orang saleh) adalah sudah menjadi Consensus (dibolehkan).
Wallahu 'alam
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusAl-Haakim tidak pernah menulis kitab berjudul Al-Mustadrik. Yang beliau tulis adalah Al-Mustadrak. Tapi saya tahu kok, di atas hanya copi paste saja.
Kemudian,.... sebagaimana perkataan Al-Imaam Maalik, semua orang perkataannya dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Perkataan Al-Haakim itu jelas bertentangan dengan dalil. Yang mentaqyid satu nash itu adalah nash pula, bukan perkataan ulama. Nash tidak membedakan antara kuburan orang shalih atau tidak shalih. Larangan nash bersifat umum. Selain itu, Perkataan bahwa para ulama salaf dan khalaf di Timur dan Barat telah membangun kubur mereka dan kemudian diklaim sepakat, maka itu adalah perkataan mengada-ada. Artikel di atas membuktikannya.
Walhasil, cobalah belajar untuk ta'dhim terhadap nash dan mendahulukannya dari perkataan manusia, siapapun dia.
Subhanallah..jelas dan terang benderang
BalasHapusSUBHANALLAH...
BalasHapusijin copas gan..
thank's before :-)
bgmn dgn artikel yg ini ustadz..
BalasHapushttp://www.fimadani.com/hukum-mendirikan-bangunan-di-atas-kuburan/
Memang, beberapa fuqahaa' ada yang membahasakan hukum meninggikan (membangun) kuburan adalah makruh. Namun perlu diingat, makruh dalam terminologi ulama dahulu banyak dipakai dalam makna haram.
BalasHapusJika dikatakan hukum tersebut dibedakan antara kuburan yang single dan pekuburan umum (yang memuat banyak kubur), maka ini bertentangan dengan nash. Yang pertama adalah nash hadits Jaabir, dan yang kedua nash hadits 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu. Dapatkan kita pahami perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam :
أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
"Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan"
mengecualikan kuburan single ?.
Apakah dapat dipahami dari teks hadits tersebut bangunan yang ada di atas kuburan single mendapat pengecualian dari perintah untuk meratakannya ?.
Yang lebih penting lagi, perintah untuk meratakan kuburan itu disandingkan dengan perintah untuk menghapus gambar-gambar, padahal sudah dimaklumi kontek shukum gambar yang dimaui dalam hadits itu adalah haram.
Adapun mengenai kubur Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, justru itu merupakan perkecualiannya, karena Nabi dikubur ditempat ia meninggal. Dan waktu itu, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam meninggal di kamar 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa.
Assalamu'alaykum
BalasHapusUstadz ane punya kitab مستدرك الحاكم
Ini ane kutipkan perkataan Imam Al-Hakim :
إِثْرَ تصحيح أحاديث النهي عن البناء والكتب على القبور:" ليس العملُ عليها؛ فإن أئمةَ المسلمين شرقاً وغرباً البناء على قبورهم، وهو أمرٌ أخذه الخلفُ عن السلف ". قال البرزلي: فيكون إجماعاً
Coba lihat komentar Imam Al-Hakim di dalam Mustadrik :
Hadist ini (larangan membangun bangunan) tidak diterapkan untuk selurh para Imam, Darai seluruh Timur dan Barat telah membangun di atas kuburan para Imam, dan hal ini menjadi dasar ulama setelahnya (Khalaf) mengikuti ulama sebelumnya (salaf) :Al-Burzuli berkata : 'OLeh karena itu hal ini (membangun di kuburan orang-orang saleh) adalah sudah menjadi Consensus (dibolehkan).
Ustadz apakah anda lebih PINTAR dari Imam Al-Hakim ?
Hehee ente lagi-lagi ngerasa sebagai al-Hafidz. Kalau ditanya ente tidak mau menjawab berapa hadits yang ente hafal
Silahkan bagi yang mau taqlid kepada Imam Abul Jauza yang lebih pintar dari Imam Al-Hakim ini. hehee
Ustadz kalau ente mau lihat pendapat ulama Syafiiyah ente lihata fatwa Imam Ibn Hajar di situ dijelaskan secara lengkap...
Wallahu 'alam
Ya, Al-Haakim lebih pintar dari saya, tapi mungkin saya lebih pintar dari Anda. Minimal ketika Anda tidak tahu judul kitab Al-Haakim (dengan menyebut Al-Mustadrik). Jangan bergaya dengan mengaku punya la ya..... (karena barangkali kitab itu memang gak pernah dibaca sehingga nyebut judulnya pun salah).
BalasHapusSaya kira artikel di atas sudah cukup menjawab dakwaan Al-Haakim itu.
hahaha... Jawaban yang telak ustadz buat si harahap
HapusSoal pinter-pinteran, al hakim juga tidak ada apa-apa-nya dengan nabi shalallahu alaihi wasalam, karena perintah larangan itu datang dari Nabi sendiri....
Perhatikan AsbabunNuzul hadits bro, yg kami pahami pelarangan itu dulu pada non muslim / raja-raja yg jaman Rosul kuburannya dibangun untuk disembah.
BalasHapusYa, itu pemahaman Anda.
BalasHapusargumen klise dari mereka kalo sudah tak punya hujjah :"apakah anda merasa lebih pintar dari Imam Al Hakim?" atau "apakah Al Albani lebih pintar dari Al Bukhori?".
BalasHapusAnonim 2 Oktober 2013 09.01
BalasHapusya memang Rosululloh sangat takut jika kubur yang dibangun itu nantinya akan disembah, sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashoro.
kalau terhadap para sahabat yang iman mereka sangat kuat dan tebal, bahkan di antara mereka ada yang telah dijamin masuk surga aja Rosululloh sangat takut jika kubur itu nanti akan disembah, lantas bagaimana dengan kita yang imannya masih dipertanyakan ini?
eh, ternyata sekarang yang ditakutkan oleh Rosululloh benar-benar kejadian. banyak tuh contoh kubur yang dikeramatkan. silakan lihat foto di atas contohnya.
Semoga akhi abul-jauzaa dapat tanggapi atsar imam malik seperti di bawah, samada ianya sahih atau tidak dari imam malik. Terima kasih.
BalasHapusقَالَ مَالٍكٌ: أَوَّلُ مَنْ ضَرَبَ عَلَى قَبْرٍ فُسْطَاطًا عُمَرُ، ضَرَبَ عَلَى قَبْرِ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ زَوْجِ النَّبِىِّ، – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (شرح ابن بطال – ج 5 / ص 346)
“Malik berkata: Orang yang pertama kali membangun kubah diatas kuburan adalah Umar. Ia membangun kubah di atas makam Zainab binti Jahsy, istri Nabi Saw” (Syarahal-Bukhari karya Ibnu Baththal, 5/346)
http://www.sarkub.com/2013/yang-pertama-kali-membangun-kubah-di-kuburan/#ixzz2jurZmLjd
Tidak shahih pengkhabaran tentang 'Umar tersebut.....
BalasHapusBisa dijelaskan ustadz tentang ketidak shahihan riwayat tersebut...
Hapusjazaakallah khairan
Nah kalo cari pembenaran ngak akan ketemua karna pangkalnya nafsu dan syahwat ingin menang, tapi kalo cari kebenaran panggalnya adalah keikhlasan insallah, apa susahnya kalo ada larangan yang datangnya sah dari rosul tinggal tidak dilakukan bereskan
BalasHapusYaa Akhiy..
BalasHapusApakah jika Imam Al-Hakim rahimahullah mengatakan bahwa Jakarta itu adalah Tanah Suci Kaum Muslimin, maka lantas anda akan membenarkannya?
Lantas apa bedanya anda dengan kaum Syi'ah dan Suffi yang mengkultuskan semua perkataan para Imam dan para Wali mereka tanpa filter?
Seakan-akan para Imam dan Wali itu adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, atau lebih parahnya lagi dikultuskan setara dengan Allah yang Maha Benar.
Bahkan orang setingkat Imam Malik rahimahullah pun dengan rendah hati berkata:
"Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah..." (Muqaddimah al-Muwaththo', karya Imam Malik).
Atau perkataan Imam Syafi'i rahimahullah:
"Setiap apa yang aku katakan, lalu ada hadits shahih dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang menyelisihi ucapanku, maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku" (Hilyatul Aulia' IX/106-107 - Imam Abu Nu'aim Asy-Syafi'iy).
Jadikanlah perkataan para Ulama itu sebagai pendukung Dalil Al-Qur'an dan Sunnah, jangan justru menjadikan perkataan Ulama sebagai Dalil untuk menentang Al-Qur'an atau Sunnah.
Ambil yang sekiranya paling mendekati Syari'at, jangan jadikan perkataan Ulama sebagai senjata/alasan untuk tidak berhati-hati dalam bersyari'at.
Dan sampai 5 tahun pun Mas Harahap tetap terdiam
BalasHapus