24 Februari 2012

Madzhab Ibnu ‘Abbaas dan Mujaahid dalam Menggerak-Gerakkan Telunjuk Saat Tasyahud

‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata :
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، قَالَ: " سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ، عَنْ تَحْرِيكِ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ، فَقَالَ: ذَلِكَ الإِخْلاصُ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat, lalu ia menjawab : “Itu adalah keikhlasan” [Al-Mushannaf, no. 3244; sanadnya shahih].

‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaabi’ dari :
1.     Wakii bin Al-Jarraah rahimahullah.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الْإِخْلَاصُ يَعْنِي الدُّعَاءَ بِالْإِصْبَعِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari Tamiimiy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Itu adalah keikhlasan” – yaitu doa dengan jari” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/484 no. 8515; sanadnya shahih].
2.     ‘Abdullah bin Al-Waliid rahimahullah.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَبُو النَّصْرِ الْعِرَاقِيُّ، ثنا سُفْيَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ سُفْيَانَ، فَذَكَرَهُنَّ (ورَوَاهُ الثَّوْرِيُّ فِي الْجَامِعِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ وَهُوَ أَرْبَدَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الإِخْلاصُ ")
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Waliid, dari Sufyaan, lalu ia menyebutkannya (yaitu riwayat Ats-Tsauriy dalam Al-Jaami’, dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy – ia adalah Arbadah - , dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Itu adalah keikhlasan”) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/133 no. 2795; sanadnya dla’iif, karena kemajhulan Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy dan Sufyaan bin Muhammad].
Sufyaan mempunyai mutaabi’ dari :
1.     Syu’bah rahimahullah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ  رَجُلًا  مِنْ بَنِي تَمِيمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ قَوْلِ الرَّجُلِ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا يَعْنِي فِي الصَّلَاةِ، قَالَ: " ذَاكَ الْإِخْلَاصُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq menceritakan bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki dari Bani Tamiim yang berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang doa seseorang dengan jarinya begini – yaitu dalam shalat - . Ia berkata : “Itu merupakan keikhlasan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/57; sanadnya shahih].
2.     Al-A’masy rahimahullah.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْعَيْزَارِ، قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ الرَّجُلِ يَدْعُو يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " هُوَ الإِخْلاصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Al-A’masy, dari Abu Ishaaq, dari Al-‘Aizaar, ia berkara : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang yang berdoa dengan berisyarat dengan jarinya, maka ia menjawab : “Itu adalah keikhlasan” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/133 no. 2794; sanadnya dla’iif, karena ‘an’anah Al-A’masy dan kelemahan Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar Al-‘Uthaaridiy].
Penyebutan Al-‘Aizaar dalam sanad di atas keliru, karena yang benar – wallaahu a’lam – adalah Arbadah At-Tamiimiy sebagaimana riwayat sebelumnya. Kekeliruan ini kemungkinan besar berasal dari Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
وَقَدْ رُوِّينَا، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ فِي الصَّلاةِ، قَالَ: " ذَاكَ الإِخْلاصُ "
“Dan telah diriwayatkan kepada kami dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia berkata : “Seseorang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat, itu merupakan keikhlasan” [Al-Ausath, no. 1535].
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy rahimahullah
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata :
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قال: " تَحْرِيكُ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata : “Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat adalah alat pemukul buat setan” [Al-Mushannaf no. 3245; sanadnya shahih].
Ats-Tsauriy mempunyai mutaabi’ dari Hafsh bin Ghiyaats rahimahumallah.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ: " الدُّعَاءُ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعٍ وَاحِدَةٍ، مَقْمَعَةٌ لِلشَّيْطَانِ "
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, bahwasannya ia berkata : “Berdoa dengan cara begini – dan ia berisyarat dengan satu jarinya – adalah alat pemukul buat setan” [Al-Mushannaf, 2/484].
Dibawakan juga oleh Al-Baihaqiy rahimahullah, dimana ia berkata :
وَرُوِّينَا عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ فِي الْجُلُوسِ فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ
“Dan telah diriwayatkan kepada kami dari Mujaahid, bahwasannya ia berkata : “Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika duduk dalam shalat merupakan alat pemukul buat setan” [Al-Kubraa, 2/132].
Komentar :
Riwayat Ibnu ‘Abbaas dan Mujaahid ini menunjukkan bahwa menggerak-gerakkan jari (tahriik) saat tasyahud dalam shalat telah dilakukan oleh salaf kita. Selain itu, riwayat di atas juga memberikan faedah bahwa lafadh isyarat (dengan jari) tidaklah bertentangan dengan lafah tahriik (menggerak-gerakkan), sebab jalan-jalan riwayat di atas saling menafsirkan. Tahriik merupakan lafadh yang lebih khusus daripada isyarat.
Berikut beberapa hadits yang menjelaskan pemahaman tersebut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ الْمَسْعُودِيِّ، عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ، قَالَ: صَلَّى بِنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَلَمَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَامَ وَلَمْ يَجْلِسْ فَسَبَّحَ بِهِ مَنْ خَلْفَهُ، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ قُومُوا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَلَّمَ وَسَجَدَ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: هَكَذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Al-Mas’uudiy, dari Ziyaad bin ‘Alaaqah, ia berkata : Al-Mughiirah bin Syu’bah pernah shalat bersama kami. Ketika telah mendapatkan dua raka’at, ia berdiri tanpa duduk (tasyahud). Orang-orang di belakangnya mengucapkan tasbih (untuk mengingatkannya). Namun ia berisyarat kepada mereka agar berdiri. Ketika menyelesaikan shalatnya, ia mengucapkan salam, lalu sujud sahwi dua raka’at, lalu salam lagi. Ia berkata : ‘Beginilah yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 333; dan ia berkata : “Hasan shahih”].
Isyarat Al-Mughiirah ini dipahami sambil menggerak-gerakkan tangannya agar orang-orang bangkit berdiri.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur, dari Abu Waail, dari Hudzaifah, ia berkata : “Aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mendatangi tempat sampah suatu kaum yang ada di belakang tembok. Beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang di antara kalian, dan kemudian kencing. Lalu aku menjauh dari beliau, namun beliau berisyarat agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 225].
Isyarat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah ini dipahami dengan menggerak-gerakkan tangan beliau agar ia mendekat.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ، قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar, dari Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pergi menemui Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di antara mereka. Tiba lah waktu shalat. Lalu seorang muadzdzin menemui Abu Bakr dan berkata : “Apakah engkau akan mengimami shalat orang-orang sehingga aku bacakan iqamatnya ?”. Abu Bakr menjawab : “Ya”. Abu Bakr shalat. Kemudian datanglah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu orang-orang masih dalam keadaan shalat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bergabung masuk ke dalam shaff. Orang-orang bertepuk tangan, dan Abu Bakr tidak menoleh dalam shalatnya. Ketika banyak orang yang bertepuk tangan, maka ia pun menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadanya agar ia tetap ada di tempatnya (sebagai imam)...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 684].
Isyarat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas dipahami dengan menggerak-gerakkan tangannya (agar Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu ada di tempatnya).
Jika demikian, sama halnya dengan hadits tahriik yang diriwayatkan oleh Waail bin Hujr dari jalan Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah :
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ زَائِدَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ،: قُلْتُ: لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي؟ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَوَصَفَ، قَالَ: ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا "
Telah mengkhabarkan kepada kami kami Suwaid bin Nashr, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Zaaidah bin Qudaamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Bahwasannya Waail bin Hujr berkata : Sungguh aku akan melihat shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau shalat ?. Aku pun melihat beliau – lalu ia (Waail) menyifatkannya - : “Kemudian beliau duduk dengan membentangkan kaki kirinya, meletakkan telapak tangan kiri di atas paha dan lutut sebelah kiri. Lalu meletakkan siku kanannya di atas paha kanan, kemudian menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran, kemudian mengangkat jarinya, dan aku melihat beliau menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1268 secara ringkas dengan sanad shahih].
Diriwayatkan dari beberapa jalan yang semuanya berasal dari Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa tambahan lafadh : ‘menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya’ adalah tambahan yang syaadz, karena menyelisihi banyak perawi, dimana mereka semua tidak menyebutkan tambahan tersebut[1]. Secara ringkas ta’lil tersebut dijawab sebagai berikut :
1.     Tambahan itu dibawakan oleh Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy (زائدة بن قدامة الثقفي ، أبو الصلت الكوفي); seorang yang tsiqah, tsabat, shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993].
Tautsiq ini termasuk jenis tautsiq dalam martabat yang tinggi dalam jarh wa ta’dil. Abu Haatim dan Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Termasuk di antara huffaadh yang mutqin”. Abu Zur’ah, An-Nasaa’iy, Ibnu Ma’iin, Al-Fasawiy, dan Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah”. Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata : ‘Tsiqah ma’muun”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Termasuk di antara orang-orang yang tsabt dalam hadits”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Termasuk di antara para imam yang tsabt”. Hammad bin Usaamah berkata : “Ia adalah orang yang yang paling jujur dan paling baik”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah ma’muun, shaahibus-sunnah”. Adz-Dzuhliy berkata : “Tsiqah lagi haafidh’.
Termasuk syarat diterimanya ziyaadah adalah sifat tsiqah dan dlabth yang dimiliki oleh perawi. Persyaratan ini dimiliki oleh Zaaidah.
2.     Ziyaadah (tahriik) ini tidaklah bertentang dan menafikkan riwayat jumhur yang menyebutkan dengan lafadh isyarat. Dan ini telah lewat pembahasannya di atas. Ibnu Shalah telah menjelaskan pembagian jenis-jenis ziyaadats-tsiqaat ini dalam kitab ‘Ulumul-Hadiits[2] hal. 77-78.
3.     Jika dikatakan bahwa ziyaadah ini syaadz karena men-taqyiid kemutlakan lafadh isyarat; maka pendapat yang raajih, sifat ziyaadah seperti ini diterima. Ini adalah madzhab beberapa ulama mutaqaddimiin. Berikut contohnya :
وحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: " طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 279].
Muhammad bin Siiriin menyelisihi ashhaab Abu Hurairah dengan menyebutkan tambahan lafadh ‘dan awalnya dengan tanah’. Abu Daawud berkata :
وَأَمَّا أَبُو صَالِحٍ، وَأَبُو رَزِينٍ، وَالْأَعْرَجُ، وَثَابِتٌ الْأَحْنَفُ، وَهَمَّامُ بْنُ مُنَبِّهٍ، وَأَبُو السُّدِّيِّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، رَوَوْهُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَمْ يَذْكُرُوا التُّرَابَ
“Adapun Abu Shaalih, Abu Raziin, Al-A’raj, Tsaabit Al-Ahnaf, Hammaam bin Munabbih, dan Abus-Suddiy ‘Abdurrahmaan meriwayatkan dari Abu Hurairah tanpa menyebutkan : ‘(mencucinya dengan) tanah’ [As-Sunan no. 73].
Tambahan yang dibawakan Ibnu Siiriin ini juga dishahihkan Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya. Tambahan ini mengkonsekuensikan pentaqyidan lafadh mutlak mencuci sebanyak tujuh kali – yaitu awalnya dengan tanah.
Contoh lain :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم " فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1504].
Maalik bin Anas meriwayatkan tambahan ‘dari kalangan kaum muslimin’ dimana ia menyelisihi ashhaab Naafi’ yang lain. At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وَرَوَى مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَحْوَ حَدِيثِ أَيُّوبَ، وَزَادَ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَرَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ نَافِعٍ، وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذَا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِذَا كَانَ لِلرَّجُلِ عَبِيدٌ غَيْرُ مُسْلِمِينَ لَمْ يُؤَدِّ عَنْهُمْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وقَالَ بَعْضُهُمْ: يُؤَدِّي عَنْهُمْ وَإِنْ كَانُوا غَيْرَ مُسْلِمِينَ، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ الْمُبَارَكِ، وَإِسْحَاق
“Dan telah diriwayatkan oleh Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal hadits Ayyuub, dan ditambahan padanya lafadh : ‘minal-muslimiin (dari kalangan kaum muslimin)’. Dan telah diriwayatkan lebih dari seorang dari Naafi’ tanpa menyebutkan padanya lafadh : minal-muslimiin. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian di antara mereka berkata : Jika seseorang memiliki budak-budak non muslim (kafir), maka tidak wajib baginya membayar zakat fithri. Ini adalah pendapat Maalik, Asy-Syaafi'iy, dan Ahmad. Dan sebagian yang lain berkata : Wajib bagi seseorang membayar zakat fithri budak-budak mereka walaupun mereka dari kalangan non muslim. Ini adalah pendapat Ats Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, dan Ishaaq” [As-Sunan no. 676].
Perkataan At-Tirmidziy rahimahullah tersebut di atas memberikan satu faedah bahwa ziyaadah lafadh ‘minal-muslimiin’ itu memberikan taqyiid atas kemutlakan perintah membayar zakat sehingga menghasilkan kesimpulan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan para ulama kita.
Ringkas kata, amalan tahriik ketika tasyahud dalam shalat adalah shahih ternukil dari salaf, dan juga dari sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perum ciper, ciapus, ciomas, bogor - dikoreksi tanggal 24-02-2012 pukul 23:12 WIB].
NB : Pembahasan tentang ziyaadatuts-tsiqaat tidaklah sesederhana yang terkemas dalam pembahasan ini. Ada perbedaan pendapat di sana, baik dari kalangan mutaqaddimiin maupun muta’akhkhiriin, muhadditsiin maupun fuqahaa’. Di antara referensi yang dapat dibaca dalam permasalahan ini antara lain :
1.     Al-Bisyaarah fii Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa Tsubuutil-Isyaarah karya Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy (taqdiim : Muqbil bin Hadiy Al-Wadii’iy).
2.     Raf’ul-Malaam ‘an Man Harraka Ashba’ahu minat-Tahiyyaati ilas-Salaam, wa Ma’ahu Ar-Radd ‘alaa Risaalah : Al-Bisyaarah karya Abu Asmaa’ Al-Mishriy (taqdiim : Masyhur Hasan Salmaan & ‘Aliy Al-Halabiy).
3.     Al-Aqwaalur-Raajihaat fil-Hadiits Asy-Syaadz wa Ziyaadatits-Tsiqaat karya Abu Hurairah Asy-Syaamiy Al-Atsariy (taqdiim : Majdiy bin Muhammad ‘Arafaat Al-Mishriy).
4.     Ziyaadatuts-Tsiqaat wa Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh Nuurullah Syaukat (desertasi S3 Univ. Ummul-Qurra’).
Berikut beberapa penjelasan ulama dalam hal tahriik :


[1]      Bisa dibaca dalam kitab Al-Bisyaarah fii Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa Tsubuutil-Isyaarah karya Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy.
[2]      Melalui perantaraan kitab Ziyaadatuts-Tsiqaat wa Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh Nuurullah Syaukat, 1/103-104.

16 komentar:

  1. quote: "Ringkas kata, amalan tahriik ketika tasyahud dalam adalah shahih ternukil dari salaf,..."

    maksudnya ketika tasyahud dalam shalat ust?

    BalasHapus
  2. Benar,... kurang kata : 'shalat'.

    Segera saya tambahi. Terima kasih atas komentarnya. Jazaakallahu lhairan.

    BalasHapus
  3. Tapi menurut hampir seluruh ustadz dari "yaman" bahwa riwayat tahrik itu syadz, jadi tidak ditemukan diantara mereka dan murid2 mereka yang menggerakkan tangan

    BalasHapus
  4. Permasalahan ini adalah luas sebagaimana dikatakan sebagian ulama di atas. Jangankan ustadz Yaman, seandainya ada ustadz Argentina yang menyelisihi kesimpulan artikel di atas pun, kita tetap wajib menghormatinya - jika apa yang mereka katakan bersandar pada keterangan ulama.

    BalasHapus
  5. hehe.. ustadz argentina-> bisa dagelan jg ustadz?..

    Btw gambar telunjuknya gak ada yg tangan kanan tadz?
    masa' itu tangan kiri ?..:)

    BalasHapus
  6. sudah saya ganti. terima kasih masukannya.

    BalasHapus
  7. Assalamu'alaikum warohmatulloh,
    Pak Ustadz, kapan kita mulai menggerakkan telunjuk tsb, apakah dari awal tasyahud, atau ketika mulai berdoa?
    Yg kedua, Apakah ada penjelasan yg spesifik tentang cara menggerakkannya (misalnya mengangkat telunjuk disetiap doa).

    Wassalam,
    Abu Furqon

    BalasHapus
  8. Bukanya A'masy(riwayat Baihaqi) itu mutabi'nya Sufyan tadz sebagaimana Syu'bah,Dan bukan mutabi'nya AbdurRazzak.?

    BalasHapus
  9. @Abu Furqon,... dari awal tasyahud. Cara menggerakkannya, silakan lihat video di atas.

    #######

    @Anonim 24 Februari 2012 22:51, antum teliti. Benar kata antum bahwa Al-A'masy itu menjadi penguat (mutaabi') dari Ats-Tsauriy dalam periwayat dari Abu Ishaaq As-Sabi'iy. Kritik antum menjadi koreksi bagi saya dan segera saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan.

    BalasHapus
  10. Assalamu'alaikum Ustd. Afwan yg ana bca dr buku sifat shlat Al Abani bhw hadits gerakan jari telunjuk dlm tasyahud lebih ditakuti setan drpda pukulan dr besi. HR. Ahmad& Bukhori. syukron

    BalasHapus
  11. Menggerak-Gerakkan Jari ketika Tasyahud itu Makruh


    Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1 halaman 220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat, batal sholat seseorang apabila dia menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dari Abdullah bin Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

    Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.

    Dalam kitab Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk, hal ini demi ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitupula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk.Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Di antara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya di dalam sholat”.

    Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk ketika telah terangkat demi ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi di dalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

    Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk, hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan: ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafi’kan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.

    Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i)

    Hadits ini mengandung syadz, karena lafazh “yuharrikuha” tidak terdapat dalam riwayat yang dibawakan oleh 22 perawi lainnya dari Wa’il bin Hujr.

    BalasHapus
  12. Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa:“Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya diriwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi (Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).

    Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247: “Hadits ‘Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan’ adalah hadits maudhu’.”

    Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Ad-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra. jika (melakukan) sholat, dia berisyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, “Rasullah saw. bersabda: ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan dari pada besi’.”

    Jadi dalam hadits tersebut tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’ yang kemudian pandangan beliau tidak melebihi ujung telunjuknya. Jadi, ketika jari telunjuk itu telah terangkat, maka pandangan mata beralih dari tempat sujud dan melirik kepada ujung jari telunjuk atau pada tempat di jari telunjuk yang menempel padanya kuku.

    Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekalipun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya.

    Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan: “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling kepada riwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana).”

    Al-Hafizh ibnul Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashor Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.

    Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai zhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Abdullah bin Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk.

    Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut: “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik di situ adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits ibnu Zubair.”

    Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah “illallah” ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang.

    BalasHapus
  13. Artikel di atas sekaligus menjawab komentar antum.

    BalasHapus
  14. jadi bingung..

    Maaff ustadz, tolong dijelaskan yang mana yang lebih rajih.

    sebagai orang awam, saya bingung, yang ini memegang pendapat ulama ini, yang satunya kuekueh dengan ulama lain,

    Salah & dosakah saya ikuti salah satunya dan meninggalkan yang lain?

    syukron,
    muslim baru belajar

    BalasHapus
  15. Yang raajih - wallaahu a'lam -, disyari'atkan menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud.

    Tidak berdosa mengambil satu pendapat yang rajih dan meninggalkan pendapat yang marjuh (lemah).

    BalasHapus
  16. ustadz apa syaikh alalbani punya salaf dalam masalah tatacara menggerak-gerakkan telunjuk seperti video diatas? setahu saya mazhab maliki yang berpendapat menggerak-gerakkan telunjuk tatacaranya dengan menggerak-gerakkan kesamping.

    BalasHapus