Tanya : Apakah boleh berdiri untuk lagu kebangsaan dan hormat kepada bendera ?
Jawab : Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ataupun masa Al-Khulafaaur-Raasyiduun radliyallaahu ’anhum. Ia juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata serta merupakan sarana menuju kesyirikan. Di samping itu, ia merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaqlidi tradisi mereka yang jelek, serta menyamai mereka dalam sikap berlebih-lebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. [1] Wabillaahit-taufiq, washallallaahu ’alaih Nabiyyinaa Muhammad wa Aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Jawaban diambiil dari Fataawa Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ hal. 149 melalui kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fatawa ’Ulama Al-Baladil-Haram oleh Khalid Al-Juraisy – repro dari sumber yang telah bertebaran].
Catatan kecil dari Admin Blog :
Mereka yang menjawab adalah para ulama besar resmi yang ditunjuk oleh kerajaan Saudi Arabia. Jawaban dan fatwa ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan ’nasionalisme’ dan semisalnya sebagaimana dikatakan sebagian kalangan.
Ada yang mengatakan bahwa fatwa ini adalah fatwa sesat yang tidak punya sandaran. Berhati-hatilah wahai saudaraku, pelan-pelanlah dalam berbicara, renungkanlah sejenak apa yang hendak saya sampaikan.
Allah ta’ala berfirman tentang manusia :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” [QS. Al-Israa’ : 70].
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [QS. At-Tiin : 4].
Melalui dua ayat ini Allah ta’ala ingin menjelaskan pada kita bahwa kita, manusia, adalah makhluk Allah yang kedudukan yang sangat mulia. Ia lebih mulia daripada dunia dan seisinya. Terlebih lagi mereka yang beriman kepada Allah ta’ala.
Satu hari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memandang Ka’bah, kiblat kaum muslimin, dengan rasa takjub. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
مَرْحَبًا بِكِ مِنْ بَيْتٍ مَا أَعْظَمَكِ، وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ
”Selamat datang wahai Ka’bah, betapa agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi orang mukmin lebih agung di sisi Allah daripadamu” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan, no. 4014; shahih].
Bahkan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ "
”Lenyapnya/hancurnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3987; shahih].
Artinya, dunia, betapapun hebat dan tergantungnya manusia kepadanya, tidak akan mampu mengalahkan kemuliaan seorang yang beriman di mata Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan kita. Dan di antara manusia ciptaan Allah tersebut, adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam yang menduduki puncak martabat kemuliaan. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ، وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
”Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat kelak. Aku adalah orang yang muncul (dibangkitkan) lebih dahulu dari kuburan, paling dahulu memberi syafa'at, paling dahulu dibenarkan memberi syafa'at” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2278].
Akan tetapi, dengan segala kemuliaan beliau di mata kita, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ridlaa jika ada shahabatnya berdiri menghormati beliau. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam memberikan peringatan :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
”Barangsiapa yang suka dihormati manusia dengan cara berdiri, hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adab no. 977, Abu Dawud no. 5226; dan lain-lain – shahih].
Anas bin Malik pun melaporkan bagaimana keadaan para shahabat berkaitan dengannya :
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
”Tidak ada seorangpun yang lebih dicintai oleh para shahabat daripada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Akan tetapi, bila mereka melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau, sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2754; shahih].
Dengan melihat contoh dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam di atas – dan beliau adalah sebaik-baik contoh – apakah boleh kita meng-iya-kan seandainya ada orang yang menyuruh kita menghormati orang lain dengan berdiri, betapapun tinggi pangkat dan kedudukannya di mata manusia ? – sementara para shahabat saja tidak pernah melakukannya kepada pemimpin Bani Adam ?. Atau dengan bahasa lain : Bolehkah kita menolak permintaan tersebut wahai saudaraku ?.
Seandainya jawabanmu seperti jawabanku,...... lantas bagaimana keadaannya jika hal itu diberikan kepada benda mati ?.
Saudaraku,.... sungguh hati ini sangat ingin seandainya engkau bersama kami dalam alasan ini. Namun seandainya engkau tidak bersama kami,... kami mohon, dengan menyebut nama Allah ta’ala yang telah menciptakan kita, minimal engkau dapat memahami dan tidak memaksakan sesuatu yang tidak kami maui karena Allah ta’ala.
Kami enggan bukan karena kami ingin menjadi pahlawan. Kami enggan bukan karena kami ingin menjadi pemberontak. Kami enggan bukan karena kami tidak cinta. Kami enggan bukan pula karena kami tidak hormat. Namun kami enggan karena syari’at agama yang sangat kami cintai melarangnya.
Semoga sedikit yang dituliskan ini dapat menjadi bahan perenungan kita bersama. Mohon dimaafkan apabila tidak sopan bertutur kata.
Admin – 1432 H.
Assalamu'alaikum,
BalasHapusAfwan ustadz, satu lagi permasalahan yang ustadz berbeda pendapat dengan ustadz Aris (http://ustadzaris.com/hukum-hormat-bendera). Benar-benar berbeda baik dari inti masalah yaitu "hormat bendera" maupun latar belakang yaitu salah satunya mengenai berdiri untuk menghormati seseorang. Tanpa bermaksud memuji, saya merasa lebih sreg dengan pendapat ustadz Abul Jauzaa. Dan tanpa mengurangi hormat saya kepada ustadz Aris, saya masih belum bisa memahami ketika dalam beberapa hal beliau memiliki pendapat yang agak berbeda/tidak biasa (dalam persepsi saya yang awam ini), namun tentunya beliau juga punya argumen dan dalil yang kuat. Semoga Allah senantiasa merahmati ustadz berdua dan segenap kaum muslimin yang istiqomah di atas Qur'an dan sunnah yang lurus.
terakhir tadi baca di http://www.det*kn*ws..com/read/2011/06/08/135703/1655822/10/sd-al-bani-akan-selenggarakan-lagi-upacara-bendera
BalasHapusapa hal ini masuk dalam bab taat pada ulil amri atau gimana ustadz?
semoga Allah membalas penulis blog ini dengan kebaikan d akhirat...
BalasHapussaatnya nge-print dan saya tempel di dinding kamar...(moga2 bapak sama Ibu saya faham atas penjelasan artikel ini )
boleh share di note Fb ya tadz ?
Ini harus dishare di FB...minta izin ya pak ustadz.
BalasHapusJazakallaahu Khairan Ustadz atas penjelasannya. Semoga kita selalu istiqomah di atas manhaj ini.
BalasHapusMohon maaf, kalau di kantor Ustadz Abul-Jauzaa' sendiri jika ada upacara bendera, bagaimana sikap Ustadz menghadapinya?
Perkara seperti ini menurut aku sih masuk ranah ijtihad , tergantung siapa yang memaknai .
BalasHapusSebagai pembanding - bukan sebagai penentang ada baiknya dibaca juga apa yang di tulis oleh syaikh Abdul Muhsin bin Nashir alu Ubaikan.
http://al-obeikan.com/article/
Itu fatwanya ulama wahabi, ga aneh. Org yg ziarah kubur ke makam nabi aja dibid'ahkan, org yg berdo'a menghadap kubur nabi daianggap musryirk. Fatwa ini belum tentu mewakili umat Islam secara universal. Apalagi Saudi Arabiyah BUKAN negara yg menegakkan syareat Islam secara menyeluruh, lihat saja sistem pemerintahannya aja KERAJAAN, masa asa syawa (musyawarah) mufakat utk mengangkat khalifah, ga ada itu ga ada.... (gaya pelayak opera)
BalasHapus@Kau. komentarmu menunjukkan kurangnya "Kau" terhadap Ilmu, baca, pahami, bandingkan, terus cari kebenaran... Ingat!! jangan asal bunyi... Semoga Allah Memberikan Petunjuk kepada kita semua...
BalasHapusWahabi melarang ziarah kubur?Ziarah jika disitu ada hal2 yang berbau kemusyrikan memohon kepada Wali dsb bukan hanya wahabi,semua umat Islam juga benar juga melarangnya.@kau benar2 menunjukan siapa dirimu & kepahamanmu.
BalasHapusPerbedaan abul jauzaa dan Ustadz Aris tidak masalah. Selama masing-masing mengatakan atas dasar ilmu kemudian beramal sesuai yang difahaminya. Tidak beramal dulu kemudian mencari-cari ilmu yang sesuai dengan amalannya itu.
BalasHapusAssalamualaykum ustadz, saya minta ijin utk ditaruh di blog kami,syukron wa jazaa kallohu khoiron
BalasHapusYang menarik untuk diketahui sejauh mana pihak kerajaan Saudi yg menunjuk para ulama tsb untuk berfatwa konsisten untuk mematuhi dan mengamalkan fatwa tsb termasuk pihak pasukan tentara kerajaan.
BalasHapusMenurut saya, sebenarnya yang perlu kita (Anda dan saya) cermati adalah bagaimana kekonsistenan para ulama Saudi dalam fatwa ini. Dan alhamdulillah, sampai hari ini mereka (para ulama yang memfatwakan larangan berdiri hormat bendera) masih konsisten. Tidak pernah terdengarpun satu khabar mereka ikut-ikutan latah dengan orang awamnya.
BalasHapusOleh karena itu, kita harus membedakan bagaimana sikap seorang pemberi fatwa dengan orang yang diberi fatwa.
Janganlah jauh-jauh di Saudi,... di negeri kita ini, MUI. Ketika mereka berfatwa haram hukumnya ikut perayaan Natal dan mengucapkan selamat hari raya Natal, bagaimana praktek yang lakukan oleh pihak yang diberi fatwa (yaitu kaum muslimin Indonesia) ?. Pemerintah dan rakyatnya ?. Ketika MUI memberikan fatwa haram rokok, bagaimana sikap pihak yang diberi fatwa ?. Ketika MUI dari dulu menolak secara tegas paham Ahmadiyyah dan menyatakan kesesatannya, bagaimana sikap orang yang diberi fatwa ?. Bahkan sampai hari ini.....
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada mereka semua.
Pencermatan kita menyangkut "sikap seorang pemberi fatwa" dengan "orang yang diberi fatwa" semestinya kita tempatkan pada posisi yg seimbang. Sikap konsisten para ulama dalam fatwa-fatwa mereka itu mencerminkan "integritas" mereka sebagai ulama. Adapun diabaikannya atau tidak fatwa tersebut oleh pihak "yg diberi fatwa" itu mencerminkan "kredibilitas" mereka ditengah2 kaum muslimin. Berharap fatwa mereka mampu men-sibghoh kaum muslimin diluar lingkungan jazirah sangat ditentukan oleh sikap penerimaan atas fatwa tsb oleh pihak Kerajaan Saudi. Contoh yg antum kemukakan ttg realita Ulama di Indonesia, ana rasa cukup dapat kita jadikan i'tibar untuk mengukur sejauh mana fatwa tersebut mampu memberi pengaruh diluar batas wilayah tempat mereka mengeluarkan fatwa.
BalasHapussy tdk pernah melihat para ulama saudi upacara bendera dan kalo itu terjadi tentunya ada berita tsb..dng tdk mengikuti upacara, maka para ulama saudi telah konsisten. Perkara ulil amry saudi menerapkan upacara itu perkara lain. itulah kehendak amir saudi. hanya saja, para ulama saudi tdk pernah bhenti menasihati ..secara diam diam tanpa perlu ada publikasi sesuai perintah nabi muhammad saw utk menasihati ulil amri secara tersembunyi. wallahu alam.
BalasHapuskemudian utk masalah bendera..sekolah albani memutuskan utk menerapkan upacara untuk menghindari mudharat besar, yaitu berdampak terputusnya pendidikan sekolah berbasis pemahaman salaful ummah. dan sy secara pribadi berpendapat, slama hati menyakini bahwa upacara bendera adalah perkara salah, kemudian bisa menjadi keterpaksaan utk menghindari mudarat besar yaitu terhalangi hak beribadah, maka upacara bendera tetap bs dikerjakan. mungkin kasus yg sama dng analogi pajak. wallahu alam.
BalasHapus@Anonim,....
BalasHapusLingkup agama berupa pemberian fatwa seorang 'alim tidaklah terkungkung oleh batas wilayah administrasi. Oleh karena itu, ulama dimanapun mereka berada adalah tetap ulama. Mereka tetaplah tempat rujukan untuk bertanya masalah agama. Allah ta'ala berfirman :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
Jika Anda perhatikan, pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kantor Lajnah Daaimah (ataupun yang dilayangkan kepada Haiah Kibaarul-'Ulamaa) tidak terbatas berasal dari Saudi saja. Begitu juga para ulama Al-Azhar, Mesir.
Adapun integritas ulama tidaklah diukur bagaimana pandangan masyarakat awam kepada ulama. Ketika MUI mengharamkan rokok, lihat saja bagaimana reaksi masyarakat awam (baca : bodoh) akan fatwa tersebut. Oleh karena itu, integritas dan kredibilitas ulama hanyalah diukur melalui barometer agama dan menurut pandangan ulama juga.
@Hendra
BalasHapusjika antum menelusuri seluruh artikel pada web ustadz Aris, tentang tema ini, dan juga komentar2 beliau, perbedaan mencolok yang antum sangkakan bisa saja berubah,
MANA KOMENTAR SAYA ????????/ WAHABI SELALU BEGINI. TIDAK BISA DISKUSI ILMIYAH. SY. SILAKAN PLOTOTI PROYEK2 SAUDI ARABIYAH, PABRIK WAHABI. HAMPIR SEBAGIAN BESAR PENINGGALAN NABI HABIS. BAHKAN TEMPAT SA’I DIUBAH. TULISAN SHOLAWAT DI DINDING KA’BAH DIGANTI DENGAN NAMA RAJANYA. KITAB2 ULAMA BESAR DIACAK2. SAYA BISA TUNJUKAN LEBIH BANYAK LAGI. KALAU PEMILIK WEB INI MAU OBJEKTIF MEMPUBLISH SELURUH KOMENTAR SAYA….
BalasHapus@Anonim berkata...
BalasHapusOrang yg berilmu tdk akan membid'ah2 akn umat Islam lainnya.... Sy di sini hanya ingin mengajak saudara2 ku ini utk BERHENTI berburuk sangka kepada umat Islam yg berziarah kubur. Sy ini ahli ziarah, tpi TIDAK pernah menjadikan kuburan sebagai Tuhan atau tempat ibadah. Sy bertawassul, tpi tdk pernah menyanjung nabi melebih Allah. Tanyakan kpda org yg berziarah, apakah mereka menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah???????
Kepada org tua sy menghimbau, jaga2 Anak2 Anak jangan sampai ikut ajaran wahabi karena Anda akan rugi dunia akhirat. Di dunia Anda mendidik anak2 utk taat kpada org tua, tpi setelah Anda meninggal anak2 Anda tdk mau mendo'akan Anda, tdk mau menziarahi Anda, tdk mau membacakan Al-Qur'an di sisi kubur Anda, dll. Mengapa???? Karena wahabi menganggap ini BID'AH dan SYIRIK... Hati2....
Mas @Kau, apa yang Anda maksudkan ? Coba, Anda latihan dulu berkomentar yang baik. Kritik pedas tidak apa-apa, asalkan yang sehat, cerdas, dan beradab. Maaf, komentar Anda belum menunjukkan standar itu.
BalasHapusKalau Anda ziarah kubur tidak pernah menjadikan kuburan sebagai Tuhan dan tempat ibadah, ya syukurlah. Saya senang sekali mendengarnya. Dan memang itulah yang 'diperingatkan' oleh Wahabi. Jadi, kalau Anda tidak merasa masuk dalam apa yang 'diperingatkan' oleh Wahabi, kenapa Anda mencak-mencak seperti itu ?. Atau Anda menulis kalimat di atas habis bangun tidur ya ?.
hahahahahaha...... fatwa aneh wong ini masalah nasionalisme dan ini masalah adab kaitan dengan ta'dhim bukan ta'bid, sama dunk dengan saya shalat menghadap tembok berarti saya menyembah tembok ya, wakakakakakaka........... sangat aneh
BalasHapusSaya kira, omongan tidak cerdas Anda sudah tercover jawabannya dalam artikel di atas.
BalasHapusorang bodohpun tahu upacara bendera bukanlah bentuk penyembahan, kenapa kok dilarang, ini kasus sama dengan penghormatan kepada tamu2 negara dl KSA dihormati dengan kemiliteran, hehehehehehe....... wah kacau dan ngawur fatwa ini, kalau khusus KSA gpplah, hahahahahah.....JUMUD
BalasHapus