04 Juni 2011

Faedah Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy : ‘Udzur karena Baru Masuk Islam

Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حدثنا سعيد بن عبد الرحمن المخزومي حدثنا سفيان عن الزهري عن سنان بن أبي سنان عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها أسلحتهم فقالوا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى الله عليه وسلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى أجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari Sinaan bin Abi Sinaan, dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya pedang-pedang mereka. Mereka (para shahabat) berkata : “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” [Sunan At-Tirmidziy no. 2180. At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443, ‘Abdurrazzaaq no. 20763, Al-Humaidiy no. 871, Ibnu Abi Syaibah 15/101, Ahmad 5/218, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/no. 2338, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 76, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11185, Abu Ya’laa no. 1441, Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya 9/45, Ibnu Hibbaan no. 6702, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3290-3294.
Dalam riwayat Ahmad, disebutkan lafadh permintaan shahabat:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ، وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا
Wahai Nabi Allah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana orang kafir mempunyai Dzaatu Anwaath. Orang-orang kafir menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut seraya beri’tikaf di sekelilingnya”.
Dalam riwayat lain disebutkan peristiwa itu adalah ketika keberangkatan pasukan menuju Hunain, bukan Khaibar:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، ولِلْمُشْرِكِينَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُونَ عِنْدَهَا، ويَنُوطُونَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، قَالَ: فَمَرَرْنَا بِالسِّدْرَةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain, dan kami ketika itu baru saja keluar dari kekafiran. Dan waktu itu, orang-orang musyrik mempunyai satu pohon bidara yang sering mereka pergunakan untuk beri’tikaf di sekitarnya, dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya. Pohon itu bernama Dzaatu Anwaath. Lalu kami melewati pohon tersebut, dan kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3291; shahih].
Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits tersebut, antara lain :
1.     Para shahabat yang bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam baru masuk Islam, dimana ada pada mereka keimanan dan iltizam kepada ketauhidan yang bersifat umum (mujmal). Ini nampak pada perkataan Abu Waaqid yang disebutkan dalam sebagian riwayat :
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بحنين، ونحن حدثو عهد بكفر
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Hunain yang waktu itu kami baru saja lepas dari kekufuran” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443].
2.     Perkataan mereka untuk minta dibuatkan Dzaatu Anwaath adalah perkataan yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersumpah bahwa perkataan mereka itu sama dengan perkataan yang diucapkan kaum Nabi Musa (Bani Israaiil); namun mereka (para shahabat) tidaklah dikafirkan karena mereka baru saja masuk Islam. Belum sampai kepada mereka penjelasan tentang ketauhidan yang dapat menghindarkan mereka dari perbuatan syirik tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ * إِنَّ هَؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
Dan Kami seberangkan Bani Israaiil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israaiil berkata : "Wahai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat“ [QS. Al-A’raaf : 138-140].
Ibnu Katsiir rahimahulllah menjelaskan tentang perkataan Musa : ‘Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui’; ia berkata:
أي: تجهلون عظمة الله وجلاله، وما يجب أن ينزه عنه من الشريك والمثيل
“Yaitu : tidak mengetahui kebesaran Allah dan keagungan-Nya, dan kewajiban untuk menyucikan-Nya dari sekutu dan tandingan” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/467].
Hal semisal juga dikatakan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah dalam Jaami’ul-Bayaan (13/80).
Abu Bakr Ath-Thurthuusiy rahimahullah berkata tentang Dzaatu Anwaath:
فانظروا رحمكم الله أينما وجدتم سدرة أو شجرة يقصدها الناس ويعظمون من شأنها ويرجون البرء والشفاء من قبلها وينوطون بها المسامير والخرق فاقطعوها فهي ذات أنواط
“Maka lihatlah - semoga Allah merahmati kalian - dimana saja kalian mendapati pohon yang dituju oleh manusia, dan mereka mengagungkannya, mengharapkan kesembuhan darinya, dan mereka menancapkan paku-paku dan kain-kain padanya, maka tebanglah, karena itu adalah Dzaatu Anwath” [Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits, hal. 26-27].
Para shahabat yang meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk dibuatkan Dzaatu Anwaath baru saja terlepas dari kekafiran, dan kekafiran yang mereka tinggalkan pada masa Jaahilyyah adalah jenis kekafiran akbar berupa penyembahan terhadap berbagai sesembahan selain Allah. Permintaan mereka untuk membuatkan Dzaatu Anwaath didasari pengetahuan bahwa pohon tersebut merupakan sesembahan orang-orang musyrik dan mereka (orang musyrik) sering bertabarruk dengannya.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Hasan rahimahullah berkata :
إن الاعتبار في الأحكام بالمعاني لا بالأسماء ولهذا جعل النبي صلى الله عليه و سلم طلبتهم كطلبة بني إسرائيل ولم يلتفت إلى كونهم سموها ذات أنواط فالمشرك مشرك وإن سمى شركه ما سماه كمن يسمى دعاء الأموات والذبح والنذر لهم ونحو ذلك تعظيما ومحبة فإن ذلك هو الشرك وإن سماه ما سماه
Sesungguhnya yang dianggap dalam hukum itu adalah makna-maknanya, bukan nama-namanya. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan permintaan mereka (para shahabat) seperti permintaan Bani Israaiil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat keadaan mereka yang menamakannya dengan Dzaatu Anwaath. Orang musyrik tetaplah musyrik meskipun mereka menamakan berhala yang mereka jadikan sekutu itu dengan nama apa saja yang mereka kehendaki. Seperti halnya orang yang menamakan doa, sembelihan, nadzar mereka atau yang lainnya kepada orang yang telah mati dengan sebutan pengagungan dan kecintaan, karena itu semua merupakan kesyirikan meskipun mereka menamakannya dengan nama apa saja yang mereka kehendaki” [Fathul-Majiid, hal. 145].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
التبرك بالأشجار والآثار والبنايات: والتبرك معناه طلب البركة ورجاؤها واعتقادها في تلك الأشياء.
وحكمه أنه شرك أكبر؛ لأنه تعلق على غير الله سبحانه في حصول البركة،....
“Tabarruk dengan pohon-pohon, atsar-atsar, dan bangunan-bangunan. Tabarruk maknanya adalah mencari barakah, mengharapkannya, dan meyakininya pada sesuatu tersebut. Hukumnya syirik akbar, karena ia telah bergantung kepada selain Allah subhaanahu wa ta'ala dalam hal mendapatkan barakah.……” [Al-Irsyaad, hal. 100].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
ليس ما طلبوه من الشرك الأصغر، ولو كان منه، لما جعله النبي صلى الله عليه وسلم نظير قول بني إسرائيل {اجْعَل لَنَا إِلَهاًَ} وأقسم على ذلك، بل هو من الشرك الأكبر، كما أن لا طلبه بنو إسرائيل من الأكبر، وإنما لم يكفروا بطلبهم؛ لأنهم حدثاء عهد الإسلام
“Apa yang mereka (para shahabat) minta itu bukanlah syirik ashghar - meskipun hal itu termasuk bagian darinya – karena ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakannya dengan perkataan Bani Israaiil ‘buatkanlah kami tuhan-tuhan’, dan beliau bersumpah mengenai hal itu. Bahkan, perbuatan mereka itu termasuk syirik akbar – sebagaimana permintaan Bani Israaiil juga termasuk syirik akbar. Hanya saja mereka (para shahabat) tidak dikafirkan dengan permintaannya karena mereka termasuk orang-orang yang baru saja masuk Islam” [Fathul-Majiid, hal. 146].
3.     Adanya ketetapan untuk melaksanakan kesyirikan setelah ditegakkannya hujjah adalah kekufuran. Seandainya orang yang melakukan kesyirikan telah dilarang dari perbuatan tersebut dan juga telah dijelaskan kepadanya tentang hukum melakukan perbuatan tersebut termasuk kesyirikan, namun ia tidak berhenti darinya; maka ia dikafirkan. Berhenti dari perbuatan syirik dengan menerima hujjah setelah adanya kebodohan, merupakan sebab peniadaan pengkafiran.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :
لا خلاف في أن الذين نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم لو لم يطيعوه واتخذوا ذات أنواط بعد نهيه، لكفروا، وهذا هو المطلوب. ولكن القصة تفيد أن المسلم بل العالم قد يقع في أنواع من الشرك وهو لا يدري عنها، فتفيد لزوم التعلّم والتحرّر.... وتفيد أيضاًَ أن المسلم المجتهد إذا تكلّم بكلام كفر وهو لا يدري فنُبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر، كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى اللهي عليه وسلم
“Tidak ada khilaaf (perbedaan pendapat) pada orang-orang yang telah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam larang, seandainya mereka tidak mentaati beliau dan malah menjadikan Dzaatu Anwaath (sebagai tuhan) setelah adanya larangan beliau tersebut, akan menjadi kafir. Inilah yang dituntut. Akan tetapi kisah ini mengandung faedah, bahwasannya seorang muslim – bahkan seorang ‘aalim sekalipun – kadangkala terjatuh dalam kesyirikan tanpa disadari/diketahuinya, sehingga sangatlah penting untuk belajar dan membebaskan diri dari kebodohan….. Kisah ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid apabila berkata-kata dengan perkataan yang mengandung kekufuran tanpa ia sadari/ketahui, lalu ia diperingatkan darinya sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga; maka tidak dikafirkan, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Bani Israaiil dan orang-orang yang meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (agar dibuatkan Dzaatu Anwaath)” [Kasyfusy-Syubuhaat (Majmuu’atut-Tauhiid), hal. 285].
Hukum bagi orang-orang yang baru masuk Islam ini berlaku umum, karena yang menjadi acuan adalah keumuman lafadhnya, bukan kekhususan sebabnya. Oleh karena itu, hukum bagi mereka juga disamakan dengan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil atau pedalaman atau daerah yang jauh dari ilmu dan diliputi kebodohan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah :
حدثنا محمد بن داود بن سفيان ثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة : أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث أبا جهم بن حذيفة مصدقا فلاجه رجل في صدقته فضربه أبو جهم فشجه فأتوا النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا القود يا رسول الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لكم كذا وكذا فلم يرضوا فقال لكم كذا وكذا فلم يرضوا فقال لكم كذا وكذا فرضوا فقال النبي صلى الله عليه وسلم إني خاطب العشية على الناس ومخبرهم برضاكم فقالوا نعم فخطب رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إن هؤلاء الليثيين أتوني يريدون القود فعرضت عليهم كذا وكذا فرضوا أرضيتم قالوا لا فهم المهاجرون بهم فأمرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يكفوا عنهم فكفوا ثم دعاهم فزادهم فقال أرضيتم فقالوا نعم قال إني خاطب على الناس ومخبرهم برضاكم قالوا نعم فخطب النبي صلى الله عليه وسلم فقال أرضيتم قالوا نعم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Daawud bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah untuk memungut shadaqah (zakat). Maka, ada seorang laki-laki menolak untuk memberikan shadaqah sehingga Abu Jahm memukulnya yang mengakibatkannya terluka. Kemudian mereka mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Ia harus diqishash wahai Rasulullah”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagi kalian adalah demikian dan demikian”. Namun mereka menolaknya. Beliau kembali bersabda : “Bagi kalian adalah demikian dan demikian”. Mereka masih menolaknya. Beliau kembali bersabda : "Kalau begitu, bagi kalian adalah demikian dan demikian". Mereka akhirnya menerimanya. Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhutbah nanti sore kepada orang-orang dan mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Ya”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan bersabda : “Sesungguhnya mereka orang-orang Bani Laits mendatangiku menuntut ditegakkannya qishash. Lalu aku menawarkan kepada mereka demikian dan demikian. Mereka menerimanya. Apakah kalian menerimanya[1][1] ?”. Mereka menjawab : “Tidak”. Maka orang-orang Muhaajirin berniat akan melakukan sesuatu kepada mereka. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Muhaajirin) untuk menahan diri agar tidak melakukan sesuatu kepada mereka. Orang-orang Muhaajirin pun menahan diri. Kemudian beliau memanggil mereka dan menambahkan kepada mereka (diyaat-nya). Beliau bertanya : “Apakah kalian menerimanya ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada orang-orang dan mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka menjawab : “Ya”. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dan bersabda : “Apakah kalian menerimanya ?”. Mereka menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4534; shahih].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
في هذا الخبر عذر الجاهل، وأنه لا يخرج من الإسلام بما لو فعله العالم الذي قامت عليه الحجة لكان كافراً؛ لأن هؤلاء الليثيين كذبوا النبي صلى اله عليه وسلم، وتكذيبه كفر مجرّد بلا خلاف، لكنهم بجهلهم وأعرابيتهم عذروا بالجهالة، فلم يكفروا
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang ‘udzur bagi orang yang jaahil, dan bahwasannya ia tidak keluar dari Islam dengan sesuatu yang jika hal itu dilakukan oleh seorang ‘aalim yang telah ditegakkan padanya hujjah niscaya akan menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang-orang Bani Laits telah mendustakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal mendustakan beliau itu adalah kekufuran tanpa ada perselisihan. Akan tetapi mereka, dikarenakan kejahilan mereka dan juga mereka termasuk orang-orang Arab pedalaman, diberikan ‘udzur karena faktor kejahilan, sehingga tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 10/410-411].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول، ولهذا جاء في الحديث‏:‏ ‏(‏يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة ولا زكاة ولا صومًا ولا حجًا إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة، يقول‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله. فقيل ِلحذيفة بن اليمان : ما تغني عنهم لا إله إلا الله ؟. فقال : تنجيهم من النار‏)‏‏.‏
“Dan banyak sekali di antara manusia hidup pada tempat dan jaman dimana banyak ilmu-ilmu nubuwwaat banyak yang hilang, hingga tidak ada orang yang menyampaikan apa-apa yang Allah utus dengannya kepada Rasul-Nya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka, mereka tidak mengetahui banyak hal tentang apa-apa yang Allah utus dengannya Rasul-Nya karena tidak ada orang yang menyampaikannya. Orang yang semacam ini tidaklah dikafirkan. Oleh karena itu, umat telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang hidup di daerah yang jauh dari ahlul-‘ilmi wal-iman, dan ia juga termasuk orang yang baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum dhahir dan mutawatir, maka ia tidak dihukumi dengan kekafiran hingga ia mengetahui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu sesuai dengan dengan hadits : “Akan datang satu jaman di tengah-tengah manusia yang tidak diketahui padanya shalat, zakat, puasa, dan haji, kecuali seorang laki-laki tua dan lemah yang mengatakan : ‘Kami mendapati bapak-bapak kami mengatakan : Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah)”. Dikatakan kepada Hudzaifah bin Al-Yamaan : “Apakah Laa ilaha illallaah itu mencukupi mereka (untuk selamat dari neraka) ?”. Hudzaifah menjawab : “Kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari neraka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/408].
Hal yang sangat dekat dengan ketentuan tersebut adalah orang yang hidup pada lingkungan yang didominasi bid’ah, jauh dari pemahaman agama yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta tidak ditemukan padanya selain ulama yang melakukan bid’ah dan penyimpangan sehingga tidak diketahui syari’at agama dan peribadahan melainkan dari mereka. Kenyataan ini banyak terjadi di negeri-negeri muslim pada saat ini…..
[selesai – mengambil faedah dari buku Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Al-Ma’aasy, hal. 424-428, isyraaf : Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417; dengan beberapa tambahan – revisi : 11122014].




[1]      Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada mereka (orang-orang Bani Laits) tentang keridlaan yang telah mereka nyatakan sebelumnya.– Abul-Jauzaa’

2 komentar:

  1. "Mereka akhirnya menerimanya menolaknya."
    Afwan ustadz, ada terjemahan yang kurang tepat pada hadits Aisyah ttg Abu Jahm. mungkin bisa dikoreksi.

    BalasHapus
  2. Terima kasih. Ada kata : menolaknya yang belum saya delete.

    Telah saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan atas masukannya.

    BalasHapus