Abul-Jauzaa’ (10/308334/PKT/00943)
Definisi
Banyak ahli berbeda pendapat kapan istilah ekowisata ini dimunculkan. Hetzer (1965) sebagaimana disitir Fennel (1999) dan Blamey (2001), telah menggunakan istilah yang mirip ketika ia memperkenalkan empat prinsip wisata bertanggung jawab (responsible tourism), yaitu meminimalkan dampak lingkungan, menghormati budaya setempat, memaksimalkan manfaat bagi masyarakat lokal, dan memaksimalkan kepuasan wisatawan. Orams (1995) dan Hevenegaard (1994) dalam Fennel (1999) menyatakan istilah itu hanya bisa ditelusuri balik pada akhir tahun 1980-an, sedangkan yang lain (Higgins, 1996) mengatakan istilah itu bisa ditelusuri hingga akhir tahun 1970-an. Namun Fennel (1999) sendiri mengatakan bahwa pernyataan yang secara konsisten ada dalam beberapa literature mendukung fakta Ceballos-Lascurain adalah orang yang pertama kali menggunakan frase ‘ekowisata’ pada awal tahun 1980-an.
Ceballos-Lascurain mendefinisikan ekowisata sebagai : perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Definisi ini mirip dengan yang diberikan The International Ecotourism Society (1990) : suatu bentuk perjalanan wisata ke areal alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat (Fandeli, 2000).
Dalam perkembangannya, ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan, sehingga menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999 dalam Fandeli, 2000). Bahkan ekowisata ini berkembang karena ada latar belakang dan minat terhadap pendidikan, yang kemudian Australian Departement of Tourism mendefinisikannya sebagai wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis (Fandeli, 2000).
Oleh karena itu, berbagai definisi yang diinterpretasikan secara berlainan oleh para ahli tersebut, minimal tidak terlepas dari tiga macam kriteria, yaitu (1) atraksi/daya tarik dominan berbasis alam (nature-based), (2) interaksi pengunjung dengan berbagai atraksi tersebut harus difokuskan pada belajar atau pendidikan, dan (3) pengalaman dan manajemen produk harus mengikuti prinsip-prinsip dan praktek yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi (Gale dan Hill, 2009).
Ekowisata adalah varian khusus dari wisata-wisata yang telah ada, yang menunjukkan adanya integritas, minat, kepedulian, dan tanggung jawab dalam aktifitasnya. Ekowisata bukan menjual destinasi, tetapi menjual filosofi (Fandeli, 2000).
Tabel 1. Tipologi pariwisata
Katagori | Definisi |
Wisata petualangan (adventure tourism) | Suatu bentuk pariwisata yang menggabungkan unsur resiko, tingkat penggunaan tenaga fisik yang lebih tinggi, dan kebutuhan keahlian/skil yang khusus. |
Ekowisata (ecotourism) | Suatu bentuk perjalanan wisata ke areal alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. |
Geo-turisme (geotourism). | Pariwisata yang menopang atau meningkatkan karakter geografis dari suatu tempat yang meliputi lingkungannya, heritage, estetika, budaya, dan kesejahteraan penduduknya. |
Pariwisata massal (mass-tourism) | Pariwisata berskala besar, yang biasanya berhubungan dengan tempat 3S (sea, sand, and sun – laut, pasir, dan matahari) dan beberapa karakteristik seperti kepemilikan transnasional, keuntungan ekonomi langsung minimal kepada komunitas tujuan, kemudahan, dan paket wisata. |
Pariwisata alam (nature-based tourism) | Bentuk lain dari pariwisata yang sangat mengandalkan lingkungan alami untuk daya tarik dan latar/setting-nya |
Pro-poor tourism | Pariwisata yang menghasilkan peningkatan keuntungan bersih bagi masyarakat miskin. |
Pariwisata bertanggung jawab (responsible tourism) | Pariwisata yang memaksimalkan manfaat bagi komunitas lokal, meminimalkan dampak sosial dan lingkungan yang negatif, serta untuk menolong masyarakat lokal untuk mengkonservasi budaya, habitat, dan spesies yang rentan. |
Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) | Pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan para wisatawan dan daerah setempat di waktu kini, sambil melindungi dan meningkatkan peluang di waktu yang akan datang. |
Sumber : The International Ecotourism Society (2006).
Aspek Pendidikan dalam Ekowisata
Ceballos-Lascurain, penemu istilah ekowisata, pernah berkata : “Poin utamanya adalah bahwa orang yang melakukan ekowisata mempunyai peluang untuk menceburkan dirinya di alam dengan cara yang kebanyakan orang tidak bisa menikmatinya dalam rutinitas mereka, dalam kehidupan perkotaan. Orang ini akhirnya akan memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan alam (natural environment), bersama dengan aspek-aspek budayanya, yang akan mengubah [mereka] menjadi seseorang yang begitu terlibat dalam isu-isu konservasi”. Lebih lanjut ia berkata : “…seseorang seringkali melupakan cara dimana ekowisata mendukung konservasi adalah para ekowisatawan itu sendiri, setelah kembali ke tempat asal, ia bertindak sebagai pendukung daerah yang telah dikunjunginya itu” (Sander, 2010).
Apa yang dikemukakan oleh Ceballos-Lascurain di atas menggambarkan pada kita bagaimana pendidikan yang termuat dalam ekowisata. Dengan adanya interaksi antara pengunjung dan objek, kegiatan ekowisata telah berhasil menyampaikan pesan-pesan pendidikan sehingga mereka mengalami perubahan sikap dan pandangannya terhadap lingkungan ke arah positif. Aspek inilah yang banyak dilupakan dalam banyak praktek ekowisata. Bahkan, ia banyak terlewatkan dalam banyak penelitian ekowisata sebagaimana dikatakan oleh Sander (2010).
Pendidikan merupakan proses transmisi informasi (ilmu pengetahuan, ketrampilan, atau nilai) dari satu objek ke objek lainnya. Jennifer Hill (2007) sebagaimana dikutip Sander (2010), dalam penelitiannya terhadap para ekowisatawan pernah memberikan pertanyaan kepada mereka : “Apakah Anda menyukai informasi tambahan selama kunjungan Anda ?”. Sekelompok ekowisatawan yang tanpa dibekali lembar informasi, 76% di antara mereka mengatakan menginginkan informasi tambahan, sementara hanya 27% dari kelompok ekowisatawan yang dibekali lembar informasi, yang menginginkan informasi tambahan. Fakta ini menunjukkan bahwa beberapa ekowisatawan sebenarnya ingin menambah pengetahuan selama aktifitas ekowisata mereka.
Alam merupakan sumber ilmu yang tanpa batas. Keanekaragaman lingkungan (alam, sosial, budaya) dapat menampung pengembangan minat (sense of interst) para wisatawan. Segala sesuatu yang ada di alam dapat langsung diamati (sense of reality), diselidiki (sense of inquiry), dan ditemukan (sense of discovery). Oleh karena itu, pendidikan sifatnya inheren (melekat) dalam ekowisata. Ekowisata harus mencakup komponen pendidikan dan interpretasi aspek alam dan budaya suatu tempat. Pengunjung harus belajar tentang sesuatu, membangun penghargaan terhadap budaya dari tempat yang ia kunjungi, dan juga membangun sebuah pemahaman tentang sifat dan proses-proses alami tempat tersebut, sebagaimana dikemukakan Lipscombe dan Thwaites (2001).
Damayanti dan Handayani (2003) menjelaskan bahwa aspek pendidikan menjadi bagian utama dalam pengelolaan ekowisata karena membawa misi sosial untuk menyadarkan keberadaan manusia, lingkungan, dan akibat yang akan timbul bila terjadi kesalahan dalam manajemen pemberdayaan lingkungan global. Dalam penjabaran misi tersebut seringkali berbenturan dengan perhitungan ekonomis atau terjebak dalam metode pendidikan yang kaku. Salah satu tujuan ekowisata harus mampu menjabarkan nilai kearifan lingkungan dan sekaligus mengajak orang untuk menghargai apapun yang walaupun tampaknya teramat sederhana. Pada hakikatnya dengan kesederhanaan itulah yang menjadi pedoman masyarakat sekitar kawasan wisata mempertahankan kelestarian alamnya.
Seorang ekowisatawan mungkin dapat memperoleh pengetahuan dari pembaurannya dengan lingkungan dan masyarakat. Ia cukup merasa senang ketika memasuki hutan, saat ia mendapatkan informasi tentang strata tajuk hutan, mengapa owa berteriak di pagi hari, mengapa madu hutan berwarna hitam, dan yang lain sebagainya. Atau ketika ia mengunjungi sebuah perkampungan, ia dapat melihat dan mendapatkan informasi bagaimana cara membuat gula merah, cara membajak sawah, interaksi masyarakat di pasar tradisional, dan yang lainnya. Begitu juga sebaliknya, masyarakat akan terdidik dengan adanya transfer pengetahuan dari ekowisatawan kepada mereka, sebagai perwujudan prinsip memberikan manfaat kepada masyarakat lokal (benefits to local communities) (Lipscombe dan Thwaites, 2001). Inilah hubungan timbal balik antara ekowisatawan dengan masyarakat lokal.
Interpreter dalam Bisnis Ekowisata
Proses penyampaian informasi dalam bisnis ekowisata yang profesional, membutuhkan interpreter ekowisatawan yang professional pula. Seorang interpreter merupakan ‘pendidik’ tanpa ia harus berperan sebagai seorang guru. Ia dituntut untuk menguasai informasi tentang objek-objek yang dikunjungi dan kemudian menginterpretasikannya kepada ekowisatawan.
Interpretasi sendiri merupakan proses untuk menyederhanakan ide-ide atau isu-isu yang rumit dan kemudian membaginya dengan masyarakat awam/umum. Suatu interpretasi yang baik adalah suatu interpretasi yang dapat membangun hubungan antara audiens dengan obyek interpretasi. Apabila dilakukan secara efektif, interpretasi dapat digunakan untuk meyakinkan orang lain, dapat mendorong orang lain untuk mengubah cara berpikir dan tingkah laku mereka (Rachmawati, 2008).
Ada beberapa prinsip yang mesti diperhatikan dalam aktifitas interpretasi oleh seorang interpreter, di antaranya (Weiler dan Ham, 2001 - disadur) :
1. Interpretasi bukanlah aktifitas mengajar atau instruksi dalam pengertian akademis.
Meskipun interpretasi mengandung aktifitas pemindahan informasi tentang tempat dan budaya dari interpreter kepada pengunjung (ekowisatawan), namun ia tidaklah seperti seorang guru dalam arti, pengunjung harus menguasai dan mengingat semua informasi yang disampaikan. Karena ekowisatawan tidak bertanggung jawab menguasai informasi, maka motivasi yang harus ditekankan adalah bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan satu pengeluaran berharga dari waktu mereka.
2. Interpretasi harus dapat dinikmati oleh para pengunjung (ekowisatawan).
Meskipun hiburan (entertainment) bukanlah tujuan utama dalam interpretasi, akan tetapi hal itu harus tetap dipertimbangkan sebagai satu tolok ukur kualitas. Seorang ekowisatawan pada hakekatnya tetaplah seorang ‘pencari kesenangan’ (pleasure seekers) dari perjalanan mereka.
3. Interpretasi harus relevan/sesuai bagi pengunjung.
Secara sederhana, seseorang akan memperhatikan sesuatu yang mereka pahami dan pedulikan, karena informasi yang disampaikan oleh interpreter dalam hal ini sangat berarti (meaningful) bagi mereka.
4. Interpretasi harus terorganisasi dengan baik sehingga pengunjung dapat mudah mengikutinya.
Penyampaian informasi dari interpreter kepada pengunjung harus diorganisasikan secara baik dan runtut, sehingga para pengunjung antusias dan dapat menerima dengan baik informasi tersebut tanpa rasa jenuh.
5. Interpretasi harus memiliki suatu tema, bukan sekedar bicara saja (interpretation should have a theme, not just a topic).
Tema merupakan pesan, yang mengandung pernyataan-pernyataan tentang tempat atau yang lainnya. Seorang pemandu yang cakap, akan mempraktekkan thematic interpretation dengan cara menyampaikan pesan-pesan menarik kepada klien mereka tentang tempat yang dikunjungi. Tema merupakan gagasan utuh, kandungan moral dalam cerita, dan pesan utama yang akan dibawa seorang ekowisatawan pulang ke rumah.
Penutup
Ekowisata merupakan salah satu alternative kegiatan wisata yang mendukung spirit konservasi sumberdaya alam. Ia merupakan bisnis yang tidak menitikberatkan pada profit (keuntungan materi) semata, namun lebih kepada benefit (manfaat) secara umum, yang meliputi ekowisatawan, masyarakat (local communities), lingkungan, dan juga pengelola/pelaku bisnis.
Referensi :
Blamey, R.K. 2001. Principles of Ecotourism. Artikel dalam buku : The Encyclopedia of Ecotourism, editor : David B. Weaver. CABI Publishing. New York.
Damayanti, A. dan Handayani, T. 2003. Peluang dan Kendala Pengelolaan Ekowisata Pesisir Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Makalah yang disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Kongres Ikatan Geograf Indonesia (IGI), pada tanggal 17-18 Oktober 2003, di Singaraja.
Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Artikel dalam buku : Pengusahaan Ekowisata, editor : Chafid Fandeli. Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Unit Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta. Yogyakarta.
Fennel, D.A. 1999. Ecotourism : An Introducion. Cetakan Pertama. Routledge. London.
Gale, T. dan Hill, J. 2009. Ecotourism and Environmental Sustainability : An Introduction. Artikel dalam buku : Ecotourism and Environmental Sustainability, Editor : Jennifer Hill dan Tim Gale. Ashgate Publishing Limited. Farnham (UK).
Lipscombe, N. dan Thwaites, R. 2001. Education and Training. Artikel dalam buku : The Encyclopedia of Ecotourism, editor : David B. Weaver. CABI Publishing. New York.
Rachmawati, E. 2008. Teknik Interpretasi. Makalah yang disampaikan pada Pelatihan Fasilitator Lingkungan 2008 : “Memfasilitasi Publik Sebagai Agen Perubahan dalam Pengelolaan Lingkungan Secara Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment, pada tanggal 11-13 Juli 2008 di Bogor.
Sander, B. 2010. The Importance of Education in Ecotourism Ventures. Substantial Research Paper. Universitas Amerika.
The International Ecotourism Society. 2006. TIES Global Ecotourism Fact Sheet. Diunduh dari : http://www.ecotourism.org/atf/cf/%7B82a87c8d-0b56-4149-8b0a-c4aaced1cd38%7D/TIES%20GLOBAL%20ECOTOURISM%20FACT%20SHEET.PDF pada tanggal : 30 Maret 2011.
Weiler, B., dan Ham, S.H. 2001. Tour Guides and Interpretation. Artikel dalam buku : The Encyclopedia of Ecotourism, editor : David B. Weaver. CABI Publishing. New York.
Terima kasih, Ustadz. Ana sedang mencari artikel-artikel yang berhubungan dengan SEKOLAH ALAM dan HOME SCOOLING. Tulisan ini sangat bermanfaat.
BalasHapus'Afwan, kalau boleh ana mengoreksi: kata "merubah", di KBBI ditulis mengubah.
Jazaakallohu khoyron.
Semoga ada manfaatnya...
BalasHapusMengenai koreksi anti, segera saya mengubah-nya. Syukran.
Assalamu'alaikum wrwb,
BalasHapusDari tulisan di atas saya menggaris bawahi kalimat ini: “Poin utamanya adalah bahwa orang yang melakukan ekowisata mempunyai peluang untuk menceburkan dirinya di alam dengan cara yang kebanyakan orang tidak bisa menikmatinya dalam rutinitas mereka, dalam kehidupan perkotaan. Orang ini akhirnya akan memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan alam (natural environment)
Salam kenal ya sohib, kalau ada waktu silahkan mampir ke gubuk saya di www.ekowisata.co.cc
Wassalam..
Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya. Semoga aktifitas ekowisata alam di tanah air semakin maju. Dan semoga, alam yang kita cintai ini semakin lestari.