23 Agustus 2010

Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar Mencabut Fatwanya Tentang Pembayaran Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Menyusui ?

Tanya : Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar meralat pendapatnya tentang pembayaran fidyah bagi wanita hamil dan menyusui ?
Jawab : Sepanjang pengetahuan kami tidak benar klaim atas hal tersebut. Memang benar ada riwayat dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang kewajiban qadla’ sebagai berikut :
عبد الرزاق عن الثوري، وعن ابن جرير عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان، وتقضيان صياماًَ ولا تطعمان.
‘Abdurrazzaaq, dari Ats-Tsauriy[1] dan dari Ibnu Juraij[2], dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 4/218 no. 7564].
Sanad riwayat ini shahih.

Ibnu Hazm juga membawakan riwayat ‘Abdurrazzaaq tersebut dalam Al-Muhallaa, namun tanpa penyebutan Ats-Tsauriy :
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ, وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا، وَلاَ إطْعَامَ عَلَيْهِمَا.
“Sebagaimana yang kami riwayatkan dari jalan ‘Abdurazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari  ‘Athaa’[3], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Wanita yang hamil dan menyusui bolh berbuka di bulan Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah” [Al-Muhallaa, 6/263].[4]
Riwayat ini seakan-akan bertentangan riwayat Ibnu ‘Abbaas yang lain seperti :
أخبرنا إبراهيم بن مرزوق قال ثنا روح قال ثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن عزرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq[5], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh[6], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah[7], dari Qataadah[8], dari ‘Azrah[9], dari Sa’iid bin Jubair[10], dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata : “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].
حدثنا بشر بن معاذ قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قال: ذُكر لنا أن ابن عباس قال، لأم ولد له حبلى أو مرضع: أنت بمنزلة الذين لا يطيقونه، عليك الفداءُ ولا صومَ عليك. هذا إذا خافت على نفسها.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz[11], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid[12], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, ia berkata : Disebutkan kepada kami bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata kepada Ummu Waladnya sedang hamil atau menyusui : “Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu.  Kewajibanmu adalah membayar tebusan (fidyah) tanpa perlu berpuasa”. Ini berlaku jika ia khawatir terhadap dirinya [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/429 no. 2761; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 4/19].
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ عِكْرِمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil[13] : Telah menceritakan kepada kami Abaan[14] : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya ‘Ikrimah[15] telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi wanita hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].
Bagaimana memahami riwayat-riwayat di atas ?
Cara yang paling inshaf dalam memahami riwayat-riwayat yang terlihat bertolak-belakang adalah dengan jalan penjamakan. Dan di sini sangat memungkinkan. Riwayat Ibnu ‘Abbaas yang dibawakan Ibnul-Jaarud dan Ath-Thabariy tentang kebolehan membayar fidyah dijelaskan ‘illat-nya, yaitu jika ada kekhawatiran terhadap dirinya atau anaknya. Adapun riwayat yang dibawakan ‘Abdurrazzaaq tidak dijelaskan. Oleh karena itu, perkataan Ibnu ‘Abbaas agar wanita yang hamil atau menyusui itu mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya, karena ia termasuk orang yang kuat dan tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya. Maka, ini kembali ke hukum asal perintah untuk berpuasa (qadla’).
Untuk riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, maka ada riwayat sebagai berikut :
قال الشيخ وقد روى أنس بن عياض عن جعفر بن محمد عن بن لبيبة أو بن أبي لبيبة عن عبد الله بن عمرو بن عثمان أن امرأة صامت حاملا فاستعطشت في رمضان فسئل عنها بن عمر فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضته
Telah berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy) : Telah diriwayatkan oleh Anas bin ‘Iyaadl[16], dari Ja’far bin Muhammad[17], dari Ibnu Labiibah atau Ibnu Abi Labiibah[18], dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsmaan[19] : Bahwasannya ada seorang wanita hamil berpuasa yang kemudian kehausan di bulan Ramadlaan. Maka ditanyakan tentangnya kepada Ibnu ‘Umar, dan ia memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya sebanyak satu mudd. Kemudian ia tidak membolehkannya. Apabila telah sehat, maka ia harus mengqadlanya [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 4/230].
Kualitas riwayat di atas adalah lemah (dla’iif) dengan kelemahan yang ada pada diri Ibnu Abi Labiibah. Selain itu Al-Baihaqiy membawakan riwayat secara mu’allaq dari Anas bin ‘Iyaadl. Oleh karena itu, riwayat ini tidak layak dipergunakan sebagai hujjah.
Yang shahih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah kebolehan berbuka dan membayar fidyah.
حدثنا هناد قال، حدثنا عبدة، عن سعيد، عن نافع، عن علي بن ثابت، عن نافع، عن ابن عمر، مثل قول ابن عباس في الحامل والمرضع
Telah menceritakan kepada kami Hanaad[20], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah[21], dari Sa’iid[22], dari Naafi’[23], dari ‘Aliy bin Tsaabit[24], dari Naafi’[25], dari Ibnu ‘Umar – sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam permasalahan wanita hamil dan menyusui [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
حدثنا أبو صالح الأصبهاني ثنا أبو مسعود ثنا الحجاج ثنا حماد عن أيوب عن نافع عن ابن عمر أن امرأته سألته وهي حبلى ، فقال أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy[26] : Telah menceritakan kepada kami Abu Mas’uud[27] : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj[28] : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[29], dari Ayyuub[30], dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya istrinya pernah bertanya kepadanya (tentang kewajiban puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan hamil. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 3/198 no. 2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
Oleh karena itu, kedudukan atsar kedua orang shahabat di atas adalah sangat kuat. Tidak ternukil adanya penyelisihan dari kalangan shahabat lain atas perkataan mereka sebagaimana dikatakan Ibnu Qudaamah :
ولا مخالف لهما في الصحابة
“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].
Kesimpulan : Tidak benar bahwa Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum menarik pendapatnya dalam kebolehan membayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui.
Silakan baca artikel lebih lanjut tentang permasalahan puasa wanita hamil dan menyusui di : sini.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 12 Ramadlaan 1431].


[1]      Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 394 no. 2458].
[2]      Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [idem, hal. 624 no. 4221].
[3]      ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
[4]      Untuk diketahui, bahwa riwayat yang dibawakan Ibnu Hazm ini bukan sebagai penguat riwayat ‘Abdurrazzaaq, karena keduanya hanyalah satu jalan riwayat dengan sanad dan matan yang sama.
[5]      Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 270 H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no. 290].
[6]      Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak tulisan (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
[7]      Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 384 no. 2378].
[8]      Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[9]      ‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 676 no. 4608].
[10]     Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[11]     Bisyr bin Mu’adz Al-‘Aqadiy Abu Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq (w. 245 H) [idem, hal. 171 no. 709].
[12]     Ia adalah Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (101-182 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1074 no. 7764].
[13]     Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[14]     Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[15]     ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[16]     Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (104-200 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 154 no. 569].
[17]     Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Ash-Shaadiq; seorang yang shaduuq lagi imaam (80-148 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 200 no. 958].
[18]     Ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Labiibah atau dipanggil Ibnu Abi Labiibah; seorang yang lemah dan banyak memursalkan riwayat [idem, hal. 870 no. 6120].
[19]     ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman bin ‘Affaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi mulia/terhormat (w. 96 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 530 no. 3525].
[20]     Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no. 7370].
[21]     ‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 635 no. 4297].
[22]     Ia adalah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
[23]     Ia adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
[24]     ‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177 no. 968].
[25]     Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[26]     Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
[27]     Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 88].
[28]     Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 216 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
[29]     Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, berubah hapalannya di akhir hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
[30]     Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].

3 komentar:

  1. Assalamu'alaykum
    barakallahu fiyk..

    IZin Copy ke Blog ana ya akh...

    Jazakallahu khairon

    BalasHapus
  2. afwan ustadz,adakah artikel antm yg mjlskan tarjih antara pendapat itikaf di 3 masjid dg pdpt itikaf di masjid jami secara umum? mohon pjlsn masalah ini.barakallahu fiikum

    BalasHapus
  3. Bismillah.
    Afwan, ada yg ingin ana tanyakan,
    1. apakah qoul ibnu Abbas -rodiyaLLahu anhumaa- yg menyatakan kewajiban qodho untuk wanita hamil & menyusui adalah saat mereka meninggalkan puasa tanpa sebab?

    Kalau benar, itu artinya rukhsoh shoum untuk mereka adalah rukhshoh yg "mutlak" baik krn ada sebab (karena tidak kuat/ menghawatirkan anaknya) begitu jg tanpa sebab (saat mereka mau, mereka boleh berbuka, walau sebetulnya kuat melaksanakannya) apakah begitu???

    2. membaca pembahasan ttng wanita hamil & menyusui dlm blog ini, terdapat pembahasan ttng mansukhnya ayat puasa, disebutkan riwayat dari ibnu abbas bahwa "hukumnya tsabt bagi orang tua... dst".
    Ana kurang paham, apakah ini berarti ayat tersebut mansukh sebagian hukumnya? Atau ayat tersebut adalah bentuk takhsis (bukan mansukh)??

    Mohon penjelasannya.
    Jazaakumullah khoyron.

    BalasHapus