‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu adalah seorang shahabat besar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang telah Allah ta’ala timpakan penyakit kronis dalam hatinya. Di antara mereka adalah orang-orang Syi’ah. Tidak sempurna kehidupan beragama mereka jika belum mengeluarkan satu laknat atau celaan kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Dalam salah satu tuduhan (dan celaannya) terhadap ‘Umar, orang-orang Syi’ah mengatakan bahwa ia seorang pemimpin diktator dhalim, hingga dalam permasalahan wanita. Telah diriwayatkan dalam Thabaqaat Ibni Sa’d, ‘Umar pernah menikahi ‘Aatikah dan menyetubuhinya secara paksa (baca : memperkosa). Rantai periwayatan atsar ini adalah shahih, melalui ‘Affaan (tsiqah – termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim) – Hammaad bin Salamah (tsiqah – termasuk perawi Muslim) – ‘Aliy bin Zaid (shaduq/tsiqah – termasuk perawi Muslim); begitulah mereka menghiasi syubhat mereka.
Saya (Abu Al-Jauzaa’) katakan :
Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqaat Al-Kubraa (10/252 – tahqiq : Dr. ‘Aliy Muhammad ‘Umar; Cet. 1/1421) :
أخبرنا عفّان بن مسلم، حدثنا حمّاد بن سلمة، أخبرنا عليّ بن زيد : أن عاتكة بنت زيد كانت تحت عبد الله بن أبي بكر فمات عنها واشترط عليها أن لا تزوّج بعده، فتبتّلت وجعلت لا تزوّج، وجعل الرجال يخطبونها وجعلت تأبَى، فقال عمر لوليّها : اذكرني لها، فذكره لها فأبت عمر أيضًَا، فقال عمر : زوّجنيها. فزوّجه إيّاها فأتاها عمر فدخل عليها فعاركها حتى غلبها على نفسها فنكحها، فلمّا فرغ قال : أفّ أفّ أفّ، أفّف بها.......
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Affaan bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Zaid : Bahwasannya ‘Aatikah binti Zaid saat menjadi istri ‘Abdullah bin Abi Bakr, maka ia (‘Abdullah) meninggal di sisinya dan mensyaratkan kepadanya (‘Aatikah) untuk tidak menikah lagi sepeninggalnya. Oleh karenanya, ia hidup menjanda dan tidak menikah setelah itu. Beberapa orang laki-laki datang melamarnya, namun ia menolaknya. ‘Umar berkata kepada wali/keluarga ‘Aatikah : “Sebutkanlah aku kepadanya”. Maka walinya itu pun menyebutkannya (bahwa ‘Umar ingin menikahinya), namun ia menolaknya juga. ‘Umar berkata : “Nikahkanlah aku dengannya”. Akhirnya walinya tersebut menikahkan ‘Umar dengan ‘Aatikah. (Setelah selesai aqad), ‘Umar masuk menemui ‘Aatikah dan memaksanya (untuk menyetubuhinya) hingga akhirnya ia dapat menguasainya dan menyetubuhinya. Setelah selesai menunaikan hajatnya, ‘Umar berkata : “Uf, uf, uf” – ia merasa jengkel/kesal kepadanya (‘Aatikah)……”.
Riwayat ini tidak shahih (dla’iif) karena dua ‘illat, yaitu :
a. Keterputusan (inqithaa’) antara ‘Aliy bin Zaid dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
‘Aliy bin Zaid bin ‘Abdillah bin Zuhair bin ‘Abdillah bin Jud’aan Al-Quraasyiy At-Taimiy, ia wafat pada tahun 127 H atau 129 H atau 131 H [lihat : Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaalish-Shahiihain oleh Shafwat Al-Mahmud, hal. 178 no. 1537, Tahdziibul-Kamaal oleh Al-Mizziy 20/444]. Adapun ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia wafat (syaahid) pada tahun 23 H, sebagaimana telah masyhur dalam buku sejarah. Minimal, terdapat selisih 104 tahun antara keduanya sehingga hampir dapat dipastikan bahwa ‘Aliy bin Zaid tidak menemui masa ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
b. Kelemahan ‘Aliy bin Zaid
Meskipun ‘Aliy bin Zaid dipakai oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, namun ia hanya dipakai sebagai penyerta (maqruun) dari riwayat Tsaabit Al-Bunaaniy. Oleh karena itu, Muslim pada asalnya tidak berhujjah dengannya jika bersendirian. Apalagi melihat kenyataannya bahwa jumhur ulama muhadditsiin melemahkannya.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Dalam riwayat lain : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Dalam riwayat lain : “Dla’iiful-hadiits”.
Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-dzaakal-qawiy”. Dalam riwayat lain : “Lemah (dla’iif)”. Dalam riwayat lain : “Laisa bi-dzaaka”. Dalam riwayat lain : “Lemah dalam segala hal (dla’iif fii kulli syai’)”. Dalam riwayat lain : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Dalam riwayat lain : “Tidak menjadi hujjah (laisa bi-hujjah)”.
Al-‘Ijliy berkata : “Ditulis haditsnya, namun tidak kuat”. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Juuzjaaniy berkata : “Waahiyul-hadiits”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak kuat (laisa bi-qawiy)”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat, ditulis haditsnya, namun tidak boleh dipergunakan sebagai hujjah”. At-Tirmidziy berkata : “Jujur, namun kadangkala me-marfu’-kan hadits yang di-mauquf-kan oleh selain dirinya”. An-Nasaa’iy berkata : “Lemah”. Ibnu Khuzaimah berkata : “Aku tidak berhujjah dengannya karena jeleknya hapalannya”. Ibnu ‘Adiy : “Lemah, namun ditulis haditsnya”. Al-Haakim Abu Ahmad berkata : “Ia bukan seorang yang kokoh menurut mereka (ulama)”. Dan yang lainnya. Selain itu, ia dikenal ulama sebagai seorang Raafidliy yang berlebih-lebihan dalam bid’ahnya.
[Selengkapnya, lihat Tahdziibul-Kamaal, 20/434-445 no. 4070].
Ibnu Hajar menyimpulkan : “Dla’iif” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 696 no. 4768].
Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Diiwaan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (hal. 283 no. 2926) dan Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/85 no. 4265).
Dengan data-data valid ini, bagaimana bisa orang-orang Syi’ah itu mengatakan riwayat ini shahih ?
Sebagai pembanding, saya ajak para Pembaca budiman menyimak kesaksian dari As-Sayyid Husain Al-Musawiy, salah seorang ulama Syi’ah dari daerah Najaf yang telah keluar dari agama Syi’ah[1]. Kesaksian tersebut adalah ia diminta menemani Al-Khumainiy dalam satu perjalanan saat ia (Al-Khumainiy) tingga di ‘Iraaq. Saat mereka berada di daerah Al-‘Uthaifiyyah, Al-Khumainiy menginap di rumah Sayyid Shaahib, salah seorang warga ‘Iran yang tinggal di ‘Iraq. Al-Musawiy menuturkan :
فرح سيد صاحب بمجيئنا، ...... وطلب سيد صاحب إلينا المبيت عنده تلك الليلة، ......، ولما حان وقت النوم ......، أبصر الإمام الخميني صبيًة بعمر أربع سنوات أو خمس ولكنها جميلة جدًا، فطلب الإمام من أبيها سيد صاحب إحضارها للتمتع بها، فوافق أبوها بفرح بالغ، فبات الإمام الخميني والصبية في حضنه ونحن نسمع بكاءها وصريخها.
“Sayyid Shaahib gembira atas kedatangan kami (di rumahnya)….lalu ia meminta kami untuk menginap malam itu. Al-Imaam (Al-Khumainiy) pun menyetujuinya…. Saat tiba waktu tidur,…. Al-Imaam Al-Khumainiy melihat seorang gadis kecil yang berusia (kira-kira) empat atau lima tahun, namun ia sangat cantik. Al-Imaam (Al-Khumainiy) meminta ayah si gadis, Sayyid Shaahib, untuk membawanya agar ia (Al-Khumainiy) dapat menikah mut’ah dengannya. Ayahnya menyetujuinya dengan perasaan sangat gembira. Malam itu, Al-Imaam Al-Khumainiy tidur dengan gadis kecil tersebut di sisinya, sedangkan kami mendengar tangisan dan rintihan minta tolong gadis itu…..” [Lillaahi tsumma lit-Taariikh, hal. 35-36 – melalui perantaraan Hiwaar Haadiy Ma’ad-Duktuur Al-Qazwiiniy oleh Prof. Ahmad bin Sa’d Al-Ghaamidiy, hal. 88].
Wallaahul-Musta’aan.
[abu al-jauzaa’ al-atsariy – perumahan ciomas permai – 04042010 – 23.01].
[1] Orang-orang Syi’ah sangat mengingkari tulisan dan kesaksian As-Sayyid Husain Al-Musawiy ini. Bahkan ada yang menganggapnya tokoh fiktif yang dibuat-buat oleh Ahlus-Sunnah !! Bagaimana ia bisa seorang tokoh fiktif jika para ulama Syi’ah sendiri telah mengkafirkannya (dari agama Syi'ah) dan mencopot semua ijazah dan pengakuan keilmuan yang telah diberikan ulama Syi’ah kepadanya ? Memfiktifkan sosok nyata adalah kebiasaan buruk orang-orang Syi’ah sebagaimana mereka memfiktifkan ‘Abdullah bin Saba’, Dr. Musa Al-Musawiy, dan yang lainnya.
Afwan ustadz, agak OOT...
BalasHapusAna sering mendapati, banyak artikel yg membantah kesesatan syi'ah...menulis kata-kata "AGAMA SYI'AH".
Yang menjadi pertanyaan ana...apa dengan kata-kata tersebut, berarti penganut syi'ah...telah menjadi kafir?
Bagaimana pula dengan pernyataan kafirnya kaum jahmiyah yg tercantum dalam ushul i'tiqod imam ibn abi hatim?
Bukankah sekte2 sesat itu (syi'ah,jahmiyah,dll) termasuk kedalam hadits iftiroqul ummah yg dalam teksnya Rosululloh shollallohu 'alayhi wa sallam masih menganggap mereka sebagai "ummat beliau"?
(...Dan UMMAT-ku akan terpecah menjadi 73 golongan...)
Ana agak bingung ustadz...disatu sisi..kesesatan mereka sangat parah (dan jelas kufur), tapi disisi lain, haditsnya menyatakan bahwa sekte sesat itu masih termasuk/diakui sebagai ummat Rosululloh shollallohu 'alayhi wa sallam.
Mohon penjelasannya.
Jazakalloh khoyr.
-ibnu ruhadi-
Dari sisi agamanya, banyak ushul Syi'ah yang membatalkan Islam. Namun menghukumi kafir terhadap individu yang termakan syubhat mereka, maka ini butuh perincian sebagaimana kita kenal.
BalasHapusSedangkan tokohnya - seperti Khomaini - maka ia kafir menurut ulama.
Para ulama menjelaskan bahwa 'umatku' ini adalah mereka yang mengaku berintisab pada Islam. Sebagian mereka ada golongan yang kafir (karena kesesatannya, seperti Jahmiyyah), ada pula yang tidak sampai kafir.
Wallaahu a'lam.
lho, kenapa orang syiah yg jadi korban? yg mengatakan umar bin khattab memperkosa itukan hadis2 kalian sendiri? borok dikaki sendiri malah kaki orang yg kau potong, komentar2 yg kalian tujukkan disini tdk lain selain kebencian yg sdh mengakar & mendarah daging kepada orang syiah tanpa mengenal syiah yg sebenarnya kecuali hanya prasangka2 & provokasi tanpa bukti dari orang2 yg membenci syiah. ...selamat menikmati hidup dilembah prasangka yg kalian ciptakan kawan.
BalasHapusYa, saya hanya memberitahukan kepada saudara2 saya dari Ahlus-Sunnah bahwa sebagian orang Syi'ah menggunakan riwayat di atas untuk mendiskreditkan Umar. Dan saya berusaha menjelaskan kekeliruan itu berdasarkan ilmu hadits yang standar. Telah jamak diketahui bahwa orang2 Syiah punya kegemaran lama mengkais hadits2 lemah dan palsu dalam sumber2 Ahlus-Sunnah untuk menguatkan keyakinan mereka atau membuat tipu daya kepada Ahlus-Sunnah. Sayangnya, tipuan mereka ini gagal sebagaiman telah lalu tipuan mereka yang lain.
BalasHapusKebencian pada Syiah memang wajib. Apa sebab? Karena kesesatan dan daya rusaknya yang begitu hebat pada Islam.
Terima kasih atas ucapan selamatnya, dan sering2lah mampir ke blog ini dengan harapan orang yang tertidur - seperti Anda - dapat lekas bangun.
Hahaha.. syukron, saya memang mengharapkan sekali pencerahan dari orang2 seperti antum agar dapat membuka mata sy dari jerat kesesatan syiah yg kalian gembar gemborkan. Tapi sayangnya tulisan2 picisan antum justru semakin menambah kecintaan sy kepada mazhab pecinta Rasulullah SAW & keluarganya yg suci ini, kebencian2 & fitnah keji yg antum lontarkan justru semakin membuktikan kebenaran syiah itu sendiri.
BalasHapusSaya tidak tahu apakah antum sipenyebar fitnah atau hanya korban fitnah ulama2 antum sendiri.. "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."(QS. al-Hujurat (49) : 6)
Kalau Anda mengaku pecinta Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan ahlul-bait, memangnya saya (dan juga saudara-saudara saya yang lain) tidak ? Begitu mungkin pikir Anda.
BalasHapusSaya mencintai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan ahlul-bait, namun bukan kecintaan versi atau ala Syi'ah. Saya ini mantan seperti Anda. Jadi sangat maklum jika Anda terlalu bersemangat 'membela' Ahlul-Bait. Dan saya kok sangat yakin kalau Anda ini new comers yang belum begitu mengetahui hakekat Syi'ah dan belum akrab dengan buku-buku Syi'ah. Allaahu yahdik !!
Hadits itu memang keluar dari kalangan Ahlussunnah, namun para Ulama yang meriwayatkannya selalu menjelaskan dalam keterangannya bahwa hadits itu termasuk salah satu contoh hadits dhoiif.
BalasHapusNamun ternyata orang-orang Syi'ah lah yang memakainya untuk memfitnah Umar, bahkan mengatakan bahwa hadits itu shahih (menurut mereka). Itulah sebabnya ditulislah artikel ini.
Dan bagaimana mungkin anda menyebut diri anda/kelompok anda sebagai pecinta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang paling mencintai beliau, sedangkan anda sendiri saja masih pelit dalam sholawat anda pada beliau.
Baca: Masih disingkat-singkat.
Kata siapa keluarga Nabi suci?
BalasHapusBukannya yang suci cuma Nabi saja?
Nabi pernah menegur Hassan & Husain yang memakan kurma hasil sedekah kan?
Kalau Hassan & Husain suci, Nabi tak akan menegur keduanya.
Ali bin Abi Thalib juga pernah ditegur Nabi ketika hendak berpoligami disaat Fatimah masih hidup.
Kalau Ali bin Abi Thalib maksum, Nabi tak mungkin menegurnya.
Kenapa banyak orang Indonesia yang akhir2 ini sangat membela Syi'ah daripada Ahlussunnah, padahal kebanyakan pembela itu rata2 dari background Ahlussunnah, semua tak lain dan tak bukan adalah karena "adab".
BalasHapusBegitu juga dengan kaum Sufi yang sangat lemah lembut dimasyarakat maupun media.
Ustadz Firanda hafidhzahullah berkata:
"Angkuh/kasarnya orang berilmu & tawadhu'/lembutnya orang jahil/sesat merupakan musibah. Masyarakat akhirnya menjauhi orang berilmu tersebut dan malah simpati kpd orang yang jahil dan sesat.
Ilmu seharusnya semakin menambah tawadhu' dan ramahnya seseorang bukan semakin manjadikannya angkuh dan kasar.
Sungguh sedih tatkala melihat seorang awam tertarik dengan dai syi'ah karena lembutnya dan trauma dengan dai ahlus sunnah karena kasarnya." (Sumber.
Saya kira Atikah itu sudah menikah dengan Umar sebelum Umar masuk Islam.
BalasHapusKalaupun iya kan bukan hal yang mengagetkan, jangankan hal seperti itu saja, putri pertamanya saja dulu dikubur hidup-hidup saat kecil.
Tapi itu kan keburukan masa lalu Umar yang bahkan Umar sendiri menangis kalau mengingatnya.
Syi'ah muncul dari cinta yang berlebih pada Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.
BalasHapusMereka menganggap bahwa Kepemimpinan Raslullah shallallahu 'alaihi wasallam harus turun temurun pada Keluarganya, dimulai dari Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib.
Namun ketika kenyataan tak seperti yang mereka harapkan, yaitu ada Abu Bakr, Umar, dan Utsman yang mendahului Sayyidina 'Ali dalam kepemimpinan, maka mereka pun pada akhirnya mengkafirkan semuanya. Termasuk orang-orang yang membaiat mereka.
Cinta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang spesial pada 'Aisyah juga membuat mereka dengki dan iri, sehingga membuat mereka ikut mengkafirkan 'Aisyah.