Bagi sebagian kalangan Syi'ah Indonesia, pembahasan tentang ‘aqidah mereka sendiri adalah satu hal yang jarang. Mereka – yang umumnya awam – banyak termakan syubhat dari pendekatan sejarah, kemudian tenggelam di dalamnya. Kebodohan akan agama dan ketidakakraban akan kitab-kitab rujukan seringkali dimanfaatkan. Oleh karena itu, masyarakat awam seringkali terpesona dan silau dengan beberapa tulisan Syi’ah yang sering mengutip sumber-sumber kitab Ahlus-Sunnah – bahkan untuk kitab-kitab yang jarang/susah didapatkan. Para ulama, muhaqqiqiin (peneliti), dan penuntut ilmu banyak yang telah membuktikan kedustaan tulisan mereka atas kutipan-kutipan yang tidak sebagaimana mestinya, penggunaan riwayat-riwayat lemah dan palsu, serta pemlintiran kata dan makna yang tidak sesuai yang diinginkan syari'at.
Cukuplah nasihat Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah untuk disimak :
ما رأيت في أهل الأهواء قوما أشهد بالزور من الرافضة
“Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Rafidlah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 8/1457 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 10/89, dari Ar-Rabii’. Dibawakan pula oleh Harmalah lafadh yang semisal dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 187, Al-Manaaqib lil-Baihaqiy 1/468, dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 10/208].
Sebagaimana disebutkan dalam judul, artikel kali ini sedikit akan menyinggung ‘aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala. Kemudian, saya ajak para Pembaca budiman bandingkan dengan ‘aqidah Ahlus-Sunnah – mana di antara keduanya yang sesuai fithrah dan akal sehat yang lurus.
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ( عليه السلام ) وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كَشَفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ
‘Aliy bin Muhammad, dari Ishaaq bin Muhamad, dari Abu Haasyim Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku pernah di sisi Abul-Hasan (‘Aliy bin Muhammad) (‘alaihis-salaam) setelah wafatnya anaknya yang bernama Abu Ja’far. Dan aku waktu itu aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan : ‘Seakan-akan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad saat ini seperti halnya kejadian yang menimpa Abul-Hasan Muusaa dan Ismaa’iil, dua anak dari Ja’far bin Muhammad (‘alaihis-salaam). Dan sesungguhnya kisah keduanya (Abu Ja’far dan Abu Muhammad) serupa dengan kisah keduanya (Muusaa dan Ismaa’iil bin Ja’far), dikarenakan Abu Muhammad Al-Murji menjadi imam setelah Abu Ja’far’ (wafat). Tiba-tiba Abul-Hasan memandangku sebelum aku sempat berkata-kata. Ia berkata : “Benar, wahai Abu Haasyim. Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) yang sebelumnya tidak Ia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Muusaa (bin Ja’far) sepeninggal Ismaa’il (bin Ja’far) yang sesuai dengan keadaannya. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya….”.
[Al-Kaafiy, juz 1 hal. 327, bab : Al-Isyaarah wan-Nash ‘alaa Abi Muhammad ‘alaihis-salaam, hadits no. 10].
Pejelasannya adalah sebagai berikut :
Menurut Syi’ah Imaamiyyah, jabatan imamah itu berpindah dari ayah ke anak laki-laki pertama kecuali Al-Hasan dan Al-Husain. Imamah Al-Hasan berpindah ke Al-Husain, tidak berpindah ke anak laki-laki pertama Al-Hasan.
Namun perkembangannya, perpindahan jabatan imamah itu ternyata mengalami perubahan. Sebagaimana disinggung dalam ‘hadits’ di atas, hal itu pertama kali terjadi pada masa Ismaa’iil, anak laki-laki pertama Ja’far Ash-Shaadiq – imam keenam Syi’ah – . Ismaa’iil yang semula calon pengganti ayahnya meninggal saat ayahnya masih hidup. Walhasil, perkara imamah Ilahiyyah yang prosedurnya telah dibakukan mengalami perubahan. Akhirnya prosedur standar ayah ke anak laki-laki pertama berubah. Imamah menjadi jatuh ke Muusaa bin Ja’far, adik dari Ismaa’iil, bukan ke tangan anak laki-laki pertama Ismaa’iil. Kejadian ini berulang sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas.
Inti persoalannya bukan masalah siapa yang meninggal. Tapi adanya penisbatan perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini sebelumnya tidak diketahui Allah. Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.[1] Inilah inti ‘aqidah bada’ yang harus diyakini oleh sekte Syi’ah Imamiyyah.
‘Aqidah itu tentu saja bertentangan dengan ‘aqidah Ahlus-Sunnah. Dalam pandangan Ahlus-Sunnah, Allah ta’ala mengetahui dengan ilmu-Nya seluruh kejadian hingga hari kiamat. Allah ta’ala telah menentukan taqdir seluruh makhluk-Nya, yang kemudian tertulis dalam Lauh Mahfudh. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari ilmu-Nya. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar dzarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Yuunus : 61].
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُنْذِرِ الْبَاهِلِيُّ الصَّنْعَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَدَّرَ اللَّهُ الْمَقَادِيرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin ‘Abillah bin Al-Mundzir Al-Baahiliy Ash-Shan’aaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih : Telah menceritakan kepadaku Abu Haani’ Al-Khaulaaniy, bahwasannya ia mendengar Abu ‘Abdirrahman Al-Hubuliy berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr berkata : Aku mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menentukan takdir segala sesuatu, lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan lagit dan bumi" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2156. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/169, ‘Abd bin Humaid no. 343, Muslim no. 2653, Ibnu Hibbaan no. 6138, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat hal. 374-375; shahih].
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ أَبِي حَفْصَةَ قَالَ قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Musaafir Al-Hudzaliy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hassaa : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Rabaah, dari Ibraahiim bin Abi ‘Ablah, dari Abu Hafshah, ia berkata : Telah berkata ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit kepada anaknya : “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya : ‘Tulislah!’. Pena itu menjawab : ‘Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman : ‘Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat’. Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4700. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/317, At-Tirmidziy no. 2155 & 3319, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 18/456; shahih].
Segala hal yang Allah tetapkan atau Allah hapuskan adalah berdasarkan ilmu-Nya.
Akhirnya, saya mengajak kepada saudara-saudaraku Ahlus-Sunnah agar tidak terjebak pada syubhat kaum Syi’ah. Mereka selalu menyembunyikan kutu di balik tebal bulu yang tumbuh di kulit mereka. Saat kita semakin mendekat, tidak tersadar kutu itu telah loncat hinggap di kulit kita, bertelur dan beranak-pinak hingga menimbulkan borok yang tak kunjung bisa disembuhkan.[2]
Mempertahankan modal lebih utama daripada meraih laba.
Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ - bersambung ke artikel : Al-Badaa'.
[1] Perlu diketahui bahwa sekte Syi’ah Ismaa’iiliyyah berpendapat bahwa imamah Ilahiyyah tetap berlangsung dengan pola yang dikehendaki Allah sejak jaman azali, yang berada di tangan anak cucu ‘Aliy bin Abi Thaalib menurut urutan. Hal ini berarti bahwa seorang imam - yang pada saat yang sama menjadi seorang ayah – tidak punya hak menentukan (menunjuk) imam pengganti dirinya karena ia telah ditentukan oleh Allah. Apabila pewaris syar’iy yang dalam hal ini Ismaa’iil meninggal dunia, maka ayahnya Ja’far Ash-Shaadiq tidak berhak menunjuk Muusaa, anaknya yang lain. Namun seharusnya imamah harus jatuh ke tangan anak laki-laki pertama dari Ismaa’iil. Dikarenakan sekte Imamiyyah menganut pola yang sama (dengan Ismaa’iiliyyah), maka mereka mengada-adakan paham bada’ untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Maksudnya, disamping untuk menjatuhkan rivalnya yaitu Ismaa’iiliyyah, juga untuk melemparkan tanggung jawab perpindahan imamah dari Ismaa’iil bin Ja’far ke tangan Muusaa bin Ja’far kepada Allah ta’ala. Bukan kepada Ja’far Ash-Shaadiq, sang imam yang suci lagi ma’shum (terhindar dari kesalahan).
Dapat dipahami dari sejarah bahwa ‘aqidah bada’ tidak lain muncul dari rivalitas madzhab yang kemudian di atas namakan ‘aqidah. Dibuatlah hadits-hadits untuk mendukung paham ini sebagaimana hadits di atas. Bahkan, untuk meruncingkan rivalitas ini, para pendusta Syi’ah pun mengarang-ngarang riwayat untuk mencela Ismaa’iil bin Ja’far, yang kemudian disandarkan kepada Ja’far Ash-Shaadiq (bahwasannya ia pernah berkata) :
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه أحداً من آبائي
“Sesungguhnya ia telah durhaka. Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku” [Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Allah ta’ala telah ‘dikorbankan’ untuk mengokohkan madzhab. Maha Suci Allah atas kedustaan ‘aqidah bada’ ini. Semoga Allah ta’ala menghancurkan makar mereka yang ingin merusak Islam dan kaum muslimin.
[2] Jika kita hanya mengandalkan internet (apalagi yang berbahasa Indonesia) tanpa merujuk langsung ke kitab-kitab induk Syi’ah, kebanyakan kita hanya akan mendapati pembahasan kulit saja. Mereka menutupi hakekat sebenarnya atas ‘aqidah bada’ ini. Mereka tidak mau ditolak karena konflik bada’ yang memang membingungkan bagi orang yang telah paham Al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah satu basa-basi mereka ketika menyuguhkan penjelasan tentang ‘aqidah bada’ dapat dibaca di : http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001.htm.
"Mereka selalu menyembunyikan kutu di balik tebal bulu yang tumbuh di kulit mereka."
BalasHapusAkur...akh! Lanjutkan!
Semoga akhi abu membaca ini dan tersadar.
Btw akh, lg hobi membahas syiah ya? hehehe...
Iya ni. Juga, sekedar 'reuni' dengan bacaan-bacaan saya yang dulu....
BalasHapusassalamualaikum, afwan ust. klo ptanyaan ana keluar dr topik, ini soal musik, apakh prbedaan ulama tntg hukum musik adalah perbedaan yg harusa ada toleran diatasnya? ataukah hny satu yang benar yaitu yang mengharamkan musik secara totalitas???ataukah sebaliknya???
BalasHapusmhon jawannya dr ust. secara ilmiah..,syukran, barakallalahu fiek,
Semoga Alloh menjaga ustadz selalu... seandainya ana tidak mengenal manhaj yang mulia ini mk mungkin ana sudah jatuh kepada kesesatan ini krn ana pernah membaca buku tentang Ali dimana di dalamnya hinaan thd Muawiyyah... namun sekarang ana sangat mencintai semua sahabat Nabi sbg wujud mencintai Nabi shollollohu'alaihi wa sallam..
BalasHapusArtikel spt ini harus sering ditampilkan di hadapan ummat ini spt saran Ustadz Abdul hakim pula krn sekarang banyak ummat ini yg tertipu dg sepak terjang ahmadinejad ...
assalamu'alaikum ust. hadits tntng Kisah Dialog antara Rasulullah dgn Iblis Derajatx apa Y???
BalasHapussyukran, barakallahu fik..,
"...Cukuplah nasihat Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah untuk disimak :
BalasHapusما رأيت في أهل الأهواء قوما أشهد بالزور من الرافضة
“Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Rafidlah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 8/1457 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 10/89, dari Ar-Rabii’. Dibawakan pula oleh Harmalah lafadh yang semisal dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 187, Al-Manaaqib lil-Baihaqiy 1/468, dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 10/208]...."
'Afwan, akh... sedikit mau konfirmasi. Ana dulu pernah juga membaca riwayat seperti ini, cuma lupa di mana. Hanya saja yang ana baca waktu itu versi terjemahnya, kurang lebih begini:
"Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang lebih parah kedustaannya daripada Rafidlah"
Jadi أشهد digantikan dengan أشد. Kira2 riwayat ini shahih ga ?
Syukron
Saya kurang tahu ya..... tapi sependek pengetahuan saya lafadhnya adalah : أشهد بالزور من الرافضة. Inilah yang ma'ruf.
BalasHapusSelebihnya, wallaahu a'lam.