Saat buka-buka arsip catatan di hard-disk computer semalam, saya menemukan tulisan lawas saya yang di file-nya berjudul : ‘Jawaban terhadap Kedustaan Muchtar Luthfi’ (sedikit bombastis ya.. – tapi kan bebas-bebas saja orang ngasih judul file di computer sendiri). Tertulis (terakhir di-save) tanggal : 8 Juli 2007. Hampir tiga tahun yang lalu. Saat dibaca-baca lagi, saya pikir ‘ada baiknya’ jika saya publish di blog ini. Tentu saja dengan sedikit pembenahan dan peringkasan.
Tulisan ini bukan tulisan yang ingin berdetail-detail dalam bahasan satu pokok masalah. Tidak lebih, tulisan ini sebagai respon singkat (dan global) terhadap satu tulisan buah pena bapak Muchtar Luthfi yang kala itu konon berstatus mahasiswa pasca sarjana di sebuah Universitas Iran. Mohon maaf, jika tulisan di bawah dibawakan dengan bahasa ‘lain dari biasanya’ yang mungkin kurang berkenan bagi sebagian rekan-rekan.
Tulisan yang dibawakan oleh Muchtar Luthfi ini hanyalah merupakan daur ulang ucapan ahlul-bida’ (kemasannya pun masih kemasan lama) yang sangat memusuhi dakwah salaf, dakwah Ahlus-Sunnah (walau penulis juga ngaku-ngaku membawa pemahaman Ahlus-Sunnah – memang mudah bagi setiap pengaku). Dilihat dari siapa yang dia nukil dan siapa yang dia bela, kok nampaknya kita tahu siapa dalang dibalik pemikiran Muchtar Luthfi. Lebih jelas lagi setelah di bagian akhir tulisan, Muchtar Luthfi mengaku sebagai mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republik Islam Iran. Malang nian….. Menuntut ilmu di sarang perusak agama (Syi’ah). Universitas naas : Universitas Imam Khomaini Qum, Iran.
Tidak banyak yang akan ana komentari (hitung-hitung hemat energi). Secara global saja, diantaranya :
1. Apa yang ditulis oleh Muchtar Luthfi tidaklah ilmiah menurut ana, walau ia lengkapi dengan berderet catatan kaki. Karena pada hakikatnya, apa yang ia bela adalah pemahaman bid’ah, sedangkan yang ia serang adalah pemahaman sunnah.
2. Muchtar Luthfi berceloteh bahwa istilah Wahabi ini seakan-akan diciptakan oleh keluarga Su’ud dan Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumallah. Celotehan ini adalah celotehan yang sama sekali tidak berdasar. Istilah “Wahabi” ini sebenarnya sebutan yang diberikan oleh musuh-musuh dakwah Tauhid kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab beserta orang-orang yang sepaham dengan beliau. Pada banyak kesempatan, beliau (Ibnu Abdil-Wahhab) sering menyebutkan tentang dakwah Ahlus-Sunnah. Beliau berkata :
“Alhamdulillah, saya bukanlah orang yang mengajak manusia kepada madzhab seorang shufi, faqih, mutakallim (ahli kalam), atau imam dari para imam yang saya hormati seperti Ibnul-Qayyim, Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan selainnya. Akan tetapi, saya hanya mengajak kepada Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan saya menyeru kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang belau wasiatkan kepada umatnya mulai awal hingga akhir. Saya berharap agar saya tidak menolak kebenaran apabila datang kepada saya. Bahkan saya bersaksi kepada Allah, malaikat-Nya, dan seluruh makhluk-Nya; apabila datang suatu kalimat kebenaran kepada kami dari kalian, maka saya akan menerimanya secara bulat dan saya akan mmebuang ke tembok setiap ucapan yang menyelisihinya dari para imamku, selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam karena beliau tidak mungkin mengatakan kecuali kebenaran” [Da’awi Al-Munawi’in 5/252 oleh Abdul-‘Aziz bin Muhammad Alu Abdul-Lathif, Darul-Wathan, Riyadl, KSA, Cet. I, 1412 H].
Beliau juga berkata dalam suratnya kepada Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Suwaidi, salah seorang ulama ‘Iraq :
“Saya khabarkan kepadamu bahwa saya – alhamdulillah – seorang muttabi’ (mengikuti sunnah), bukan mubtadi’ (mengikuti bid’ah). Aqidah dan agamaku adalah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sebagaimana jejak para imam kaum muslimin seperti imam empat dan orang-orang yang mengiktui mereka hingga hari kiamat” [Ibid, 5/36].
Dan yang lebih jelas lagi adalah Raja ‘Abdul-‘Aziz dalam khutbahnya di Makkah pada bulan Dzulhijjah 1347 H mengatakan :
“Mereka menjuluki kami “Wahabiyyun” dan madzhab kami adalah “Wahabi” sebagai madzhab tertentu, maka ini kesalahan fatal akibat kabar bohong yang didesuskan oleh sebagian kalangan yang memiliki niat jahat. Kami bukanlah pemeluk madzhab baru atau aqidah baru. Muhammad bin ‘Abdil-Wahab rahimahullah tidaklah membawa ajaran baru. Aqidah kami adalah aqidah salaf shalih yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman salaf shalih. Kami menghormati para imam empat, tidak ada bedanya bagi kami antara Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah. Semuanya terhormat dalam pandangan kami.
Inilah aqidah yang diemban oleh Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah. Inilah aqidah kami, sebuah aqidah yang dibangun di atas tauhid yang murni dari segala noda-noda bid’ah. Aqidah tauhid inilah yang kami dakwahkan dan dapat menyelamatkan kita dari semua petaka” [Koran Ummul-Qurra’ edisi Dzulhijjah 1347 H, Mei 1929 M. Islamiyyah Laa Wahabiyyah halaman 396 oleh Dr. Nashir ‘Abdil Karim Al-‘Aql, Kunuz Isybiliyyah, Cet. II, 1425].
Nah, kalau perkaranya telah jelas; adalah hal yang aneh apabila Muchtar Luthfi beranggapan bahwa karena istilah “Wahabi” di luar Saudi tidak populer dan cenderung negatif, maka berganti bajulah dengan istilah Salafy. Ini menunjukkan ketololannya yang amat sangat. Apalagi tuduhan murahannya dimana keluarga Su’ud ini bertalian erat dengan Yahudi Arab. Adapun di awal berdirinya Saudi banyak terjadi pertumpahan darah (?), maka pernyataan ini bisa dibenarkan bisa juga didustakan sekaligus. Dibenarkan, bahwa memang pada awal berdirinya Saudi terjadi beberapa peperangan, sebagaimana lazimnya terjadi peperangan waktu itu. Itu terjadi karena adanya penentangan terhadap dakwah Tauhid serta hasutan yang dihembuskan ahlul-bida’ sehingga Daulah Utsmaniyyah menyerang keluarga Su’ud. Hal itu ditambah pula dengan provokasi yang dilakukan Inggris. Telah terjadi peperangan beberapa kali antara pasukan Ibnu Sa’ud dengan pasukan Inggris. Ini sekaligus membuktikan kedustaan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab dan keluarga Sa’ud didukung oleh pemerintah kolonial Inggris. Bagi ana, tuduhan murahan seperti ini telah sering terdengar dan terbaca….. jadi nggak heran bin aneh lagi.
3. Setelah berkomentar sana-sini tentang aqidah – yang katanya bahwa yang diomongkaan dan dibelanya itu adalah aqidah ahlus-sunnah – , Muchtar Luthfi dengan tidak malu mencela aqidah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ahlus-Sunnah. Jika saja lisannya telah berani mencela Imam Ahmad dengan ucapan : “terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan” ; janganlah heran bila ia dengan entengnya mencela para ulama yang lain. Termasuk di sini Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab. Tidak usah didetailkan jawabannya, ana kira ikhwah semua telah tahu : Siapa yang benar dalam permasalahan ini. Imam Ahmad bin Hanbal atau Muchtar Luthfi ?
Muchtar Luthfi mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa apa yang diyakini oleh Imam Ahmad bin Hanbal merupakan keyakinan para Imam Ahlus-Sunnah yang sesuai dengan keyakinan atau aqidah para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Aqidah Ahlus-Sunnah mengatakan tentang perihal asma’ wa shifat : Menerima dengan maknanya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah tanpa adanya tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil/tasybih. Di sinilah aqidah Imam Ahmad berdiri; aqidah Ahlus-Sunnah. Kemudian, mari kita dengar apa perkataan para imam yang lain mengenai hal ini :
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’d, dan Sufyan Ats-Tsauri rahimahumullah tentang berita yang datang mengenai sifat-sifat Allah, mereka semua menjawab :
أَمِرُّوا هَا كَمَا جَاءَ بِلا كَيْفَ
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (yaitu : jangan kamu Tanya tentangbagaimana sifat itu)” [Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar Al-Khallal dalam Kitabus-Sunnah, Al-Laalikai no. 930, dan yang lainnya dengan sanad shahih].
Imam Asy-Syafi’i berkata ketika menjelaskan prinsip-prinsip aqidah :
الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما أراده الله من غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف. الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، من غير زيادة ولا نقص ولا تحريف.
“Beriman kepada Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki-Nya tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif (= ta’wil; yaitu mengubah lafadh nama dan sifat Allah atau mengubah maknanya atau menyelewengkan dari makna sebenarnya). Beriman kepada apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sebagaimana yang dikehendaki oleh beliau tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif [Lihat Lum’atul-I’tiqad oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi; syarah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin halaman 14; download dari www.almeskhat.net/books].
Bukankah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Al-Auza’i, Imam Al-Laits, dan yang semisal dengan mereka adalah para Imam Ahlus-Sunnah ? Nah,…. jikalau demikian adanya, apa yang dibenci dan dimusuhi mahasiswa gaya ini sebenarnya aqidah Ahlus-Sunnah yang diyakini oleh para imam. Lantas dimana engkau berdiri wahai Muchtar ? Yang engkau bela pada hakikatnya merupakan aqidah Asy’ariyyah Maturidiyyah dan aqidah Syi’ah ! Bukan Ahlus-Sunnah !! Dan bila dicermati, metode berpikir Muchtar Luthfi adalah metode yang dianut oleh Ahlul-Kalam. Maka simaklah apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah : “Hukum untuk ahli kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sanda atau sepatu dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan : ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan mengambil ilmu kalam” [Lihat Ahaadits fii Dzammil Kalaam wa Ahlihi hal. 99 karya Imam Abul-Fadhl Al-Maqri’ – wafat tahun 454 H; Jami’ul-Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2/941].
Jadi ingat sya’ir tentang Laila :
أَيُّهَا اْلمُدَّعِي وَصْلًا بِلَيْلَى
لَسْتَ مِنْهَا وَلا قُلامَةَ ظِفْرٍ
إِنَّمَا أَنْتَ مِنْ لَيْلَى كََوَاوٍ
أُلْحِقَتْ فِي اْلهِجَاءِ ظُلْمًا لِعَمْرٍ
“Wahai orang yang mengaku cinta kepada Laila
Kau bukanlah kekasihnya walau hanya sepotong kukupun
Hubunganmu dengan Laila hanyalah seperti huruf wawu
Yang tersisipkan (pada ‘Umar) untuk mendhalimi ‘Amr”
Begitulah keadaan yang tergambar pada Muchtar Luthfi….. Ngaku-ngaku Ahlus-Sunnah dan gemar mencatut nama Ahlus-Sunnah; justru bertujuan mendhalimi Ahlus-Sunnah. Pada hakikatnya engkau bukanlah Ahlus-Sunnah walau sepotong kuku pun……. Syair tersebut cocok sekali untukmu……
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab lah yang dijadikan objek celaan Muchtar Luthfi, justru berada di atas aqidah dan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
4. O iya,….. Muchtar Luthfi dalam uraian picisannya menukil perkataan Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf; yang ia juluki secara berlebihan sebagai seorang “ulama Ahlu-Sunnah” yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim. Pengakuan dan julukan ulama Ahlus-Sunnah yang disematkan kepada As-Saqqaf ini pun disesuaikan dengan selera Muchtar Luthfi yang otomatis berkesesuaian paham dengannya. Kalau seperti ini, idem pula dengan apa yang telah ana tuliskan di atas. As-Saqqaf (juga Muchtar Luthfi) bukanlah seorang Ahlus-Sunnah ditinjau dari aqidah dan manhajnya. Ia adalah seorang beraqidah Jahmiyyah tulen dengan ta’wil dan ta’thil terhadap sifat-sifat Allah. Ia berkata dalam kitabnya At-Tandiid liman ‘Adadat-Tauhid halaman 50: “Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menegaskan bahwa Allah ta’ala tidak boleh disifati kalau Dia berada di luar alam maupun di dalam alam”. Ahlus-Sunnah menurut selera As-Saqqaf. Persis dengan apa yang dipahami oleh Muchtar Luthfi. Jadi,…. syair tentang Laila di atas cocok pula diucapkan pada As-Saqqaf. Mulutnya yang kotor dengan seringnya melontarkan penghinaan dan kata-kata keji terhadap Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin Abdil-Wahhab, Al-Albani, dan yang lainnya. Sebagaimana pepatah Arab : Kambing tetaplah kambing walaupun ia bisa terbang. As-Saqqaf bukanlah apa-apa dibandingkan dengan para ulama yang ia cela.
5. Muchtar Luthfi telah membeo Hasan As-Saqqaf dengan mengatakan bahwa Salafy adalah Nashiby (Pembenci Ahlul-Bait). Ana terus terang nggak tahu, apakah perkataan ini dilandasi dengan ilmu atau dengan kebodohan. Standar apa yang dipakai. Bila yang dimaksud bahwa Salafy sangat menentang tindakan berlebih-lebihan terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti halnya kaum Syi’ah dan Shufi, justru pemahaman Muchtar Luthfi lah yang harus diformat ulang. Tentu, jika ia kembali menegaskan bahwa dirinya berada di aqidah Ahlus-Sunnah. Lain halnya jika ia mengaku seorang Syi’i atau Shufi, duduk perkaranya jelas.
Imam Abul-Qasim Al-Asbahani dalam Al-Hujjah fii Bayanil-Mahajjah 2/489-490 berkata : “Dan termasuk sunnah Rasul adalah cinta terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya :
قُل لاّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاّ الْمَوَدّةَ فِي الْقُرْبَىَ
“Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." (QS. Asy-Syuuraa : 23) [selesai].
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : “…..kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul-Bait), menghormati dan memuliakan mereka selama mereka berittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahihah dan istiqamah di dalam memegang dan menjalani syari’at agama. Adapun kalau mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan menjalani syari’at agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka sekalipun mereka Ahlul-bait Rasulullah…..” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyyah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 148).
Dan di sini khusus akan ana bawakan matan asli dari kitab ‘Aqidah Wasithiyyah karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – dimana Muchtar Luthfi ini menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Nashiby. Berikut perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala “
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم غدير خم : (أذكركم الله في أهل بيتي) ، وقال أيضاً للعباس عمه وقد إليه اشتكى أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون يحبوكم حتى لله ولقرابتي) وقال : (إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Mereka (Ahlus-Sunnah), mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, setia kepada mereka serta menjaga wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mereka, dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari Ghadir-Khum (ketika pulang dari haji wada’), beliau bersabda : “Aku peringatkan kalian kepada Allah tentang keluargaku” (HR. Muslim 4/1873 dari Zaid bin Arqam), dan beliau berkata kepada ‘Abbas, dimana ‘Abbas mengadu (mengeluh) kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa sebagian dari orang Quraisy membenci Bani Hasyim, maka beliau bersabda : “Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya. Mereka tidaklah beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Isma’il. Dan Dia telah memilih Kinanah dari Bani Isma’il. Dan Dia telah memilih Quraisy dari Kinanah. Dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari Quraisy. Dan Dia telah memilhku dari Bani Hasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin. Juga dikarenakan mereka adalah istri beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam di akhirat kelak; khususnya Khadijah radliyallahu ‘anha, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Khadijah adalah orang yang pertama beriman kepada beliau dan mendukung beliau, serta mempunyai kedudukan tinggi. Dan Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (yaitu ‘Aisyah) radliyallaahu ‘anhaa dimana beliau berkata tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai].
Perhatikan aqidah Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah tentang Ahlul-Bait Nabi di atas. Tuduhan Nashiby yang ditujukan kepada Syaikhul-Islam oleh orang-orang semacam Muchtar Luthfi ini adalah tuduhan usang untuk menjauhkan umat dari ulamanya. Kita tahu bahwa Syaikhul-Islam mempunyai perkataan-perkataan yang keras dan tegas dalam membantah kaum Syi’ah dan Ahlul-Bida’. Oleh karena itu, mereka merasa sewot sehingga tidak segan berdusta atas nama Syaikhul-Islam demi mempopulerkan aqidah mereka yang sesat. Adapun beberapa nukilan mereka dari kitab Minhajus-Sunnah, maka itu hanyalah manipulasi yang sangat biasa mereka lakukan dengan mengambil beberapa potong kalimat Ibnu Taimiyyah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan membuang sebagian yang lain yang merugikan mereka.
Orang macam Muchtar Luthfi ini menginginkan kita untuk bersikap ghulluw terhadap Ahlul-Bait dengan menempatkan mereka pada posisi yang tidak semestinya. Puncak keinginannya – mungkin – adalah meyakini apa yang telah diyakini Syi’ah Rafidlah terhadap para imam mereka yang dua belas itu. Selain itu, orang semacam Muchtar Luthfi ini pula hendak mempopulerkan orang-orang sesat yang sering ngaku Ahlul-Bait Nabi (baca : Ahlul-Bait palsu) menjadi seorang tokoh “panutan” sebagaimana sering kita lihat di masyarakat kita. Ahlul-Bait palsu yang sering merangkap profesi menjadi kaahin dan ‘arraf (alias dukun/paranormal). Dan kalaupun benar diantara mereka adalah Ahlul-Bait, maka – sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan – ke-walaa’-an (loyalitas) kita kepada mereka pun harus diukur sejauh mana mereka beriltizam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemuliaan nasab hanya bermanfaat jika diiringi kemuliaan aqidah, manhaj, dan amal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya” [HR. Muslim – Al-Arba’un-Nawawiyyah hadits ke-36].
6. Dalam ocehannya itu, Muchtar Luthfi merasa perlu membuat kedustaan baru karena merasa gerah atas penjelasan para ulama Ahlus-Sunnah (yang sering ia namakan : Ulama Wahabi/Salafy) atas kesesatan Syi’ah, aliran tumbuh subur di negeri yang ia minum susunya (baca : racunnya). Ia sangat ingin agar Syi’ah diterima sebagai salah satu madzhab Islam, sebagaimana madzhab-madzhab lain yang diakui. Ya,…. karena telah mendapat recehan beasiswa, ia gadaikan aqidah yang shahih untuk kemudian dicampur dengan aqidah hitam milik Syi’ah. Tidakkah engkau tahu wahai Muchtar, kalau yang namanya Syi’ah itu mencela dan mengkafirkan para shahabat ? Akibat lemahnya aqidah al-wala’ wal bara’-mu, engkau merasa harus lebih marah dan tersinggung ketika para ulama Ahlus-Sunnah membeberkan keborokan Syi’ah daripada kemarahanmu pada orang Syi’ah mencaci-maki para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Padahal, para shahabat adalah satu-satunya generasi dari kalangan umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah diridlai Allah. Al-Qur’an menjadi saksi :
وَالسّابِقُونَ الأوّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالّذِينَ اتّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدّ لَهُمْ جَنّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100].
Adalah hal yang sangat-sangat aneh jikalau ada orang yang justru membela seorang pendusta macam Khomeini, padahal mulutnya yang tidak lebih mulia dari mulut burung bulbul telah mengatakan tentang dua shahabat yang mulia (Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma) : “Kami tidak ada urusannya dengan dua tokoh itu dalam mengacak-acak Al-Qur’an, mempermainkan hukum Tuhan; dalam apa yang mereka halalkan dan haramnkan serta perbuatan kejam dan keji mereka…..dst.” [lihat Kasyful-Asrar hal. 126-127]. Perkataannya yang lain : “Perkataan ‘Umar bin Khaththab saat itu hanyalah kebohongan yang terlontar dari seorang kafir dan zindiq, dimana bertolak belakang dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an” [ibid, hal. 176].
Dalam kitab Raudlatul-Kaafi halaman 205, orang yang punya nama Al-Kulaini (ulama haditsnya kaum Syi’ah) telah menuliskan sebuah riwayat (baca : dusta) : “Abu Ja’far menyatakan bahwa semua orang menjadi murtad setelah Nabi Muhamamd shallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali tiga orang”. Dikatakan : “Siapa tiga orang itu?”. Ia menjawab : “Ar-Riqaad, Abu Dzar, dan Salman”.
Banyak riwayat senada yang punya inti cerita demikian (kafirnya mayoritas shahabat). Tahukah kita apa konsekuansi dari anggapan kafirnya para shahabat Nabi ? Betul, mereka hendak membatalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebab dua sumber itu sampai kepada kita melalui para shahabat. Untuk Al-Qur’an, mereka agak takut-takut untuk berkata secara “gentle”. Sebab, jika mereka mencela Al-Qur’an, semua orang otomatis menolak agama dan keyakinan yang mereka jajakan. Makanya, mereka membuat penakwilan-penakwilan ganjil untuk menyerang aqidah Ahlus-Sunnah. Saat ini, dengan metode muka dua mereka (taqiyyah), mereka hendak menyembunyikan aqidah agama Syi’ah yang memuat adanya tahrif (perubahan) Al-Qur’an. Al-Kulaini meriwayatkan (secara dusta) dari Ja’far bin Muhamad yang berkata : “Yang ada pada kami adalah mushhaf Fathimah (as). Mereka tidak tahu apa sebenarnya Mushhaf Fathimah itu. Mushhaf Fathimah adalah tiga kali lebih besar dari Al-Qur’an kalian. Demi Allah,… tidak ada sehuruf pun Al-Qur’an kalian ini terdapat di dalamnya” [Al-Ushul minal-Kaafi 1/238]. Telah berlalu perkataan Khomeini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an telah diacak-acak oleh Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sebagai tambahan, simaklah perkataan Al-Mufid dalam kitabnya Al-Maqaalaat : “Golongan Imamiyyah (Syi’ah) berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab merupakan tokoh yang sesat. Keduanya mengacak-acak Al-Qur’an saat menyusunnya dan tidak jujur dalam menetapi ketentuan Nuzul-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Dinukil dari Fashlul-Khithaab karya Ath-Thabrusi hal. 27). Kalau di bidang hadits,………. maka orang Syi’ah ini dikenal jago dalam menghina Shahihain (karena mereka memang tidak mempercayai kitab-kitab hadits Ahlus-Sunnah). Mem-plintir-plintir hadits, dan lain sebagainya…..
Masih terlalu banyak untuk disebutkan kesesatan Syi’ah, seperti : rajaa’, kema’shuman imam, nikah mut’ah, dan yang lainnya.
Nah……dengan melihat kenyataan ini, sungguh kebangetan (bodohnya) kalau ada orang yang masih mengangap bahwa Syi’ah itu tidak sesat. Dan satu diantara banyak orang yang kebangetan itu adalah Muchtar Luthfi. Mungkin perkataan Imam Malik ini cukup mewakili apa yang hendak ana katakan : “Karena mereka membenci para shahabat, dan barangsiapa membenci para shahabat, maka ia telah kafir berdasarkan ayat ini (yaitu QS. Al-Fath : 29)” [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Fath : 29). Selain Imam Malik, berderet Imam-Imam Ahlus-Sunnah yang menganggap Syi’ah itu sebagai satu aliran yang sangat-sangat sesat…………. (ex : Al-Qadli ‘Iyadl, Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain).
Kemudian yang lainnya, yaitu tentang sesatnya Shufiyyun dan para Khurafiyyun, maka telah jelas (kecuali bagi Muchtar Luthfi mungkin). Bagaimana tidak sesat jika ada seseorang yang berkeyakinan orang yang mati dapat menolong sehingga dipropagandakan bagi orang yang hidup untuk “minta” sesuatu padanya ? Bagaimana tidak sesat jikalau ada orang yang memproklamirkan diri bahwa dirinya telah mencapai tingkatan ma’rifat sehingga ia terbebas dari taklif (beban syari’at) ? Bagaimana tidak sesat jikalau ada orang yang ngaku wali namun kerjaannya hanyalah ngurusin jimat, kesaktian, dan yang semisal yang tak ubahnya seperti mbah dukun (cuman bedanya, dukun yang satu ini berkopiah atau bersorban) ? Kalau itu semua tidak dikatakan sesat, ya…. mendingan bicara saja sama ayam. Itu lebih selamat daripada menyebarkan syubhat di telinga kaum muslimin. Tapi ingat, ulama Ahlus-Sunnah (Salafy/Wahabi sebagaimana dimaksud Muchtar Luthfi) tidak sembrono dalam menjustifikasi sesuatu. Bila mereka mengatakan sesuatu itu tidak benar, maka akan dijelaskan dalilnya. Mereka selalu merujuk pada penjelasan ulama salaf mengenai hal ini. Dan perlu diketahui pula bahwa ketika menyebut suatu perbuatan itu sebagai perbuatan syirik, tidak serta-merta pelakunya secara individu disebut musyrik.
7. Katanya pula, Wahabi/Salafy hobi memalsu dan mengotak-atik kitab. Para ulama Salafy/Wahabi tidak punya kegemaran seperti itu pak ! Ana kadang merasa lucu; di awal, Muchtar Luthfi mengkritik Wahabi dan orang-orang yang bersamanya di hari ini. Kemudian, ia nabrak-nabrak nama Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah dimana seakan-akan ia sebut ulama Wahabi. Tahu nggak lucunya ikhwah ? Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab itu lahir tahun 1115 H/1703 M. Apa hubungannya dengan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah ? Apa mereka itu Wahabi ? Kemudian, ia nyinggung-nyinggung tentang Imam Al-Alusi dengan Ruhul-Ma’ani-nya. Terus terang ana belum pernah dengar dongeng yang diceritakan oleh Muchtar ini (tentang perubahan yang dilakukan oleh anaknya yang bernama : Nukman al-Alusi). Terlepas benar atau salahnya cerita ini, apa hubungannya dengan Wahabi dan Salafy ? Tuduhan Muchtar Luthfi sudah demikian membabi-butanya. Orang yang tidak sepaham dengannya ia sebut dengan Wahabi/Salafi. Jadi, standar seorang Wahabi/Salafi adalah ketidaksesuaian dengan Muchtar Luthfi. Aneh !!
Orang seperti Muchtar Luthfi ini hanyalah mengikuti suara yang berhembus di telinganya saja. Berhubung ia sekolah di Iran, maka suara yang berngiang adalah suara celaan terhadap Ahlus-Sunnah. Perlu diketahui bersama bahwasannya banyak ulama yang mentahqiq ataupun mentakhrij suatu kitab. Contoh : Tafsir Ibnu Katsir. Banyak ulama yang mentahqiq atau meringkas kitab tafsir ini dengan membuang beberapa riwayat israiliyyat dan dla’if dan menambahkan sedikit catatan kaki untuk menambah faidah. Ini tidak bisa disebut main curang, karena kitab tersebut selalu diberikan keterangan hasil tahqiq-an oleh pentahqiq. Selain itu, kitab yang asli pun masih tercetak. Tidak ada yang disembunyikan. Ini adalah hal yang sangat biasa dilakukan di kalangan ulama. Misalnya juga : kitab Shahih Muslim. Dalam rangka memudahkan para pembaca untuk menghafal dan mempelajarinya, maka Imam Al-Mundziri meringkasnya dalam bentuk Mukhtashar Shahih Muslim. Shahih Bukhari juga…. (seperti ringkasannya Imam Az-Zabidi). Mengenai kitab manhaj/aqidah, taruhlah kita ambil contoh kitab Al-I’tisham karya Imam Asy-Syathibi. Banyak ulama yang telah mentahqiqnya seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridla, Syaikh Salim, bin ‘Ied Al-Hilaly, Syaikh Abdurrazzaq Al-Mahdi, dan yang lainnya. Sifat peringkasan ini adalah diperbolehkan dengan tanpa merubah tujuan penulisan kitab. Hal ini telah ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah-nya :
أن يكون الشيء من التواليف التي هي أمهات للفنون مطولا مسهباً ، فيقصد بالتأليف تلخيص ذلك بالاختصار والايجاز وحذف المتكرر إن وقع مع الحذر من حذف الضروري لئلا يخل بمقصد المؤلف الاول .. "
“Sebuah karya tulis yang panjang dan lebar dimana merupakan induk ilmu pengetahuan, maka tujuan dari penulisan adalah meringkas dengan cara menghilangkan pengulangan kalau memang ada, disertai keberhati-hatian agar jangan sampai merusak maksud dan tujuan si Penulis kitab”. [selesai]
Dari situ kita tahu bahwa peringkasan kitab dengan menghapus apa-apa yang tidak diperlukan (baik berupa pengulangan atau penghilangan kalmat-kalimat yang kurang bermanfaat – seperti riwayat-riwayat dla’if atau yang semisal) adalah diperbolehkan. Dan hal itu – sekali lagi – biasa dilakukan oleh para ulama dahulu, apalagi sekarang. Selain peringkasan, para ulama juga terbiasa memberikan ta’liq/hasyiyah (komentar/catatan kaki/catatan pinggir) atau syarah pada sebuah kitab, baik berisi penjelasan atau bahkan kritikan. Dalam bidang hadits kita mengenal Hasyiyah As-Sindi ‘alaa Sunan Nasa’i karya Nuruddin bin ‘Abdil-Hadi As-Sindi, Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ karya Imam Al-Baji, dan lain-lain. Di bidang fiqh kita mengenal : Hasyiyah Ibni ‘Abidin. Dan lain-lain banyak. Mungkin Muchtar Luthfi ini merasa kurang sreg jika beberapa hadits dla’if dan maudlu yang merupakan makanan favorit kaum Syi’ah dan Shufi dihilangkan dalam kitab atau diberi beberapa catatan/peringatan. Hal inilah yang terjadi di Kitab Fathul-Bari atau Syarah Shahih Muslim dimana para ulama memberikan beberapa catatan berharga atas dua kitab tersebut. Apakah ini yang namanya khianat dan curang ? Mungkin hanya Muchtar Luthfi dan orang-orang yang seide dengannya saja yang berkepentingan untuk mengatakannya………….
Dusta yang dibawa Muchtar Luthfi ini memang keterlaluan. Katanya, Salafy/Wahaby telah menghapus riwayat : “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” dalam Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar. Satu kitab ana ambil : Tarikh Khulafaa’-nya As-Suyuthi. Matan yang ana miliki masih mencantumkan hadits tersebut. Tepatnya begini (ana ambil satu paragraf) :
واخرج الترمذي عن أبي سعيد الخدري قال كنا نعرف المنافقين ببغضهم عليا وأخرج البزار والطبراني في الأوسط عن جابر بن عبد الله وأخرج الترمذي والحاكم عن علي قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أنا مدينة العلم وعلى بابها هذا حديث حسن علي الصواب لا صحيح كما قال الحاكم ولا موضوع كما قاله جماعة منهم ابن الجوزي والنووي وقد بينت حاله في التعقبات على الموضوعات
Mungkin saja,…. sebagaimana telah ana tuliskan, bahwa kitab yang dibaca oleh Muchtar Luthfi itu berupa ringkasan atau hasil tahqiq. Namun hal itu bukan berarti menghilangkan riwayat itu sama sekali dalam kitab aslinya. Karena ternyata, hadits tersebut memang tidak shahih !! Muchtar Luthfi mengatakan bahwa hadits tersebut terdapat dalam “Shahih At-Tirmidzi”.
Sekarang mari kita lihat lafadh hadits yang terdapat dalam Sunan Tirmidzi :
حدثنا إسماعيل بن موسى حدثنا محمد بن عمر بن الرومي حدثنا شريك عن سلمة بن كهيل عن سويد بن غفلة عن الصنابحي عن علي رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا دار الحكمة وعلي بابها قال هذا حديث غريب منكر
……..(sanad diringkas)….Dari Ash-Shanabahii, dari ‘Ali, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku adalah kota ilmu sedangkan ‘Ali adalah pintunya”. Berkata At-Tirmidzi : “Hadits Gharib Munkar !!” (HR. Tirmidzi nomor 3723).
Status hadits tadi adalah seperti yang dikatakan Imam At-Tirmidzi, baik dengan lafadh tersebut atau lafadh sebagaimana tersebut dalam Tarikh Al-Khulafaa’.
Semua lafadh yang semakna dengan hadits di atas adalah tidak shahih. Ibnul-Jauzi menyebutkannya dalam kumpulan hadits maudlu : Al-Mu’dlu’aat 3/349-355. Syaikh Al-Albani juga menyebutkannya dalam Silsilah Adl-Dla’iifah no. 2955. Kemarahan Muchtar Luthfi tersebut patut kita “pahami” karena sepertinya ia pengagum berat Khomeini dan Syi’ah dengan bungkus : Cinta Ahlul-Bait – (dikiranya Ahlus-Sunnah tidak cinta pada Ahlul-Bait kali…..). Jadi jangan heran kalau ada hadits, walaupun maudlu’, yang terpaksa dihilangkan oleh para ulama, membuat dirinya sangat gusar.
Kalau tadi dia nuduh, dan telah kita buktikan bahwa tuduhannya adalah dusta; sekarang mari kita gantian lihat metode tipu-menipu penukilan hadits dari golongan Syi’ah. Ana contohkan : Seorang ulama Syi’ah kontemporer : Ja’far Subhani; yang dalam banyak tulisannya sering bergaya layaknya Ahlul-Hadits (yang banyak menipu orang awam). Dalam bukunya Al-Wahabiyyah fil-Mizan, yang diterjemahkan Pustaka Hidayah : Kritik Atas Paham Wahabi halaman 27 ketika mengkritik hadits Jabir :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حفص بن غياث عن بن جريج عن أبي الزبير عن جابر قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر ،وأن يقعد عليه،وأن يبى عليه
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang melabur kuburan, duduk di atasnya, dan mendirikan bangunan di atasnya” (HR. Muslim no. 970).
Ia (Ja’far Subhani) menuliskan beberapa komentar ulama Jarh wa Ta’dil akan ke-mudallis-an Ibnu Juraij (yang menyebabkan kelemahan). Kita tahu, bahwasannya seorang perawi mudallis, riwayatnya diterima apabila ia menegaskan penyimakannya terhadap kabar yang diterima. Dan sungguh aneh, Ja’far Subhani sengaja menyembunyikannya ! Padahal, penegasan penyimakan Ibnu Juraij itu ada pada riwayat yang lain, yaitu persis hadits di bawah hadits di atas. Imam Muslim menyebutkan :
وحدثني هارون بن عبد الله حدثنا حجاج بن محمد ح وحدثني محمد بن رافع حدثنا عبد لرزاق جميعا عن بن جريج قال أخبرني أبو الزبير أنه سمع جابر بن عبد الله يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم بمثله
Memang, Ja’far Subhani dalam buku tersebut tidak hanya mengkritik Ibnu Juraij (ia juga mengkritik Abu Zubair). Tapi kritikannya jauh sekali dari standar kata ilmiah.
Contoh lain adalah sebagaimana uraian Syaikh Al-Albani ketika menjelaskan kedustaan dan ketidakamanahan As-Sayyid Abdur-Ridla Al-Mar’isyi Asy-Syi’iy dalam bukunya : As-Sujuud ’alaat-Turbah Al-Husainiyyah. Ia pernah berkata saat ingin memberikan dasar justifikasi shahihnya amalan orang Syi’ah yang sujud di atas lempengan tanah Karbala dengan mencomot dari sumber Ahlus-Sunnah :
و منهم الفقيه الكبير المتفق عليه مسروق بن الأجدع المتوفى سنة ( 62) تابعي عظيم من رجال الصحاح الست كان يأخذ في أسفاره لبنة من تربة المدينة المنورة يسجد عليها ( ! ) كما أخرجه شيخ المشايخ الحافظ إمام السنة أبو بكر ابن أبي شيبة في كتابه " المصنف " في المجلد الثاني في " باب من كان يحمل في السفينة شيئا يسجد عليه ، فأخرجه بإسنادين أن مسروقا كان إذا سافر حمل معه في السفينة لبنة من تربة المدينة المنورة يسجد عليها "
“Dan diantara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Ajda’ yang meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’in besar yang tergolong rijal shihah yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhul-Masyaayikh Al-Haafidh Imamus-Sunnah Abu bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al-Mushannaf jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ’Alaih. Dia meriwayatkannya dengan dua sanad, bahwasannya Masruq apabila safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk sujud di atasnya”.
Kedustaannya adalah : Pertama; atsar ini dalam Al-Mushannaf tidak diriwayatkan dengan dua sanad, namun hanya satu sanad yang bersumber dari Muhammad bin Sirin. Kedua, perkataannya : ‘batu lempengan dari Madinah Munawwarah’ itu tidak ada sama sekali di tempat yang ia tunjukkan dalam Al-Mushannaf. Entah dari mana orang Syi’ah ini bisa mengambil kalimat tersebut. Selain itu, atsar ini juga lemah.
Ini adalah contoh ringan saja. Yang lain ? Banyak…. Dan memang, orang Syi’ah itu telah biasa dan membiasakan diri untuk berdusta. Maka tidak berlebihan perkataan para imam jarh wa ta’dil bahwa orang Syi’ah adalah orang yang paling dusta dalam periwayatan.
Muchtar Luthfi mengisyaratkan bahwa orang-orang yang ia sebut sebagai Salafy/Wahabi itu tidak berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan. Atas dasar apa ia mengatakan itu ? Apa karena orang-orang Salafy/Wahabi memborong dan membakar kitab-kitab Syi’ah yang menebar syubhat kepada umat itu ? Tindakan ini sungguh tepat demi menyelamatkan aqidah umat Islam dari tipu daya Syi’ah. Kita tidak ingin umat membenci shahabat Nabi karena “tergigit” dan tertular virus rabies Syi’ah dari buku yang dibaca. Kita tidak ingin umat melakukan prostitusi massal dengan kedok nikah mut’ah ala Syi’ah. Dan kita pun tidak ingin umat berkubang kesyirikan degan menuhankan para imam Syi’ah. Banyak ketidakinginan syar’i kita.
Hal ini sama sekali tidak berkorelasi dengan akurasi bantahan ilmiah dari ulama. Betapa banyak bantahan yang telah dihasilkan dari produk-produk tipu daya Syi’ah. Kenyataan yang ada di lapangan, justru merekalah yang “main kayu”. Korban-korban ulama Ahlus-Sunnah atas kedhaliman ahlul-bida’ telah banyak. Salah satu contohnya adalah Dr. Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah. Ia adalah murid Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ia sangat produktif menulis kitab kesesatan Syi’ah, Shufiyyah, dan Ahmadiyyah dengan bahan dan rujukan dari kitab-kitab mereka sendiri. Karena gerah dan eksistensinya mulai terancam atas tulisan-tulisan Dr. Ihsan, maka ahlul-bida’ membunuhnya secara curang. Semoga Allah melimpahkannya pahala kesyahidan. Dr. Ali Muzhafaryan pun mengalami nasib serupa. Dan masih banyak yang lain lagi.
8. Akhir ulasan Muchtar Luthfi membahas tentang sisi kesamaan Salafy/Wahabi dengan Khawarij. Ia menuduh Syikah Muhammad bin Abdil-Wahhab adalah gembong takfir yang tidak segan-segan mengecap kafir pada orang-orang yang tidak sehalauan dengannya. Cukuplah ana nukilkan perkataan Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab tentang ini; beliau berkata dalam risalahnya kepada penduduk Qasim sekaligus menepis tuduhan serupa yang dilntarkan oleh Ibnu Suhaim :
“Allah mengetahui bahwa orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku. Diantaranya dia berujar bahwa aku mengatakan : ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orng-orang shalih, aku mengkafirkan Al-Bushiri, aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah’. Jawabanku terhadap tuduhan ini : ‘Maha Suci Engkau ya Rabb kami, sesungguhnya ini kedustaan yang amat besar” [Majmu’ah Muallafat Syaikh 5/11,12].
Perkataan Syaikh Ibnu Abdil-Wahhab ini sekaligus membantah tuduhan Muchtar Luthfi si pembeo ahlul-bida’. Dan inilah yang diyakini oleh Salafy saat ini, bahwa mereka tidak enteng saja mengatakan Fulan Kafir tanpa adanya hujjah yang nyata. Dan mungkin pula, ini disebabkan oleh kebodohan Muchtar Luthfi – sebagaimana bisa terlihat – akibat tidak bisa membedakan perkataan mujmal dan mu’ayyan. Maksudnya begini……. Jikalau kita melihat orang yang meminta-minta keselamatan kepada orang mati di kubur, maka kita boleh mengatakan : “Wahai Fulan, engkau telah berbuat syirik”. Atau mengatakan lebih umum lagi : “Barangsiapa yang meminta-minta sesuatu kepada penghuni kubur, maka ia telah berbuat kufur akbar”. Allah ta’ala berfirman :
قُلِ ادْعُواْ الّذِينَ زَعَمْتُم مّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضّرّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً * أُولَـَئِكَ الّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىَ رَبّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنّ عَذَابَ رَبّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Katakanlah,’Panggilah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Israa’ : 56-57).
Perkataan di atas tentu berbeda dengan : “Fulan telah kafir”. Harap diperhatikan !!
Orang semacam Muchtar Luthfi ini tentu kebakaran kumis melihat dakwah Tauhid yang ingin mengajak manusia untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala kesyirikan.
Pelengkap bumbu dusta, Muchtar pun membeo pendahulunya dari kalangan ahlul-bida’ yang mengatakan bahwa daerah Nejd di Saudi, tempat Syikah Muhammad bin Abdil-Wahhab berdakwah, sebagai tempat kemunculan fitnah dan tanduk syaithan. Ia mencocok-cocokkan hadits sesuai dengan hawa nafsunya – sebagaimana biasa. Ana jawab secara ringkas. Hadits tersebut terdapat dalam beberapa lafadh dan jalur sehingga saling menafsirkan. Dalam lafadh yang dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir no. 13241 dari jalur Isma’il bin Mas’ud : Telah menceriytakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun, dari ayahnya, dari Nafi, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا , اللَّهُمَّ بَارِكْ فِي يَمَنِنَا, فَقَالَهَا مِرَارًا , فَلَمَّا كَانَ فِي الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ , قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي عِرَاقِنَا , قَالَ:إِنَّ بِهَا الزَّلازِلَ , وَالْفِتَنَ , وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.
“Ya Allah, berkahilah kami dalam Syam kami, ya Allah berkahilah kami dalam Yaman kami”. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para shahabat nerkata : “Wahai Rasulullah, dalam ‘Iraq kami ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula terdapat tanduk syaithan”.
Imam Muslim dalam Shahihnya nomor 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudlail, dari ayahnya, dia berkata : Aku mendengar ayahku, Salim bin Abdillah bin ‘Umar berkata
يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة سمعت أبي عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الفتنة تجىء من ها هنا وأومأ بيده نحو المشرق حيث يطلع قرنا الشيطان
“Wahai penduduk Iraq, alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar. Aku mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini’. Beliau menunjukkan dengan tangannya kea rah timur. Dari situlah munculnya dua tanduk syaithan”.
Jadi yang dimaksud Nejd dalam hadits tersebut adalah ‘Iraq. Nejd dalam bahasa Arab berarti : arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejed-nya adalah Iraq (Iraq terletak di sebelah timur Madinah).
Sebenarnya Muchtar Luthfi telah menuliskan bahwa yang dimaksud dengan kata “Najd” adalah timur. Namun ia manipulasi sesuai dengan hawa nafsunya dengan mbawa-mbawa nukilan Al-Qisthalani.
Mengenai urusan gundul-menggundul rambut kepala, maka ini tuduhan yang lebih ngawur lagi. Ana juga heran sama Muchtar Luthfi dan orang yang ia taqlidi; bagaimana bisa ia hubungkan gundul-menggundul dengan Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab dan Wahabi/Salafy-nya ? Ngawur ya ngawur, tapi kok kebangetan….. Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab pernah membantah fitnah ini dengan berkata :
“Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini, sebab kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasi kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang ma’lum bi dlarurah (diketahui oleh semua). Jenis-jenis kekufuran baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk diantaranya (kekufuran atau kemurtadan). Bahkan kami tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan” [Ad-Durarus-Saniyyah 10/275-276, cet. 5].
Kesimpulan : Apa yang telah dicelotehkan oleh Muchtar Luthfi ini hanyalah lagu usang yang mencela dakwah Tauhid dan usaha-usaha untuk kembali kepada pemahaman as-salafush-shalih. Latar belakang tulisannya hanyalah murni sentimen kelompok karena pembelaan terhadap kaum shufi dan Syi’ah, walau sesekali ia mengatasnamakan Ahlus-Sunnah (?). Ia cela Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah, dan – tidak lupa – Muhammad bin Abdil-Wahhab. Ia sepertinya gak berani nyebut-nyebut Imam Syafi’i. Soalnya kalau ia berbuat seperti itu, bisa gak laku dagangan basi dia buat orang Indonesia yang kebanyakan ngaku syafi’iyyah. Dan telah disebutkan, Imam Syafi’i (dan juga para imam yang lain) berlepas diri dari aqidah yang dianut oleh Muchtar Luthfi dan orang-orang yang setipe dengannya. Wallaahu a’lam.
makasih atas penjelasannya, terhadap syubhat orang2 syiah ini. meskipun tempoe doeloe, tapi bagus tadz, apakah masih ada toelisan tempoe doeloe lagi ? kalik ada yg bagus dan bisa di share....hehehe
BalasHapusluar biasa...keep semnagat ya ustadz
BalasHapus