Beberapa waktu lalu, seorang ikhwan bertanya di blog ini mengenai makna duburush-shalawaatil-maktuubaat (akhir shalat-shalat yang diwajibkan) dalam kaitannya dengan waktu-waktu mustajab untuk berdoa.
Apa yang akan dituliskan di sini bukan hendak menjawab secara langsung apa yang ditanyakan. Akan tetapi hendak membahas dan mengoreksi apa yang pernah saya tulis mengenai bahasan hadits dimaksud. Dalam artikel yang berjudul “Waktu-Waktu Mustajab untuk Berdoa” (lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/01/waktu-waktu-mustajab-untuk-berdoa.html), saya pernah menuliskan :
4. Di akhir shalat-shalat yang diwajibkan.
عن أبي أمامة قال : قيل : يا رسول الله أي الدعاء أسمع؟ قال جوف الليل الآخر، ودبر الصلوات المكتوبات.
Dari Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu : Dikatakan : “Wahai Rasulullah, kapankah waktu yang paling baik saat doa dikabulkan ?”. Beliau bersabda : “Akhir waktu malam dan akhir shalat-shalat yang diwajibkan”.8
Kemudian saya menuliskan catatan kaki no. 8 sebagai berikut :
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3499 dan dihasankan oleh Al-Albaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 3/441-442.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya no. 3499
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن يَحْيى الثَّقَفِيُّ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ : حَدَّثَنَا حَفْصُ بن غِيَاثٍ، عن ابن جُرَيْجٍ، عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن سَابِطٍ، عن أَبِي أُمَامَةَ، قالَ : قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ : أيُّ الدُّعَاءِ أَسْمعُ ؟ قَالَ : ((جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلواتِ الْمَكْتُوبَاتِ)).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa Ats-Tsaqafiy Al-Marwaziy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Ibnu Juraij, dari ‘Abdurrahmaan bin Saabith, dari Abu Umaamah, ia berkata : Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, kapankah waktu yang paling baik saat doa dikabulkan ?’. Beliau bersabda : ‘Akhir waktu malam dan akhir shalat-shalat yang diwajibkan”.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 108 dengan sanad seperti yang dibawakan At-Tirmidziy. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 2/424 no. 3948 dari ‘Abdurrahmaan bin Saabith secara mursal.
Al-Imaam Al-Albaaniy rahimahullah menghasankan hadits ini dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/441-442. Dalam Shahiih At-Targhiib wat-Tarhiib no. 1648, beliau berkata : “Shahiih lighairihi”.
Adapun dalam Misykaatul-Mashaabih no. 968, beliau berkata dengan menukil perkataan At-Tirmidziy dalam Ad-Da’awaat (2/263) : “Hadits hasan, para perawinya tsiqah, namun padanya terdapat ‘an’anah Ibnu Juraij, sedangkan ia seorang mudallis”.
Pembahasan :
Kualitas hadits ini adalah dla’iif (lemah) karena munqathi’.
‘Abdurrahmaan bin Saabith tidak mendengar (hadits) dari Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’iin dalam At-Taariikh no. 366 (riwayat Ad-Duuriy).
Az-Zaila’iy berkata dalam Nashbur-Raayah (2/235) :
قال الترمذي : حديث حسن. ورواه عبد الرزاق في مصنفه. أخبرنا ابن جريج، أخبرنا عبد الرحمن بن سابط به. قال ابن القطان في كتابه : واعلم أن ما يرويه عبد الرحمن بن سابط عن أبي أمامة، ليس بمتصل، وإنما هو منقطع، لم يسمع منه.
“Telah berkata At-Tirmidziy : ‘Hadits hasan’. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, selanjutnya sama dengan sanad At-Tirmidziy.[1] Ibnul-Qaththaan berkata dalam kitabnya : ‘Ketahuilah, bahwasannya apa yang diriwayatkan ‘Abdurrahmaan bin Saabith dari Abu Umaamah tidak bersambung sanadnya (muttashil), namun terputus (munqathi’). Ia tidak mendengar (hadits) dari Abu Umaamah”.
Sedangkan cacat lain dari ‘an’anah Ibnu Juraij yang didakwakan sebagian ulama, maka dalam riwayat ‘Abdurrazzaaq ia telah menyebutkan penyimakannya secara jelas dari ‘Abdurrahmaan bin Saabith.
Demikian takhrij ringkas atas hadits tersebut, sekaligus sebagai koreksian dari apa yang saya tulis sebelumnya. Semoga ada manfaatnya.[2]
[abul-jauzaa’ al-bogoriy – perumahan ciomas permai, rt 01/09, ciapus, bogor].
[1] Dalam Al-Mushannaf, ‘Abdurrazzaaq membawakan hadits dari Ibnu Juraij bukan dengan shighah tahdits, namun dengan ‘an.
[2] Dengan diketahuinya ke-dlaif-an hadits ini, maka tidak ada dasar khusus penetapan waktu mustajab untuk berdoa di akhir waktu shalat – dengan segala perbedaan pendapat di dalamnya akan makna duburush-shalaah. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
1. maknanya kita tak boleh beramal dengan hadith ni ke??
BalasHapus2. ada tak hadith lain yg menguatkan hadith ni??
1. Maknanya adalah hadits ini tidak boleh dijadikan hujjah karena dla'if. Adapun dasar dibacanya doa-doa ma'tsur di akhir shalat sebelum salam (sebagaimana penjelasan salah satu ulama tentang makna "duburush-shalah"), adalah hadits-hadits lain yang ma'tsur sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Imaam Al-Albaaniy dalam kitab Shifat Shalatin-Nabiy.
BalasHapus2. Sependek pengetahuan saya sampai saat ini, tidak ada hadits lain yang menjadi syahid atau muttabi' atas hadits tersebut selain dari yang telah disebutkan di atas. Wallaahu a'lam.
Jika ada penjelasan ikhwan yang lain selain dari apa yang telah dituliskan di atas, sangat saya harapkan.
Barakallahu fiik...
BalasHapusboleh nambahkan ya... ada satu ta'liil lagi atas hadis ini, disebutkan oleh al-Hafidz ibnu Hajar dalam "nataa`ijul afkar", yaitu syudzuudz. karena asl hadis ini datang dari jalan lima ashhab Abu Umamah, dari riwayat abu umamah, dari Amr bin Abasah, semuanya meriwayatkan hanya dengan bagian pertama saja (Jauful lail al-akhir).. (tanpa lafadz "wa duburush-shalawat)