Salah satu doktrin teologis primer bagi kaum Syi’ah menyatakan bahwa agama ini hanya akan tegak dengan wasilah (perantaraan) Ahlul-Bait. (Saat lawan bicara mereka adalah Ahlus-Sunnah), salah satu dalil penting yang mereka kemukakan adalah :
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyaan Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 1/536].
Yahya, menurut pen-tahqiq kitab Al-Ma’rifah (Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy hafidhahullah) adalah Ibnu Yahyaa bin Bakiir, seorang perawi tsiqah. Sedangkan menurut jalan sanad Al-Haakim, ia adalah Ibnul-Mughiirah As-Sa’diy Ar-Raaziy. Abu Haatim mengatakan ia perawi shaduuq [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/191 no. 798]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [9/no. 16357]. Adapun perawi lain adalah perawi Shahihain, kecuali Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja.
Al-Haakim (sebagaimana diisyaratkan sebelumnya) juga meriwayatkan dengan sanad dari Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain bin Mushlih Al-Faqiih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Yahyaa bin Al-Mughiirah As-Sa’diy, dan seterusnya sama dengan sanad seperti di atas; akan tetapi dengan lafadh :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض هذا حديث صحيح الإسناد على شرط الشيخين ولم يخرجاه
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, (yaitu) : Kitabullah dan ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Al-Mustadrak – bersama At-Tatabbu’ – 3/173-174 no. 4774. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sanadnya berdasarkan persyaratan Al-Bukhariy dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya/meriwayatkannya”].
Atas dasar hadits ini, maka mereka menanamkan satu pemahaman bahwa Ahlul-Bait haruslah ma’shum, terbebas dari kesalahan besar maupun kecil. Jaminan keselamatan (sebagaimana dalam hadits Zaid bin Arqam di atas) – menurut mereka - hanya ada pada pribadi-pribadi yang mendapat jaminan perlindungan Allah dari melakukan dosa dan kesalahan (baik sengaja ataupun tidak sengaja). Inilah secara ringkas ‘maunya’ mereka.
Apabila kita tengok cara pendalilan mereka (Syi’ah), sangat aneh rasanya jika mereka bersusah payah memakai dalil-dalil Ahlus-Sunnah (dalam kitab-kitab yang dipakai Ahlus-Sunnah). Mungkin mereka tahu jika mereka memakai nash-nash dari kitab-kitab Syi’ah akan menimbulkan reaksi penolakan dari Ahlus-Sunnah atas jajanan ‘aqidah yang coba mereka tawarkan, karena para imam/ulama telah menjelaskan pondasi dasar agama Syi’ah adalah kedustaan.
Sehubungan pendalilan berasal dari sumber Ahlus-Sunnah, tentu kita pun akan memahami, menyikapi, (mencoba) mengkritisnya, dan mengkomparasikannya dengan dalil-dalil lain yang diakui eksistensinya oleh Ahlus-Sunnah.
Pemahaman ala mereka menimbulkan banyak ke-musykil-an bagi Ahlus-Sunnah, di antaranya adalah :
- Definisi Ahlul-Bait.
Dalam blog ini telah ada pembahasan sebelumnya mengenai Ahlul-Bait [silakan baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html]. Jika mereka menggunakan dalil-dalil Ahlus-Sunnah, apakah mereka sepakat untuk mengambil keseluruhan dalil, atau sebagian dalil saja yang kebetulan sesuai dengan ‘aqidah dan ‘selera’ mereka ? Kita lihat. Dalil-dalil Ahlus-Sunnah menunjukkan bahwa Ahlul-Bait meliputi istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, serta keluarga ‘Abbas. Sebagian ulama lain menambahkan : seluruh keturunan Bani Hasyim, baik muslim dan muslimah. Merekalah golongan yang diharamkan menerima harta zakat. Apakah Syi’ah sepakat dengan dalil-dalil Ahlus-Sunnah ini ? Ternyata tidak. Mereka telah bersepakat bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk bagian Ahlul-Bait [lihat Tafsir Al-Qummiy 2/293, Shawaarimul-Muhriqah oleh At-Tustariy hal. 146, dan Siyarul-Aimmatil-Itsnay ‘Asyar hal. 13].
Ath-Thabaathabaa’iy berkata :
فالآية لم تكن بحسب النزول جزء اً من آيات نساء النبي ولا متَّصلة بها و إنما وضعت بينها إمّا بأمرٍ من النبي أو عند التأليف بعد الرحلة
“Ayat tersebut (QS. Al-Ahzaab : 33 atau ayat tahthiir kepada alul-bait)[1] bukan merupakan bagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi dan tidak ada kaitan dengannya. Hanya saja, ia ditaruh di antara ayat-ayat tersebut, mungkin dengan dasar perintah Nabi atau (ditaruh) pada waktu Al-Qur’an dituliskan setelah beliau wafat (oleh para shahabat)” [Al-Miizaan, 16/321 - http://www.ahl-ul-bait.com/newlib/Quran/almizan/almizan16/f7-16.htm].
Al-Majlisiy berkata :
فقد ظهر من تلك الأخبار المتواترة من الجانبين بطلان القول بأن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم داخلة في الآية، وكذا القول بعمومها لجميع الأقراب، ولا عبرة بما قاله زيد بن أرقم من نفسه مع معارضته بالأخبار المتواترة.
“Sungguh telah jelas/nyata dari khabar-khabar mutawatir tersebut sisi kebathilan pendapat yang mengatakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam cakupan ayat (QS. Al-Ahzaab : 33). Begitu pula dengan perkataan/pendapat yang menyatakan keumumannya bagi seluruh keluarga dekat. Tidak ada ‘ibrah (yang dapat diambil) dari perkataan Zaid bin Arqam atas dirinya karena bertentangan dengan khabar-khabar mutawatir” [Bihaarul-Anwaar, 35/333].[2]
Bahkan dalam Tafsir Farman ‘Aliy (tafsir yang dipakai kaum Syi’ah kontemporer – pada komentar QS. Al-Ahzaab : 33) dikatakan bahwa jika kita menghilangkan ayattahthir (penyucian terhadap ahlul-bait) dari tengah ayat, maka ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih baik dan lebih pas dibanding jika ada ayat tahthir tersebut.[3]
Padahal secara bahasa dan syari’at, kata ahlun (أَهْلٌ) dari seorang laki-laki itu termasuk istri-istrinya. Ayatullah Al-Khuu’iy – seorang ulama Syi’ah dari ‘Iraq – sendiri menjelaskan bahwa kata ahlun dari seseorang itu mencakup istri-istrinya.[4] Tapi entah kenapa jika dihubungkan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikeluarkan dari cakupan maknanya. Mengherankan !
Inilah wujud-wujud pengingkaran kaum Syi’ah tentang eksistensi istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian dari Ahlul-Bait beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Aasyuur rahimahullah (w. 1393 H) – ulama Ahlus-Sunnah - berkata :
أهل البيت : أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، والخطاب موجه إليهن، وكذلك ما قبله وما بعده. لا يخالط أحداً شك.وقد تلقف الشيعة حديث الكساء، فغصبوا وصف أهل البيت، وقصروه على فاطمة وزوجها وابنيها عليهم رضوان، وزعموا أنَّ أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لسن من أهل البيت.وهذه مصادمة للقرآن؛ بجعل هذه الآية حشواً بين ما خوطب به أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، وليس في لفظ حديث الكساء ما يقتضي قصر هذا الوصف على أهل الكساء؛ إذ ليس في قوله : (هؤلاء أهل بيتي) صيغة قصر، وهو كقوله تعالى عن إبراهيم أنَّه قال : ((إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيْفِي)) [الحجر : ٦٨]. ليس معناه : ليس لي ضيف غيرهم.وهو يقتضي أن تكون الآية مبتورة عمَّا قبلها وما بعدها.
“Ahlul-Bait adalah para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembicaraan tersebut diarahkan kepada mereka. Demikian pula apa yang sebelum dan setelahnya, tidak ada keraguan menyelubungi seorang pun. Kalangan Syi’ah telah menelan hadits kisaa’ (kain), lalu merampas kriteria ahlul-bait dengan membatasinya pada Faathimah, suami (‘Aliy bin Abi Thaalib), dan kedua puteranya (Al-Hasan dan Al-Husain) ridlwanullahu ‘alihim, lalu mereka mengklaim bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah termasuk ahlul-bait. Dan ini berbenturan dengan Al-Qur’an, dengan menjadikan ayat ini sebagai ‘sesuatu yang sia-sia’ di tengah nasihat-nasihat yang diarahkan kepada para istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara di dalam lafadh hadits kisaa’ itu tidak terdapat hal yang menuntut pembatasan kriteria ini pada orang-orang yang berada di dalam kisaa’ itu. Sebab di dalam sabda beliau : ‘Mereka adalah ahlul-bait-ku’ ; tidak terdapat shighah qashr (pembatasan). Ia seperti firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihis-salaam, bahwa ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku’(QS. Al-Hijr : 68). Maknanya bukan : ‘Aku tidak memiliki tamu selain mereka’. Dan ia berkonsekuensi pada terpenggalnya ayat tersebut dari apa yang sebelum dan setelahnya” [At-Tahriir wat-Tanwiir, 21/247-248].
Ketika mereka menggunakan hadits Zaid bin Arqam (yang diriwayatkan oleh Al-Fasawiy rahimahullah di atas) untuk berpegang teguh pada ahlul-bait yang jika kita berpegang-teguh dengannya, maka kita tidak akan tersesat; ternyata pada waktu yang bersamaan orang Syi’ah menolak hadits Zaid bin Arqam[5] yang mengatakan bahwa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam !! Pilih-pilih hadits ?!!?!….
Tidak istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak keluarga ‘Aqil, tidak keluarga Ja’far, tidak pula keluarga ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Yang diakui hanyalah keluarga ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu saja.
Tentang shahabat mulia Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu – paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – kaum Syi’ah berkata melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي بن الحسين أنه قرأ: إن قول الله عز وجل: ((وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً)) ، وقول الله عز وجل: ((وَلا يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ)) نزلتا فيه
Dari ‘Aliy bin Al-Husain, bahwasanya ia membaca : “Sesungguhnya firman Allah‘azza wa jalla : ‘Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)’ (QS. Al-Israa’ : 72) dan ‘Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu’ (QS. Huud : 34); keduanya turun mengenainya (‘Al-‘Abbas)” [Rijaalul-Kasysyiy hal. 52-53].
Al-Maamiqaaniy Asy-Syi’iy menambahkan kedustaannya :
وأقول : الأخبار في حقه مختلفة جداً، والذامة منها أقوى دلالة.
“Aku katakan : Khabar-khabar mengenainya sangat bertentangan. Dan khabar yang mencelanya lebih kuat penunjukannya” [Tanqiihul-Maqaal, 2/126-128].
Mengenai Turjumanul-Qur’an, ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu, Syi’ah berkata tentangnya melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي أنه قال: (اللهم العن ابني فلان وأعم أبصارهما كما أعميت قلوبهما).
Dari ‘Aliy bahwasannya ia berkata : “Ya Allah, laknatlah dua anak dari si Fulan dan butakanlah mata keduanya sebagaimana telah Engkau butakan hati keduanya” [Rijaalul-Kasysyiy, hal. 52]. Muhaqqiq kitab ini berkata dalam hasyiyah-nya :
ابني فلان كناية عن عبد الله وعبيد الله ابني العباس عم النبي صلى الله عليه وسلم
“Dua anak dari si Fulan itu adalah kinayah dari ‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbas paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Itulah perkataan keji mereka pada ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sisi pandang ‘aqidah Ahlus-Sunnah !!
Mereka membatasi cakupan Ahlul-Bait berdasarkan pandangan sempit mereka akan hadits kisaa’ :
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير".
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’. Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu,[6] dan kamu di atas kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Jumhur Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud ahlul-bait adalah orang-orang yang diselubungi kisaa’ oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits di atas.[7]
Namun ternyata jika kita pahami sesuai dengan kemauan mereka, maka keluarga dan/atau keturunan ‘Aliy, Al-Hasan ataupun Al-Husain pun juga masih dipilih-pilih. Tidak semua diakui sebagai Ahlul-Bait. Dalam praktek,…. sebagian di antara mereka pun diliputi oleh celaan-celaan. Otomatis ditendang dari ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedikit di antara banyak yang bisa dicontohkan :
Isma’il bin Ja’far Ash-Shaadiq – saudara Musa Al-Kadhiim – rahimahumallaah; ada riwayat yang disandarkan pada Ja’far Ash-Shaadiq bahwa ia pernah berkata tentangnya :
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه أحداً من آبائي
“Sesungguhnya ia telah durhaka. Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku” [Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Al-Hasan bin Al-Hasan (Al-Mutsannaa) dalam kitab Tanqiihul-Maqaal (1/35 & 273) ditemukan riwayat yang berbeda-beda apakah ia kafir atau fasik. Coba kita perhatikan pilihan antara kafir dan fasiq; dua-duanya tidak ada yang enak untuk diambil/dipilih. Semuanya tercela.
Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Hasan yang dijuluki An-Nafsuz-Zakiyyah disebut sebagai pendusta yang mengaku sebagai imam [Tanqiihul-Maqaal, tarjamah no. 10953].
Dan saya tutup sedikit contoh ini dengan perkataan Al-Maamiqaaniy :
إِنَّ سائر بني الحسن بن علي كانت لهم أفعال شنيعة، لا تحمل على التقية؛ باستثناء زيد فإنَّه يمكن أن تحمل أفعاله الشنيعة على التقية.
“Sesungguhnya seluruh Bani Al-Hasan bin Al-Hasan bin ‘Aliy melakukan perbuatan-perbuatan keji, yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan taqiyyah, kecuali Zaid. Sebab perbuatan-perbuatan kejinya (?!!!) bisa dibenarkan dengan alasan taqiyyah” [Tanqiihul-Maqaal, 3/142].
Kita meyakini bahwa riwayat-riwayat yang dibawakan kaum Syi’ah itu adalah dusta yang diatasnamakan ahlul-bait. Mereka (ahlul-bait) telah memperingatkan lebih dari satu kesempatan terhadap riwayat para pendusta. Al-Kasysyiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah bahwa ia berkata :
إِنَّا أهل البيت صادقون، لا نخلو من كذاب يكذب علينا، ويسقط صدقنا بِكَذبه علينا عند الناس.....
“Sesungguhnya kami, ahlul-bait, adalah orang-orang yang jujur, tidak terhindar dari pendusta yang berdusta atas nama kami, lantas jatuhlah kejujuran kami di mata manusia dengan kedustaannya atas kami”.
Kemudian ia (Al-Kasysyiy) menyebutkan para pendusta terhadap ahlul-bait, yaitu Maslamah, ‘Abdullah bin Saba’, Al-Mukhtar, Al-Haarits Asy-Syaamiy, Banaan, Al-Mughiirah bin Sa’iid, Buzaigh, As-Sariy, Abul-Khaththaab, Ma’mar, Basysyaar Asy-Sya’iiriy, Hamzah Al-Barbariy, dan Shaayid An-Nahdiy [selengkapnya lihat Majma’ur-Rijaal, 5/113].
Jadi, siapa sebenarnya yang mereka masukkan dalam Ahlul-Bait ? Jika kita lihat praktek Syi’ah, maka tidak ada dalil-dalil dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah yang dapat menjangkau pendefinisian mereka. Sebab, mereka memasukkan siapa saja yang mereka inginkan dan mengeluarkan siapa saja yang mereka inginkan berdasarkan riwayat-riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada ahlul-bait. Diperparah lagi sikap taqlid pada marja’-marja’ mereka yang menjadi penentu arah kemana agama Syi’ah ini akan berjalan.
Al-Bahraaniy Asy-Syi’iy menjelaskan definisi ahlul-bait dalam konteks al-‘itrah :
أما باعتبار العرف الشرعي فإن العترة هم أمير المؤمنين عليه السلام وفاطمة وولداها الحسن والحسين والأئمة من ذرية الحسين عليهم السلام
“Adapun yang dipertimbangkan/dianggap dalam ‘urf syar’iy, maka ‘itrah itu adalah Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu), Faathimah, dan dua anaknya Al-Hasan dan Al-Husain; serta para imam dari keturunan Al-Husain ‘alaihis-salaam” [Manaarul-Hudaa, hal. 571-572].
Al-Majlisiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari Al-Husain ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib) ‘alaihis-salaam pernah ditanya tentang makna sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, yaitu Kitabullah dan ‘itrahku’. Siapakah yang dimaksud al-’itrah itu ?’. Maka ia menjawab :
أنا والحسن والحسين، والأئمة التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم
“Aku, Al-Hasan, Al-Husain, para imam yang sembilan dari anak turun Al-Husain.[8] Yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi mereka dan penopang mereka” [Bihaarul-Anwaar, 23/147].
Ternyata definisi ahlul-bait (‘itrah) telah mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma dalam cakupan ini !!
- Teori Kema’shuman Ahlul-Bait
Dilihat dari sub judulnya saja, kita sudah tahu bahwa ini sudah di luar konteks ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Tidak ada dalil atau nash yang menunjukkan adanya orang yang ma’shum setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi, definisi ma’shum/’ishmah yang mereka pakai sangat berbeda jauh dengan Ahlus-Sunnah.
Muhammad Ridlaa Al-Mudlaffar menjelaskan tentang doktrin ‘ishmah dalam teologi Syi’ah sebagai berikut :
“Al-‘Ishmah itu pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan, tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh masyarakat. Al-‘Ishmah seperti ini ada pada para Nabi dan para Imam dari kalangan Ahlul-Bait” [‘Aqiidatul-Imaamah 'Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridla Al-Mudlaffar, hal. 53-54; Al-Maktabah Al-Islamiyyah Al-Kubraa, tanpa tahun].
Muhammad Al-Husain Kaasyiful-Ghithaa’ menyatakan :
“…..dan para imam itu disyaratkan pula harus sebagai orang-orang yang ma’shum seperti Nabi, yaitu terjaga dari kesalahan dan terjaga pula dari berbuat salah….” [Ashlusy-Syii’ah wa Ushuuluhaa oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Ghithaa’, hal. 102; Manshurat Maktabah Al-Irfan, Beirut, Cet. 9].
Ia menambahkan :
“….. dan bahwasannya Muhammad itu adalah penutup para Nabi dan junjungan para Rasul. Dan bahwasannya ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan perbuatan salah). Dan bahwasannya ia tidak pernah berbuat kemaksiatan sepanjang umurnya dan tidaklah berbuat suatu apapun kecuali yang sesuai dengan ridla Allah subhaanahu wa ta’alaa sehingga Allah mewafatkannya” [idem, hal. 106].
Definisi yang kelihatannya baik, namun keliru lagi salah besar karena bertolak belakang dengan nash. Dengan definisi ini, mereka pun menolak keberadaan beberapa riwayat shahih dalam kitab hadits standar Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuat salah dan/atau lupa. Al-‘Ishmah dalam pemahaman Ahlus-Sunnah sama sekali tidak pernah menafikkan adanya kesalahan dan lupa. Hanya saja ‘ishmah itu menafikkan adanya dosa-dosa besar dan kesalahan-kesalahan yang menyangkut penyampaian risalah. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul tidak akan pernah lupa dari apa-apa yang Allah wahyukan kepada mereka kecuali sesuatu yang dihapuskan oleh Allah ta’ala.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فإن القول بأن الأنبياء معصومون عن الكبائر دون الصغائر، هو قول أكثر علماء الإسلام وجميع الطوائف، حتى إنه قول أكثر أهل الكلام، كما ذكر أبو الحسن الآمدي ........ أن هذا قول أكثر الأشعرية، وهو ـ أيضًا ـ قول أكثر أهل التفسير والحديث والفقهاء، بل هو لم ينقل عن السلف والأئمة والصحابة والتابعين وتابعيهم إلا ما يوافق هذا القول
“Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa-dosa besar, bukan dari dosa-dosa kecil, merupakan pendapat kebanyakan ulama Islam dan seluruh kelompok (dalam Islam), hingga ia merupakan pendapat kebanyakan ahlul-kalaam sebagaimana disebutkan oleh Abul-Hasan Al-Aamidiy…. Ini juga merupakan pendapat dari Asy’ariyyah, ahli tafsir, ahli hadits, dan fuqahaa’. Bahkan, tidak ternukil dari salaf, para imam, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in kecuali menyepakati pendapat ini….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/319].
Oleh karena itu kaum Syi’ah Raafidlah menolak secara tegas hadits-hadits yang menerangkan beliau pernah lupa dalam raka’at shalat.[9] Juga hadits tentang asbaabun-nuzuul QS. ‘Abasa : 1-10[10] bahwa beliau pernah mendapat teguran dari Allah ta’ala karena berpaling dari Ibnu Ummi Maktuum,[11] dan hadits-hadits lain yang semisal.
Dalam Al-Qur’an pun banyak ditegaskan bagaimana para Nabi dan Rasul bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan – dan mereka adalah orang yang paling banyak bertaubat kepada Allah ta’ala.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 37].
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." [QS. Huud : 45-47].
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” [QS. Al-Anbiyaa’ : 87-88].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. At-Tahriim : 1].
Kesalahan yang mereka (para Nabi dan Rasul) lakukan tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai hamba-hamba Allah yang paling mulia dan mempunyai kedudukan tertinggi di sisi-Nya ta’ala. Karena salah satu kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah taubat dari dosa-dosa, sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
Para Nabi dan Rasul ‘alaihimus-salaam adalah manusia terdepan dalam bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jika permasalahannya demikian, maka sungguh aneh jika ahlul-bait – dalam teologi Syi’ah – bisa bersih dari segala kesalahan (baik besar dan kecil) dan juga lupa. Apakah kedudukan mereka bisa lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul ? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…..
Pendalilan dengan hadits tsaqalain dalam riwayat Ahlus-Sunnah (sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan) seringkali diarahkan (baik secara eksplisit maupun implisit) ke arah kemaksuman – untuk mendukung paham mereka. Dan mohon maaf sebesar-besarnya jika kita katakan pada mereka : Pendalilan Anda ngawur dan tidak nyambung. Bahkan dalil-dalil yang ada (tentu saja dalil yang termaktub dalam kitab Ahlus-Sunnah, bukan dari kitab Syi’ah) tidak ada yang menunjukkan kemaksuman imam-imam mereka. Beberapa hadits shahih telah mencatat sejumlah kekeliruan ijtihad dari penghulu imam mereka, yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Saya akan sebut beberapa di antaranya :
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah keliru dalam ijtihadnya saat ia membakar satu kaum yang murtad dari Islam.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
Ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berniat mempoligami Faathimah radliyallaahu ‘anhaa, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah atas perbuatannya.
عن المسور بن مخرمة : أن علي بن أبي طالب خطب بنت أبي جهل. وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم. فلما سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت له: إن قومك يتحدثون أنك لا تغضب لبناتك. وهذا علي، ناكحا ابنة أبي جهل.قال المسور: فقام النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته حين تشهد. ثم قال "أما بعد. فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا".قال، فترك علي الخطبة.
Dari Al-Miswar bin Makhramah : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah melamar anak perempuan Abu Jahl yang ketika itu ia masih beristri Faathimah binti Rasulullah. Ketika hal itu didengar oleh Fathimah, ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan kepada beliau : ‘Sesungguhnya kaummu mengatakan bahwa engkau tidak marah karena perlakukan terhadap anak-anak perempuanmu. Sekarang ini ‘Aliy akan menikahi anak perempuan Abu Jahl”. Al-Miswar berkata : “Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk berkhutbah) dan aku mendengar beliau saat beliau membaca syahadat. Setelah itu beliau bersabda : ‘Sesungguhnya akutelah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami’. Miswar berkata : ‘Maka ‘Aliy membatalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
Ini menunjukkan bahwa perbuatan ‘Aliy melamar anak perempuan Abu Jahl adalah satu kekeliruan.
عن علي بن أبي طالب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengetuk pintu kamar ‘Aliy bin Abi Thaalib untuk membangunkannya beserta Fathimah, putri Nabi ‘alaihis-salaam. Kemudian Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (tahajjud) ?”. Aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, diri kami dalam genggaman tangan Allah. Apabila Ia berkehendak untuk membangunkan kami, Ia pasti membuat kami terbangun”. Ketika aku mengatakannya, beliau kembali tanpa berkata apa-apa. Kemudian ketika beliau berpaling, aku mendengar beliau membaca ayat Al-Qur’an sambil menepuk pahanya : “…Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS. Al-Kahfiy : 54) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1127 dan Muslim no. 775].
Dan yang lainnya yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Beberapa contoh di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib bukanlah seorang pribadi yang ma’shum yang terjaga dari kesalahan dan kelalaian seperti yang dipahami Syi’ah dari para imamnya. Hal yang sama juga terjadi pada diri shahabat besar lainnya seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum.
Lagi pula, teori kemaksuman Syi’ah itu jelas-jelas bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap anak Adam pasti pernah bersalah, dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat”.[12]
Oleh karena itu, sangat tidak nyambung jika mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan pemahaman mereka. Sangat tidak laku (useless) di hadapan Ahlus-Sunnah, tidak lain karena pemahaman mereka sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali….. jika mereka memakai riwayat-riwayat Syi’ah,… nah ini kita tidak terlalu ambil pusing. Iya to ?
Sekedar informasi saja (dan ini bukan hujjah primer), dalam Nahjul-Balaaghah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dicatat oleh pengarangnya pernah berkata :
فلا تكفروا عن مقالة بحق، أو مشورة بعدل، فإنِّي لست في نفسي بفوق أن أخطئ، ولا آمن ذلك من فعلي، إلَّا أن يكفي الله من نفسي ما هو أملك به منِّي.
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku” [Nahjul-Balaaghah, hal 485; Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun, Beirut].
اللهم اغفر لي ما تقربت به إليك بلساني ثم خالفه قلبي، اللهم اغفر لي روزات الألحاظ، وسقطات الألفاظ، وشهوات الجنان، وهفوات اللسان.
“Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang aku persembahkan kepada-Mu dengan lisanku, kemudian hatiku menyelisihinya. Ya Allah ampunilah aku dari isyarat pandangan, kesalahan lafadh, hawa nafsu yang dibuat anggota badan dan ketergelinciran lisan” [Nahjul-Balaaghah, hal. 183].
Makna perkataan di atas adalah benar bahwa ia (‘Ali bin Abi Thaalib) bukanlah pribadi yang ma’shum yang tentu saja tidak akan luput dari perbuatan salah, lupa, dan dosa.
Kembali pada riwayat Zaid bin Arqam di awal pembahasan. Ada riwayat lain yang dibawakan oleh Zaid bin Arqam dengan lafadh berbeda (disertai kisah di dalamnya) :
عن يزيد بن حيان. قال : انطلقت أنا وحصين بن سبرة وعمر بن مسلم إلى زيد بن أرقم. فلما جلسنا إليه قال له حصين: لقد لقيت، يا زيد! خيرا كثيرا. رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم. وسمعت حديثه. وغزوت معه. وصليت خلفه. لقد لقيت، يا زيد خيرا كثيرا. حدثنا، يا زيد! ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: يا ابن أخي! والله! لقد كبرت سني. وقدم عهدي. ونسيت بعض الذي كنت أعي من رسول الله صلى الله عليه وسلم. فما حدثتكم فاقبلوا. وما لا، فلا تكلفونيه. ثم قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Kumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
Dalam riwayat lain :
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih][13].
Dalam riwayat lain, hanya disebutkan Kitabullah saja :
إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; shahih li-ghairihi, dan sanad hadits ini hasan].[14]
Lafadh ini (terutama lafadh yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahih-nya) lebih shahih dan lebih kuat dibandingkan lafadh yang dibawakan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah pada awal tulisan. Apalagi di dalamnya disebutkan kisah (latar belakang), dimana sudah menjadi satu hal yang ma’ruf dalam hal ilmu hadits bahwa hadits yang disertai kisah lebih kuat (penunjukkannya) dibandingkan hadits semisal tanpa disertai kisah. Sementara itu kita mengetahui bahwa tempat keluarnya perkataan ini adalah satu dan dalam peristiwa yang satu (Ghadir Khum). Apa yang disebutkan ini tentu saja bukan dalam rangka menolak hadits shahih, namun untuk mencoba memahami apa yang terkandung dalam hadits. Kisah yang disebutkan oleh Zaid bin Arqam tersebut sama sekali tidak nampak sesuatu yang dimaui oleh Syi’ah bahwa ahlul-bait itu setara dengan Al-Qur’an dalam jaminan keselamatan dunia dan akhirat. Apalagi dihubungkan dengan teori ke-ma’shum-an. Jauh sekali lah !... Kemutlakan adanya cahaya dan petunjuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan untuk Kitabullah. Adapun ahlul-bait, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dan memerintahkan kita untuk menjaganya serta memenuhi hak-haknya. Perintah untuk berpegang teguh kepada ‘itrah (ahlul-bait) bukan bersifat mutlak. Namun ia muqayyad mengikuti pada Al-Qur’an (dan As-Sunnah), sebagaimana sabdanya :
من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Barangsiapa yang mengikutinya (Al-Qur’an), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan”
Apabila di antara mereka (ahlul-bait) yang berkesesuaian dengan keduanya, maka ia wajib untuk diikuti; dan melalui perantaranya, insya Allah, ia akan menjadi petunjuk bagi manusia di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat. Ahlul-bait semacam inilah yang nantinya kelak akan berkumpul bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Haudl. Dan mungkin inilah sebab ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma. ‘Umar berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Kebalikan dari hal tersebut di atas, jika ia (ahlul-bait) melenceng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib untuk tidak diterima dan ditolak. Betapa banyak orang yang mengaku punya kaitan dengan ahlul-bait, namun dalam sebagian perkataan dan perbuatannya bertentangan dengan syari’at yang suci. Nasab yang mulia bukan jaminan keselamatan jika lambat beramal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699].
Muhammad bin Ya’quub Al-Kulainiy Asy-Syii’iy membuat bab dalam kitabnya Al-Kaafiy : Baab Al-Akhdzi bis-Sunnah wa Syawaahidil-Kitaab, padanya terdapat riwayat : Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Ibnu Abi Nahjaan (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Abu Jamiilah (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Jaabir, dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi :
يا معاشر قراء القرآن اتقوا الله عز وجل فيما حملكم من كتابه فإني مسؤول وإنكم مسؤولون إني مسؤول عن تبليغ الرسالة وأما أنتم فتسألون عما حملتم من كتاب الله وسنتي .
“Wahai pembaca Al-Qur’an sekalian, bertaqwalah kepada Allah ‘azza wa jalla pada apa yang dibebankan kepadamu dari Kitab-Nya. Aku bertanggung jawab, dan kalian pun bertanggung jawab pula. Adapun aku bertanggung jawab untk menyampaikan risalah, dan kalian kelak akan dimintai pertanggungjawaban apa yang dibebankan kepadamu dari Kitabullah dan Sunnahku” [Al-Kaafiy, 2/606].
Kata riwayat di atas, kita akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dibebankan oleh Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sunnah para imam dua belas….
Dan inilah keyakinan dan pemahaman tentang hadits berpegang teguh pada ‘itrah (ahlul-bait) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Munawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Ats-Tsaqalain :
قوله أولاً إني تارك فيكم تلويح بل تصريح بأنهما كتوأمين خلفهما ووصى أمته بحسن معاملتهما وإيثار حقهما على أنفسهما واستمساك بهما في الدين أما الكتاب فلأنه معدن العلوم الدينية والأسرار والحكم الشرعية وكنوز الحقائق وخفايا الدقائق وأما العترة فلأن العنصر إذا طاب أعان على فهم الدين فطيب العنصر يؤدي إلى حسن الأخلاق ومحاسنها تؤدي إلى صفاء القلب ونزاهته وطهارته قال الحكيم: والمراد بعترته هنا العلماء العاملون إذ هم الذين لا يفارقون القرآن أما نحو جاهل وعالم مخلط فأجنبي من هذا المقام وإنما ينظر للأصل والعنصر عند التحلي بالفضائل والتخلي عن الرذائل فإذا كان العلم النافع في غير عنصرهم لزمنا اتباعه كائناً ما كان ولا يعارض حثه هنا على اتباع عترته حثه في خبر على اتباع قريش لأن الحكم على فرد من أفراد العام بحكم العام لا يوجب قصر العام على ذلك الفرد على الأصح ...
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama : ‘Sesunguhnya akan aku tinggalkan kepada kalian’; merupakan isyarat, bahkan pernyataan jelas bahwa keduanya seperti saudara kembar yang beliau tinggalkan. Beliau berwasiat kepada umatnya agar memperlakukannya dengan baik, mendahulukan hak keduanya atas diri mereka dan berpegang kepada keduanya di dalam agama. Adapun Kitabullah, maka karena ia adalah sumber ilmu-ilmu agama, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah syari’at, pusaka-pusaka, dan kekayaan-kekayaan terpendam dari dokumen-dokumen terpercaya. Adapun ‘itrah, maka karena kebaikan unsur yang dapat membantu memahami agama. Baiknya unsur menyebabkan baiknya akhlak, dan baiknya akhlak menyebabkan beningnya hati, kebersihan, dan kesuciannya. Al-Hakiim berkata : ‘Dan yang dimaksud dengan ’itrah di sini adalah pada ulama ‘amilun (yang beramal), sebab merekalah yang tidak akan berpisah dengan Al-Qur’an. Sedangkan orang jahil dan orang ‘alim yang mencampur-aduk, maka dia asing dari kedudukan ini. Asal-usul dan unsur seseorang hanya dipandang ketika ia berhias dengan akhlak-akhlak mulia dan menghindar dari perbuatan-perbuatan keji. Bila ilmu yang bermanfaat itu ada pada selain unsur mereka, maka kita harus mengikutinya, siapapun ia, dan anjuran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar mengikuti ‘itrah-nya di sini tidak bertentangan dengan anjuran beliau agar mengikuti Quraisy dalam sebuah hadits (yang lain) karena pemberian hukum ‘aam (umum) kepada salah satu anggotanya tidak mengharuskan pembatasan dalil ‘aam tersebut hanya pada anggota tersebut menurut pendapat yang paling shahih…” [Faidlul-Qadiir no. 2631][15]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah tentang ahlul-bait Nabi :
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai - Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Begitu pula Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah yang berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa”(QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
Inilah yang kita yakini dari hadits Ats-Tsaqalain. Kita mencintai ahlul-bait dengan ukuran-ukuran syari’at, bukan dengan ‘selera’ dan hawa nafsu. Tidak bersikap berlebih-lebihan, juga tidak meremehkan. Semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersama ahlul-bait (yang shaalih) kelak di jannah-Nya. Dan semoga yang dituliskan di sini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’, 12 Dzulhijjah 1430 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Diedit tanggal : 22 Desember 2009
Catatan kaki :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” [QS. Al-Ahzaab : 33].
[2] Baca pula perkataan Al-Majlisiy yang mirip dengan Ath-Thabathaba’iy yang mengatakan bahwa kemungkinan ayat tahthiir (QS. Al-Ahzaab : 33 yang berbicara tentang Ahlul-Bait) diletakkan/ditambahkan oleh para shahabat agar ia disangka berhubungan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di : http://www.yazahra.net/ara/html/4/behar43/index.html (sumber : Bihaarul-Anwaar hal. 234-235).
Sungguh keji tuduhan ini. Sekaligus menguatkan pandangan Syi’ah bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini tidak asli dan merupakan hasil rekayasa para shahabat Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allaahul-Musta’aan [silakan baca artikel terkait : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/aqidah-syiah-tentang-al-quran.html].
“Telah ada penekanan perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar terhadap ‘ahl’ (أَهْلٌ). Siapakah yang dimaksud ‘ahl’ (أَهْلٌ) itu ? Apakah istri seseorang dianggap ‘ahl’ dan masuk cakupan dalam penekanan perintah tersebut ?”.
Ia (Al-Khuu’iy) menjawab :
“Benar, istri termasuk bagian dari ‘ahl’. Dan penekanan perintah tersebut ada pada mereka. Wallaahu a’lam” [Shiraathun-Najaah oleh Al-Khuu’iy, hal. 426].
Berikut scan kitab dimaksud :
فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Shahih Muslim no. 2408. Juga dalam Shahih Ibni Khuzaimah no. 2357].
[6] Syi’ah mengeluarkan cakupan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari ahlul-bait dengan hadits ini berdasar perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan”. Mereka – dengan kepicikan akal mereka – beranggapan perbuatan Nabi tidak memasukkan Ummu Salamah ke dalam kisaa’ (kain) sebagai alasan ia bukan termasuk Ahlul-Bait !!
Jika kita ikuti logika pemikiran mereka, seharusnya mereka mengeluarkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dari ahlul-bait berdasarkan hadits ini juga !! Perhatikan penggalan hadits ini :
فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء
“…Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’”.
Di sini ‘Aliy berada di belakang punggung Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berada dalam satu kisaa’ dengan Faathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain. Namun ia berada dalam kisaa’ yang lain. Dalam bahasan Arab, kata isyarat yang menggunakan هَؤُلاءِ hanya mencakup orang-orang yang berada di depan/di hadapan orang yang berbicara saja, tidak mencakup orang yang ada di belakangnya.
Oleh karena itu, cara pendalilan mereka justru kembali pada mereka sendiri…….
Sebagai tambahan : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu Salamah : “Engkau berada di atas kebaikan” ; apakah mereka juga mengatakan bahwa ia (Ummu Salamah) berada di atas kebaikan ? Tanyalah mereka untuk mengatakan berdasarkan ‘aqidah yang diajarkan para ulama mereka tentang Ummahaatul-Mukminiin !
[7] Jumhur ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah menetapkan cakupan ahlul-bait adalah ashhaabul-kisaa’ yang menjadi objek diturunkannya ayat tathhiir (QS. Al-Ahzaab : 33) yang berjumlah lima orang, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Faathimah, ‘Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum ajma’iin [lihat As-Saqiifah oleh Sulaim bin Qais Al-Hilaaliy hal. 59 & 95, Tafsiir Al-‘Askariy hal 161, Tafsiir Furaat Al-Kuufiyhal. 123, Ath-Tharaaifiy oleh Ibnu Thaawus hal. 123 & 128, Al-Amaaliy oleh Ath-Thuusiy 2/20, Minhaajul-Karaamah oleh Al-Hulliy 151-152, dan yang lainnya].
[8] Dalam riwayat ini ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu seakan-akan berbicara memprediksi masa depan dengan mengatakan anak turunnya yang sembilan yang menjadi imam dari anak turun Al-Husain. Apakah ia mendapat wahyu (dari Allah) tentang masalah ini ? Tentu saja ini hanya ada dalam kamus ‘aqidah Syi’ah.
عن عبد الله قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم - قال إبراهيم: لا أدري - زاد أو نقص، فلما سلم قيل له: يا رسول الله، أحدث في الصلاة شيء؟ قال: (وما ذاك). قالوا: صليت كذا وكذا، فثنى رجليه، واستقبل القبلة، وسجد سجدتين، ثم سلم. فلما أقبل علينا بوجهه قال: (إنه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به، ولكن، إنما أنا بشر مثلكم، أنسى كما تنسون، فإذا نسيت فذكروني، وإذا شك أحدكم في صلاته، فليتحر الصواب فليتم عليه، ثم ليسلم، ثم يسجد سجدتين).
Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat – Ibrahim (perawi) berkata : ‘Aku tidak tahu – apakah beliau menambah atau mengurangi shalatnya. Setelah selesai salam, beliau ditanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah ada ketentuan baru mengenai shalat ?’. Beliau bertanya : ‘Apa maksudnya ?’. Para shahabat mengatakan : ‘Tadi engkau shalat begini dan begitu, tidak seperti biasanya’. Kemudian beliau menekuk kedua kakinya dengan menghadap ke kiblat, lalu beliau sujud (sahwi) dua kali, setelah itu salam. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya ke arah kami setelah salam, beliau bersabda : ‘Apabila ada ketentuan baru dalam shalat, niscaya telah aku beritahukan kepada kalian. Tetapi aku ini manusia seperti kalian. Aku juga pernah lupa sebagaimana kalian. Oleh karena itu, jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Apabila seorang ragu-ragu (tentang hitungan raka’at atau yang lainnya) dalam shalat, hendaklah ia memastikan apa yang ia anggap benar, lalu hendaklah ia menyempurnakan apa yang ia anggap kurang, kemudian melakukan salam dan sujud (sahwi) dua kali” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 401 & 404 & 667 & 7249, Muslim no. 572, Abu Dawud no. 1019-1022, At-Tirmidziy no. 392-393, dan An-Nasa’iy 3/28-33].
الترمذي ج4 ص209 حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي قال حدثني أبي قال: هذا ما عرضنا على هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنزلت {عَبَسَ وَتَوَلَّى} في ابن أم مكتوم الأعمى أتى رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم رجل من عظماء المشركين، فجعل رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يعرض عنه، ويقبل على الآخر. ويقول: "ترى بما أقول بأسا" ففي هذا نزل.. هذا حديث حسن غريب وروى بعضهم هذا الحديث عن هشام بن عروة عن أبيه قال أنزل عبس وتولى في ابن أم مكتوم ولم يذكر عائشة.
“At-Tirmidzi (4/209) berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid Al-Umawiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Inilah yang kami paparkan kepada Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, ia berkata : “Telah turun (ayat) : ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling’ mengenai Ibnu Ummi Maktuum, seorang buta yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku’. Padahal saat itu di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada seorang dari pembesar kaum musyrikin. Sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya (Ibnu Ummi Maktuum) dan menghadap kepada pembesar kaum musyrikin dan Ibnu Ummi Maktuum berkata : ‘Apakah kamu keberatan dengan apa yang aku katakan ?’. Maka mengenai hal ini turun (ayat) ini” [lihat Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul oleh Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy, hal. 230].
[11] Hingga mereka (Syi’ah) perlu bersusah payah menyusun buku – yang katanya ingin membela Nabi, tapi pada kenyataannya malah mengingkari Nabi karena menolak hadits shahih – yang berjudul : ‘Nabi SAWW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam’ karangan Husein Al-Habsyiy, terbitan Al-Kautsar (Cet. 1/September 1992).
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, Abu Ya’laa no. 2922, ‘Abd bin Humaid no. 1195, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Al-Haakim 4/272, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 21/131; dari jalan Zaid bin Hubbaab, dari ‘Aliy bin Mas’adah, dari Qatadah, dari Anas bin Maalik secara marfu’. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Adiy 5/1850, Ad-Daarimiy no. 2727, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman no. 6725; dari Muslim bin Ibraahim, dari ‘Aliy bin Mas’adah, selanjutnya seperti sanad di atas.
‘Aliy bin Mas’adah dalam poros sanad ini diperbincangkan. Abu Dawud Ath-Thayaalisiy berkata : “Ia tsiqah”. Al-Bukhariy berkata : “Fiihi nadhar” (ada beberapa pembahasan dari para muhaqqiqiin mengenai peristilahan Al-Bukhariy ini). Ibnu Ma’in (riwayat Sa’id bin Manshuur) berkata : “Shaalih”. Dalam riwayat lain (Ad-Duuriy) : “Laisa bihi ba’s” - dantautsiq Ibnu Ma'iin ini disepakati oleh Ibnul-Qaththaan. Abu Haatim berkata : “Laa ba’sa bihi”. Disebutkan oleh Ibnul-Khalfuun dalam kitabnya Ats-Tsiqaat. An-Nasa’iy berkata : “Laisa bil-qawiy (tidak kuat)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Hadits-haditsnya tidak mahfuudh”. Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak dijadikan hujjah pada apa yang tidak berkesesuaian dengan para perawi tsiqah”. Adz-Dzahabiy saat berkomentar tentang tashhih Ibnu Hibban : “’Aliy adalah layyin (lemah)”. Ibnu Hajar berkata : "Shaduuq lahu auhaam".
Para ulama berselisih pendapat mengenai hadits ini. Ada yang men-dla'if-kan, ada pula yang menghasankan. Anyway, makna hadits ini adalah shahih.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan tahdits dari Yuusuf bin Musa, dengantahdits dari Jariir (bin ‘Abdil-Hamiid) dan Muhammad bin Fudlail, dari Abu Hayyaan Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1. Yusuf bin Musa Al-Qaththaan; menurut Yahyaa biun Ma'iin, shaduuq – Abu Haatim,shaaduq – An-Nasaa’iy, laa ba’sa bihi – Abu Bakr Al-Khathiib, tsiqah.
2. Jariir bin ‘Abdil-Hamiid; menurut Ad-Daaruquthniy, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah.
3. Muhammad bin Fudlail; menurut Ahmad, hasanul-hadiits – Ibnu Ma’iin, tsiqah – Abu Zur’ah, shaduuq – Abu Haatim, syaikh – An-Nasa’iy, laisa bihi ba’s – Ibnu Hibban, tsiqah.
4. Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy/Abu Hayyaan At-Tamimiy; menurut Sufyan, tsiqah – Muhammad bin Fudlail, shaduuq – Yahya bin Ma’iin, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah – Abu Haatim, shaalih – Ibnu Hibbaan, tsiqah.
5. Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah.
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dengan tahdits dari Al-Hasan bin Sufyaan, dengan tahdits dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dengan tahdits dari ‘Affaan, dengan tahdits dari Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1. Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq – Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, majhuul.
2. Abu Bakr bin Abi Syaibah, pengarang kitab Al-Mushannaf, imam masyhur.
3. ‘Affaan (bin Muslim bin ‘Abdillah); Al-‘Ijliy, tsabt shaahibus-sunnah – Ibnu Ma’in, tsabt– Ibnu Hajar, tsiqah tsabt.
4. Hassaan bin Ibraahiim; menurut Ahmad, tsiqah – Ibnu Ma’iin, laisa bihi ba’s (di lain riwayat : tsiqah) – Abu Zur’ah, laa ba’sa bihi - Al-Bazzaar, tsiqah – Ibnul-Madiiniy, tsiqah – An-Nasa’iy, laisa bil-qawiy (tidak kuat) – Ibnu ‘Adiy, laa ba’sa bihi.
5. Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy (ayah Sufyaan Ats-Tsauriy, imam masyhur); menurut Ibnu Ma’iin, Abu Haatim, Al-‘Ijliy, dan An-Nasa’iy adalah tsiqah.
6. Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah.
[15] Sebenarnya di sini Al-Munawiy sedang menjelaskan salah satu hadits dla’if tentangAts-Tsaqalain (dengan lafadh : إني تارك فيكم خليفتين ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian dua khalifah…dst.). Namun di sini saya hanya ingin mencuplik penjelasannya yang bermanfaat dimana kaum Syi’ah seringkali mengutipnya secara terpotong hanya di awal-awal kalimat bahwa Kitabullah dan ‘itrah adalah bagaikan dua saudara kembar.
syalom...kami sampaikan pada sdr-sdr muslim sunni, terimakasih atas dukungan menghancurkan syiah.
BalasHapuskami liga pemuda yahudi menampilkan titik temu antara ahlu sunnah dan israel.
Salam Alaikum:
BalasHapusBegitulah cara syiah bertakiyah.
Akh : Abu Al Jauzza,afwan ana perlu alamat email antum.
Tafadhol kirim email ke ibnu_adab@yahoo.com
Wassalam
Adhiel Ibrahiem
saya di : abul.jauzaa@gmail.com
BalasHapusust, artikel antum ini sudah ditanggapi oleh second prince...dan ada yg menggelitik jg...antum sajalah yg membahas.
BalasHapusGak usah dibahas,.... artikel tersebut tidak menanggapi inti masalah.
BalasHapusSyi'ah menganggap bahwa imam mereka ma'shum. Kema'shuman ini sebagai syarat seseorang dijadikan pedoman. Dan harus kita catat, teologi kema'shuman Syi'ah berbeda dengan yang dimaksud Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adapun Ahlus-Sunnah tetap mencintai dan menghormati Ahlul-Bait. Namun mereka tidak ma'shum. Karena tidak ma'shum, segala sesuatu yang ada pada diri mereka harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bagaimana kesesuaiannya. Oleh karena itu, 'mengikuti' di sini adalah muqayyad. Bukan mutlak.
Bukti di lapangan mereka (Syi'ah) sendiri tidak konsisten dengan konsekuensi hadits Tsaqalain atau Kisaa'. Bukankah mereka mengeluarkan siapa saja yang mereka kehendaki karena tidak sesuai dengan teologi yang mereka kembangkan ? Contohnya telah saya kemukakan di atas.
Ada hal yang menggelitik dari tulisan tersebut, yaitu pernyataannya saat membawakan lafadh lain hadits Zaid bin Arqam :
وإني تارك فيكم ثقلين أحدهما كتاب الله عز و جل هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على ضلالة وفيه فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats Tsaqalain, salah satunya adalah Kitabullah Azza wajalla . Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan. Kami bertanya “siapakah Ahlul Bait?” istri-istri Beliau?”. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang wanita [istri] hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah” [Shahih Muslim no 2408]
Dalam hadis ini Zaid bin Arqam justru bersumpah “demi Allah” bahwa istri Nabi bukan ahlul bait. Nah apakah yang akan dikatakan oleh salafy nashibi terhadap hadis ini?. Kami lihat jarang sekali mereka mengutip hadis Zaid bin Arqam dengan lafal ini..
Ini namanya su'ul-fahm. Yang dimaksud oleh Zaid bin Arqam itu adalah bahwa Ahlul-Bait bukanlah terbatas pada istri-istri Nabi. Namun Ahlul-Bait itu adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Istri Nabi termasuk di dalamnya. Pernyataan ini sangat jelas ditunjukkan dengan perkataan Zaid bin Arqam :
‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’.
Nah, 'Aisyah sendiri sebagai istri Nabi pernah menolak pemberian harta zakat.
عن ابن أبي مُلَيكة: ((أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من الصَّدقةِ فردَّتْها، وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا تَحلُّ لنا الصَّدقة)).
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya Khaalid bin Sa’iid pernah diutus untuk memberikan seekor sapi shadaqah (zakat) kepada ‘Aisyah, namun ia menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dihalalkan menerima shadaqah (zakat)“ [HR. Ibnu Abi Syaibah3/214 dengan sanad hasan atau shahih].
Oleh karena itu, dua hadits Zaid bin Arqam itu semakna. Tidak ada yang bertentangan. Tapi kebiasaan Syi'ah adalah menjadikan sesuatu yang sebenarnya tidak bertentangan menjadi bertentangan.
Itu saja. Selebihnya, artikel di atas telah mewakili apa yang ingin saya sampaikan.
jadi menurut Ustad Ahlul bait itu tdk perlu/mutlak diikuti yah...
BalasHapuskarena bisa saja ngawur...
tdk seperti bunyi hadits itu...
lepas dari persoalan siapa itu ahlul bait..
sehingga sudah selayaknya ahlul bait itu ditimbang menurut quran dan sunnah menurut intrepetasi quran sunnah ibnu taimiyah atau , syekh albani atau kita ustad...
mohon dijelaskan siapa yg bisa menimbang mereka setelah hadits itu dan wafatnya nabi.
ditunggu komentnya
Jazakallahu khoiron ust atas postingannya.
BalasHapusDan Buat anonim diatas;
sebelumnya, Harap anda baca dulu dengan seksama tulisan ustadz diatas, dan banyak tulisan lain diblog ini. masalahnya bukan kalo menimbang harus pakai pendapat Ibnu Taimiyah atau Al-Albani. akan tetapi timbangan yang tepat adalah Qur'an dan Sunnah. kalau konteks kema'suman ala syi'ah adalah seperti nukilan ust abul jauzaa diatas maka itu bathil, kenapa? karena menyelisihi banyak dalil (sudah disebutkan oleh ust diatas) kenapa ust mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah, karena perkataan beliau dalam hal ini sesuai dengan dalil Sunnah. dan ingat, Ibnu Taimiyyah atau Al-Albani dan ulama' lainnya juga tidak ma'sum lho!
@Anonim (2 Mei 2010 18:21).....
BalasHapusKata ngawur itu adalah dari Anda. Dan saya tahu keperluan Anda menggunakan diksi ini.
Yang jelas, Ahlul-Bait itu tidak ma'shum. Bisa melakukan kekeliruan, kesalahan, bahkan dosa. Contohnya juga sudah saya berikan. Ini semua tentu saja harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Mengenai ditimbang menurut pemahaman siapa, ya tentu saja menurut pemahaman para shahabat; dan sebagian Ahlul-Bait masuk di dalamnya - seperti 'Aliy bin Abi Thaalib, Al-Hasan, dan Al-Husain. Mereka lah generasi terbaik dalam Islam.
Kecuali jika Anda ingin menta'wil segala kekeliruan Ahlul-Bait (baca : para imam 12) dengan nama taqiyyah, sebagaimana terlihat dalam banyak riwayat Syi'ah. Maka, Anda akan mendapati kema'shuman pada diri imam Syi'ah. Setiap kekeliruan selalu diatasnamakan taqiyyah. Padahal, kata ma'shum dan taqiyyah adalah dua hal yang sangat bertentangan. Jika digabungkan, maka akan dihasilkan sikap beragama yang plin-plan dan membingungkan.
Assalamu'alaikum,...
BalasHapusboleh komentar ya pak abul-jauza,..analisa anda meloncat2 dan tidak fokus,..sehingga bangunanya rapuh,...silahkan anda membuka di http://secondprince.wordpress.com/
bahasan anda ini dipretelin satu persatu,..terutama antara membedakan hal yang 'aam dan khaas,..anda kurang jeli menurut saya...
walaikum salam...syukraan..
ayu khoiriyyah
STAIN Pekalongan
Silakan saja Anda berpendapat demikian. Tulisan di atas selain ingin menjelaskan kedudukan ahlul-bait, juga ingin menjelaskan beberapa kontradiksi dari Syi'ah.
BalasHapus@ayu khoiriyah,
BalasHapusjustru bagi saya, artikel2 pak Abul Jauzaa cukup fokus dan mengenai sasaran, silahkan anda baca artikel-artikel yg lain di blog ini yg masih dalam topik ini, akan saling melengkapi dan membentuk hujjah yang kuat.
justru blog yg anda sebut di atas hujjahnya sangat rapuh, diantaranya yaitu mengkhususkan Al-Ahzab:33 hanya utk ahlul kisa'saja dan membuang begitu saja istri-istri Nabi yang juga merupakan ahlul bait beliau, padahal pembicaraan dari awal sampai akhir ayat2 tsb adalah mengenai istri Nabi SAW, yg ada dlm ayat sebelumnya adalah panggilan "wahai istri-istri Nabi" tidak ada tuch disebutkan "wahai saudara sepupu Nabi" atau "wahai puteri atau cucu Nabi". adalah suatu hal yg dipaksakan membuang istri2 Nabi dari pengertian ahlul bait dlm ayat tsb.
kedua, mengenai doktrin kema'shuman ahlul bait, jelas sangat rapuh, karena banyak riwayat yg menceritakan bahwa ahlul bait pun ternyata bisa juga berbuat keliru.
Secondprince kok dijadiin hujjah? Banyak membelokkan penjelasan hadits2 dari para ulama bahkan memelintir ayat2 Qur'an dengan tafsirannya sendiri. Saya banyak melihat artikelnya malah tidak amanah dan muter2 begitu2 aja.
BalasHapusna'am...
BalasHapusana pernah baca artikel soulmate-nya secondprince, yakni salafytobat yang berjudul "azar paman nabi ibrahim".
mereka sandarkan pendapat dari tafsir Ibnu Katsir. bukankah telah jelas bahwa dalam Al Quran disebutkan bahwa nabi ibrahim mendakwahi ayahnya yang berbuat syirik.
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu
sedikitpun. Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Ya Ustadz,
BalasHapusTerima kasih atas penjelasannya. Saya mendapat banyak masukan berharga ttg (akar) ajaran syiah secara umum/global, khususnya tentang pemahaman siapakah "ahlul bayt". Saya melihat syiah lebih kaku dgn memandang ahlul bayt hanya sebatas Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu itrahnya adalah (yg dianggap) keturunannya, yg mereka sebut sebagai 12 imam. Dan inilah yg menurut mereka wajib diikuti, sesuai hadith tsaqalain (ada 8 hadith yg saya baca dari kitab riwayat Imam Nawawi). Sementara sunni melihat ahlul bayt dalam cakupan yg lebih luas, selain mereka yg disebut tadi, juga mencakup istri-istri Nabi saw, dan keluarga Nabi yg kemudian diharamkan menerima zakat.
Perbedaan menajam ketika membahas konsep ttg ma'shum, dimana syiah berpandangan bahwa ahlul bayt dan itrahnya (haruslah) ma'shum, karena mereka disandingkan dgn Al Quran, sebagai pedoman yg wajib diikuti. Jika tidak ma'shum, maka kedudukannya sebagai pedoman terancam batal, karena yg namanya pedoman haruslah ma'shum. Sunni menilai bahwa itrah tidak ma'shum, melainkan harus bersandar kepada kitabullah. Saya lebih meyakini ini, karena dalam hadith-hadith dalam kitab Nawawi tsb memang disebutkan bahwa yg satu (kitabullah) lebih utama dibanding yg lain (ahlul bayt & itrahnya). Dalam kesempatan ini saya juga ingin menyinggung pedoman yg diyakini oleh sunni, yaitu Al Quran dan hadith/sunnah (saya tdk membahas tsaqalain versi "sunnahku", karena sepengetahuan saya hadith tsb tidak benar). Bahwa hadith pun wajib disandarkan dgn Al Quran. Jika ada hal-hal yg disebutkan sebagai hadith, kemudian ternyata bertentangan dgn Al Quran, maka gugurlah ia shg tidak layak disebut sebagai hadith.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.
Untuk Saudara 1syahadat, ada hal perlu digaris bawahi dari kalimat-kalimat terakhir komentar Anda. Wajib kita yakini bahwa tidak akan ada satu pun hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an. Dan untuk menentukan shahih tidaknya sebuah hadits maka ahlusunnah telah memiliki metoda yang jelas yang telah disepakati oleh para ulama ahli hadits ummat ini. Lalu perlu diketahui pula bahwa kedudukan As-Sunnah adalah semisal dengan Al-Qur'an karena keduanya adalah wahyu Allah. Bahkan para ulama telah menjelaskan bahwa Al-Qur'an itu butuh kepada As-Sunnah karena As-Sunnah itu salah satu fungsinya adalah menjelaskan dan menafsirkan kandungan dari Al-Qur'an. Wallahu A'lam.
BalasHapuskalau hadist ttng " kitabullah dan sunnah Rasul nya " itu dhoif ya ustad? mohon penjelasan
BalasHapusSependek pengetahuan saya, iya.
BalasHapusBenarkah Rasulullah bermuka masam..??
BalasHapusasbabun nuzul surah Abasa bisa saja salah karena ada kerancuan..
dari jalur sanad yaitu Aisyah & Anas keduanya masih kecil & anas belum lahir tatkala itu..
bukankah ini ganjil...?
Itu kata Anda yang muncul di tahun 1431 H. Saya memaklumi, karena Anda mengatakannya tanpa adanya ilmu. Dan maaf, saya tidak memperdulikan perkataan Anda karenanya.
BalasHapusAdapun kata ulama, hadits tersebut shahih. Mursal shahabiy adalah diterima menurut pendapat yang shahih di kalangan muhadditsiin. Tentu saja, dan saya hampir yakin, Anda tidak mau menengok ilmu riwayat seperti ini.
Mengapa diterima ? Sebab, shahabat itu adalah 'adil. Seandainya 'Aaisyah dan Anas tidak melihat peristiwa tersebut, maka telah keduanya tidak masyhur meriwayatkan dari kalangan tabi'iy. Oleh karenanya, besar kemungkinan keduanya mendapatkan periwayatan itu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, atau dari shahabat lain yang menyaksikannya.
Apalagi dengan adanya periwayatan keduanya secara bersamaan saling menguatkan. Dan harap Anda catat, jalur periwayatan sababun-nuzuul itu bukan hanya dari dua jalur 'Aaisyah dan Anas saja, namun ada jalur yang lain yang lemah, namun bisa menjadi syaahid atas kebenaran riwayat tersebut.
wallaahu a'lam.
perlu diketahui bahwa ulama2 sunni pun berpendapat bahwa yg bermuka masam bukan Rasulullah. itu bisa dilihat di:
BalasHapus1. Imam Fakhruddin ar-Razi (606 H) dalam kitabnya ‘Ismah al-Anbiya
2. Al-Qadhi ‘Iyadl (544 H) dalam kitabnya Asy-Syifa Bita’rifi huquqi al-Musthafa
3. Az-Zarkasyi (794 H) dalam kitabnya al-Burhan Fi ‘Ulumi al-Quran, dan
4. Ash-Shalih asy-Syami (942 H) dalam kitabnya Subul al-Huda wa ar-Rosyad
saya lagi tidak ada waktu mengecek validitas perkataan Anda itu. seandainya betul yang Anda katakan dan bahkan jika Anda sebut lebih banyak lagi ulama, maka itu sama sekali tidak membatalkan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bermuka masam dan kemudian mendapat teguran dari Allah ta'ala karenanya.
BalasHapussaya kira Anda tidak terlalu asing bahwa Ahlus-Sunnah tidak mudah tertipu atas propaganda Syi'ah dengan menyebutkan perkataan ulama yang kebetulan mencocoki 'aqidah mereka untuk membatalkan nash.
Good ustadz, waktu antum terlalu berharga untuk disia-siakan mengecek validitas perkataan si anonim 20 April 2011 13:42.
BalasHapusKami, sahabat2 antum juga sependapat dengan antum untuk tidak mengambil pusing dengan perkataan org2 syi'ah yg mengambil perkataan para ulama yg mendukung hawa nafsu mereka. Bagi kami jelas kok, mau dibawakan perkataan berjuta2 ulama di dunia ini dari jaman salaf hingga khalaf klo bertentangan dengan qur'an dan sunnah2 shahih, jelas itu tertolak.
Maaf ya mas anonim, kami tidak akan mempedulikan komen anda. Sok atuh ustadz abul jauzaa, diselesaikan dulu pekerjaan antum lalu kita lanjut lg ta'limnya :)
Wassalamu'alaikum
APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?
BalasHapusDlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:
1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.
2. Saudara kandung para nabi/rasul.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.