Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah membawakan sebuah riwayat dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut :
عن جابر ابن عبد الله رضي الله عنهما يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من لكعب بن الأشرف، فإنه قد آذى الله ورسوله). فقام محمد بن مسلمة فقال: يا رسول الله، أتحب أن أقتله؟ قال: (نعم). قال: فائذن لي أن أقول شيئا، قال: (قل) فأتاه محمد بن مسلمة فقال: إن هذا الرجل قد سألنا صدقة، وإنه قد عنانا، وإني قد أتيتك أستسلفك، قال: وأيضا والله لتملنه، قال: إنا قد اتبعناه، فلا نحب أن ندعه حتى ننظر إلى أي شيء يصير شأنه، وقد أردنا أن تسلفنا وسقا أو وسقين؟ فقال: نعم، ارهنوني، قالو: أي شيء تريد؟ قال: أرهنوني نساءكم، قالوا كيف نرهنك نساءنا وأنت أجمل العرب، قال: فارهنوني أبناءكم، قالوا: كيف نرهنك أبناءنا، فيسب أحدهم، فيقال: رهن بوسق أو وسقين، هذا عار علينا، وكنا نرهنك اللأمة - قال سفيان: يعني السلاح - فواعده أن يأتيه، فجاءه ليلا ومعه أبو نائلة، وهو أخو كعب من الرضاعة، فدعاهم إلى الحصن، فنزل إليهم، فقالت له امرأته: أين تخرج هذه الساعة ؟ فقال: إنما هو محمد بن مسلمة وأخي أبو نائلة، قالت أسمع صوتا كأنه يقطر منه الدم، قال: إنما هو أخي محمد بن مسلمة، ورضيعي أبو نائلة، إن الكريم لو دعي إلى طعنة بليل لأجاب. قال ويدخل محمد بن مسلمة معه رجلين، فقال: إذا ما جاء فإني قائل بشعره فأشمه، فإذا رأيتموني استمكنت من رأسه فدونكم فاضربوه. وقال مرة ثم أشمكم، فنزل إليهم متوشحا وهو ينفح منه ريح الطيب، فقال: ما رأيت كاليوم ريحا، أي أطيب، وقال غير عمرو: قال عندي أعطر نساء العرب وأكمل العرب. قال عمرو: فقال أتأذن لي أن أشم رأسك؟ قال: نعم، فشمه ثم أشم أصحابه، ثم قال: أتأذن لي؟ قال: نعم، فلما استمكن منه، قال: دونكم، فقتلوه، ثم أتوا النبي صلى الله عليه وسلم فأخبروه.
Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ?”. Muhammad bin Maslamah pun segera bangkit berdiri dan berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Benar”. Maka Muhammad bin Maslamah berkata : “Ijinkanlah aku membuat satu strategi (tipu muslihat)”. Beliau menjawab : “Lakukanlah !”.
Kemudian Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka’b bin Al-Asyraf dan berkata kepadanya : “Sesungguhnya laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) meminta kepada kita shadaqah. Sungguh, ia telah menyulitkan kita. Dan aku (sekarang) mendatangimu untuk meminjam kepadamu”. Maka Ka’b menjawab : “Aku pun juga demikian ! Demi Allah, sungguh engkau akan merasa jemu kepadanya”. Ibnu Maslamah berkata : “Sesungguhnya kamu telah mengikutinya dan kami tidak akan meninggalkannya hingga kami melihat bagaimana keadaan yang ia alami kelak. Dan sesungguhnya kami berkeinginan agar engkau sudi meminjami kami satu atau dua wasaq makanan”. Ka’b berkata : “Ya, tapi hendaknya engkau menggadaikan sesuatu kepadaku”. Ibnu Maslamah dan kawan-kawannya bertanya : “Jaminan apa yang engkau inginkan ?”. Ka’b menjawab : “Hendaknya engkau menggadaikan wanita-wanita kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa menggadaikan wanita-wanita kami kepadamu sementara engkau adalah laki-laki ‘Arab yang paling tampan”. Ka’b berkata : (Kalau begitu), gadaikanlah anak-anak kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa menggadaikan anak-anak kami, lantas akan dicaci salah seorang di antara mereka dengan mengatakan : ‘ia digadaikan dengan satu wasaq atau dua wasaq makanan’ ? Yang demikian itu akan membuat kami cemar. Akan tetapi kami akan menggadaikan senjata kami”. Maka Ka’b membuat perjanjian dengan Ibnu Maslamah agar ia (Ibnu Maslamah) mendatanginya (pada hari yang ditentukan). Maka Ibnu Maslamah pun mendatanginya pada suatu malam bersama Abu Naailah – ia adalah saudara sepersusuan Ka’b. Mereka berdua pun memanggil Ka’b untuk datang ke tempat senjata yang digadaikan. Ka’b pun memenuhi panggilan mereka. Istri Ka’b bertanya kepada Ka’b : “Mau pergi kemana malam-malam begini ?”. Ka’b menjawab : “Ia hanyalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku Abu Naailah”. Istrinya berkata : “Sungguh aku mendengar suara bagaikan tetesan darah”. Ka’b berkata : “Dia itu saudaraku Muhammad bin Maslamah dan saudara sepersusuanku Abu Naailah. Sesungguhnya seorang dermawan jika ia dipanggil di malam hari meskipun untuk ditikam, ia akan tetap memenuhinya”. Muhammad bin Maslamah masuk ke tempat yang telah ditentukan bersama dua orang laki-laki. Ia (Ibnu Maslamah) berkata kepada mereka berdua : “Jika Ka’b datang, maka aku akan mengucapkan sya’ir kepadanya, dan menciumnya. Jika kalian melihat aku sudah menyentuh kepalanya, maka pukullah ia”. Muhammad bin Maslamah juga berkata : “Kemudin aku juga akan menyilakan kalian menciumnya pula”. Ka’b pun datang kepada mereka dengan pakaian yang indah dan bau yang harum semerbak. Muhammad bin Maslamah berkata : “Aku belum pernah mencium bau yang lebih harum dibandingkan hari ini”. Ia menjawab : “Aku memang mempunyai istri yang paham dengan minyak wangi yang paling unggul, dan ia adalah orang Arab yang paling baik”. Muhammad bin Maslamah berkata : “Apakah engkau mengijinkan aku untuk mencium kepalamu ?”. Ka’b menjawab : “Ya, silakan”. Maka ia pun mencium kepala Ka’b, yang kemudian diikuti dua orang temannya yang ikut mencium kepalanya pula. Muhammad bin Maslamah kembali berkata : “Apakah engkau mengijinkan aku untuk mencium kepalamu lagi ?”. Ka’b menjawab : “Ya”. Ketika ia memegang kepala Ka’b, ia pun berkata kepada dua orang temannya : “Bunuhlah ia !”. Maka mereka pun membunuhnya. Setelah itu, mereka mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhabarkan perihal Ka’b bin Al-Asyraf” [HR. Al-Bukhari no. 4037. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 1801].
Para ‘ulama telah menentukan beberapa kaidah/aturan diperbolehkannya melakukan pembunuhan terencana dengan melakukan tipu daya berdasarkan hadits di atas, yaitu :
1. Pembunuhan tersebut harus dilakukan atas perintah imam atau pemimpin.
Pada kisah Ka’b bin Al-Asyraf ini, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ?”.[1] Hal yang sama, sebagaimana kisah terbunuhnya Abu Raafi’ ‘Abdullah bin Abil-Huqaiq, dimana dalam riwayat disebutkan : (بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي رافع اليهودي رجالا من الأنصار) “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus sejumlah laki-laki Anshar untuk membunuh Abu Raafi’ Al-Yahudiy”. Maka di sini dapat diketahui bahwa pembunuhan yang dilakukan itu atas perintah dan restu dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Pembunuhan atas perintah dan restu imam atau pemimpin dilakukan dengan pertimbangan kemaslahatan umum. Adapun jika pembunuhan hanya didasarkan oleh pertimbangan dan keputusan individu (tanpa perintah dan restu imam), maka ia hanya akan menyebabkan kerusakan.
2. Pembunuhan dilakukan kepada orang yang telah dipastikan kekufurannya.
Ka’b bin Al-Asyraf dan Ibnu Abil-Huqaiq adalah dua orang yang kufur kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan beberapa faedah kisah pembunuhan Ibnu Abil-Huqaiq berkata :
وفي هذا الحديث من الفوائد جواز اغتيال المشرك الذي بلغته الدعوة ......
“Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya adalah bolehnya melakukan tipu daya untuk membunuh orang musyrik yang telah sampai kepadanya dakwah (namun ia menolaknya)…. [Fathul-Baariy, 7/345].
Hadits ini mengindikasikan diperbolehkannya melakukan pembunuhan kepada orang musyrik dan kafir yang didasari oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan semata-mata pendapat pribadi yang mudah dalam mengkafirkan orang lain tanpa haq.
3. Orang yang dibunuh termasuk orang kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin (kafir harbi).
Al-Imam Bukhari rahimahullah telah memasukkan hadits Ka’b ini dalam dua bab pada Kitaabul-Jihaad was-Siyaar. Pertama, dalam Bab : “Serangan mendadak/tiba-tiba terhadap orang kafir harbi” (باب الْفَتْكِ بِأَهْلِ الْحَرْبِ); dan Kedua, dalam Bab : “Tipu Daya dalam Peperangan” (بَاب الْكَذبِ فِي الْحَرْبِ).
Al-Haafidh rahimahullah berkata :
قوله: "باب الفتك بأهل الحرب" أي جواز قتل الحربي سرا، .....وإنما فتكوا به لأنه نقض العهد، وأعان على حرب النبي صلى الله عليه وسلم، وهجاه، ولم يقع لأحد ممن توجه إليه تأمين له بالتصريح، وإنما أوهموه ذلك وآنسوه حتى تمكنوا من قتله.
“Perkataan Al-Bukhari : Bab Serangan mendadak kepada orang kafir harbi ; yaitu bolehnya membunuh orang jafir harbi secara diam-diam….. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatur siasat untuk membunuhnya (Ka’b bin Al-Asyraf) karena ia telah melanggar perjanjian, memberikan pertolongan dalam memerangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mencaci-makinya” [Fathul-Baariy, 6/160].
4. Harus ada jaminan akan terciptanya keamanan dengan adanya pembunuhan yang dilakukan.
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan membunuhnya kecuali jika persatuan kaum muslimin dalam keadaan kuat, tidak tercerai-berai. Yang menunjukkan hal ini adalah bahwa orang-orang Yahudi tidak melakukan satu tindakan perlawanan setelah terbunuhnya salah satu pemimpin di antara para pemimpin mereka.
Bandingkan antara perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh Ka’b bin Al-Asyraf dengan larangan beliau untuk membunuh gembong munafiqiin, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, padahal keduanya orang itu sama-sama telah menyakiti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak dapat menjamin keamanan dalam membunuh orang-orang munafiq, karena akan terjadi pergolakan sehingga akan dikatakan bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membunuh shahabat-shahabatnya. Kekufuran orang munafiq adalah tidak dijelas (tersembunyi), dan juga mereka tidak menampakkan perlawanan nyata terhadap Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berbeda dengan orang kafir dimana beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat menjamin keamanan (dengan kekuatan yang dimiliki), karena kekafiran orang kafir/musyrik adalah jelas sehingga tidak perlu diterangkan lagi.
Berdasarkan faktor-faktor inilah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan membunuh orang munafiq, dan tidak seorang shahabat pun yang berani membunuh orang munafiq jika mereka tidak diperintah oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya.
Sebagian kalangan merasakan ada kemusykilan berkaitan dengan hadits Ka’b bin Al-Asyraf di atas. Bagaimana mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam men-taqrir perbuatan Muhammad bin Maslamah beserta dua orang rekannya radliyallaahu ‘anhum untuk melakukan satu pengkhianatan dalam upaya pembunuhan terhadap Ka’b ? Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkannya sebagai berikut :
ذَكَرَ مُسْلِم فِيهِ قِصَّة مُحَمَّد بْن مَسْلَمَةَ مَعَ كَعْب بْن الْأَشْرَف بِالْحِيلَةِ الَّتِي ذَكَرَهَا مِنْ مُخَادَعَته ، وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي سَبَب ذَلِكَ وَجَوَابه ، فَقَالَ الْإِمَام الْمَازِرِيُّ : إِنَّمَا قَتَلَهُ كَذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ نَقَضَ عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَجَاهُ وَسَبَّهُ ، وَكَانَ عَاهَدَهُ أَلَّا يُعِين عَلَيْهِ أَحَدًا ، ثُمَّ جَاءَ مَعَ أَهْل الْحَرْب مُعِينًا عَلَيْهِ ، قَالَ : وَقَدْ أَشْكَلَ قَتْله عَلَى هَذَا الْوَجْه عَلَى بَعْضهمْ ، وَلَمْ يَعْرِف الْجَوَاب الَّذِي ذَكَرْنَاهُ ، قَالَ الْقَاضِي : قِيلَ هَذَا الْجَوَاب ، وَقِيلَ : لِأَنَّ مُحَمَّد بْن مَسْلَمَةَ لَمْ يُصَرِّح لَهُ بِأَمَانٍ فِي شَيْء مِنْ كَلَامه ، وَإِنَّمَا كَلَّمَهُ فِي أَمْر الْبَيْع وَالشِّرَاء ، وَاشْتَكَى إِلَيْهِ ، وَلَيْسَ فِي كَلَامه عَهْد وَلَا أَمَان ، قَالَ : وَلَا يَحِلّ لِأَحَدٍ أَنْ يَقُول إِنَّ قَتْله كَانَ غَدْرًا ، وَقَدْ قَالَ ذَلِكَ إِنْسَان فِي مَجْلِس عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - فَأَمَرَ بِهِ عَلِيّ فَضُرِبَ عُنُقه ، وَإِنَّمَا يَكُون الْغَدْر بَعْد أَمَان مَوْجُود ، وَكَانَ كَعْب قَدْ نَقَضَ عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يُؤَمِّنهُ مُحَمَّد بْن مَسْلَمَةَ وَرُفْقَته ، وَلَكِنَّهُ اِسْتَأْنَسَ بِهِمْ فَتَمَكَّنُوا مِنْهُ مِنْ غَيْر عَهْد وَلَا أَمَان . وَأَمَّا تَرْجَمَة الْبُخَارِيّ عَلَى هَذَا الْحَدِيث بِبَابِ الْفَتْك فِي الْحَرْب فَلَيْسَ مَعْنَاهُ الْحَرْب ، بَلْ الْفَتْك هُوَ الْقَتْل عَلَى غِرَّة وَغَفْلَة ، وَالْغِيلَة نَحْوه
“Muslim menyebutkan dalam hadits ini kisah Muhammad bin Maslamah dan Ka’b bin Al-Asyraf dengan perbuatan tipu daya yang disebutkan, yang merupakan tipu muslihatnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab dilakukannya hal itu beserta jawabannya. Al-Imam Al-Maaziriy berkata : ‘Sesungguhnya pembunuhan Ka’b itu hanya dilakukan karena ia telah melanggar perjanjian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menghina, dan mencacinya. Padahal tujuan perjanjian itu adalah untuk tidak menolong mereka (orang-orang kafir) untuk tidak memerangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Namun ia malah datang kepada orang-orang kafir harbi sebagai penolong untuk memerangi beliau’.
Ia juga berkata : ‘Sebagian orang di antara mereka mempermasalahkan pembunuhan Ka’b dengan cara seperti itu, namun jawabannya tidaklah diketahui selain dari apa yang telah kami sebutkan’.
Berkata Al-Qaadliy : ‘Dikatakan inilah jawabannya. Dan dikatakan juga : ‘Muhammad bin Maslamah tidak menjelaskan jaminan keamanan/keselamatan bagi Ka’b dari apa yang dikatakan kepadanya. Perkataannya kepada Ka’b adalah dalam permasalahan jual-beli saja seraya mengadu kepadanya. Tidak ada dalam perkataannya perjanjian dan jaminan keamanan/keselamatan’.
Ia juga berkata : ‘Tidak halal bagi seorang pun untuk mengatakan bahwa dalam pembunuhan Ka’b itu merupakan pengkhianatan. Sesungguhnya telah ada seseorang yang mengatakan hal itu di hadapan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, maka ‘Ali pun memerintahkan agar orang tadi dipenggal lehernya. Dinamakan pengkhianatan hanya jika dilakukan setelah adanya jaminan keamanan. Ka’b telah melanggar perjanjian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan posisi Muhammad bin Maslamah dan rekan-rekannya tidak memberikan jaminan keamanan pada Ka’b bin Al-Asyraf. Namun ia bersikap ramah kepada mereka dan mereka pun menyembunyikan maksud sebenarnya kepadanya (untuk membunuhnya) tanpa adanya satu perjanjian dan jaminan keamanan. Adapun penafsiran Al-Bukhari atas hadits ini dengan (menempatkannya pada) Bab Serangkan Mendadak/Tiba-Tiba dalam Peperangan[2], maka ini bukanlah makna peperangan yang sebenarnya. Namun maknanya adalah pembunuhan dengan tiba-tiba ketika ada kesempatan, kelengahan, tipu muslihat, dan yang semacamnya” [Syarh Shahih Muslim, 12/160-161].
Wallaahu a’lam.
Semoga Allah memberikan manfaat dari tulisan singkat ini bagi Pembaca dan Penulisnya.
Abu Al-Jauzaa’
Assalamu'alaykum
BalasHapusUstadz Bagaimana jika melakukan tipu daya semacam mencukur jenggot, bahkan sampai ada laki-2 yang memakai baju perempuan dan bercadar agar tidak diketahui, sebagaimana yang pernah dilakukan kaum takfiri yang menganggap pada saat itu sebagai jihad atau kondisi perang.
@@~Anonim 20 Januari 2012 :
BalasHapus“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara, seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridho (senang), berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) diantara manusia” [HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho)]