Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أن المشاركة في الهدي الظاهر تورث تناسباً وتشاكلاً بين المتشابهين، يقود
إلى موافقة ما في الأخلاق والأعمال، وهذا أمر محسوس، فإن اللابس ثياب أهل العلم
يجد من نفسه نوع انضمام إليهم، واللابس لثياب الجند المقاتلة - مثلاً - يجد من
نفسه نوع تخلق بأخلاقهم، ويصير طبعه متقاضياً لذلك، إلا أن يمنعه مانع.
“Bahwasannya
kesamaan lahiriyah akan menimbulkan kesesuaian dan keserupaan antara dua orang
yang saling menyerupai, yang nantinya akan mengantarkan kepada kesamaan dari
sisi akhlaq dan perbuatan. Yang demikian adalah perkara yang bisa dirasakan.
Seseorang yang mengenakan pakaian yang dikenakan orang ‘alim, maka ia akan
mendapati dirinya memiliki kecondongan kepada mereka. Selanjutnya tabiat akan
mengarah ke sana kecuali apabila ada faktor pencegah” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/93, tahqiq : Dr. Naashir bin
‘Abdil-Kariim Al-‘Aql; Daarul-‘Aalamil-Kutub, Cet. 7/1419].
Bila
hal ini telah dimengerti, maka ketahuilah bahwa meninggalkan perbuatan meniru (tasyabbuh) orang kafir adalah sebuah
dasar yang agung dari sejumlah pokok-pokok agama (ushuluddin) karena banyaknya dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang menunjukkannya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah
– sebagaimana juga ulama lain – berdalil dengan ayat seperti berikut untuk
menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan meniru orang kafir.
أَلَمْ يَأْنِ
لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ
الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ
عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan
kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”
[QS. Al-Hadiid : 16].
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata ketika
mengomentari ayat di atas :
فقوله: ولا يكونوا
مثلهم، نهي مطلق عن مشابهتهم، هو خاص - أيضاً في النهي عن مشابهتهم، في قسوة
قلوبهم، وقسوة القلوب من ثمرات المعاصي
“Firman-Nya
: ‘janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya’
; merupakan larangan yang bersifat mutlak dalam hal penyerupaan terhadap mereka
(orang kafir). Larangan ini juga khusus menyerupai mereka dalam hal kerasnya
hati, sedangkan kerasnya hati termasuk di antara buah kemaksiatan” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/290].
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :
ولهذا نهى الله
المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh
karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka
(orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)”
[Tafsir Ibnu Katsir, 8/20, tahqiq :
Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daarith-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Para
ulama juga berdalil dengan firman Allah ta’ala
berikut :
وَلَقَدْ آتَيْنَا
بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ * وَآتَيْنَاهُمْ بَيِّنَاتٍ
مِنَ الأمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا
بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا
فِيهِ يَخْتَلِفُونَ * ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya telah Kami
berikan kepada Bani Israel Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami
berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas
bangsa-bangsa (pada masanya). Dan Kami berikan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak
berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka
pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya. Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui” [QS. Al-Jaatsiyyah : 16-18].
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
ونهاه عن إتباع أهواء الذين لا يعلمون، وقد
دخل في الذين لا يعلمون كل من خالف شريعته.
وأهواؤهم: هو ما يهوونه، وما عليه المشركون من هديهم الظاهر، الذي هو من موجبات دينهم الباطل، وتوابع ذلك فهم يهوونه، وموافقتهم فيه، إتباع لما يهوونه، ولهذا: يفرح الكافرون بموافقة المسلمين في بعض أمورهم، ويسرون به، ويودون أن لو بذلوا عظيماً ليحصل ذلك، ولو فرض أن ليس الفعل من إتباع أهوائهم فلا ريب أن مخالفتهم في ذلك أحسم لمادة متابعتهم وأعون على حصول مرضاة الله في تركها، وأن موافقتهم في ذلك قد تكون ذريعة إلى موافقتهم في غيره، فإن " من حام حول الحمى أوشك أن يواقعه "
وأهواؤهم: هو ما يهوونه، وما عليه المشركون من هديهم الظاهر، الذي هو من موجبات دينهم الباطل، وتوابع ذلك فهم يهوونه، وموافقتهم فيه، إتباع لما يهوونه، ولهذا: يفرح الكافرون بموافقة المسلمين في بعض أمورهم، ويسرون به، ويودون أن لو بذلوا عظيماً ليحصل ذلك، ولو فرض أن ليس الفعل من إتباع أهوائهم فلا ريب أن مخالفتهم في ذلك أحسم لمادة متابعتهم وأعون على حصول مرضاة الله في تركها، وأن موافقتهم في ذلك قد تكون ذريعة إلى موافقتهم في غيره، فإن " من حام حول الحمى أوشك أن يواقعه "
“Dan
Allah melarang beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengerti (tidak berilmu). Dan bisa dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang
tidak mengerti setiap orang yang menyelisihi syari’at-Nya.
Adapun
hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka inginkan dan perkara yang ada pada
kaum musyrikin, yaitu berupa penampilan lahiriyyah mereka yang merupakan
konsekuensi dari agama mereka yang bathil dan perkara-perkara yang menyertainya.
Juga, mencocoki mereka dan mengikuti apa yang mereka nafsukan. Oleh karena itu,
orang-orang kafir merasa senang dan gembira apabila kaum muslimin mencocoki
mereka pada sebagian perkara-perkara mereka. Mereka juga berangan-angan untuk
mencurahkan sebagian besar (usaha/kekuatan) agar hal itu dapat terjadi.
Kalaupun perbuatan menyerupai mereka (orang-orang kafir) termasuk mengikuti
hawa nafsunya, tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal
lahiriyyah menjadi pemupus unsur mengikuti (hawa nafsu) mereka, dan lebih
membantu untuk mendapatkan keridlaan Allah ketika meninggalkannya. Dan
mencocoki mereka seringnya akan menjadi jalan untuk mencocoki mereka dalam
perkara yang lainnya. Karena : orang yang
mendekati batas larangan, maka hampir-hampir ia akan terjerumus di dalamnya”
[Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim,
1/98].
Sebagai
dalil bahwasannya orang-orang kafir bergembira dengan perbuatan kaum muslimin
yang menyerupai mereka adalah firman Allah ta’ala
:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا
النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا
لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu” [QS. Al-Baqarah : 120].
Oleh
karena itu, orang-orang Yahudi menjadi geram karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, hingga mereka
mengatakan : “Apa yang diinginkan orang ini – maksudnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ?
Tidaklah ia membiarkan perkara kita sedikitpun kecuali ia pasti menyelisihi
kita dalam perkara itu”.
Ucapan
mereka di atas adalah sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah
sebagai berikut :
وعن حماد عن ثابت، عن أنس رضي الله عنه: أن
اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها، ولم يجامعوها في البيوت، فسأل
أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، النبي صلى الله عليه وسلم، فأنزل الله عز وجل: {وَيَسْأَلونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: " اصنعوا كل شيء إلا النكاح "، فبلغ ذلك
اليهود، فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئاً إلا خالفنا فيه، فجاء
أسيد بن حضير، وعباد بن بشر، فقالا: يا رسول الله إن اليهود تقول كذا وكذا، أفلا
نجامعهن؟ فتغير وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم، حتى ظننا أن قد وجد عليهما
فخرجا، فاستقبلهما هدية من لبن، إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأرسل في آثارهما،
فسقاهما، فعرفنا أنه لم يجد عليهما
“Dan dari Hammaad, dari Tsaabit, dari Anas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya orang-orang Yahudi apabila
istri-istri mereka sedang haidl di tengah-tengah mereka, maka mereka tidak mau
makan bersamanya, tidak pula mau menggaulinya. Kemudian para shahabat bertanya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan
ayat : “Mereka bertanya kepadamu tentang
haidl. Katakanlah : ‘Haidl itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kalian
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl” (QS. Al-Baqarah : 222). Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pun bersabda : “Lakukan apapun
(terhadap istrimu yang sedang haidl) kecuali an-nikaah (berjima’)”.
Kemudian hal ini sampai kepada orang-orang Yahudi, dan mereka mengatakan : “Apa
yang diinginkan orang ini – maksudnya adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ? Tidaklah ia membiarkan perkara
kita sedikitpun kecuali ia pasti menyelisihi kita dalam perkara itu”.
Kemudian
Usaid bin Hudlair dan ‘Abbad bin Bisyr mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu keduanya mengatakan : “Wahai
Rasulullah, orang-orang Yahudi mengatakan demikian dan demikian. Tidakkah kita
menggauli mereka (di waktu haidl) ?”. Serta merta berubahlah raut muka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
hingga kami menyangka bahwa beliau marah kepada mereka berdua. Mereka berdua
pun keluar, bersamaan dengan itu datang hadiah susu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka
beliau mengutus seseorang untuk mengikuti mereka dan beliau memberi minum (susu
tadi), sehingga kami menyangka bahwa beliau tidak marah kepada mereka berdua” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim,
1/213-215].
Di
antara ayat yang mempunyai kandungan yang sama seperti ini adalah firman Allah ta’ala :
وَكَذَلِكَ
أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا
جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا وَاقٍ
“Dan demikianlah, Kami telah
menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan
seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan
kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap
(siksa) Allah” [QS. Ar-Ra’d : 37].
Lantas,
bagaimana bisa umat ini membebek kepada mereka itu dalam masalah akhlaq,
padahal telah datang kepada umat ini petunjuk dari Rabb mereka ? Tekah
dikatakan dalam pepatah :
يُصْبِحُ
عَطْشَانَ وَ فِي الْبَحْرِ فَمُهُ
“Ia menjadi kehausan padahal
mulutnya telah dimasukkan ke laut”.
Syair
mengatakan :
وَمِنَ
الْعَجَائِبِ وَالْعَجَائِبُ جَمَّةٌ
قُرْبُ الْحَبِيبِ وَمَا إِلَيْهِ وُصُولُ
كَالْعِيْسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحمُولُ
كَالْعِيْسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحمُولُ
“Di antara perkara yang
mengherankan, dan yang mengherankan itu amat banyak
Dekatnya
yang dicinta, namun tidak bisa menggapainya
Seperti onta di padang
tandus, ia mati karena kehausan
Padahal
air senantiasa ia bawa di atas punggungnya (di atas punuk)”.
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (أخرجه
أحمد وغيره، وصججه الألباني في الإرواء رقم ١٢٦٩)
“Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” [Dikeluarkan oleh
Ahmad dan yang lainnya, serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ no. 1269].
Hikmah
dari hal ini, bahwasannya tidak akan lurus jalan seorang hamba yang diperintah
Allah untuk mengikuti jalan tersebut kecuali dengan menyelisihi jalan yang
dimiliki umat-umat lain. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan orang-orang
yang beriman agar berdoa kepada-Nya dengan doa yang seperti ini :
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus” [QS. Al-Fatihah : 6].
Kemudian
Allah ta’ala mengenalkan jalan itu,
dalam firman-Nya :
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“(Yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”
[QS. Al-Fatihah : 7].
Karena
jalan ini diberi rintangan berupa perkara yang akan membuat rusak kelurusannya,
maka Allah menambahkan keterangan yang telah lalu dengan memperingatkan
orang-orang yang menempuh jalan lurus tersebut dari jalan-jalan yang ditempuh
oleh umat-umat yang lain, dalam firman-Nya :
غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” [QS.
Al-Fatihah : 7].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
الْيَهُودُ
مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَالنَّصَارَى ضُلَّالٌ (رواه الترمذي رقم ٢٩٥٤ وصححه الألباني في سلسلة الصحيحة
رقم ٣٢٦٣)
“Yahudi adalah (umat) yang
dimurkai dan Nashara adalah (umat) yang sangat sesatnya”
[HR. At-Tirmidzi no. 2954, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 3263].
Hal
ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita agar menjauhi jalan orang-orang
yang disebutkan (dalam ayat) agar kita tetap berada di atas jalan yang lurus,
karena bila seorang hamba bergantung kepada jalan yang lain, pasti telah
terjadi di jalannya itu kekurangan dan kehancuran. Allah telah menerangkan
keterkaitan keteguhan di atas jalan yang lurus dengan berpaling dari jalan Ahli
Kitab dalam dua ayat yang berurutan. Allah ta’ala
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ * وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى
عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ
فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah
dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barang
siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah
diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” [QS. Ali ‘Imraan :
100-101].
Perhatikanlah
hal ini, karena ayat ini adalah salah satu dari ayat-ayat yang paling
menakjubkan, dua ayat yang disusun, (susunannya) persis ayat yang ada pada
surat Al-Fatihah. Berhati-hatilah dari menyelisihi ayat-ayat ini, karena Allah
telah memberitahukan bahwa orang yang menyelisihinya maka ia telah
menjerumuskan dirinya dalam kekafiran. Dan hanya Allah lah tempat meminta
keselamatan.
Di
antara perkara yang mengherankan pula, bahwa kaum muslimin senantiasa
mengulangi doa yang disebutkan dalam surat Al-Fatihah dalam shalat mereka
setiap hari, siang dan malam, 17 kali minimalnya. Kemudian kita mendapati mayoritas
kaum muslimin pada masa sekarang menyerupai musuh-musuh mereka, dan bergantung
pada pola hidup mereka ! Betapa banyak kaum muslimin yang mengulang-ulangi
kutukan yang pedas kepada Yahudi, kemudian mereka menjadi orang yang paling
bersegera menjalankan kreasi-kreasi Yahudi dalam model pakaian yang memalukan
dan akhlaq yang jahat. Bahkan mayoritas kaum muslimin itu menyerupai Yahudi
hampir dalam segala hal sampai perkara-perkara yang rendah !! Perkara ini pada
sebagian kaum muslimin (mencapai tingkat yang parah), kalau saja orang kafir
itu menambahkan sehelai rambut di pipi, pasti mereka akan menambahkannya,
sebagai bentuk ketaatan pada mode,… dan hal ini telah terjadi, inna lillah !! Bahkan di masa sekarang
telah dibuat mode di salon-salon rambut model rambut yang menjijikkan pandangan
dan bentuknya. Setiap orang yang memiliki perasaan akan bisa merasakannya.
Walaupun demikian telah didapatkan pada sebagian kaum muslimin pelaris yang
mengentalkannya. Telah benar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang bersabda :
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ،
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ.
قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ والنَّصَارَى ؟. قَالَ : فَمَنْ ؟ (متفق عليه).
“Sungguh kalian akan
mengikuti sunnah-sunnah yang ada pada pada umat sebelum kalian, sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka masuk ke lubang
biawak, niscaya kalian akan mengikutinya pula”.
Kami (para shahabat) bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang
Yahudi dan Nasharani ?”. Beliau menjawab : “Siapa
lagi ?” [Muttafaqun ‘alaih].
Sikap
mengikuti dengan membabi buta ini merupakan petunjuk akan lemahnya pandangan
dan hilangnya pamor, serta sirnanya sikap orang-orang yang menang. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Khaldun rahimahullah dalam
Muqaddimah-nya (hal. 184-185 –
Daarul-Fikr) :
“Kelompok
yang terkalahkan selamanya akan terpesona dengan kelompok yang menang dalam
syiar-syiar pakaian, cara berpikir (nihlah),
seluruh keadaan, dan adatnya. Penyebabnya karena jiwa manusia menganggap bahwa kesempurnaan
ada pada orang yang bisa mengalahkannya, dan ia tunduk kepadanya karena ia
memandang (mereka) sempurna dengan pengagungan yang telah bercokol dalam
hatinya. Atau karena adanya kekeliruan bahwa mengikuti mereka (pihak yang
menang) bukan karena tabiat keterpurukan, akan tetapi semata karena
kesempurnaan pihak yang menang. Apabila telah dirancukan dengan hal yang
demikian (mengekor kepada pihak yang menang bukan karena tabiat, tetapi karena
kesempurnaan pihak yang menang), dan telah berkaitan dengan keyakinan, (pada
tahapan berikutnya) akan meniru seluruh metode yang ada pada pihak pemenang dan
menirukannya. Inilah yang dinamakan membebek. Atau karena ia melihat – dan
Allah Yang Maha Tahu – bahwasannya kemenangan yang diraih pemenang bukan karena
fanatisme, tidak pula karena kekuatan militernya, namun karena adat-adat dan
metode yang mereka gunakan. Yang demikian akan membuat rancu pihak yang kalah.
Dan kembali pada sebab yang pertama.
Oleh
karena itu, selamanya engkau akan menyaksikan pihak yang berhasil ditundukkan
menyerupai pihak yang menundukkannya dalam cara berpakaian, berkendaraan, dan
persenjataan, baik dalam cara mengambil maupun bentuknya. Bahkan pada seluruh
keadaannya. Lihatlah fenomena ini pada anak dan bapak. Bagaimanakah selamanya engkau
melihat si anak akan menyerupai bapaknya ? Tidakkah yang demikian ini terjadi
kecuali si anak meyakini kesempurnaan yang ada pada bapaknya. Perhatikanlah
keadaan setiap desa, mayoritas penduduknya memakai pakaian pengawal dan pasukan
penguasanya, dikarenakan penguasa itulah yang mengungguli mereka. Bahkan
apabila ada sebuah kelompok masyarakat yang berdekatan dengan kelompok lain
yang telah mengalahkannya, lambat laun kelompok masyarakat (yang terkalahkan)
itu akan meniru dan mengikutinya dalam banyak hal. Hal ini sebagaimana yang
terjadi di Andalusia – sebagai contohnya – ketika mereka berdekatan dengan kaum
Jalaqih[1]. Engkau mendapati mereka (muslim
Andalusia) menirukan kaum itu dalam berpakaian, gaya, dan mayoritas adat serta
kebiasaan mereka. Bahkan dalam hal menggambar patung di dinding, pabrik-pabrik,
dan rumah-rumah !! Hingga seorang yang memperhatikannya dengan pandangan penuh
hikmah akan merasakannya sebagai tanda-tanda penaklukan. Dan segala urusan
hanyalah kembali kepada Allah” [selesai].
Beliau
(Ibnu Khaldun) rahimahullah telah
benar. Sesungguhnya sikap meniru ini adalah salah satu sebab berakhirnya
Andalusia hingga masa sekarang. Dan sekarang akan dikatakan orang bila ia
melewati peninggalan kaum muslmin di negeri itu : “Dahulu di sini pernah ada Islam dan orang-orang Muslim !!”. Semoga
Allah mengembalikannya kepada kaum muslimin dengan mulia dan kokoh. Lantas apa
yang akan dikatakan tentang sebuah masyarakat yang hati mereka telah bergantung
kepada pemikiran musuh-musuhnya, bahkan tidak sedikit bergantung dengan
keyakinan mereka ?! Tidak diragukan lagi bahwa permulaannya adalah kesenangan
kepada bahasa penjajah, pakaian orang-orang kafir, hingga mencapai bentuk
membuka aurat. Kemudian orang-orang yang bermudah-mudahan terus
bermudah-mudahan hingga terjadilah sebagaimana yang terjadi. Hanya Allah lah
tempat meminta pertolongan…
Wa ba’d,
inilah keterangan yang amat ringkas tentang masalah menyerupai orang-orang
kafir. Pembahasan ini – sebagaimana engkau saksikan – menggunakan dalil-dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan disertai penjelasan dan pemahaman ulama
umat ini. Kemudian dengan melihat kepada sejarah Islam yang menjelaskan
sirnanya daulah kaum muslimin di sebagian wilayah karena perkara ini (meniru
orang kafir). (Pendalilan) yang demikian akan sangat kuat untuk memberikan
peringatan kepada kaum muslimin untuk kembali kepada dasar-dasar mereka; dan
memperingatkan mereka dari perbuatan meniru kaum selain muslimin; juga
pentingnya sikap merasa mulia hanya dengan Rabb mereka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
saudara-saudara mereka kaum mukminin, karena Allah telah berfirman :
وَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا
يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu
hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi
orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [QS. Al-Munaafiquun
: 8].
Kemunafiqan
masuk ke dalam hati dari jalur kelalaian tentang dasar (agama). Allah ta’ala berfirman :
بَشِّرِ
الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا * الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ
الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada
orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”
[QS. An-Nisaa’ : 138-139].
Ketika
Ash-Shiraathul-Mustaqiim (jalan yang
lurus) menuntut untuk menyelisihi kelompok-kelompok yang menyimpang agar para
penempuhnya senantiasa berada di atasnya, sebagaimana yang ada pada surat
Al-Fatihah; maka Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menamakan kitabnya yang agung dalam masalah ini dengan judul Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim li-Mukhalafati
Ashhaabil-Jahiim”.
[Asy-Syaikh ‘Abdul-Malik bin Ahmad
Ar-Ramadlaniy dalam Raf’udz-Dzulli
wash-Shighaari ‘anil-Maftuuniin bi-Khalqil-Kuffaar].
[1] Jalaqa/jalaqih
adalah orang-orang kafir Spanyol dan Portugal, sebagaimana yang disebutkan
dalam Al-Iqtishaa fii Akhbaril-Maghrib
Al-Aqshaa - Ahmad An-Nashiri (2/110).
izin tak coppast ustadz jazaakallahu khairan..
BalasHapussemoga Allah selalu menjaga antum dan keluarga
jazakallaah khayran katsiran.
BalasHapusWahai muslim dan muslimah, kok kalian nggak malu sih masih juga produk kafir seperti internet dan alat elektronik? Itu semua bisa dikategorikan produk kebudayaan kafir. Malu dong, terutama muslimahnya.
BalasHapus
BalasHapusAsbabun Nuzul dari Hadits (menyerupai) orang kafir apa ya?
Ingin tanya Asbabun Nuzul nya
Didalam Hadits dikatakan
٣٥١٢ - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." *[HR. Abu Dawud]*