Diantara tuduhan dusta kaum Syi’ah Rafidlah terhadap ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu adalah klaim bahwasa ‘Umar telah menambah lafadh tatswib (ash-shalaatu khairun minan-naum) pada adzan shalat shubuh. Lafadh tatswib tidak pernah ada pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kekhalifahan Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu, begitu kata mereka. Kedengkian mereka terhadap ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu membuat mereka tidak pernah berhenti berusaha mengarang cerita dusta untuk menjatuhkan kredibilitas ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Mereka berkata :
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.
Al-'Allamah Az-Zarqani — ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha' — menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukan Hayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."
Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.
Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz pertama kitab Shahih Al-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami mengenai hal ini.
Berikut akan saya tampilkan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwasannya lafadh tatswib telah ada semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari sunnah yang suci yang akan terpelihara hingga waktu yang dikehendaki Allah ta’ala. Di antara yang sedikit tersebut adalah :
1. Hadits Nu’aim bin Nahaam radliyallaahu ‘anhu :
عن نعيم بن النحام قال كنت مع امرأتي في مرطها في غداة باردة فنادى منادي رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى صلاة الصبح فلما سمعت قلت لو قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن قعد فلا حرج فلما قال الصلاة خير من النوم قال ومن قعد فلا حرج
Dari Nu’aim bin Nahaam ia berkata : “Aku pernah bersama istriku dalam selimutnya pada satu pagi yang dingin. Lalu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan untuk shalat shubuh. Ketika aku mendengarkannya, aku pun bergumam : ‘Seandainya saja Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : wa man qa’ada falaa haraja (dan barangsiapa yang duduk, maka tidak mengapa baginya[1])’. Maka ketika muadzdzin berkata : ash-shalaatu khairun minan-naum, maka ia berkata : wa man qa’ada falaa haraja” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 1/423; shahih].
Perkataan : Lalu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan untuk shalat shubuh ; mengandung pengertian bahwa adzan yang ia dengar adalah adzan di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hadits Abu Mahdzurah radliyallaahu ‘anhu, muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عن أبي محذورة : قلت : يا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمني سنة الأذان قال : ....فإن كانت صلاة الصبح قلت : الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله )
Dari Abu Mahdzuurah : Aku berkata : “Wahai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ajarilah aku sunnah dalam adzan”. Beliau bersabda : “….Apabila (engkau adzan) pada waktu shalat shubuh, maka katakanlah : ‘ash-shalaatu khairun minan-naum ash-shalaatu khairun minan-naum, allaahu akbar allaahu akbar, laa ilaaha illallaah” [HR. Ibnu Hibban no. 1682; Asy-Syaikh Al-Arna’uth berkata : “Shahih dengan keseluruhan jalannya”].
عن أبي محذورة : ألقى عليّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم الأذان حرفاً حرفاً: اللّه أكبر، اللّه أكبر، اللّه أكبر، اللّه أكبر، أشهد أن لا إله إلا اللّه، أشهد أن لا إله إلا اللّه، ........وكان يقول في الفجر: الصلاة خيرٌ من النوم.
Dari Abu Mahdzuurah : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajariku adzan huruf demi huruf : Allaahu akbar allaahu akbar, allaahu akbar allaahu akbar, asyhadu an laa ilaaha illallaah asyhadu an laa ilaaha illallaah,…. Dan ketika waktu shubuh : ash-shalaatu khairun minan-naum” [HR. Abu Dawud no. 504].
Catatan : Hadits Abu Mahdzurah tentang lafadh adzan ini cukup banyak.
3. Hadits Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :
عن أنس قال من السنة إذا قال المؤذن في أذان الفجر حي على الفلاح قال الصلاة خير من النوم
Dari Anas ia berkata : “Termasuk sunnah adalah jika muadzdzin berkata saat adzan shubuh hayya ‘alal-falaah, maka ia mengucapkan : ash-shalaatu khairun minan-naum” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 386; shahih].
Perkataan ‘termasuk sunnah’ menurut para ulama ahli hadits dihukumi marfu’ (marfu’ hukman) - sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - walau secara sanad ia mauquf.
4. Hadits Bilaal radliyallaahu ‘anhu :
عن بلال؛ أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم يؤذنه بصلاة الفجر. فقيل: هو نائم. فقال: الصلاة خير من النوم، الصلاة خير من النوم. فأقرت في تأذين الفجر. فثبت الأمر على ذلك.
Dari Bilaal : Bahwasannya ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan shalat shubuh telah tiba. Dikatakan : “Beliau masih tidur”. Maka Bilaal berkata : “Ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka hal itu disetujui dalam adzan shubuh (oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Jadilah ia perkara yang tetap dalam syari’at” [HR. Ibnu Majah no. 716; shahih].
5. Dan lain-lain masih banyak.
Adapun dasar hujjah tuduhan mereka dari Al-Muwaththa’ :
وحدثني عن مالك أنه بلغه أن المؤذن جاء إلى عمر بن الخطاب يؤذنه لصلاة الصبح فوجده نائما فقال الصلاة خير من النوم فأمره عمر أن يجعلها في نداء الصبح
Dan telah menceritakan kepadaku, dari Maalik, bahwa ia menyampaikan padanya bahwasannya seorang muadzdzin mendatangi ‘Umar bin Al-Khaththab untuk memberitahukan shalat shubuh telah tiba. Namun ia menemui ‘Umar masih dalam keadaan tidur. Muadzdzin tersebut berkata : “ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka ‘Umar memerintahkannya untuk menjadikan bacaan tersebut dalam panggilan/adzan shalat shubuh” [HR. Malik no. 161 – tahqiq & takhrij : Salim Al-Hilaliy].
Namun riwayat tersebut adalah lemah sebagaimana bisa kita lihat dalam susunan sanadnya (mauquf dla’if) karena adanya inqitha’. Oleh karena itu tidak pantas dijadikan hujjah.
Riwayat yang dinisbatkan dalam Sunan Ad-Daaruquthni adalah sebagai berikut :
حدثنا محمد بن مخلد ثنا محمد بن إسماعيل الحساني ثنا وكيع عن العمري عن نافع عن ابن عمر عن عمر ووكيع عن سفيان عن محمد بن عجلان عن نافع عن ابن عمر عن عمر أنه قال لمؤذنه إذا بلغت حي على الفلاح في الفجر فقل الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mikhlad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma’il Al-Hasaaniy : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-‘Umariy, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar – dan Wakii’, dari Sufyaan, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar : Bahwasannya ia pernah berkata kepada muadzdzinnya : Apabila engkau sampai pada kalimat hayya ‘alal-falaah dalam adzan shalat shubuh, maka katakanlah : “as-shalaatu khairun minan-nauum”.
Dalam riwayat ini sama sekali tidak terdapat petunjuk bahwa ‘Umar yang menambah-nambah lafadh ash-shalaatu khairun minan-naum. Beliau radliyallaahu ‘anhu hanya memerintahkan kepada muadzdzin agar mengatakan lafadh tatswib setelah lafadh hayya ‘alal-falaah. Sudah dimaklumi bahwasannya perintah mengerjakan sesuatu tidak selalu berkonsekuensi si pemberi perintah mengadakan sesuatu itu. Sama juga halnya seperti riwayat ini. ‘Umar hanya memberikan penjelasan dan pelajaran bagi muadzdzinya untuk mengucapkan kalimat tatswib dalam adzannya.
Dan riwayat yang dinisbatkan kepada Mushannaf Ibni Abi Syaibah adalah sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر قال نا عبدة بن سليمان عن هشام بن عروة عن رجل يقال له إسماعيل قال جاء المؤذن يؤذن عمر بصلاة الصبح فقال - الصلاة خير من النوم - فأعجب به عمر وقال للمؤذن أقرها في أذانك
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari seorang laki-laki yang bernama Isma’il, ia berkata : “Muadzdzin datang memberitahukan ‘Umar bahwa shalat Shubuh telah tiba. Lalu ia berkata : “ash-shalaatu khairun minan-naum”. ‘Umar merasa takjub atas hal tersebut, dan kemudian ia berkata kepada muadzdzinnya : “Tetapkanlah ia dalam adzanmu”.
Nampaknya sang Rafidliy menyembunyikan cacat hadits dengan hanya mengatakan : Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan itulah kebiasaan mereka (orang-orang Syi’ah Rafidlah) dalam membuat trik-trik kalimat. Padahal, riwayat tersebut merupakan riwayat Isma’il, seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Alias, riwayat tersebut berkualitas dla’if.
Adapun perkataan mereka : Dan masih banyak lagi selain mereka; maka tidak perlu kita perhatikan, karena mereka telah terbiasa – berdasarkan pengalaman - memperbanyak kedustaan dan tipuan dalam menyebar syubhat.
Walhasil, lafadh tatswib adalah lafadh yang telah ada semenjak jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan bahkan telah menjadi bagian dari sunnahnya yang suci. Bukan bikinan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu sebagaimana tuduhan Syi’ah Rafidlah. Ini merupakan kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah. Adapun yang menjadi perselisihan di kalangan ulama adalah : “Apakah lafadh tatswib tersebut diucapkan pada saat adzan shubuh ataukah adzan untuk membangunkan shalat malam pada sepertiga malam terakhir (± 45 menit sebelum fajar shadiq) ?”. Tentu saja, bukan di sini ruang pembahasannya.
Itu saja yang dapat dituliskan. Singkat memang, namun saya harap ada manfaatnya. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan. Hanya kepada Allah kita meminta dan hanya kepada-Nya lah kita memohon pertolongan …..
Abul-Jauzaa’
Assalamu'alaikum Ustadz.. .
BalasHapusAfwan Ustadz, OOT nih..
Saya mau bertanya kepada Ustadz, Apakah pelafzhan at Tatswib pd kata "an-naum" itu d baja panjang atau pendek ??
jadi yg benar pd kata an-naum dibaca pendek (naum) atau panjang (nauum/nauuum) ??
by Dody..
Oh iya Ustadz, apakah lafazh at Tatswib pd kata an-naum panjang atau pendek.. .
BalasHapusDi alamat dibawah ini saya menemukan jika "naum" itu musti d baca panjang (nauum). Sudih kiranya antum menjawab pertanyaan saya..
Oh iya ini alamatnya :
https://farisna.wordpress.com/2011/06/12/sekilas-tentang-pelafazhan-at-tatswib/
by Dody