Tanya : Mohon dijelaskan waktu pelaksanaan shalat Jum’at yang afdlal. Beberapa orang mengatakan bahwa pelaksanaan shalat Jum’at diperbolehkan untuk dilaksanakan sebelum tergelincir matahari. Syukran.
Jawab : Mengenai waktu pelaksanaan shalat Jum’at, dalam hal ini ada 2 khilaf yang sangat masyhur di kalangan ulama :
1. Sah dilakukan sebelum zawal (matahari tergelincir di siang hari – sama seperti waktu Dhuhur). Ini merupakan pendapat Ahmad dan Ishaq. Yang menjadi dalil adalah :
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ اَلْأَكْوَعِ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ اَلْجُمُعَةَ, ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ ظِلٌّ نَسْتَظِلُّ بِه (صحيح. رواه البخاري (4168)، ومسلم (860))
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu ia berkata : ”Kami shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at, kemudian kami bubar yang pada saat itu tembok-tembok tidak mempunyai bayangan untuk berteduh [Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari nomor 4168 dan Muslim nomor 860].
عن سعيد بن سويد قال : صلى بنا معاوية الجمعة ضحى
Dari Sa’id bin Suwaid ia berkata : “Mu’awiyah shalat Jum’at bersama kami di waktu Dluha[1]“ [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Ajwibatun-Naafi’ah halaman 24].
Hadits di atas menunjukkan bahwa shalat Jum’at telah dimulai lebih awal dan berakhir pada saat matahari tepat di atas kepala (belum tergelincir/zawal) atau awal waktu zawal.
2. Dilakukan setelah zawal (matahari tergelincir). Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Yang menjadi dalil pendapat jumhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Maslamah radliyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata :
كُنَّا نَجْمَعُ مَعَهُ إِذَا زَالَتِ اَلشَّمْسُ, ثُمَّ نَرْجِعُ, نَتَتَبَّعُ (صحيح. رواه مسلم (860))
Kami pernah shalat bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pada saat matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang sambil mencari-cari bayangan untuk berteduh (Shahih, diriwayatkan oleh Muslim nomor 860).
عن سعد القرظ مؤذن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يؤذن يوم الجمعة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان الفيء مثل الشراك
Dari Sa’id Al-Quradh, muadzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya dia adzan pada hari Jum’at pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika bayangan sudah seperti salah satu tali sandal [2] “ [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/342 dan Al-Hakim 3/607; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Ajwibatun-Naafi’ah halaman 18].
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan shalat Jum’at adalah setelah zawal, sama dengan waktu pelaksanaan shalat Dhuhur.
Dua waktu tersebut diperbolehkan, karena kedua-duanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Bassam hafidhahullah dalam Kitab-nya : Taisirul-Allam Syarh Umdatil-Ahkaam menjelaskan bahwa waktu pelaksanaan yang afdlal adalah setelah zawal (tergelincirnya matahari – yaitu sama seperti waktu shalat Dhuhur), karena hal itu adalah waktu yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat Jum’at. Akan tetapi jika terdapat halangan atau udzur atau sebab lain, maka diperbolehkan untuk mengawalkan waktu sebelum zawal.
Bolehkah penghitungannya seperti dhuha dll memakai penghitungan astronomi, padahal zaman nabi tidak pernah dipakai, mohon penjelasan ustadz
BalasHapusAssalamualaikum Ustad Abul Jauzaa,
BalasHapusizin share ya.
Barakallahu fiik.