Nikah Mis-yaar
Gambaran praktis nikah mis-yaar adalah seorang laki-laki mengawini seorang wanita lalu laki-laki ini harus selalu datang kepadanya pada waktu-waktu tertentu – dimana biasanya si wanita sengaja memilih laki-laki yang bertempat tinggal jauh - kemudian wanita tadi mengalah/rela untuk menggugurkan sebagian haknya untuk mendapatkan pembagian yang ‘adil dalam hari-hari giliran atau yang lainnya dengan istri suaminya yang lain. Misalnya Fulan yang berasal dari Saudi Arabia datang (safar) ke Indonesia, dan kemudian menikahi Fulanah. Antara Fulan dan Fulanah ini menjadi ‘suami-istri’ normal ketika si Fulan ada di Indonesia. Namun kemudian si Fulanah rela menggugurkan sebagian haknya – misalnya dalam hal jatah hari – kepada istrinya Fulan yang lain. Maka, ketika Fulan kembali ke negaranya, Fulanah tidak mendapatkan haknya yang ia relakan tersebut. Ia baru mendapatkan kembali haknya ketika Fulan kembali berkunjung ke Indonesia, karena status keduanya masih suami istri (selama Fulan tidak menceraikan Fulanah atau Fulanah tidak mengajukan khulu’).
Asy-Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mendefinisikan nikah mis-yaar dalam termonologi syar’iy sebagai berikut :
عقد الرجل زواجه على امرأة عقدًا شرعيّاً مستوفي شروطه وأركانه ، إلا أن المرأة تتنازل فيه - برضاها - عن بعض حقوقها على الزوج كالسكن والنفقة والمبيت عندها والقسم لها مع الزوجات ونحو ذلك
“Satu pernikahan dimana seorang laki-laki melakukan akad pernikahan terhadap seorang wanita dengan akad syar’iy yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya; namun si wanita mengugurkan sebagian haknya - dengan kerelaannya - seperti tempat tinggal, nafkah, giliran bermalam bersamanya, dan pembagian hak yang setara dengan istri-istri suaminya yang lain” [Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/158].
Yang dimaksud dengan rukun akad nikah adalah adanya ijab dan qabul.
Adapun syarat sah akad nikah adalah :
1. Mendapat ijin wali.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أيما امرأة لم ينكحها الولي، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب منها. فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh wali, maka pernikahannya bathil (tidak sah) – beliau mengucapkannya tiga kali –. Apabila ia telah melakukan jima’ (hubungan badan), maka wanita itu tetap berhak menerima mahar karenanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (pemerintah) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” [HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1879, dan Ahmad 6/156; shahih].
2. Kerelaan wanita untuk dinikahkan sebelum pelaksanaan pernikahan.
Tidak boleh seorang wanita dipaksa menikah, padahal ia tidak rela.
عن ابن عباس : أن جارية بكراً أتت النبي صلى اللّه عليه وسلم فذكرت أن أباها زوَّجها وهي كارهة، فخيَّرها النبيُّ صلى اللّه عليه وسلم.
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya ada seorang gadis perawan datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan seorang laki-laki yang tidak disukainya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya pilihan (untuk tetap menikah atau membatalkannya)” [HR. Abu Dawud no. 2096 dan Ibnu Majah no. 1875; hasan bi-syawaahidihi].
عن أبي هريرة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تنكح الأيم حتى تستأم
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Seorang wanita yang sendirian tidak boleh dinikahkan sebelum diminta kesediannya” [HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419].
3. Mahar (maskawin)
Allah ta’ala berfirman :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [QS. An-Nisaa’ : 24].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada seorang laki-laki yang hendak minkah :
أعطِها ولو خاتم من حديد
“Berikanlah ia (mahar) walaupun hanya berupa sebuah cincin besi” [HR. Al-Bukhari no. 5029 dan Muslim no. 1425].
4. Saksi-saksi
Para ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Jumhur berpendapat saksi adalah termasuk syarat sahnya akad. Letak permasalahannya adalah tambahan lafadh pada hadits {لا نكاح إلا بولي}“Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan adanya wali”. Tambahan tersebut adalah : {وشاهدي عدل} “dan dua orang saksi yang ‘adil”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa tambahan itu adalah dla’if dari semua jalan periwayatannya. Namun Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
وهذه وإن كان منقطعًا دون النبي صلى الله عليه وسلم، فإن أكثر أهل العلم يقول به، ويقول : الفرق بين النكاح والسفاح الشهود
“Walaupun riwayat ini munqathi’ dan tidak sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu marfu’), namun kebanyakan ulama mengamalkannya. Perbedaan antara nikah dan zina adalah keberadaan saksi” [Al-Umm 2/168].
Telah shahih riwayat mauquf dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya ia berkata :
لا نكاح إلا بشاهدي عدل وولي مرشد
“Tidak ada pernikahan (yang sah) melainkan dengan adanya dua orang saksi yang ‘adil dan wali (baligh) yang membimbing” [lihat Irwaaul-Ghaliil, 6/235, 251].
Jika ada seseorang yang menikah dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun di atas, maka nikahnya sah tanpa ada keraguan. Pengguguran sebagian hak oleh wanita/istri dengan kerelaannya itu sama sekali tidak mempengaruhi sahnya pernikahan. Bukankah Saudah binti Zam’ah radliyallaahu ‘anhaa pernah merelakan sebagian haknya berupa pembagian jatah giliran untuk diberikan kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma ?.
عن عائشة: أن سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يقسم لعائشة بيومها ويوم سودة.
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Saudah binti Zam’ah telah memberikan jatah gilirannya kepada ‘Aisyah, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menggilir ‘Aisyah dengan jatah giliran harinya ditambah jatah giliran hari Saudah” [HR. Al-Bukhari no. 5212, Muslim no. 1463, Abu Dawud no. 2138, Ibnu Majah no. 1972, dan yang lainnya].
Tentang hukum nikah mis-yaar, maka pernah disampaikan pertanyaan tentang nikah mis-yaar kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah sebagai berikut :
قرأت في إحدى الجرائد تحقيقًا عما يسمى زواج المسيار وهذا الزواج هو أن يتزوج الإنسان ثانية أو ثالثة أو رابعة ، وهذه الزوجة يكون عندها ظروف تجبرها على البقاء عند والديها أو أحدهما في بيتها ، فيذهب إليها زوجها في أوقات مختلفة تخضع لظروف كل منهما ، فما حكم الشريعة في مثل هذا الزواج. أفتونا مأجورين ؟.
“Saya pernah membaca di salah satu koran yang di dalamnya terdapat bahasan nikah mis-yaar. Yaitu seorang laki-laki menikah dengan istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Namun istri yang dinikahi ini karena kondisi tertentu terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya atau pada salah satunya. Kemudian sang suami datang kepadanya dalam waktu-waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada pada mereka berdua. Apa hukumnya menurut syari’at Islam bentuk pernikahan seperti ini ? Kami mohon penjelasannya.
Maka beliau menjawab :
" لا حرج في ذلك إذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً ، وهي وجود الولي ورضا الزوجين ، وحضور شاهدين عدلين على إجراء العقد ، وسلامة الزوجين من الموانع ؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ، فإذا اتفق الزوجان على أن المرأة تبقى عند أهلها ، أو على أن القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً ، أو في أيام معينة ، أو ليالي معينة : فلا بأس بذلك ، بشرط إعلان النكاح ، وعدم إخفائه " .
“Tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar’iy, yaitu adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki dan wanita) tersebut, adanya dua orang saksi yang ‘adil atas pelaksanaan akad, dan bersihnya calon istri dari larangan-larangan. Kebolehan hal itu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang dengannya kalian menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan juga sabda beliau yang lain : “Orang-orang muslim itu tergantung kepada syarat-syarat yang mereka sepakati”. Apabila kedua suami-istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu. Dengan syarat, pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan” [Koran Al-Jaziirah, no. 8768 – Senin, 18 Jumadal-Ula 1417 H – Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 450-451].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah pernah ditanya sebagai berikut :
يدور كلام كثير حول تحريم وتحليل زواج المسيار ، ونود من سماحتكم قولا فصلاً في هذا الشأن مع بيان شروطه وواجباته إن كان في حكم الحل ؟ .
“Terdapat banyak perkataan yang beredar sekitar permasalahan halal dan haramnya nikah mis-yaar. Oleh karena itu, kami minta pendapat Anda secara rinci mengenai permasalahan ini bersama penjelasan beberapa syarat dan kewajiban yang menyertai jika pernikahan ini dihukumi halal ?”.
Maka beliau menjawab :
شروط النكاح هي تعيين الزوجين ورضاهما والولي والشاهدان ، فإذا كملت الشروط وأعلن النكاح ولم يتواصوا على كتمانه لا الزوج ولا الزوجة ولا أولياؤهما وأولم على عرسه مع هذا كله فإن هذا نكاح صحيح ، سمِّه بعد ذلك ما شئت
“Syarat-syarat pernikahan adalah adanya kedua mempelai dan keridlaan mereka berdua (atas penikahan yang hendak dilaksanakan), wali, dan dua orang saksi. Apabila persyaratan tersebut lengkap dan pernikahan tersebut diumumkan tanpa saling berpesan untuk menyembunyikannya, baik dari pihak laki-laki, wanita, ataupun keluarga mereka berdua, ditambah lagi mereka mengadakan walimah atas pernikahannya; maka pernikahan tersebut sah. Engkau dapat namai apapun pernikahan itu setelahnya” [Koran Al-Jaziirah no. 10508 – Juma’t, 15 Rabi’uts-Tsaaniy 1422 H].
Dan perlu diketahui bahwa pembolehan ini tidak hanya difatwakan oleh beliau berdua (Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz Alusy-Syaikh), namun juga oleh Dr. Yusuf Al-Qaradlawi, Asy-Syaikh ‘Ali Jum’ah (mufti Mesir), dan Dr. Nashr Farid Waashil (bekas mufti Mesir). Selengkapnya dapat dilihat di : http://permataaqiq.blogspot.com/2006/05/hukum-nikah-misyar.html dan http://books.google.co.id/books?id=wuSqeQjqAjYC&pg=PA408&lpg=PA408&dq=misyar+qaradhawi&source=bl&ots=7c7Mh-MET6&sig=Sfe20xg7Xqog46_IK4O8QEd1VL4&hl=id&ei=pR3wSe7JCMKMkAWL2631Cg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=5#PPA402,M1 (lihat hal. 390 – 413).
Namun setelah melihat banyak penyimpangan yang dilakukan sebagian orang yang melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya - seperti bermunculannya agen-agen yang memasang tarif untuk mengadakan pernikahan ini, munculnya wali-wali palsu, dan pelaksanaan secara diam-diam – maka Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang nikah mis-yaar, beliau menjawab :
الواجب على كل مسلم أن يتزوج الزواج الشرعي ، وأن يحذر ما يخالف ذلك ، سواء سمي " زواج مسيار " ، أو غير ذلك ، ومن شرط الزواج الشرعي الإعلان ، فإذا كتمه الزوجان : لم يصح ؛ لأنه والحال ما ذكر أشبه بالزنى
“Wajib bagi setiap muslim untuk menikah dengan pernikahan yang syar’iy. Dan hendaknya ia berhati-hati dengan apa-apa yang menyelisihi hal itu, sama saja apakah ia dinamakan nikah mis-yaar atau selainnya. Termasuk syarat pernikahan syar’iy adalah diumumkannya pernikahan itu. Apabila kedua suami-istri tersebut menyembunyikannya, maka tidak sah. Karena apa yang disebutkan (dalam pertanyaan – yaitu nikah mis-yaar) menyerupai perbuatan zina” [Majalah Ad-Da’wah no. 1693, tanggal 12-2-1420 H - Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalat Ibni Baaz, 20/431-432 no. 188].
Lihatlah ! Jawaban beliau rahimahullah menyiratkan satu pemahaman bahwa praktek-praktek nikah mis-yaar yang ada sekarang ini (termasuk praktek yang ada di Indonesia) tidak memenuhi syarat syar’iy sebagaimana yang beliau fatwakan tentang kebolehannya sebelum itu.
Asy-Syaikh Ihsaan bin Muhammad bin ‘Ayisy Al-‘Utaibi pernah berkunjung ke rumah Asy-Syaikh Al-Albani pada tanggal 17 Muharram 1418 dan bertanya tentang nikah mis-yaar yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini. Maka beliau rahimahullah memfatwakan keharamannya dengan dua sebab :
1. {أن المقصود من النكاح هو " السكن " كما قال تعالى : ( وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم/21 ، وهذا الزواج لا يتحقق فيه هذا الأمر} “Maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum : 21). Sedangkan pernikahan semacam ini tidak mewujudkan demikian.
2. { أنه قد يقدَّر للزوج أولاد من هذه المرأة ، وبسبب البعد عنها وقلة مجيئه إليها سينعكس ذلك سلباً على أولاده في تربيتهم وخلقهم } “Boleh jadi Allah ta’ala mentaqdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlaq”
[lihat selengkapnya kitab Ahkaamut-Ta’addud fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah oleh Ihsaan Al-‘Utaibi, hal. 28-29].
Nikah dengan Niat Thalaq
Pernikahan ini juga merupakan jenis pernikahan yang belakangan marak, khususnya bagi mereka yang berada jauh dari negeri asalnya untuk satu urusan (pekerjaan, studi, atau yang lainnya), sebagaimana nikah mis-yaar. Bentuknya : Ia merencanakan dalam hatinya untuk menceraikan wanita yang hendak ia nikahi setelah urusannya di negeri tersebut selesai. Para ulama berbeda pendapat tentang penghukuman nikah dengan niat thalaq. Jumhur ulama membolehkannya dan sebagian yang lain mengharamkannya (dengan menyerupakannya dengan nikah mut’ah).
An-Nawawi rahimahullah berkata :
قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah mutlak dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 9/182].
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
وإن تزوجها بغير شرط إلا أن في نيته طلاقها بعد شهر أو إذا انقضت حاجته في هذا البلد, فالنكاح صحيح في قول عامة أهل العلم إلا الأوزاعي قال: هو نكاح متعة والصحيح أنه لا بأس به, ولا تضر نيته وليس على الرجل أن ينوي حبس امرأته وحسبه إن وافقته وإلا طلقها.
“Dan apabila seseorang menikah dengan tanpa syarat, namun dalam hatinya meniatkan untuk menceraikannya sebulan kemudian atau ketika kebutuhannya di negeri itu telah selesai, maka nikahnya sah menurut pendapat ulama secara umum, kecuali Al-Auza’i. Ia (Al-Auza’i) berkata : ‘Itu adalah nikah mut’ah’. Yang benar, tidak mengapa dengannya sekalipun ada niat demikian. Si laki-laki tidak boleh berniat untuk mengurung istrinya[1]. Boleh saja ia melakukan itu apabila istrinya menyetujui; namun jika tidak, maka ia harus menceraikannya” [Al-Mughniy, 10/48-49]
Pernah diajukan pertanyaan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah :
هل يجوز الزواج بنية الطلاق ؟
“Apakah boleh menikah dengan niat thalaq ?
Maka beliau menjawab :
لا حرج في ذلك إذا كان ذلك بينه وبين ربه من دون شرط من المرأة أو أوليائها وترك ذلك أفضل لأن ذلك أكمل في الرغبة، وهذا قول جمهور أهل العلم كما ذكر ذلك أبو محمد بن قدامة في المغني - رحمه الله - .
“Tidak mengapa mengenai hal itu bila niatnya hanya diketahui ia dan Allah saja, tanpa ada syarat dari pihak wanita atau dari walinya. Namun membuang niat tersebut lebih utama (afdlal), sebab yang demikian itu lebih sempurna keinginannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana yang disebutkan Abu Muhammad bin Qudamah dalam Al-Mughniy – rahimahullah” [Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 235, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 453].
Pertanyaan lain kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah :
يذكر أحد الإخوة أنه قرأ عن سماحتكم إنه يجوز الزواج بنية الطلاق بدون تحديد وقت الطلاق وأنكم تنصحون الشباب المغتربين بالزواج على هذه الصفة وأنه من الممكن أن تتولد بينهم المحبة أو يرزقهم الله بولد فيستمر فهل هذا صحيح أرجو التوضيح أثابكم الله ؟
“Salah seorang rekan menyebutkan bahwa ia pernah membaca dari Syaikh yang terhormat, bahwasannya boleh menikah dengan niat thalaq dengan tidak dibatasi kapan waktu thalaqnya. Dan bahwasannya Syaikh juga menasihatkan kepada para pemuda yang bepergian jauh agar menikah dengan cara seperti itu, dan bahwasannya sangat mungkin akan lahir rasa saling mencintai di antara mereka berdua dan dikaruniai anak oleh Allah ta’ala sehingga pernikahan menjadi langgeng. Apakah ini benar ? Kami mohon penjelasannya”.
Beliau rahimahullah menjawab :
قد صدرت هذه الفتوى من اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية برئاستي واشتراكي وهذه هو قول جمهور أهل العلم كما ذكر ذلك موفق الدين بن قدامة رحمه الله في كتابه المغني على أن يكون ذلك بينه وبين الله سبحانه وليس ذلك من نكاح المتعة.
أما لو اتفق مع أهل المرأة على ذلك أو شرط ذلك لمدة معلومة فإن ذلك منكر لا يجوز ويعتبر النكاح نكاح متعة باطلًا لأن الرسول صلى الله عليه وسلم نهى عنه وأخبر أن الله قد حرمه إلى يوم القيامة، وبالله التوفيق.
“Fatwa itu memang telah dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuuts wal-Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia yang saya pimpin dan dengan keterlibatan saya di situ. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh Muwafiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughniy. Namun niat tersebut hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah saja. Itu tidak termasuk nikah mut’ah.
Adapun jika hal itu disepakati bersama pihak keluarga wanita atau dengan syarat waktu tertentu saja, maka nikah seperti ini munkar, tidak boleh dilakukan dan termasuk dalam katagori nikah mut’ah nan bathil. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan telah memberitahukan bahwa Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Wabillaahit-Taufiq” [Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 235, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 454].
Pertanyaan lain kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah :
سمعت لك فتوى على أحد الأشرطة بجواز الزواج في بلاد الغربية، وهو ينوي تركها بعد فترة معينة، كحين انتهاء الدورة أو الابتعاث، فما هو الفرق بين هذا الزواج وزواج المتعة ؟
“Saya pernah mendengar fatwa Syaikh yang mulia melalui sebuah kaset yang membolehkan seseorang menikah di negara lain (tujuan safar) dengan niat akan meninggalkannya pada waktu tertentu, seperti sesudah selesai mengikuti pelatihan atau selesai melakukan tugas. Maka apa perbedaan antara nikah tersebut dengan nikah mut’ah ?”
Maka beliau rahimahullah menjawab :
نعم لقد صدرت من اللجنة الدائمة وأنا رئيسها بجواز النكاح بنية الطلاق إذا كان ذلك بين العبد وبين ربه، إذا تزوج في بلاد غربة ونيته أنه متى انتهى من دراسته أو من كونه موظفًا وما أشبه ذلك أن يطلق فلا بأس بهذا عند جمهور العلماء، وهذه النية تكون بينه وبين الله - سبحانه - وليست شرطًا.
والفرق بينه وبين المتعة : أن نكاح المتعة يكون فيه شرط مدة معلومة كشهر أو شهرين أو سنة أو سنتين ونحو ذلك. فإذا انقضت المدة المذكورة انفسخ النكاح هذا هو نكاح المتعة الباطل، أما كونه تزوجها على سنة الله ورسوله ولكن في قلبه أنه متى انتهى من البلد سوف يطلقها، فهذا لا تضره وهذه النية قد تتغير وليست معلومة وليست شرطًا، بل هي بينه وبين الله فلا يضره ذلك، وهذا من أسباب عفته عن الزنى والفواحش وهذا قول جمهور أهل العلم حكاه عنهم صاحب المغني موفق الدين بن قدامة رحمه الله.
“Benar. Sudah ada fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daaimah dan saya adalah pimpinannya, tentang diperbolehkannya menikah dengan niat thalaq bila niat tersebut hanya diketahui oleh dirinya dan Allah saja. Apabila seseorang menikah di negara lain dan niatnya adalah menceraikannya apabila studinya telah selesai atau setelah tugasnya sebagai pegawai selesai. Menurut pendapat jumhur ulama, nikah seperti itu diperbolehkan, namun niatnya hanya diketahui oleh ia (si laki-laki) dan Allah saja, dan itu bukan termasuk syarat.
Perbedaannya dengan nikah mut’ah adalah bahwa nikah mut’ah itu ada syaratnya yaitu untuk waktu tertentu, seperti sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, atau semisalnya. Lalu apabila habis masa itu, maka nikahpun dengan sendirinya menjadi gugur (bubar/cerai otomatis). Inilah yang disebut nikah mut’ah yang bathil itu. Adapun menikah berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi di dalam hatinya ada niat akan menceraikannya apabila telah selesai melaksanakan tugas di negara lain tersebut, maka nikah seperti ini tidak mengapa, karena niat seperti itu bisa berubah. Ia tidak diketahui dan bukan sebagai syarat. Niat itu hanya diketahui oleh ia sendiri dan Allah saja. Maka tidak apa-apa yang demikian itu. Ini merupakan cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughniy, yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah” [Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 236, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 455].
Sebagai pelengkap, mari kita ambil pelajaran yang sarat faedah dari Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah :
لو نوى المتعة بدون شرط، يعني نوى الزوج في قلبه أنه متزوج من هذه المرأة لمدة شهر ما دام في هذا البلد فقط، فهل نقول: إن هذا حكمه حكم المتعة أو لا؟ في هذا خلاف، فمن العلماء من قال: إنه حرام وهو المذهب لأنه في حكم نكاح المتعة؛ لأنه نواه، وقد قال النبي صلّى الله عليه وسلّم: «إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى» ، وهذا الرجل قد دخل على نكاح متعة مؤقت، فكما أنه إذا نوى التحليل وإن لم يشترطه صار حكمه حكم المشترط، فكذلك إذا نوى المتعة وإن لم يشترطها فحكمه كمن نكح نكاح متعة، وهذا القول قول قوي.
وقال آخرون: إنه ليس بنكاح متعة؛ لأنه لا ينطبق عليه تعريف نكاح المتعة، فنكاح المتعة أن ينكحها نكاحاً مؤقتاً إلى أجل، ومقتضى هذا النكاح المؤجل أنه إذا انتهى الأجل انفسخ النكاح، ولا خيار للزوج ولا للزوجة فيه؛ لأن النكاح مؤقت يعني بعد انتهاء المدة بلحظة لا تحل له هذه المرأة، وهو ـ أيضاً ـ ليس فيه رجعة؛ لأنه ليس طلاقاً بل هو انفساخ نكاح وإبانة للمرأة، والناوي هل يُلزِم نفسه بذلك إذا انتهى الأجل؟
الجواب: لا؛ لأنه قد ينوي الإنسان أنه لا يريد أن يتزوجها إلا ما دام في هذا البلد، ثم إنه إذا تزوجها ودخل عليها رغب فيها ولم يطلقها، فحينئذٍ لا ينفسخ النكاح بمقتضى العقد، ولا بمقتضى الشرط؛ لأنه ما شرط ولا شُرط عليه، فيكون النكاح صحيحاً وليس من نكاح المتعة.
وشيخ الإسلام ـ رحمه الله ـ اختلف كلامه في هذه المسألة، فمرة قال بجوازه، ومرة قال بمنعه، والذي يظهر لي أنه ليس من نكاح المتعة، لكنه محرم من جهة أخرى، وهي خيانة الزوجة ووليها، فإن هذا خيانة؛ لأن الزوجة ووليها لو علما بذلك ما رضيا ولا زوجاه، ولو شرطه عليهم صار نكاح متعة، فنقول: إنه محرم لا من أجل أن العقد اعتراه خلل يعود إليه، ولكن من أجل أنه من باب الخيانة والخدعة.
فإذا قال قائل: إذا هم زوَّجوه، فهل يلزمونه بأن تبقى الزوجة في ذمته؟ فمن الممكن أن يتزوج اليوم ويطلق غداً؟
قلنا: نعم، هذا صحيح أن الأمر بيده إن شاء طلق وإن شاء أبقى، لكن هنا فرق بين إنسان تزوج نكاح رغبة، ثم لما دخل على زوجته ما رغب فيها، وبين إنسان ما تزوج من الأصل إلا نكاح متعة بنيته، وليس قصده إلا أن يتمتع هذه الأيام ثم يطلقها.
فلو قال قائل: إن قولكم إنه خيانة للمرأة ووليها غير سديد؛ وذلك لأن للرجل عموماً أن يطلق متى شاء، فالمرأة والولي داخلان على مغامرة ومخاطرة، سواء في هذه الصورة أو غيرها؛ لأنهما لا يدريان متى يقول: ما أريدها.
قلنا: هذا صحيح لكنهما يعتقدان ـ وهو أيضاً يعتقد ـ أنه إذا كان نكاح رغبة أن هذا النكاح أبدي، وإذا طرأ طارئ لم يكن يخطر على البال، فهو خلاف الأصل، ولهذا فإن الرجل المعروف بكثرة الطلاق لا ينساق الناس إلى تزويجه، ولو فرضنا أن الرجل تزوج على هذه النية، فعلى قول من يقول: إنه من نكاح المتعة ـ وهو المذهب ـ فالنكاح باطل، وعلى القول الثاني ـ الذي نختاره ـ أن النكاح صحيح، لكنه آثم بذلك من أجل الغش، مثل ما لو باع الإنسان سلعة بيعاً صحيحاً بالشروط المعتبرة شرعاً، لكنه غاشٌ فيها، فالبيع صحيح والغش محرم،
“Apabila ia (laki-laki) meniatkan nikah agar bisa mendapatkan kenikmatan/kesenangan tanpa ada syarat, yaitu calon suami berniat dalam hatinya untuk menikahi wanita ini selama sebulan - selama masih berada di negerinya saja - , maka apakah akan kita katakan bahwa nikah ini hukumnya sama dengan nikah mut’ah atau tidak ? Dalam perkara ini ada perselisihan di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang berkata : Hukumnya sama dengan nikah mut’ah; sebab ia telah meniatkan, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Sesungguhnya semua amalan itu hanya tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan’[2]. Laki-laki ini telah masuk dalam pernikahan yang ia niatkan mendapatkan kenikmatan untuk sementara waktu, maka sebagaimana jika ia niatkan untuk penghalalan – sekalipun tidak mensyaratkan – maka hukumnya sama dengan hukum bersyarat. Demikian pulalah jika ia berniat sekedar mengambil kenikmatan – sekalipun tidak mensyaratkannya - , hukumnya sama dengan hukum nikah mut’ah. Pendapat ini sebagaimana dapat engkau lihat sendiri adalah pendapat yang kuat.
Yang lain berpendapat : Ini bukan nikah mut’ah; sebab tidak terpenuhi padanya definisi nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah ia menikahinya sampai waktu tertentu, di saat waktu itu telah sampai maka nikah itu bubar dengan sendirinya tanpa ada pilihan bagi suami ataupun istri. Juga pada nikah mut’ah tidak boleh kembali setelahnya, sebab perpisahan keduanya bukan karena thalaq, tetapi dengan sebab bubarnya pernikahan dan terlepasnya istri. Inilah nikah mut’ah. Sedangkan orang yang sekedar berniat, apakah dia harus melakukannya setelah tiba masa itu ? Jawabnya : Tidak. Sebab, terkadang seseorang berniat hanya ingin mempertahankan pernikahan selama di negeri ini saja, lalu ternyata setelah ia menikahinya dan melakukan hubungan dengannya, ia pun senang kepadanya dan tidak mau menceraikannya. Maka ketika itu nikahnya tidak bubar berdasarkan akad atau syarat, sebab dirinya tidak mensyaratkan dan tidak pula diberi syarat. Maka kesimpulannya : Nikahnya sah, dan bukan nikah mut’ah.
Syaikhul-Islam mempunyai pendapat beragam dalam masalah ini. Beliau pernah mengatakan boleh dan pernah juga mengatakan tidak boleh. Sedangkan yang nampak benar bagiku, ini bukan nikah mut’ah. Hanya saja ia diharamkan dengan sebab lain, yaitu tindakan penipuan terhadap istri dan walinya. Dimana istri dan wali kalau mengetahui hal tersebut, maka tidak akan mau dan tidak akan menikahkan dengannya, sedangkan kalau dia terang-terangan menjadikannya sebagai syarat di hadapan mereka, maka ini menjadi nikah mut’ah. Maka kami katakan : Ia haram bukan karena terjadinya cacat pada akad, tetapi karena ia termasuk pengkhianatan dan penipuan.
Kalau seseorang berkata : Bagaimana kalau para wali telah menikahkannya, apakah mereka boleh memaksa si laki-laki untuk memelihara terus pernikahannya ? Sebab, bisa jadi mereka menikahkannya pada hari ini lalu esok hari ia menthalaqnya.
Kami katakan : Ya, ini benar bahwasannya keputusan berada di tangannya (suami), apakah ia mau menthalaq atau mempertahankan pernkahan. Akan tetapi ada perbedaan antara seorang yang menikah karena memang suka lalu sekamar dengan istri yang dicintainya dengan seorang yang sejak awal memang meniatkan sekedar kenikmatan dalam hatinya. Orang kedua ini hanyalah menginginkan kenikmatan dalam beberapa hari lalu habis itu diapun menthalaqnya.
Apabila ada seseorang yang berkata : Ucapanmu bahwa ini sebuah pengkhianatan terhadap pihak wanita dan walinya tidaklah benar, sebab pihak suami mempunyai pilihan kapan saja dia hendak menceraikannya, sehingga pihak wanita telah mempertaruhkan diri dalam tantangan besar, dimana mereka tidak tahu kapan suami akan menceraikannya.
Kami katakan : Ini benar. Akan tetapi apabila pernikahan didasari cinta, maka pihak wanita maupun laki-laki sama-sama menginginkan agar pernikahan ini abadi. Jika ternyata di belakang hari terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benak mereka, maka ini suatu hal yang datang kemudian yang berbeda dengan maksud awal. Oleh sebab itu, seorang yang dikenal suka menthalaq (menceraikan), orang-orang tidak akan senang menikahkan keluarganya dengan laki-laki tersebut.
Apabila ada seorang laki-laki yang melakukan nikah dengan niat yang demikian, maka berdasarkan pendapat yang mengatakan ia termasuk nikah mut’ah, maka nikah ini bathil (tidak sah). Sedangkan berdasarkan pendapat kedua – inilah yang kita pilih – pernikahannya sah, akan tetapi dia telah berdosa dengan sebab menipu. Ia semisal dengan seorang yang menjual suatu barang dengan syarat yang syar’iy, akan tetapi dia melakukan penipuan. Maka jual belinya sah, sedangkan penipuannya haram” [Asy-Syarhul-Mumti’, 12/76].
Penutup
Demikianlah keadaan fatwa para ulama mengenai nikah mis-yaar dan nikah dengan niat thalaq.
Terdapat khilaf yang mu’tabar di dalamnya. Bahkan, pendapat yang mengatakan sahnya dua jenis nikah ini adalah merupakan pendapat jumhur ulama. Namun kemudian mereka (jumhur) berbeda dalam perinciannya.
Saya pribadi cenderung sependapat dengan pendapat jumhur. Dan khusus nikah dengan niat thalaq, penggabungan pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah yang terbaik. Yaitu, hukum asal nikah dengan thalaq adalah makruh. Saya tidak sepakat jika hal ini sampai pada derajat haram, karena unsur penipuan yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pun bersifat kemungkinan atau nisbi. Apalagi jika ada seseorang yang menikah dengan cara ini dengan niat (yang benar) agar tidak terjerumus pada zina, maka sangat sulit mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu dihukumi haram. Bahkan ia boleh melakukannya sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Ibnu Baaz !!
Oleh karena itu, sungguh sangat naif dan culas jika ada sebagian pihak yang menisbatkan adanya praktek penyimpangan atas dua jenis pernikahan ini kepada ulama yang membolehkannya - sebagaimana telah dilakukan oleh redaksi eramuslim[3]. Entahlah, saya tidak tahu, apakah redaksi eramuslim mengetahui duduk permasalahan ini atau tidak dalam pembahasan para ulama. Mengapa sikap sinisnya tidak sekalian saja dialamatkan kepada jumhur ulama seperti Ibnu Qudamah dan An-Nawawi rahimahumallah atau yang lainnya ?. Kesalahan sikap menggampangkan dan penyimpangan yang dilakukan segelintir orang seharusnya hanya dinisbatkan kepada orangnya. Sedangkan para ulama bara’ (berlepas diri) terhadap penyimpangan-penyimpangan itu. Itu seperti halnya jika ada ulama yang menjelaskan kebolehan poligami kemudian ada beberapa pihak yang ‘bermudah-mudah’ dan berlaku dhalim dalam urusan ini; apakah kemudian kita nisbatkan sebab musababnya pada ulama yang membolehkannya ?
Janganlah kita jadikan sebagian ketidaktahuan (kejahilan) kita menjadi sebab kita mencela apa yang seharusnya tidak perlu dicela !!
Jika kita perhatikan dengan cermat apa yang difatwakan leh Asy-Syaikh Ibnu Baaz (baik dalam nikah mis-yaar dan nikah dengan niat thalaq) sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan yang menyandarkan perbuatannya kepada fatwa beliau.
Akhirnya,…. kita berharap agar Allah memberikan petunjuk bagi kita semua. Hanya Allah lah tempat meminta, dan hanya Dia-lah kita memohon pertolongan. Semoga apa yang dituliskan ini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai 1430 H.
[1] Maksudnya, menikahinya lalu meninggalkannya tanpa menceraikannya hingga batas yang tidak diketahui. Wallaahu a’lam.
[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[3] Lihat : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/indonesia-menjadi-obyek-wisata-seks-terpopuler-bagi-turis-arab.htm) dalam salah satu berita terbarunya (tanggal 19 April 2009) yang melansir bahasan ini. Dalam berita tersebut termuat cercahan-cercahan kalimat miring, yang kemudian dialamatkan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah – yang dikatakan sebagai ulama panutan Salafy-Wahabiy. Pemuatan judul berita yang cukup ‘cantik’ – yaitu : Indonesia Menjadi Obyek "Wisata Seks" Terpopuler Bagi Turis Arab – yang kemudian dibumbui dengan kalimat yang tidak kalah ‘cantik’ sebagai berikut :
“Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh salah satu fatwa ulama mereka. Salah satu ulama yang melegalkan praktik demikian adalah Syaikh Abdullah bin Baz, ulama yang menjadi rujukan penting kalangan salafi-wahhabi”.
Kita tanyakan kepada redaksi eramuslim : “Ada dendam apa antara dirimu dengan Salafiyyin, khususnya Asy-Syaikh Ibnu Baaz ?”.
Alhamdulillah, Jazakallahu Khayran Katsir atas tulisannya.
BalasHapusberikut tambahan dari teman di mesir:
BalasHapus---------- Forwarded message ----------
From: Nidlol Masyhud
Date: 2009/4/20
Subject: [INSISTS] Re: Indonesia menjadi obyek wisata seks bagi turis arab
To: insistnet@yahoogroups.com
===
"Fenomena Penyalahgunaan Fatwa Ulama" plus "Penulisan Berita yang Serampangan".
Bolehnya menikah dengan ada niatan bercerai adalah pendapat mayoritas ulama seperti bisa ditelaah di buku-buku turats. Tetapi tentu maksudnya adalah sekedar "niatan" yang bisa berubah kapan saja dan harus pula dilandaskan pada kebaikan dan kemaslahatan, serta tetap terbatasi oleh aturan-aturan pertalakan lainnya.
Ini beberapa kutipan fatwa dari buku-buku Fiqih:
http://saaid.net/Doat/Najeeb/13.htm
Dan untuk fatwa Syaikh Bin Baz tersebut, fatwa tersebut konteksnya adalah setelah peringatan keras beliau tentang bahaya menikah di luar negeri (khususnya di negara-negara eropa yang dilakukan oleh orang Saudi yang melancong ke sana). Bunyinya sebagai berikut:
http://www.ibnbaz.org.sa/book/m005.doc (hal. 43)
Fatwa yang aslinya pendapat jumhur ini pernah menjadi keputusan Lajnah Da'imah, tetapi seiring dengan banyaknya penyalahgunaan fatwa tersebut, sepeninggal Syaikh Bin Baz, Lajnah Da'imah mengeluarkan fatwa berikutnya
http://www.islamqa.com/ar/ref/91962
Ini senada dengan fatwanya Syaikh Utsaimin dalam konteks menilai fenomena bejat sebagian orang Arab seperti yang terjadi di Indonesia yang disinggung di Eramuslim itu
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showpost.php?p=697860&postcount=1
Dan untuk mulai lebih lanjut mengenai sketsa pandangan para ulama dalam masalah ini, silakan simak penjelasan Syaikh Sa`d di alukah berikut ini:
http://www.alukah.net/Fatawa/FatwaDetails.aspx?CategoryID=187&FatwaID=2481
====================
http://www.islamqa.com/en/ref/91962
Getting married with the intention of divorce and the bad consequences of that
I have a problem with my marriage. I converted to Islam 12 years ago, before I met and married my husband. I am his second wife. The problem is that my husband has a habit of getting married in secret (to a third wife) without informing any of his relatives or me and the first wife. He likes to keep the third wife secret because usually she is not muslim. He might stay with this woman for a year or two until they split up and then in time he will find someone else. Since I have been with him he has had 3 other woman. I find out that he is with someone when he starts not coming home at night or he travels abroad without telling anyone. He just disapears for 1 or 2 weeks without informing his family. Dispite this he will deny to everyone that he is with another woman. I get so depressed cause I never know whem my husband is gonna stay the night in my house and I know his first wife feels like I do too. I have seen some scholars say that this kind of secret marriage is halal but how can it be when the husband has to lie so much and the wives end up being so deppressed. Don,t woman have the right to know how many wives their husbands have. When my husband only has me and his first wife he is so nice and equal and we are so happy but things change when he gets married in secret again. Please note that he never has documents for the marriages. Please can you help me with this. I need to know if what he is doing is wrong. I know that there are many other woman in my situation because scholars have said these marriages are halal so now lots of men are doing it. But it just encourages men to lie and be unfair and women feel depressed and it really damages the family unit. I have 6 small kids and it has affected us all.
Praise be to Allaah.
The husband is not obliged to tell his wives that he is going to get married, but if he does get married he is obliged to tell them, because not telling them may make them suspect that he is having illicit relationships, and because they have the right to ask him to be just in dividing his time. When she knows that he has taken another wife, she will understand that the new wife has the same rights as the wives he married before her.
Secondly:
The husband has to fear Allaah and treat his wives equally. The justice that is required between all his wives has to do with maintenance, accommodation and staying overnight.
Shaykh Saalih al-Fawzaan (may Allaah preserve him) said:
The sharing that is required has to do with spending the night. So you have to divide your time between them. The same applies to maintenance, accommodation and clothing. It is essential to be fair in these matters, by giving each of them sufficient accommodation, food, drink and clothing. You must also divide your time fairly among your wives. This is the justice that is enjoined by Allaah in the verse (interpretation of the meaning):
“…then marry (other) women of your choice, two or three, or four; but if you fear that you shall not be able to deal justly (with them), then only one …”
[al-Nisa’ 4:3]
al-Muntaqa min Fataawa al-Shaykh al-Fawzaan (5/question no. 384)
For more information please see the answer to question no. 10091.
Thirdly:
Men must fear Allaah with regard to women, and they must remember that people trust them because of their outward religious commitment and adherence to the Sunnah. When one of them asks for a woman, she is given to him on the basis of his outward righteousness and religious commitment. So let him beware of taking advantage of these outward Islamic practices to toy with people’s honour by taking their daughters then giving them back when he has fulfilled their desires. Let him beware lest he becomes the cause of some of them apostatizing or becoming sick or following a path of deviation. We do not think that any of these men would agree to anyone doing that to his daughter or sister, so how can he agree to that being done to other people’s daughters?
Let him beware of exploiting people’s weakness and need by offering money and tempting her family with it. This is contrary to chivalry and good morals. We do not think that these people would be able to do the same with the daughters of prominent figures or the daughters of their paternal uncles or other relatives. If the marriage was legitimate then it did not work out and he divorced her, we would not denounce their actions, but if the marriage is for the purpose of satisfying desires, with the aim of changing her after a while, this is a kind of fooling around which is not approved of in Islam; it is a mut’ah marriage or virtually mut’ah marriage. Hence you will not find these people looking for women who are religiously committed, rather they will marry a woman for her beauty even if she is has not completed her ‘iddah, or even if she is well known for her immoral ways, then he will fulfil his desire with her in a hotel for three days and this playboy will not pay any attention to her religious commitment or honour, and she will never be his permanent wife or the mother of his children, so why worry?
There follows a fatwa issued by the scholars of the Standing Committee responding to such actions and explaining the ruling on such marriages:
The scholars of the Standing Committee were asked: It has become common among young men to travel abroad to get married with the intention of getting divorced, and this marriage is the purpose for which they travel, based on a fatwa that deals with this issue, but many people misunderstand the fatwa. What is the ruling on this?
They replied:
Getting married with the intention of divorce is a temporary marriage, and a temporary marriage is an invalid marriage, because it is mut’ah, and mut’ah is haraam by consensus. Valid marriage is where a man gets married with the intention of keeping his wife and staying with her if she proves to be a good wife and he gets along with her, otherwise he may divorce her. Allaah says (interpretation of the meaning): “either you retain her on reasonable terms or release her with kindness” [al-Baqarah 2:229].
And Allaah is the Source of strength. May Allaah send blessing and peace upon our Prophet Muhammad and his family and companions.
Shaykh ‘Abd al-‘Azeez ibn ‘Abd-Allaah Aal al-Shaykh, Shaykh ‘Abd-Allaah ibn Ghadyaan, Shaykh Saalih al-Fawzaan, Shaykh Bakr Abu Zayd.
Fataawa al-Lajnah al-Daa’imah (18/448, 449).
There are scholars who issued fatwas allowing that to people studying or working in western countries who feared that they may commit haraam actions, so such a person may get married even if he has the intention of getting divorced. But Allaah may decree that they have children and he may grow attached to them and their mother. Allaah may decree that they get along well so the marriage lasts. The fatwa is not aimed at those who travel with the purpose of getting married. The fatwa is not aimed at those who go for two nights to a poor land and take the virginity of one or more females. If a person cannot control himself during a two-day trip – some of which is for da’wah and charity work – then it is haraam for him to travel at all. Let the wise scholar look at the implications of what he says in his fatwas and what he does, and the effects that that will have on Islam, for Islam is not distorted by its enemies so much as it is distorted by the deeds and attitudes of its own followers.
The Muslim to whom Allaah grants one wife or more should praise Allaah and be grateful to Him. He must pay attention to them and his children, so that he will give them a proper Islamic upbringing and education. He should not show ingratitude for this blessing by leaving his wives and children with no guidance and education, looking for fleeting pleasures that do not lead to the establishment of a family or happiness, let alone leading to him wronging himself, his wives and his children.
There is no reason why he should not get married in the proper manner, because Islam allows him to marry four wives, but he should also remember that Islam encourages marrying religiously-committed women, because she will be his honour, the mother of his children, the protector of his household and wealth, and the one who will raise his children. It is not befitting for a Muslim to forget the aims and rulings of marriage and go looking to satisfy his desire here and there, then have the audacity to attribute his actions to Islam!
This husband should look at the effects of his actions – he is lying, not giving his wives their rights, not treating them and the one whom he marries fairly. He should also examine his motives in choosing the wife whom he intends to divorce. If he makes a good choice then he should look at the impact he will leave behind on her and her family. He should remember that he is a Muslim who represents Islam and Islamic rulings and morals, especially if the matter has to do with trust based on his appearance or his outwardly seeming to be righteous, for he will be the cause of people no longer trusting others like him, even if it does not lead to something worse than that.
We have heard of the bad effects of marrying with the intention of divorce, which makes the Muslim feel certain that even if the scholars say that it is permissible in some cases, they should disallow it or at least stop saying that it is permissible. Some of these wives have had their honour impugned after they were married to men who appeared outwardly to be righteous, but when they had satisfied their desires in a hotel in her country, they gave her the second part of the mahr or a little bit of money and sent her back to her family, divorced. In some cases, the family trusted this “outwardly righteous man” and gave their daughter – and their honour – to him without any official marriage contract, trusting that he would do the proper contract in his own country. Then he fulfilled his desire with her and sent her back to her family as a previously-married woman after taking her as a virgin. Now look at the situation of the family: how can they face their neighbours and relatives? What will they say to them? Has honour become like a car to be rented then given back at the end of the stipulated period? Do these people not fear that Allaah will punish them with regard to their daughters and sisters?
When some of these women find out that their time with this husband is up, they plead with the husband not to divorce them and to take them to his home land – as he made them believe – as his servant or as a servant for his wives and children. They say that if they go back they will be faced with mistreatment from their relatives and neighbours, which may end with their being killed. But this “outwardly righteous man” refuses these requests and pays no attention to her weeping and pleas.
One woman found that her time was up and her husband divorced her, so she called her brother to take her to her family, and all she could do was tell people that he had died in a car accident, so as to protect her honour from being impugned. And Allaah is the One Whose help we seek and in Whom we put our trust.
And Allaah knows best.
Islam Q&A
Ya, saya setuju dengan sebagian pandangan di atas, bahwa:
BalasHapus- Niat menceraikan itu tidak mengharamkan akad nikah. Itu adalah urusan suami itu dengan Allah. Allah lebih tahu tentang niat baik-buruknya. Artinya, posisi akadnya sendiri sah. ==> Dan pendapat jumhur ulama itu posisinya ada dalam soal sahnya akad ini. Tidak mungkin mereka bersepakat di atas tujuan kebathilan. Iya kan?
- Dalam pengamalan, praktik "kawin kontrak" seperti terjadi di Puncak setiap musim liburan Saudi, adalah rusak dan bejat moral. Ya, saya setuju. Dan alhamdulillah saat telah berear fatwa-fatwa koreksi atas fatwa sebelumnya.
- Tidak ada pembenaran seperti yang dikatakan Abu Al Jauza, dalam kalimat ini: "Saya tidak sepakat jika hal ini sampai pada derajat haram, karena unsur penipuan yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pun bersifat kemungkinan atau nisbi. Apalagi jika ada seseorang yang menikah dengan cara ini dengan niat (yang benar) agar tidak terjerumus pada zina, maka sangat sulit mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu dihukumi haram."
Pertanyaannya:
a) Bagaimana disebut nisbi jika praktiknya setiap tahun, setiap musim liburan, dan anak-anak yang sudah lahir dari praktik itu sudah banyak? Masak ini disebut nisbi?
b) Kalau memang seseorang punya niat baik ingin menjauhi zina, mengapa tidak terus terang sebelum menikah? Misalnya dia berkata, "Maaf, saya butuh penyaluran seks mendesak. Tapi tidak lama, kok. Saya akan menikahi Anda secara baik-baik, tapi dua bulan lagi saya cerai. Anda mau kan membantu niat suci saya menjauhi zina?" Mengapa tidak dikatakan seperti itu? Kalau mau kebaikan, jangan setengah-setengah.
c. Dalam kaidah fiqih ada istilah saddud dharai'. Anda pasti paham semua itu. Jika pintu "kawin kontrak" ini dilegalisasi, maka bangunan pernikahan Islami bisa hancur berkeping-keping. Nanti, setiap suami yang menikah bisa menyimpan niat menceraikan isterinya, setelah hajat seksnya terpenuhi. Nanti Islam akan dihujat oleh ummatnya sendiri, lalu hukum Allah dilecehkan hamba-hamba-Nya sendiri.
Ingat pembolehan jumhur ulama itu, hanya dalam soal SAH AKAD, bukan dalam sifat amaliah praktik seperti itu.
Wallahu A'lam bisshawaab.
== Abisyakir ==
Terima kasih atas partisipasi (kritik)-nya dalam Blog ini. Namun, mohon maaf jika saya katakan bahwa ada kekurangcermatan dalam komentar Anda di atas. Akan saya tuliskan dalam beberapa point di bawah :
BalasHapus1. Tidak ada korelasi antara pembahasan hukum ini dengan realitas penyelewengan yang Anda contohkan terjadi di sebagian daerah Indonesia. Fokus pembahasan di sini adalah tentang hukum. Adapun kenyataan penyelewengan, maka saya sepakat bahwa itu diharamkan. Mengapa ? Silakan Anda lihat kembali pada artikel eramuslim dimana di situ terdapat kalimat :
Yang lebih disayangkan lagi, di Indonesia sendiri banyak tersebar kantor-kantor “siluman” yang memfasilitasi praktik pernikahan edan ini, lengkap dengan modin, saksi, dan wali palsu dari calon pengantin perempuan.Yang seperti ini tentu tidak dibenarkan. Praktek menggampangkan dengan fakta-fakta seperti itu, tentu saja semua sepakat tentang keharamannya. Oleh karena itu, fenomena semacam ini saya katakan tidak ada boleh dinisbahkan kepada fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dan Lajnah Daaimah. Sebab, praktek dan fiqh an-nikah bi-niyyatith-thalaq yang difatwakan kebolehannya dari para ulama bukan seperti itu. Harap Anda perhatikan hal ini.
Dan fatwa Lajnah Daaimah no. 10091 (yang Anda anggap sebagai koreksi itu) terkait adanya penyelewengan ini, yang kemudian ada kecenderungan seperti nikah mut’ah. Bukan terhadap nikah bi-niyyatith-thalaq yang sebenarnya, sebagaimana difatwakan sebelumnya oleh Lajnah dan Asy-Syaikh Ibnu Baaz.
2. Adapun maksud saya bahwa apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bahwa unsur penipuan itu adalah nisbi, maka itu juga tidak ada hubungannya dengan praktek penyelewengan sebagaimana yang Anda isyaratkan. Ini adalah murni pembahasan ashlul-hukm. Bagaimana kaifiyyah an-nikah bi-niyyatith-thalaq yang dimaksudkan para ulama ? Maka ini yang menjadi objek pembahasan. Perhatikan fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz yang disitir oleh eramuslim yang didapatkan dari forum Multaqa Ahlalhdeeth dan juga fatwa lain yang sempat saya tuliskan. Mengapa disebut nisbi, tidak lain karena jika memang si laki-laki tersebut meneruskan akadnya (tidak menceraikannya), maka itu tidak bisa disebut penipuan. Saya sangat berharap Anda mengetahui definisi ‘penipuan’ dalam kaca mata syari’at. Selain itu, jika memang seseorang menikah dengan niat thalaq adalah dengan maksud menghindari zina, apakah memang perbuatan dengan niatnya tersebut bisa dihukumi sebagai perbuatan berdosa ?
3. Perkataan Anda :
“Misalnya dia berkata,”Maaf, saya butuh penyaluran seks, saya akan menikahi Anda baik-baik, tapi dua bulan lagi saya cerai. Anda mau kan membantu niat suci saya menjauhi zina ?”.
Lafadh yang Anda katakan di atas masuk dalam definisi nikah mut’ah, bukan nikah dengan niat thalaq. Dari sini menandakan bahwa Anda sebenarnya tidak memahami perbedaan nikah mut’ah dan nikah dengan niat thalaq yang sedang dibahas - sebagaimana dijelaskan para ulama dulu dan sekarang. Di atas telah saya tulis penjelasannya. Oleh karena itu, tanggapan Anda menjadi sangat tidak relevan dengan apa yang sedang dibahas. Silakan Anda baca ulang artikel di atas dengan teliti.
4. Anda katakan bahwa pembolehan jumhur itu hanya terkait dengan SAH-nya akad saja. Pertanyaan saya kepada Anda : Bisakah Anda bawakan referensi tentang perkataan Anda di atas dari kitab-kitab ulama terdahulu ? Atau, bisakah Anda membawakan di sini pernyataan jumhur ulama yang melarang dilakukannya (= haram dilakukan) nikah dengan niat thalaq sebagaimana yang Anda isyaratkan ? Adakah memang jumhur mengatakan sebagaimana yang Anda katakan ?
Tidak bijak kiranya jika Anda mencoba men-judge satu perkataan tanpa ada sandaran yang jelas. Pada asalnya, sahnya satu perbuatan itu menunjukkan diperbolehkannya perbuatan itu dilakukan. Kecuali ada qarinah/keterangan yang memalingkannya. Dan sampai saat ini – sepanjang referensi yang saya baca – tidak ada keterangan bahwa perkataan jumhur itu hanya dibawa pada makna SAH-nya saja, bukan pada kebolehan melakukannya. Padahal di atas telah saya tuliskan apa yang dikatakan An-Nawawi. Ada baiknya saya ulang :
قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah mutlak dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 9/182].
Atau, silakan Anda buka Majmu’ Fataawaa nya Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah juz 32 hal. 147. Di situ Anda akan menemukan pembahasan tentang hal ini (nikah dengan niat thalaq). Beliau menukil 3 pendapat dalam madzhab Imam Ahmad, yaitu : Membolehkan, haram, dan makruh. Adapun yang membolehkan, ini adalah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, sekaligus merupakan pendapat jumhur. Di situ memakai kalimat : Nikaahun Jaaizun. Apa artinya ? Nikah yang diperbolehkan (nikah tersebut diperbolehkan). Inilah pendapat jumhur. Tidak bisa Anda katakan bahwa makna Nikahun Jaaizun itu hanya menunjukkan SAH-nya akad saja. Ini menyelisihi lughah sekaligus ‘urf fiqh. Silakan Anda baca di situ, insyaAllah Anda akan mendapatkan sedikit penjelasan mengapa diperbolehkan secara hukum….
5. Tentang kaidah Saddu lidz-Dzari’ah, maka ini juga tidak bisa dibawa kepada kemutlakannya. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kaidah ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu Maa Harrama lis-Saddidz-Dzaraai’ Fainnahu Yubaah lil-Haajah wal-Maslahatir-Raajihah. Jika dikaitkan dengan hajat dan/atau maslahat raajih; maka nikah dengan niat thalaq yang dilakukan karena adanya keperluan dan satu maslahat (terhindar dari zina), maka ia hukumnya diperbolehkan. Kedua, dari sisi mafsadat, maka mafsadat yang menjadi konsekuensi amal bukan bersifat muthlaq. Yaitu, mafsadat ini timbul karena adanya kekhawatiran akan adanya penggampangan dan penyelewengan dari orang awam atau pengikut hawa nafsu. Oleh karena itu, ‘pengharaman’ ini sifatnya sementara. Jika faktor-faktor yang menjadi penghalang tersebut sudah tidak ada, maka amalan/perbuatan tersebut tidak lagi dikatagorikan Saddu lidz-Dzaraai’. Ia kembali kepada hukum asalnya. Dan hukum asal nikah dengan niat thalaq adalah mubah/jaaiz menurut jumhur ulama.
Misalnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan dan bahkan melarang untuk melakukan perombakan Ka’bah sesuai dengan bentuk aslinya (padahal asal perbuatan ini adalah boleh atau bahkan dianjurkan). Mengapa ? Karena jika dikerjakan, ada kekhawatiran banyak kaum Quraisy baru masuk Islam akan murtad. Oleh karena itu, ketika jaman ‘Abdullah bin Jubair memimpin Makkah, maka ia merubah Ka’bah sesuai dengan aslinya ketika situasi telah memungkinkan dan faktor-faktor penghalang itu tidak ada (walau kemudian dirubah kembali oleh pemimpin dinasti Umayyah setelahnya).
Begitu juga dengan nikah dengan niat thalaq ini. Ketika fatwa tentang pembolehan ini disinyalir banyak terjadi penyelewengan oleh orang-orang yang ghulluw, maka nikah itu tidak diperbolehkan untuk mencegah timbulnya mafsadat yang lebih besar. Namun jika satu ketika kekhawatiran mafsadat yang ditimbulkan tersebut sudah tidak ada, maka kembali ke hukum asal, yaitu boleh melakukan nikah dengan niat thalaq. Tentu saja ini dipengaruhi faktor melihat siapa yang melakukan, di tempat mana ia melakukan, dan kapan ia melakukan. Jelasnya, jika ada seorang muslim yang bekerja di Britania yang kehidupannya begitu bebas, sementara itu ia takut terjerumus pada zina, maka ia boleh melakukan nikah dengan niat thalaq kepada wanita yang ada di sana. Apalagi diketahui bahwa ia laki-laki shalih. Sekali lagi, ini jika kita melihat dari kaca mata penghukuman jumhur ulama.
Jika saja nikah dengan niat thalaq ini masuk dalam katagori terlarang secara mutlak menurut jumhur berdasarkan kaidah Saddu lidz-Dzari’ah – sebagaimana yang saya tangkap dari perkataan Anda – tentu mereka telah membahasnya itu…. Dan tentu mereka tidak mengatakannya sebagai nikah yang halal atau jaaiz (boleh). Namun kenyataannya tidak demikian bukan ? Maka, penerapan kaidah ini pun tidak mutlak sebagaimana telah saya ketengahkan.
Atau contoh lain yang lebih mudah,…. menikah dengan anak perempuan di bawah 16 tahun itu hukumnya menurut syari’at apa ? Boleh kan ? Nah, jika ternyata hal itu diterapkan dan ternyata banyak terjadi penyelewengan – seperti di negara kita – maka pada saat itu diperbolehkan mengatur pembatasan umur minimal menikah. Ini dilakukan bukan karena menikahi anak perempuan di bawah 16 tahun berubah menjadi haram secara hukum, tapi ia dilakukan untuk menghindari mafsadat yang lebih besar. Perlu pengaturan oleh ulil-amri. Orang yang melanggar ketentuan tersebut, bisa kena ta’zir.
6. Dalam penghukuman masalah nikah dengan niat thalaq, alangkah baiknya jika kita kedepankan pemahaman dari sisi fiqh. Bukan sekedar perasaan, sentimen, atau logika-logika tanpa dasar.Menikah dengan niat thalaq ataupun menikah sebagaimana umumnya dilakukan, maka itu adalah pilihan. Dan para ulama yang membolehkan juga telah menjelaskan rambu-rambunya. Adanya kenyataan terdapat praktek penyelewengan, maka ini tidak boleh dinisbahkan dari kebolehan hukum itu sendiri. Ndak ada kaitannya antara hukum dengan penyelewengan hukum. Penyelewengan itu bisa terjadi pada nikah apapun, apakah itu monogamy, poligami, bi-niyyatith-thalaq, atau misyaar. Bahkan jika Anda ingin kritisi, nikah misyaar ini lebih banyak penyelewengannya daripada nikah bi-niyyatith-thalaq. Karena nikah misyaar ini terjadi pengguguran sebagian hak, seperti nafkah dan giliran. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai musykilaat nikah misyaar lebih banyak Anda temukan di internet (forum bahasa Arab, Inggris, atau Indonesia) dibanding nikah bi-niyyatith-thalaq. Namun apa yang difatwakan oleh para ulama ? Jumhur ulama mengatakan bahwa nikah misyaar itu jaaiz (walau sebagian di antara mereka tidak menganjurkan untuk melakukannya). Dan ini difatwakan bukan hanya masyaikh Saudi, tapi juga Dr. Al-Qaradlawi dan beberapa masyaikh Mesir.
Perkara ada umat Islam yang mengolok-olok sebagian amalan yang diperbolehkan syari’at, maka ini perkara lain. Ini PR kita bersama untuk menjelaskan kepada mereka sesuai dengan kemampuan kita. Bisa jadi olok-olok tersebut karena kebodohan mereka atau yang lainnya. Sesuatu yang boleh tidaklah berubah menjadi tidak boleh hanya karena olok-olok segelintir orang yang tidak mengerti.
7. Sebenarnya saya tidak begitu masalah jika Anda atau yang lainnya berbeda pendapat dengan saya dalam permasalahan ini. Toh, para ulama juga berbeda pendapat mengenai hal ini. Makanya, di sini pun saya cantumkan penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin yang cukup panjang. Namun sebaiknya, semua kritik yang diberikan dilandasai oleh pengetahuan fiqh yang benar disertai pemahaman akan aqwal para ulama. Jika hal itu tidak dilakukan, maka contoh kesalahan dapat kita baca pada artikel di eramuslim yang sarat rasa sentimen kepada Salafy-Wahabiy. Al-‘ilmu bit-ta’allum. Tidak selayaknya kesalahan itu ditiru/diulangi oleh siapa saja yang telah mengetahui duduk permasalahannya.
Itu saja yang dapat saya tulis. Tidak terasa, pinginnya sedikit, malah jadi banyak. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abu Al-Jauzaa’.
بسم الله الرمن الرحيم
BalasHapusالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
JazakAllaahu Khair akhi atas analisa dalam perbandingan perbedaan pendapat diantara 'ulama dalam hal ini.
Ya, memang sah pernikahan dengan niat thalaq dan ini memang bukan nikah mut'ah.
Namun, mungkin pertanyaan yang muncul sekarang adalah:
1. "Apakah kita rela kalau ibu/putri-putri/saudara-saudara perempuan kita diperlakukan seperti ini oleh lelaki lain?, dimana sang suami mempunyai niat dalam hatinya untuk menceraikan istrinya setelah beberapa lama?"
2. "Apakah sang wanita dan kuluarga dari si wanita sebenarnya akan menerima lamaran pernikahan ini jikalau dia tahu bahwa dia akan diceraikan dalam beberapa waktu yang akan datang?"
Jikalau kita tidak ingin agar hal ini terjadi pada ibu/putri/saudara-saudara perempuan kita, lalu tidakkah seharusnya kita mengamalkan hadits:
( لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه )
“Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”
Bukhari-Muslim
Dari segi-segi inilah Syaikh 'Utsaimin mengharamkan nikah dengan niat seperti ini (Walaupun sah).
Ini hanyalah sedikit perkataan yang mungkin bisa kita renungkan sejenak insyaAllaah.
JazakAllaahu Khair.
Terima kasih atas komentarnya. Saya menuliskan artikel di atas bukan berarti menganjurkan orang untuk menikah dengan niat thalaq, atau bahkan mendukung praktek penyimpangan yang disinyalir banyak terjadi. Tulisan ini adalah murni dalam kerangka pembahasan asal hukum. Boleh atau tidak boleh? Halal atau haram dilakukan?
BalasHapusKalau antum berdiri di belakang pendapat Syaikh Ibnu 'Utsaimin, tentu dapat dimaklumi apa yang antum katakan. Dan saya pun secara prinsip sependapat, yang karenanya saya berpegang pada pendapat jaaiz ma'al-karahah. Tapi untuk mengatakan haram? mungkin di sini saya yang tidak sependapat dengan Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Sebab, keharaman itu harus jelas dan tidak mengandung ihtimal.
[abul-jauzaa']
assalamualaikum pak,
BalasHapussaya ingin bertanya, saya sedikit gelisah
dulu sebelum menikah, tiba-tiba saya mendapatkan cobaan, jiwa saya menjadi labil, keadaan psikologis saya kacau, padahal 1 bulan lagi saya akan menikah,
kemudian karena saya takut calon suami saya nantinya akan menyesal setelah menikah dengan saya, akhirnya saya ceritakan, kemudian saya bilang bagaimana kalau kita nikah saja, tapi setelah itu yah terserah dia mau dilanjutkan ataw tidak, karena undangan dah disebar dan saya takut ortu kami berdua marah dan shock apabila pernikahan dibatalkan
tapi ternyata calon suami saya tersinggung, dia tidak mau seperti itu, katanya buat apa nikah? mendingan gak usah menikah saja kalo akhirnya harus bubar
katanya dia memang niat nikahin saya apapun keadannya..
kemudian, setelah itu semua berjalan lancar, kami menikah, sesuai dengan syariat islam dan alhamdulillah sekarang saya sedang hamil 8 bulan.
kemduian saya tidak sengaja melihat artikel Bapak,
jadi saya teringat lagi kejadian waktu itu, padahal sebenrnya saya sudah lupa dengan kejadian itu.
pertanyaan saya
1. apakah saya berdosa?setau saya kalau hanya niat saja asalkan belum dilaksanakan Allah akan memaafkan
2. apakah pernikahan saya sah?dan apakah kami perlu menikah ulang?
3. apakh ini bisa termasuk nikah dengan niat thalaq?, karena yang berniat seperti itu adalah istri bukan suami, karena saya baca di artikel diatas itu sepertinya berlaku buat suami saja
terima kasih pak
atas jawabannya
hamba Allah
1. Tidak.
BalasHapus2. Sah.
3. Tidak. Thalaq adalah hak suami.
Wallähu a'lam.
Bisa sebagai tambahan informasi tentang hukum nikah dengan niat thalaq pada tulisan
BalasHapusيا أهل الإسلام الزواج بنية الطلاق حرام oleh الشيخ سالم بن سعد الطويل
link http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5692
Ana mau tanya tentang wali nikah ini:
BalasHapus1. Jika wali nikah itu jauh tempatnya (di luar negerji), apakah ijin tertulis atau via telepon sudah mencukupi untuk melangsungkan akad nikah?
2. Apakah kecurigaan terhadap kebenaran dokumen (pernyataan wali) itu termasuk sikap yang berlebihan atau kehati-hatian?
3. Jika tidak ada surat dari wali atau ijin lewat telepon, apakah KBRI negera setempat bisa dianggap sulthan sehingga boleh untuk menikahkan?
Mohon tanggapannya, kebetulan masalah ini sedang sangat dibutuhkan jawabannya. Jazakallah khair.
1. Sebagian ulama membolehkan proses ijab qabul dari si wali via telepon atau teleconference, bila jelas (dengan pasti) bahwa orang yang dikontak itu adalah wali si wanita. Sah.
BalasHapus2. Maksudnya ?
3. Saya tidak berbicara seandainya wali yang sah tidak mengijinkan, tapi seandainya wali yang sah tidak ada. Maka, perwakilan yang ditunjuk Pemerintah dapat berposisi sebagai wali hakim bagi si wanita.
Wallaahu a'lam.
Jazakallah khair atas jawabannya. Afwan kalau kurang jelas, maksud pertanyaan no.2 adalah, misalnya jika sang wali membuat surat pernyataan tertulis yang menyatakan ijinnya lalu dikirim kepada orang yang dipercaya akan menikahkan (misalnya dalam hal ini pejabat KBRI atau pribadi lainnya), lalu surat itu dicurigai kebenarannya. pertanyaan ana adalah, apakah kecurigaan ini termasuk sikap yang berlebihan atau kehati-hatian?
BalasHapusCuriga jika ada alasannya dan didasari pertimbangan yang masuk akal (sehat), bukan sikap berlebihan.
BalasHapusWallaahu a'lam.
Afwan ust, ana mau ikut berkomentar, semoga berkenan:
BalasHapus1)ana setuju dg pembahasan antm ttg bantahan terhadap eramuslim terkait fatwa bin baz yg membolehkan nikah bi niyatit thalaq di mana seakan-akan eramuslim menisbatkan penyelewengan praktik nikah ini kepada syekh bin baz.
2)ana thalib di LIPIA, pernah dengar seorang ust saudi yg ngajar ana fiqh ketika ditanya ttg hukum nikah bi niyatit thalaq, beliau menegaskan ketidakbolehhannya, beliau membahas dan membandingkan antara fatwa ibnu baz dan fatwa ibnu utsaimin dlm masalah ini mengatakan bahwa syaikh bin baz tidak tahu terkait ttg penyimpangan praktik org2 yg mengambil fatwa beliau. berbeda dg syekh ibnu utsaimin beliau menfatwakan tidak blh karena salah satunya dilatari pemberitaan banyak ikhwah terkait penyimpangan praktik nikah bi niyatit thalaq yg dilakukan org arab diluar sana. berdasarkan keterangan ust tsb bahwa penyimpangan praktik nikah jns ini oleh org arab tidak hanya terjadi di indonesia bahkan negeri2 lain jg.
2) ana setuju jika dikatakan harus dibedakan antara ta`shilul hukmi fil mas-alah dan tathbiqul hukmi fil waaqi'.dalam pembahasan hukum asal nikah bin niyatit thalak memang harus dijelaskan adanya khilaf antar ulama tapi terkait bab fatwa dan tathbiqul hukmi fil waaqi' karena yg terjadi adalah penyelewengan praktik nikah ini maka harus difatwakan tdk boleh utk saddudz dzari'ah. kalau kita -menurut saya-ya kewajibannnya dg menyampaikan fatwa ulama yg mengharamkannya seperti fatwa syekh ibnu utsaimin. waLlahu a'lam.
Assalamu'alaikum..ya akhi..ulama adalah cahaya umat..fatwa ulama untuk menuntun amaliah umat..bagaimana jika prakteknya mnjadi madhorot umat..mohon ditelaah
BalasHapus