13 Maret 2009

Larangan Bermajelis (Duduk-Duduk) Bersama Ahlul-Bid'ah


Telah berkata Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah :
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا : ....تَرْكُ الْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ.
“Prinsip-prinsip sunnah menurut kami adalah…….meninggalkan bermajelis (duduk-duduk) bersama para pengekor hawa nafsu”.
-------------------------
Penjelasan :
Hal tersebut dikarenakan firman Allah :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ  
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” [QS. An-Nisaa’ : 140].

Telah berkata Asy-Syaikh Rasyiid Ridlaa rahimahullah dalam Al-Manaar (5/463) :
يدخل في هذه الآية كل محدث في الدين، وكل مبتدع
“Masuk dalam ayat ini semua pembuat perkara-perkara baru dan mubtadi’ “ [lihat Tanbiih Ulil-Abshaar, hal. 76].
Dalam sebuah hadits shahih, bahwasannya Nabi bersabda :
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَمَا يُزَالُ بِهِ حَتَّى يتبعهُ لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ الشُّبُهَات [رواه الإمام أحمد وأبو داود وغيرهما - انظر صحيح الجامع : ٦٣٠١].
Barangsiapa yang mendengar tentang Dajjal, hendaklah ia lari darinya sejauh-jauhnya. Sesungguhnya kelak ada seorang laki-laki yang menyangka dirinya dalam keadaan beriman – dan keadaannya terus demikian – hingga kemudian ia mengikuti Dajjal dikarenakan berbagai syubhat yang ia temui pada dirinya (Dajjal)” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya – lihat Shahihul-Jaami’ no. 6301].
Telah berkata Asy-Syaikh Ibnu Baththah rahimahullah ketika mengomentari hadits di atas :
هذا  قول الرسول صلى الله عليه وسلم، فالله الله يا معشر المسلمين لا يحملن أحدًا منكم حسنُ ظنِّه بنفسه وما عهد من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء فيقول أداخله لأناظره، أو لأستخرج منه مذهبه، فإنهم أشد فتنة من الدجال، وكلامهم ألصق من الجرب، وأحرق للقلوب من اللهب، ولقد رأيت جماعة من الناس كانوا يلعنونهم، ويسبونهم في مجالسهم على سبيل الإنكار والرد عليهم، فما زالت بهم مباسطة، وخفي المكر، ودقيق الكفر، حتى صَبَوْا إليهم
“Sabda Rasulullah ini, maka takutlah kepada Allah wahai sekalian kaum muslimin ! Janganlah ada seorangpun di antara kalian yang berprasangka baik pada dirinya sendiri dan pengetahuan tentang kebenaran madzhabnya sehingga ia mempertaruhkan agamanya untuk bermajelis/duduk-duduk bersama sebagian pengekor hawa nafsu. Ia melakukannya dengan alasan : ‘Aku masuk kepada mereka untuk mendebatnya’ atau ‘aku akan keluarkan mereka dari madzhabnya yang bathil’. Karena sesungguhnya mereka (para pengekor hawa nafsu/mubtadi’) ini lebih hebat fitnahnya daripada Dajjal. Perkataan mereka lebih gampang menempel pada jiwa dibanding penyakit kudis dan lebih dapat membakar hati dibanding api. Sungguh aku pernah melihat sekelompok manusia yang dulunya melaknat dan mencaci-maki mereka pada majelis-majelis mereka dalam rangka pengingkaran dan bantahan kepada mereka. Dan ketika mereka senantiasa senang bermajelis dengan pengekor hawa nafsu/mubtadi’ seperti itu, akhirnya timbullah kecenderungan dan kecintaan kepada mereka, karena samarnya makar dan lembutnya kekufuran mereka” [Al-Ibaanah, 3/470].
وعن أنس، وقد جاءه رجل فقال له : يا أبا حمزة، لقيت قومًا يكذبون بالشفاعة، وبعذاب القبر، فقال : "أولئك الكذابون فلا تجالسهم".
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah didatangi seseorang. Ia pun berkata kepada Anas : “Wahai Abu Hamzah, aku pernah menemui satu kaum yang mendustakan syafa’at dan ‘adzab kubur”. Anas berkata : “Mereka itu adalah para pendusta. Janganlah engkau bermajelis dengan mereka !!” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah 2/448 – dengan sanad laa ba’sa bihi].
وعن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال : "لا تجالس أهل الأهواء، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب".
 Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya ia pernah berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan para pengekor hawa nafsu (ahlul-ahwaa’), karena bermajelis dengan mereka itu menjadi sebab sakitnya hati" [Sanadnya shahih – Asy-Syari’ah, atsar no. 55. Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah no. 619 dari jalan Al-Aajurriy].
Telah berkata Abu Al-Jauzaa’ – dimana ia merupakan salah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in – :
لأن يجاورني قردة وخنازير أحب إليّ من أن يجاورني أحد منهم - يعني : أصحاب الأهواء - .
“Sungguh, seandainya aku bertetangga dengan monyet-monyet dan babi-babi itu lebih aku sukai dibanding aku bertetangga dengan mereka – yaitu para pengekor hawa nafsu – “ [Al-Laalikaai no. 231, dengan sanad laa ba’sa bihi].
Telah berkata Al-Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah :
لا تجلس مع صاحب البدعة، فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة
“Janganlah engkau bermajelis dengan ahli bid’ah. Sesungguhnya aku takut jika turun kepadamu laknat (dari Allah)”.
Pernah ada dua orang laki-laki dari kalangan pengekor hawa nafsu yang masuk menemui Muhammad bin Siiriin. Mereka berdua berkata : “Wahai Abu Bakr, kami akan membacakan kepadamu sebuah hadits”. Muhammad bin Sirin menjawab : “Tidak !!”. Mereka kembali berkata : “Kalau begitu, kami akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitabullah”. Muhammad bin Sirin kembali menjawab : “Tidak ! Kalian berdua pergi dariku atau aku yang akan pergi ?!”. Mendengar itu mereka pun pergi. (Setelah itu), beberapa orang bertanya kepadanya : Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau dibacakan satu ayat dari Al-Qur’an (oleh mereka) ?”. Ia pun menjawab :
إني خشيت أن يقرآ عليّ آية فيحرفانها فيقرذلك في قلبي
“Aku takut mereka membacakan satu ayat kepadaku, lalu mereka men-tahrif (menyelewengkan)-nya yang kemudian itu menetap di hatiku” [Dikeluarkan oleh Ad-Daarimiy no. 397 dan Al-Laalikaai, dengan sanad shahih].
Dari ‘Abdurrazzaq, ia pernah berkata : Telah berkata kepadaku Ibrahim bin Abi Yahya : “Aku melihat banyak orang Mu’tazillah di sisimu”. Akupun berkata : “Benar, mereka menyangka bahwasannya dirimu merupakan bagian dari mereka”. Ia bertanya : “Tidakkah engkau bersamaku ke dalam warung/kedai sehingga aku dapat berbincang denganmu ?”. Aku berkata : “Tidak”. Ia kembali bertanya : “Mengapa ?”. Aku pun menjawab :
لأن القلب ضعيف، والدين ليس لمن غلب
“Karena hati itu lemah, dan urusan agama bukanlah milik orang yang menang (dalam perdebatan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah no. 401 dan Al-Laalikaai no. 249, dengan sanad shahih].
Dari Mubasysyir bin Isma’il Al-Halabiy, ia berkata :
قيل للأوزاعي : إن رجلا يقول : أنا أجالس أهل السنة، وأهل البدعة؟. فقال الأوزاعي : هذا رجل يريد أن يساوي بين الحق والباطل.
“Dikatakan kepada Al-Auza’iy : ‘Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan : Kami akan bermajelis dengan Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah ?’. Maka Al-Auza’iy berkata : ‘Sesungguhnya orang tersebut hendak menyamakan kebenaran dan kebathilan’“ [Al-Ibaanah 2/456].
Terdapat beberapa tanda para ahlul-bid’ah dan pengekor hawa nafsu, diantaranya adalah :
a.    Mencela Ahlul-Atsar.
Telah berkata Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah :
علامات أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر
“Tanda-tanda ahlul-bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar” [‘Aqiidah Abi Haatim Ar-Raaziy, hal. 69].
b.    Sangat Besar Permusuhannya dengan Ahli Hadits Namun Diam terhadap Para Penyeru Kesesatan dan Kebathilan.
Nabi pernah menyifati mereka dengan sabdanya :
يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدْعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ.
Membunuh kaum muslimin, namun membiarkan para penyembah berhala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 13/416 – Al-Fath – dan Muslim no. 1064].
Telah berkata Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy (w. 449 H) :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Diriwayatkan oleh Al-Haakim dengan sanad shahih dari Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan, ia berkata :
ليس في الدنيا مبتدع، إلا وهو يبغض أهل الحديث، فإذا ابتدع الرجل نزعت حلاوة الحديث من قلبه
“Tidaklah ada seorang mubtadi’-pun di dunia ini kecuali ia membenci Ahlul-Hadits. Apabila seseorang berbuat bid’ah, maka dicabut kenikmatan hadits dari dadanya” [idem, hal. 103].
Abu Nashr Al-Faqiih berkata :
ليس شيء أثقل على أهل الإلحاد ولا أبغض إليهم من سماع الحديث، وروايته بإسناده
“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dan dibenci bagi seorang atheis (ahlul-ilhaad) daripada mendengarkan hadits dibandingkan mendengarkan hadits dan meriwayatkan sanadnya”[idem, hal 104].
Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy juga berkata :
أنا: رأيت أهل البدع في هذه الأسماء التي لقبوا بها أهل السنة سلكوا فيها مسلك المشركين مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإنهم اقتسموا القول فيه، فسماه بعضهم ساحرا وبعضهم كاهنا، وبعضهم شاعرا، وبعضهم مجنونا، وبعضهم مفتونا، وبعضهم مفتريا مختلفا كذابا، وكان الني صلى الله عليه وسلم من تلك المعائب بعيدا بريئا، ولم يكن إلا رسولا مصطفى نبيا، قال الله عز وجل: (أنظر كيف ضربوا لك الأمثال فضلوا فلا يستطيعون سبيلا). كذلك المبتدعة خذلهم الله اقتسموا القول في حملة أخباره، ونقلة آثاره ورواة أحاديثه المقتدين به المهتدين بسنته، فسماهم بعضها حشوية، وبعضهم مشبهة،..... وأصحاب الحديث عصابة من هذه المعايب بريئة زكية نقية، وليسوا إلا أهل السنة المضية والسيرة المرضية والسبل السوية والحجج البالغة القوية، قد وفقهم الله جل جلاله لا تباع كتابه ووحيه وخطابه، والاقتداء برسوله صلى الله عليه وسلم في أخباره وأعانهم على التمسك بسيرته والاهتداء بملازمة سنته، وشرح صدورهم لمحبته، ومحبة أئمة شريعته، وعلماء أمته، ومن أحب قوما فهو معهم يوم القيامة
“Aku melihat ahlul-bid’ah dalam nama-nama yang mereka sematkan kepada Ahlus-Sunnah adalah mengikuti jejak kaum musyrikin dalam bersikap kepada Rasulullah . Mereka terbagi-bagi dalam menamai beliau . Sebagian mereka menamai beliau sebagai penyihir, dukun, penyair, orang gila, orang yang terfitnah, ataupun pendusta. Allah telah berfirman :
انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الأمْثَالَ فَضَلُّوا فَلا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلا
 Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar)” (QS. Al-Israa’ : 48).
Demikian pula para mubtadi’ – semoga Allah menghinakan mereka – yang terbagi-bagi dalam menamai para pembawa khabar dan atsar Nabi serta para perawi hadits Nabi yang senantiasa mengikuti dan berpetunjuk dengan sunnahnya. Di antara mereka ada yang menamainya hasyawiyyah, musyabbihah,…… Dan Ashhaabul-Hadiits senantiasa terjaga, berlepas diri, dan suci dari ‘aib-aib yang mereka sematkan itu. Mereka tidak lain adalah Ahlus-Sunnah yang terang-benderang, orang-orang yang riwayat hidupnya diridlai, jalannya lurus, serta hujjah-hujjahnya kuat. Allah ‘azza wa jalla telah memberikan taufiq-Nya kepada mereka untuk senantiasa mengikuti Kitab-Nya, wahyu-wahyu-Nya, dan perintah-perintah-Nya. Serta agar ber-qudwah kepada Rasul-Nya di dalam hadits-haditsnya. Dan Allah juga telah menolong mereka dalam berpegang tegus dengan sirah Nabi-Nya, dan berkomitmen dengan sunnahnya. Dia telah melapangkan dada-dada mereka untuk mencintai para imam syari’atnya dan para ulama umatnya. Barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia (dibangkitkan) bersama mereka pada hari kiamat….” [selesai dengan peringkasan – ‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 105].
c.    Berlindung dan Meminta Tolong kepada Penguasa untuk Memusuhi/Memerangi Ahlus-Sunnah
Dikarenakan lemahnya hujjah dan kekuatan Ahlul-Bid’ah serta sedikitnya tipu daya, maka mereka pun meminta bantuan kepada penguasa untuk menolong dakwah mereka; yang dengan hal itu terdapat satu pemaksaan dan ancaman karena rasa takut kepada penguasa akibat hukuman yang mungkin diberikan berupa pemenjaraan, pukulan, ataupun pembunuhan. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh Bisyr Al-Marisiy pada masa berkuasanya Khalifah Al-Makmun dan Ahmad bin Abi Duad pada masa Khalifah Al-Waatsiq. Mereka membuat madzhab-madzhab yang tidak dikenal dalam syari’at bagi manusia. Manusia dipaksa mengikuti mereka baik dalam keadaan tunduk ataupun terpaksa, hingga kebid’ahan mereka menyebar rata dan kokoh dalam jangka waktu yang lama pada umat. Mubtadi’, jika dakwah mereka tidak diterima, maka mereka merapat kepada penguasa agar lebih memungkinkan diterima oleh umat. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang bergabung dengan mereka karena keadaan jiwa mereka yang lemah [silakan merujuk pada Al-I’tishaam oleh Asy-Syaathibi 1/220].
Tidaklah asing bagi kita berbagai cobaan yang telah menimpa para Imam Ahlus-Sunnah : Ahmad bin Hanbal, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab, serta seluruh pembela kebenaran di setiap waktu dan tempat.
Telah berkata Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullaahu ta’ala :
ألا ترى أحوال المبتدعة في زمان التابعين، وفيما بعد ذلك ؟، تلبسوا بالسلاطين، ولاذوا بأهل الدنيا، ومن لم يقدر على ذلك استخفى ببدعته، وهرب بها عن مخالطة الجمهور، وعمل بأعمالها على التقية.
“Tidakkah engkau lihat keadaan para ahli bid’ah pada jaman tabi’in dan setelahnya ? Mereka bercampur dengan penguasa dan berlindung kepada orang-orang yang berharta (ahlud-dun-yaa). Siapa saja dari kalangan mereka yang tidak mampu melakukan itu, maka mereka bersembunyi dengan bid’ah mereka dan menjauhi interaksi dengan manusia di sekelilingnya. Mereka beramal dengan amal bid’ah mereka itu melalui senjata taqiyyah (agar selamat dari cercaan dan serangan manusia) [selesai dengan peringkasan – Al-I’tishaam 1/167].
d.    Bersungguh-Sungguh dan Berlebih-Lebihan dalam Beribadah
Para ahlul-bid’ah menambah kesungguhan mereka dalam beribadah untuk mendapatkan ta’dhiim (pengagungan) di dunia, baik berupa kedudukan, harta, atau yang lainnya dari macam-macam syahwat keduniaan. Tidakkah kalian lihat para pendeta terputus dari segala macam kenikmatan, tenggelam dalam peribadahan, serta menahan diri dari segala macam bentuk syahwat; namun bersamaan dengan itu mereka telah di-nash-kan berada kekal di kerak neraka Jahannam ?
Allah telah berfirman :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ * عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ * تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka)” [QS. Al-Ghaasyiyah : 2-4].
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” [QS. Al-Kahfi : 103-104].
Hal itu tidak lain disebabkan oleh perasaan ringan yang mereka dapatkan ketika ber-iltizam untuk ibadah; dan rasa giat yang masuk dalam diri mereka. Mereka menganggap mudah hal yang susah dengan sebab apa hawa nafsu yang telah masuk dalam jiwa mereka. Apabila nampak oleh seorang mubtadi’ suatu kewajiban, ia pun memandangnya dengan penuh rasa cinta. Maka, apa yang kemudian menjadi penghalang baginya untuk berpegang teguh dengannya dan menambah semangat untuk menjalankannya ? Ia melihat bahwa apa yang dilakukannya itu lebih utama dibandingkan amal-amal selainnya, serta keyakinannya yang lebih kuat dan lebih tinggi.
كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Mudatstsir : 31) [selesai dengan peringkasan – Al-I’tishaam 1/165].
Tanbih/Peringatan : Telah terfitnah sebagian orang oleh ahlul-bid’ah karena mereka melihat apa yang ada pada ahlul-bid’ah tersebut sikap zuhud, khusyu’, mudah menangis, atau yang lainnya dari banyaknya ibadah yang mereka lakukan. Namun hal tersebut bukanlah satu ukuran yang benar untuk mengetahui al-haq (kebenaran). Rasulullah pernah bersabda kepada para shahabatnya ketika mensifati ahlul-bid’ah :
يُحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ فِي صَلَاتِهِ وَصَيَامَهُ فِي صَيَامِهِ.......
Salah seorang diantara kamu akan menganggap remeh ibadahnya dibanding ibadah mereka (ahlul-bid’ah) dan puasanya dibanding puasa mereka…” [telah lewat takhrij-nya].
Diriwayatkan dari Al-Auza’iy bahwasannya ia berkata :
بلغني أن من ابتدع بدعة ضلالة آلفه الشيطان العبادة، أو ألقى عليه الخشوع والبكاء، كي يصطاد به
“Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa mengada-adakan satu bid’ah yang sesat, maka setan akan membuatnya cinta untuk beribadah atau meletakkan rasa khusyu’ dan mudah untuk menangis agar ia dpat memburunya”.
[selesai – diambil dari buku Ushuulus-Sunnah karya Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 30-37, dengan syarh dan tahqiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih An-Nashr; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416 H].

5 komentar:

  1. Adalah betul, salahsatu tanda ahlul bid'ah scara umum adalah mencela ahlul hadist wal atsar (atau salafy dan ulamanya).

    Namun terkadang perlu juga di tafshil bahwa hal diatas tidak melulu berlaku mutlak.Ada beberapa kasus hal diatas tidak tepat diterapkan.Seseorang berkata 'pedas' terhadap seorang salafy atau ustadnya atau sebagian prilaku salafy, tdk lah sekonyong2 kita declare kan bahwa dia pasti ahlul bida' dan menyerang sunnah.

    Perlu dibedakan antara yg berkata pedas karena hawa nafsu/dzalim dan karena atas dasar memperbaiki/menasehati.

    Kerana siapapun bisa saja terjatuh kepada kesalahan dan bertindak dzalim serta hawa nafsu.Dan mungkin diperlukan atas pertimbanan mashlahat denga ungkapan pedas dalam rangka nasehat dan memperbaiki kesalahan.

    Contoh ucapanya Adz Dzahabi dalam Siyar Nubala (11/303): Fandzur ila jahl muhadditsin,kaifa yarouna hadzihil khurofat wayaskutuuna 'anha.

    Bisa juga diliat contoh lain dalam Nubala (16/262) dengan kutipan ungkapan "ashabul hadist fihim su'u adab...."

    Allahu a'lam

    BalasHapus
  2. Syukran atas tambahan faedahnya (dan memang sudah selayaknya spt itu pak...).

    Apa yang dituliskan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Oleh krn itu, sdh menjadi keharusan bg kita untuk memberi bayan dng ungkapan2 yang bersifat umum pula, karena memang begitulah kaedahnya.

    Ahlus-Sunnah, ahlul-hadits, ahlul-atsar, atau salafiyyun; maka tidak ada kata bg kita untuk membicarakannya kecuali kebaikan. Sudah menjadi satu kemafhuman bagi kita bhw Syaikhul-Islam selalu menyebut kebaikan dan pujian jika membicarakan Ahlus-Sunnah dan salaf.

    Apa yang pak Abu Umair tuliskan adalah benar. Namun itu (yaitu bbrpa nukilan dari As-Siyar) adalah kalam yang bersifat khusus. Tidak bisa diperlakukan umum. Yang lebih 'hebat' dari itu banyak. Mengingat kitab As-Siyar adalah kitab biografi yang tentunya menyimpan beberapa catatan perseteruan dan ragam peristiwa dari para ulama di jamannya.

    Jika kita menemukan nukilan bhwa Ashhabul-Hadits adalah orang2 yang jelek adabnya; tentu kita harus melihat siapa, pada siapa, dalam sikon apa, atau pada konteks apa ia dikatakan. Dan juga yang lainnya.

    Kalau ada yang mengatakan secara mutlak atau umum bhw Ahlus-Sunnah, ahlul-hadits, atau salafiyyun sbgai golongan yang punya adab jelek - apalagi itu dikemukan di forum atau media umum - , saya takut bhw pelakunya trmasuk orang yang dicela oleh para ulama di atas.

    Kembali pada kritik, tentu saja ini boleh. Bhkan dianjurkan jika memang seseorang melihat kesalahan atau kemunkaran. Menggunakan ungkapan2 yang ternukil dalam As-Siyar harus tepat konteksnya. Kullu bani adam khaththa', bgitu kata Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

    Dalam könteks kritik thd Ahlus-Sunnah, salafiyyun, atau apalah orang ingin menyebut makna ini; tentu kita tdk ingin menjadi 2 kelompok yg tercela (minimal menurut saya). Kelompok pertama yg diam thd kesalahan. Yg selalu menganggap benar apa yang dilakukan individu yg berintisab pada ahlus-sunnah/salafiyyun. Padahal yang namanya individu pasti tdk lepas dari kesalahan (dan lupa). Kedua,kelompok yg mata dan pandangannya selalu ditujukan pada orang yg menisbatkan pd Ahlus-sunnah/salafiyyun - dng alasan : 'kritik membangun' ; namun di sisi lain sepi dalam kritik thd non ahlus-sunnah/salafiyyun.

    Wallahu a'lam.


    (maaf pak Abu Umair, respon sy berjalan dari bawah ke atas, bukan sebaliknya - khawatir ada yang salah paham dng apa yang antum tulis).

    BalasHapus
  3. assalamualaikum akh...
    bagaimana jika berada ditengah lingkungan ahlul-bid’ah?
    dalam hal ini menjaga hubungan baik dengan mereka?
    apa yang harus kita lakukan agar kita bisa senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka?
    barakallahu fik...

    BalasHapus
  4. Af1,ana ingin bertanya mengenai kajian yang diselenggarakan oleh MUI di mana ada beberapa ustadz ahlussunnah di dalalam majelis tersebut untuk bersama-sama menyampaikan tentang kesesatan syi'ah.
    Apakah hal seperti ini termasuk dalam bermajelis dengan ahlul bid'ah?
    Af1 jika ana langsung mengatakan orang MUI ahlul bid'ah, ana hanya meneruskan pertanyaan seorang ikhwan yang pemikirannya telah terjangkiti dengan budaya tahdzir dan mem tabdi' orang lain,.
    Ana bingung mau jawabnya gimana, ana kurang faham masalah hal ini,.Mohon penjelasannya,.

    BalasHapus
  5. selagi dia tidak mendakwahkan kebid'ahannya, maka dia tetap muslim ahlussunnah. Urusan menggelari ahlu bid'ah bukan masalah sepele. Jadi kembalikan ke asal, bahwa dia seorang muslim.
    wallahua'lam

    BalasHapus