tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post8711169711483999197..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: MENYIKAPI PENGUASA YANG DHALIM – Tanya JawabUnknownnoreply@blogger.comBlogger37125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-41222140684252270432018-06-25T21:24:40.264+07:002018-06-25T21:24:40.264+07:00bismillah, izin nyimak ustd pnsran dg diskusi lnju...bismillah, izin nyimak ustd pnsran dg diskusi lnjutan ny! gaptek psnhttps://www.blogger.com/profile/14097720229143902226noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-530400979710688562018-06-25T21:22:20.783+07:002018-06-25T21:22:20.783+07:00ikut nyimak diskusi lnjutan ny ustd!ikut nyimak diskusi lnjutan ny ustd!gaptek psnhttps://www.blogger.com/profile/14097720229143902226noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-5350074734500262672017-10-21T23:53:19.628+07:002017-10-21T23:53:19.628+07:00izin nyimax ustadzizin nyimax ustadzUray Sriwahyunihttps://www.blogger.com/profile/02725419162136395249noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-8335058895979182322017-09-30T05:06:34.872+07:002017-09-30T05:06:34.872+07:00Menyimak, Ustadz. Menunggu lanjutan diskusi, karen...Menyimak, Ustadz. Menunggu lanjutan diskusi, karena tema ini muncul kuat lagi akhir-akhir ini.<br /><br />Barakallah fiikumAbu Umarhttps://www.blogger.com/profile/05821200604399553470noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-73990024358720882942017-09-30T05:03:50.695+07:002017-09-30T05:03:50.695+07:00Menyimak, Ustadz.
Barakallahu fiikumMenyimak, Ustadz.<br /><br />Barakallahu fiikumAbu Umarhttps://www.blogger.com/profile/05821200604399553470noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-64093699972166746102015-06-14T06:38:04.118+07:002015-06-14T06:38:04.118+07:00afwan ada yang terlupa, bagaimana jika pemimpinnya...afwan ada yang terlupa, bagaimana jika pemimpinnya adalah seorang yang jelas-jelas syiah apakah masih ditaati juga?<br />Adminhttps://www.blogger.com/profile/07767842151222790710noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-56720982582245514252015-06-14T06:35:06.465+07:002015-06-14T06:35:06.465+07:00ada banyak hal yang perlu diklarfikasi dari ust. d...ada banyak hal yang perlu diklarfikasi dari ust. dari tulisan di atas agar tidak salah paham.<br />pertama: soal Status Pemimpin Dzalim apakh sama dengan Pemimpin Yang Kufur dimana kedua-duanya harus di taati?<br /><br />Kedua: Status Pemimpin Mereka Yang tidak berhukum dengna Hukum ALLAH apakah tergolong Dzalim atau Tergolong Kufur?<br /><br />Ketiga: karena di atas ada yang menyinggung soal Demokrasi, yang sudah jelas Bukan Hukum ALLAH, di atas ust. seperti Ambigu di satu sisi menekankan bahwa kita harus taat, sehingga perlu diklarifikasi pertanyaan pertama, dan kedua soal status pemimpin Dzalim dan Kufur, serta status tidak berhukum dengan hukum ALLAH apakah tergolong dzalim atau Kufur. dan satu sisi Ust, menjawab komentar di atas terdapat kata-kata.... "Tidak menampakan Kekufuran yang nyata.."" nah defenisi tidak menampakan kekufuran yang nyata seperti apa yang dimaksud?<br /><br />kalau kita melihat hukum demokrasi di negara di dunia secara khusus indonesia dan negara lain secara umum, hukum ALLAH selalu diinjak-injak, Perzinahan Bebeas di legalkan, Miras dilegalkan, merka yang amar makruf atau nahi munkar malah bisa melanggar hukum, Ibadah dibatasi, Jilbab dibatasi, hingga pendidikan agama dibatasi, bahkan secara khusus di indonesia beberapa orang yang jadi pemimpin Indonesia malah secara terang-terangan tau bahwa namanya Zina dan Khamr itu haram, mereka malah ikut melegalkan Zina dan Khamr.<br /><br />untuk hal ini saya ingin mengklarifikasi status kufur / kafir dari Ust.<br /><br />1. Seorang yang suka berzina tapi meyakini dan menyatakan berzina itu haram dan berdosa status orang tersebut apa?<br />2. seorang yang tak pernah berzina tapi dalam dirinya meyakini berzina itu haram tapi diluar (karena kesombongan atau lainnya, ingkar) menyatakan Zina itu boleh status yang seperti ini apa..<br /><br />3. sama seperti no 2 ditambah orang tersebut tidak hanya menyatakn legal tapi juga membuat bisnis, menjadikan pendapatan negara (dalam bentuk pajak atau lainnya) dengan prostitusi seperti negara indonesia status mereka ini apa dalam Nash?<br /><br />selanjutnya karena juga di atas terdapat hal yang menyinggung Ulama Shalaf yang tidak memberontak ketika penguasa menetapkan Muktazilah sebagai hukum negara.<br />sehingga menjadi dasar bahwa tidka berhukum dengan hukum Allah tidak boleh di berontak.<br /><br />Ini juga harus jelas dulu. Apakah para Ulama tidak memberontak murni mereka meyakini bahwa harus taat kepada pemimpin seperti itu atau karena sebab lain semisal merka tidak punya kekuatan untuk memberontak, tidak punya kemampuan untuk menggulingkan pemerintahan.<br />selanjutnya perbedaan Muktazilah dalam Hal hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Negara antara Muktazilah dengan Ahlu sunnah seperti apa?<br /><br />Kalau hanya berbeda masalah aqidah meyakini Firman ALLAH, apakah di masa itu Muktazilah menetapkan bahwa semua rakyat atau masyarakat harus berkeyakinan seperti itu? jika iya maka itu menjadi hukum selain ALLAH, jika tidak maka itu hanya keyakinan mereka saja.<br />kemudian perbedaan antara Hukum Pidana, perdata dan negara antara muktazilah dengan ahlu sunnah, apakah perbedaanya masih dalam tataran perbedaan (ikhtilaf yang masih bisa diakui) atau sudah tidak dapat diakui / ditolerir?<br /><br />Jika perbedaanya tidak dapat ditoleril lagi dan Ulama tidak memberontak (dalam artian saat itu mereka mampu memberontak) berarti kesimpulannya dapat dipastikan bahwa para Ulama memang meyakini dan berpandangan bahwa Pemimpin yang KUFUR sekalipun masih harus ditaati.<br />Namun jika ternyata perbedaanya masih dalam ikhtilaf yang masih bisa diterima maka bisa jadi mereka tidak memberontak karena para Ulama masih mengakui bahwa hukum Mukatzilah masih berada dalam status Hukum ALLAH yang harus ditaati, hanya berbeda dalam hal keyakinan tertentu dalam Aqidah.<br /><br />Syukron jazakallah...<br /><br /><br /><br /> Adminhttps://www.blogger.com/profile/07767842151222790710noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-43149772136551001442012-12-22T21:39:37.812+07:002012-12-22T21:39:37.812+07:00Silakan baca artikel :
Pemberian Pertolongan kepa...Silakan baca artikel :<br /><br /><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/pemberian-pertolongan-kepada-orang.html" rel="nofollow">Pemberian Pertolongan kepada Orang Kafir yang Tidak Dihukumi Kafir</a>.<br /><br />Semoga ada manfaatnya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-69762036067279445602012-12-22T14:29:12.329+07:002012-12-22T14:29:12.329+07:00berkaitan dg hadist : “Kecuali bila kalian melihat...berkaitan dg hadist : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709].<br /><br />Yang ingin saya tanyakan, Apakah tawalli dg orang kafir harby seperti amerika dan PBB (menjadikan orang kafir sbg pemimpinnya dimana pemimpin PBB semuanya orang kafir) bukan kekafiran yang nyata ?.<br /><br />Jika bukan kapan itu disebut sbg kekafiran yg nyata ?..<br /><br />mohon penjelasan dari ulama salaf berkaitan dg tawalli dan menjadikan orang kafir sbg pemimpin (jika bukan kekafiran yang nyata)…Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70203013066799215882012-12-09T21:00:37.364+07:002012-12-09T21:00:37.364+07:00Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi berkata ketika menafs...Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :<br /><br />أي ما داموا يصلون<br /><br />”Yaitu : selama mereka senantiasa melaksanakan shalat” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud Kitaabus-Sunnah, Bab Fii Qatlil-Khawaarij syarah hadits no. 4760].<br /><br />Jadi sekali lagi,.... barangsiapa yang meninggalkan shalat, artinya ia mengubah sendi-sendi Islam. Barangsiapa yang mengubah sendir-sendi Islam, diperbolehkan baginya keluar ketaatan dari amir. Diqiyaskan hal itu pada hal-hal lain yang termasuk sendi-sendi dasar Islam, sebagaimana dikatakan para ulama.<br /><br />Adapun rangkaian perkataan Anda yang ada di paragraf terakhir, maaf, saya tidak menanggapinya, karena itu kesimpulan prematur atas perkataan ulama.<br /><br />NB : Demokrasi, pluralisme, dan yang sejenisnya merupakan pemikiran kufur yang berasal dari non-Islam. Namun sebagaimana telah menjadi kaedah yang ma'ruf di kalangan ulama Ahlus-Sunnah, tidak semua kekufuran harus mengkonsekuensikan kekufuran pelakunya. Berdasar atas hal ini, maka tidak semua perbuatan kekufuran harus mengkonsekuensikan lepasnya ketaatan seorang muslim pada pemimpinnya. Bahkan,... seandainya pemimpin itu kufur (baca : murtad), tidak pula selalu harus mengkonsekuensikan kewajiban keluar ketaatan dari pemimpin tersebut.<br /><br />Silakan baca :<br /><br /><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/09/kafirnya-seorang-haakim-atau-penguasa.html" rel="nofollow">Kafirnya Seorang Haakim atau Penguasa Tidaklah Melazimkan Kebolehan Keluar Ketaatan dan Mengangkat Senjata Kepadanya</a>.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-19596373866574448592012-12-09T20:53:16.063+07:002012-12-09T20:53:16.063+07:00Perkataan ulama lain terkait penjelasan hadits : s...Perkataan ulama lain terkait penjelasan hadits : <i>selama ia menegakkan shalat</i> :<br /><br />Al-Qadli ’Iyadl berkata :<br /><br />أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر ، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل . قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها<br /><br />”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir, apabila secara tiba-tiba kekufuran (yang nyata) terjadi padanya, maka ia diberhentikan (sebagai imam)”. Dan ia berkata pula : ”Begitu pula apabila ia meninggalkan penegakan shalat dan seruan kepadanya (untuk melaksanakan shalat)” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].<br /><br />Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi) berkata tentang makna maa aqaamu fiikumush-shalah :<br /><br />ظاهره : ما حافظوا على الصلوات المعهودة بحدودها ، وأحكامها ، وداموا على ذلك ، وأظهروه . وقيل معناه : ما داموا على كلمة الاسلام ؛ كما قد عبَّر بالمصلين عن المسلمين ؛ كما قال ـ صلى الله عليه وسلم ـ : (( نهيتُ عن قتل المصلين )) ؛ أي : المسلمين . والأوَّل أظهر<br /><br />Dhahir maknanya adalah : selama mereka (penguasa) menjaga shalat-shalat yang diwajibkan dengan segala ketentuan dan hukum-hukumnya, senantiasa melakukannya, dan menampakkannya (di tengah masyarakat). Ada pula yang mengatakan maknanya adalah : selama mereka melangsungkan kalimat Islam (secara luas) sebagaimana al-mushalliin ditafsirkan sebagai al-muslimin, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Aku melarang kalian untuk membunuh al-mushalliin (orang-orang yang melakukan shalat)” , yaitu : al-muslimin (orang-orang muslim). Akan tetapi, makna yang pertamalah yang lebih terang (pada kebenaran)” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiishi Kitaabi Muslim juz 3 hal. 287-288; Maktabah Al-Misykah].<br /><br />Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly berkata :<br /><br />ويستدل أيضا على القتال على ترك الصلاة بما في صحيح مسلم عن أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن أنكر فقد برئ ومن كره فقد سلم ولكن من رضي وتابع فقالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا<br /><br />”Dalil lain tentang dibolehkannya memerangi orang-orang yang meninggalkan shalat adalah hadits dalam Shahih Muslim dari Ummu Salamah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang bersabda : ”Akan diangkat penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau ingkari. Barangsiapa yang mengingkarinya, ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang benci, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat” [selesai – Jami’ul-’Ulum wal-Hikaam hal. 112; Cet. 1424 H; Daarul-Hadits, Mesir].<br /><br />Perhatikan, di sini Ibnu Rajab memaknai hadits tersebut dengan makna dhahir (yaitu mengerjakan/menegakkan shalat) dimana beliau menjadikannya sebagai tolok ukur kebolehan keluar dari ketaatan dari penguasa jika ia meninggalkan shalat.<br /><br />Al-’Allamah ’Ali Al-Qary Al-Hanafy Al-Makky berkata ketika menjelaskan hadits di tersebut :<br /><br />إقامتهم الصلاة فيما بينكم لأنها علامة اجتماع الكلمة في الأمة قال الطيبي فيه إشعار بتعظيم أمر الصلاة وإن تركها موجب لنزع اليد عن الطاعة<br /><br />”Mereka menegakkan shalat di antara kalian, karena hal itu merupakan tanda persatuan kalimat bagi ummat. Telah berkata Ath-Thiibi : ’Di hadits tersebut terdapat pemberitahuan tentang pengagungan perkara shalat yang apabila ditinggalkan mempunyai konsekuensi pelepasan tangan dari ketaatan.” [Mirqaatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 4 hal. 112; Maktabah Al-Misykah].<br /><br />Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan hadits laa maa aqaamu fiikumush-shalah :<br /><br />فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة بالسيف مهما كانوا مقيمين للصلاة ويدل ذلك بمفهومه على جواز المنابذة عند تركهم للصلاة<br /><br />”Di dalamnya terdapat dalil tentang tidak bolehnya menentang/memerangi pemimpin dengan menggunakan pedang selama mereka masih menegakkan shalat. Dan hadits itu juga menunjukkan dengan mafhumnya atas bolehnya menentang/memerangi bila mereka meninggalkan shalat” [Nailul-Authaar juz 7 hal. 197].<br /><br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-22711917005794537502012-12-09T20:52:44.475+07:002012-12-09T20:52:44.475+07:00Mas,... coba deh sesekali buka wawasan Anda lebih ...Mas,... coba deh sesekali buka wawasan Anda lebih luas lagi, jangan cuma modal copi paste saja. Apa yang dikatakan An-Nawawiy itu tidaklah sebagaimana yang Anda sangka. Perkataan An-Nawawiy itu mempunyai makna bahwa shalat merupakan salah satu bagian dari sendi-sendi Islam. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, artinya ia telah mengubah sendi-sendi Islam. Simak penjelasan Ibnu Hajar saat membawakan perkataan An-Nawawiy rahimahullah :<br /><br />ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر<br /><br />”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –. (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6647].<br /><br />Beliau melanjutkan :<br /><br />والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه<br /><br />”Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu. Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].<br /><br />Jelas sekali makna perkataan tersebut.<br /><br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70148979307960602692012-12-08T12:34:50.658+07:002012-12-08T12:34:50.658+07:00JANGAN MELAWAN PENGUASA SEZHALIM APAPUN SELAMA MER...JANGAN MELAWAN PENGUASA SEZHALIM APAPUN SELAMA MEREKA MASIH SHOLAT ….!!!<br /><br />Selama ini umat Islam yang melawan penguasa zhalim di berbagai negeri kaum muslimin selalu dicap Khawarij atau bughot (pemberontak) karena menurut penuduh itu bahwa para penguasa itu masih wajib ditaati karena mereka MASIH MENEGAKKAN SHOLAT.<br /><br />Berikut penjelasan dari Imam Nawawi yang mensyarah (menjelaskan) kitab Shahih Muslim.<br /><br />Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah -shollallohu 'alaihi wa sallam- bersabda :<br /><br />سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا<br /><br />"Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka ?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]<br /><br />Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:<br /><br />"Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah”.<br /><br />وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام<br /><br />Sampai dengan penjelasan beliau “…..Sedangkan makna dari kalimat, ""Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat," jawab Rasul.<br /><br />BAHWASANYA TIDAK BOLEH MEMISAHKAN DIRI DARI PARA KHALIFAH, JIKA MEREKA SEKEDAR MELAKUKAN KEDZALIMAN DAN KEFASIKAN, DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENGUBAH SEDIKITPUN SENDI-SENDI DASAR ISLAM."<br /><br />Ini adalah penjelan Imam Nawawi tentang kalimat : "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat"<br /><br />yaitu :<br /><br />ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام<br /><br />"SELAMA MEREKA TIDAK MENGUBAH SEDIKITPUN SENDI-SENDI DASAR ISLAM."<br /><br />MENJADIKAN DEMOKRASI, PLURALISME, NASIONALISME SEBAGAI SENDI DASAR UTAMA NEGARA ADALAH BUKAN SEKEDAR MENGUBAH SEDIKIT SENDI DASAR ISLAM TAPI LEBIH DARI ITU, PERBUATAN INI SUDAH MENGHANCURKAN SELURUH SENDI-SENDI UTAMA ISLAM ...!!!<br />Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-32056291624179730812012-11-03T21:09:12.050+07:002012-11-03T21:09:12.050+07:00Assalaamu 'alaikum wr wb. Jazaakallaah ustadz....Assalaamu 'alaikum wr wb. Jazaakallaah ustadz. Baru-baru ini, kami mendapatkan kiriman buku berjudul tadzkiroh karangan Abu Bakar Ba'asyir yang isinya mengkafirkan pemerintah Indonesia karena menerapkan Pancasila dan UD 1945 dengan berhujjah pada surat Al-Maa'idah:44.<br />Alhamdulillah setelah membaca tulisan ustadz ini saya jadi lega dan yakin bahwa saya dan banyak umat Islam di Indonesia ini termasuk pemerintah (selama orang-orang nya masih menegakkan sholat) tidaklah masuk dalam kategori kafir akbar yang keluar dari Islam dan halal darahnya sehingga boleh diperangi.<br />Benar sekali bahwa pengertian "berhukum" dalam ayat faman lam yahkum tidaklah sebatas hanya pada undang-undang suatu negara saja, melainkan keseluruhan apa yang telah Allah turunkan dalam Al-Qur'an dan dijelaskan dalam hadist nabi SAW. Itu artinya, seseorang yang berbuat maksiat seperti berjudi, meminum khomer dll yang notabene tidak menjalankan hukum Allah tidak bisa dikategorikan sebagai kafir akbar. Pun begitu pula dengan pemerintah yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang negaranya tidak dikategorikan sebagai kafir akbar. Karena kalau dikategorikan sebagai kafir akbar, maka saya yakin semua orang Islam yang memang manusia biasa dan pasti pernah berbuat dosa akan dikategorikan sebagai kafir akbar yangkeluar dari Islam. <br />Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-89485669829778945832012-10-01T09:42:41.500+07:002012-10-01T09:42:41.500+07:00Alhamdulillah..syukron Ustadz..jawaban antum sanga...Alhamdulillah..syukron Ustadz..jawaban antum sangat mencerahkan ana..walau ana harus membacanya perlahan-lahan agar bisa difahami.Apakah AMW senafas dengan blog nahimungkar,arrahmah,voa,ust?krn cenderung harokiyin..anehnya AMW disatu sisi membela salafi namun disatu sisi mencelanya..Allohulmusta'an<br />smg Alloh Ta'ala memberikan Hidayah-NYA kpd kita semuaAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-14114313684383329772012-09-28T23:36:28.372+07:002012-09-28T23:36:28.372+07:00’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan hadits di ...’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan hadits di atas dalam penyebutan sifat-sifat pemimpin yang diisyaratkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :<br /><br />لا يهتدون بهداي أي من حيث العلم ولا يستنون بسنتي أي من حيث العمل والمعنى أنهم لا يأخذون بالكتاب والسنة<br /><br />”<i>.... Tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku”</i> ; adalah dalam hal ’ilmu. <i>”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku”</i> ; adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113; Maktabah Al-Misykah].<br /><br />Adalah sangat memaksakan diri jika saudara Waskito mengatakan bahwa <i> para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku</i> maknanya adalah pemimpin berpegang dengan syari’at Islam. Ini sangat bertentangan dengan dhahir hadits. Sebuah fallacy ! Orang yang tidak mengambil petunjuk dan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu saja dinamakan orang yang tidak berhukum dengan syari’at Allah. <br /><br />Hanya saja perintah mendengar dan taat dalam hadits di atas ditaqyid dalam hadits lain, yaitu selama pemimpin tersebut tidak terjatuh dalam kekafiran dan/atau masih menegakkan shalat. Jelas sebenarnya....<br /><br />Kalau memang saudara Waskito itu merasa benar dengan penafsirannya atas hadits tersebut, saya boleh minta tolong agar dibawakan lafadh perkataan ulama yang menjelaskannya dengan lafadh Arabic-nya (agar bisa di-cross check) dan di kitab apa.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-24068725126969637042012-09-28T23:35:58.719+07:002012-09-28T23:35:58.719+07:00O iya, ada satu hal penting yang tertinggal. Tenta...O iya, ada satu hal penting yang tertinggal. Tentang perkataan saudara Waskito :<br /><br /><i>”Terkait hadits di atas…pemimpin yang tidak mengambil petunjuk Nabi dan tidak memimpin berdasarkan Sunnah beliau…hal itu jangan ditafsirkan sebagai pemimpin yang tidak menerapkan Syariat Islam. Penafsiran demikian salah. Alasannya, kalau ada pemimpin yang memimpin bukan di atas Syariat Islam, berarti dia memimpin di atas sistem jahiliyah (non Islam)......”</i><br /><br />Kemudian dilanjutkan :<br /><br /><i>”Hadits tadi bukan maksudnya kepada pemimpin-pemimpin di atas sistem non Syariat Islam; seperti yang umumnya diyakini kawan-kawan Salafi. Hadits tadi mengarahnya ke <b>sistem kerajaan Islam</b>. Singkat kata, Syariat Islam <b>masih bisa menerima</b> kedudukan sistem kerajaan Islam. Hadits-hadits yang serupa itu maknanya kesana.</i> [selesai kutipan].<br /><br />Komentar saudara Waskito ini memang menyedihkan, dan – maaf - : ‘sok tahu’. Berikut hadits yang dimaksud :<br /><br />يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ<br /><br />“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab :“(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847]. <br /><br />Dikuatkan dengan hadits Ka’b bin ‘Ujrah radliyallaahu ‘anhu :<br /><br />حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ: " أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ "، قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: " أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ، وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ، أَوْ قَالَ: بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ، يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا، وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا "<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan bin Saabith, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Ka’b bin ‘Ujrah : “Aku mohon perlindungan kepada Allah untukmu dari imaaratus-sufahaa’ (para pemimpin yang bodoh)”. Ka’b bin ‘Ujrah berkata : “Apakah yang dimaksudimaaratus-sufahaa’ ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Para pemimpin yang datang setelahku dimana mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula mengambil sunnahku. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kedhaliman mereka, maka ia bukan merupakan golonganku dan aku pun bukan dari golongannya. Tidak pula mereka mendatangiku kelak di Haudl-ku. Namun barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak menolong kedhaliman mereka, maka ia termasuk golonganku dan akupun termasuk golongannya. Dan kelak ia akan mendatangi Haudl-ku.....” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/321. Al-Arna’uth dkk. mengatakan sanad hadits ini qawiy dalam takhrij-nya atasMusnad Al-Imaam Ahmad, 22/332].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-20713678866333217792012-09-28T23:00:17.559+07:002012-09-28T23:00:17.559+07:005. Tentang perkataan saudara Waskito
”Dalam dial...5. Tentang perkataan saudara Waskito <br /><br /><i>”Dalam dialognya, Abu Al Jauza ditanya tentang keadaan di Indonesia yang tidak berlaku sistem Islami. Kata dia, semua itu hanya soal nama saja; bisa jadi namanya tidak Islami, tapi perilakunya Islami; atau namanya Islami tapi perilakunya tidak Islami. Wah, kalau begini caranya berarti kita telah mengikari kedudukan lafazh dalam kehidupan ini. Masya Allah. Apa gunanya Allah menyebut dirinya memiliki Nama-nama dan Sifat yang indah? Apa gunanya para ulama -begitu juga Abul Jauza’- selalu memulai pembahasan dengan definisi-definisi (ta’rifat)? Ya jelas ada perbedaan di balik nama-nama itu”</i><br /><br />Yang saya katakan adalah :<br /><br />“<b>Yang menentukan status hukum adalah hakekatnya, bukan sekedar namanya</b>. Antum pasti tahu, bahwa seandainya seorang muslim melakukan amalan kekfuran (akbar), maka ia pun terancam akan kekufuran akbar. Begitu juga dengan sebuah negara. Meskipun satu negara mencantumkan asas Islam sebagai dasar negaranya, namun jika kenyataannya malah banyak mengadopsi undang-undang kafir, bisa jadi negara tersebut bukan negara Islam. Status negara Islam bukanlah sekedar pencatuman asas, namun realitas hukum dan syi'ar-syi'arnya yang utama yang berlaku dalam negara tersebut” [selesai].<br /><br />Dia mengomentari apa yang tidak saya katakan. Belajar memperhatikan perkataan adalah salah satu modal utama dalam berkomentar.<br /><br />Yang menjadi point penting dalam perkataan saya di atas adalah kalimat yang saya cetak tebal. Ini adalah kaedah ushul yang penting bahwasannya ibrah (dalam hukum) hanyalah diambil pada hakekat dan maknanya, bukan sekedar penamaannya saja. Apakah saudara Waskito benar-benar asing dengan bahasan ini ?. Jika iya, tidaklah terlalu mengherankan bagi saya. <br /><br />Kaedah ini dibangun oleh beberapa dalil di antara dalil yang membahas masalah khamr :<br /><br />كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ<br /><br />“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram. <br /><br />Meskipun dirubah-rubah namanya, jika ia bersifat memabukkan, maka dinamakan khamr dan dihukumi sebagai khamr.<br /><br />يشرب ناس من أمتي الخمر باسم يسمونها إياها<br /><br />“Orang-orang di kalangan umatku akan meminum khamr dan menamakannya dengan nama yang lain”.<br /><br />Oleh karena itu, para ulama ditanya tentang satu hal, maka mereka akan meminta tashawwur hakekatnya, karena itulah yang menentukan hukumnya.<br /><br />Terkait dengan hal tersebut, maka jika ada orang yang menyatakan satu negara itu berhukum dengan hukum Islam, sebagai orang yang dibekali pengetahuan tentu tidak begitu saja mengaminkan perkataan tersebut tanpa berusaha mencari tahu hakekat ‘hukum Islam’ yang dimaksudkan. Contoh kecilnya,.... jika negara Raafidlah Iran mengklaim mereka berhukum dengan hukum Islam, apakah itu akan kita aminkan begitu saja ?. Saya tidak pernah mengatakan bahwa hukum di Indonesia ini adalah hukum yang berdasarkan syari’at Islam. Namun yang pernah saya katakan adalah, hukum yang ada di Indonesia bercampur antara hukum Allah dan bukan hukum Allah. Sama seperti hukum yang diterapkan oleh Al-Ma’muun di eranya.... tercampur hukum Allah dan bukan hukum Allah. <br /><br />Saya sama sekali tidak mengingkari kedudukan lafadh seperti angan-angannya. Dan justru, secara tidak langsung saya menekankan pentingnya pengertian lafadh-lafadh syari’at dalam menghukumi sesuatu hal, karena ia akan dikembalikan pada terminologi isthilahiy-nya. Jika kita telah paham terminologi ishthilahiy-nya, maka dengan berubahnya lafadh/nama dari suatu hal, kita tetap dapat menghukumi dengan berpegang pada definisi ishthilahi-nya tersebut.<br /><br />Terakhir, saya berdoa agar Allah menambahkan ilmu kepada saudara Waskito dan menghilangkan sifat isti’jal-nya pada permasalahan yang tidak ia ketahui.<br /><br />Wallaahul-musta’aan......Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-4791569548297856592012-09-28T22:58:20.521+07:002012-09-28T22:58:20.521+07:004. Tentang perkataan saudara Waskito :
”Kemudian ...4. Tentang perkataan saudara Waskito :<br /><br /><i>”Kemudian dalam tulisannya, Abu Al Jauza menafsirkan kata al ‘atsarah secara praktis sebagai kepemimpinan tidak berdasar Syariat Islam; padahal saat yang sama dia mengartikan hal itu sebagai sikap monopoli dan mementingkan diri sendiri. Kata al atsarah disana lebih tepat dipahami sebagai = <b>sistem kerajaan Islam</b>. Ciri kerajaan dimana-mana selalu memonopoli kekuasaan di tangan raja dan keluarganya. Tetapi atsarah-nya mereka, belum mengeluarkan dari sistem Islami yang selalu dijaga”</i> [selesai].<br /><br />Pertama, saya menjelaskan makna atsarah dalam artikel di atas adalah :<br /><br />“Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan)” [selesai].<br /><br />Pahami dan cermati kalimat tersebut secara keseluruhan. Al-Atsarah adalah penguasa yang menyia-nyiakan amanah, sewenang-wenang, korupsi, dan yang lainnya. Ini sesuai dengan penjelasan para ulama saat menjelaskan makna al-atsarah, misalnya :<br /><br />Ibnu Baththal berkata :<br /><br />فوصف أنهم سيكون عليهم أمراء يأخذون منهم الحقوق ويستأثرون بها، ويؤثرون بها من لا تجب له الأثرة، ولا يعدلون فيها<br /><br />Ibnu Hajar berkata :<br /><br />وَأَشَارَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ إِلَى مَا وَقَعَ مِنْ اِسْتِئْثَارِ الْمُلُوكِ مِنْ قُرَيْش عَنْ الْأَنْصَارِ بِالْأَمْوَالِ وَالتَّفْضِيل فِي الْعَطَاءِ وَغَيْر ذَلِكَ<br /><br />Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata :<br /><br />وَالْمُرَادُ بِالْأَثَرَةِ : اسْتِئْثَارُ النَّاسِ عَلَيْهِمْ بِالدُّنْيَا ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ<br /><br />Dan yang lainnya yang mengerucut pada makna yang telah saya tuliskan di atas. Mengapa di akhir perkataan saya katakan bahwa ia tipe pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ?. Jawab : Karena saya sedang membahas pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Tentu saja, atsarah ini adalah tipe-tipe pemimpin yang tidak menjalankan hukum Allah dalam kepemimpinannya.<br /><br />Saya sudah berusaha mencari penjelasan ulama tentang atsarah yang bermakna <b>sistem kerajaan</b> seperti yang diomongkan saudara Waskito ini, namun saya mengalami kegagalan. Dari sisi bahasa saja sudah keliru jika diartikan demikian. Kalau boleh tahu, darimana saudara Waskito mendapatkan makna atsarah sebagai “sistem kerajaan” ?. Tolong diberikan referensi valid agar orang tidak menuduh Anda sebagai orang yang berhalusinasi.<br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-41160408251583775952012-09-28T22:57:02.578+07:002012-09-28T22:57:02.578+07:00Kedua, ‘aqidah Jahmiyyah Mu’tazillah yang dijalank...Kedua, ‘aqidah Jahmiyyah Mu’tazillah yang dijalankan oleh tiga khalifah tersebut merupakan ‘aqidah kufur (baca : <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/07/perkataan-para-imam-tentang-kafirnya.html" rel="nofollow">sini</a>). Mereka menjadikannya sebagai salah satu asas bagi negara. Mereka menguji, menyiksa, memenjara, dan membunuh orang yang tidak sepakat dengannya. Mereka tidak mengangkat pejabat kecuali yang mengatakan perkataan kufur mereka.<br /><br />Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :<br /><br />ومع هذا، فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية: أن القرآن مخلوق، وأن الله لا يري في الآخرة، وغير ذلك. ويدعون الناس إلى ذلك، ويمتحنونهم، ويعاقبونهم، إذا لم يجيبوهم، ويكفرون من لم يجبهم. حتى أنهم كانوا إذا أمسكوا الأسير، لم يطلقوه حتى يقر بقول الجهمية: إن القرآن مخلوق، وغير ذلك. ولا يولون متولياً ولا يعطون رزقاً من بيت المال إلا لمن يقول ذلك. ومع هذا، فالإمام أحمد ـ رحمه الله تعالي ـ ترحم عليهم، واستغفر لهم، لعلمه بأنهم لم يبن لهم أنهم مكذبون للرسول، ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولوا فأخطأوا، وقلدوا من قال لهم ذلك<br /><br />“Dan bersamaan itu, para penguasa berkata dengan perkataan Jahmiyyah (yaitu) : Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat, dan yang lainnya; mengajak manusia pada pemahaman/perkataan tersebut, menguji dan menyiksa mereka apabila tidak menyambut seruannya, mengkafirkan orang yang menyelisihinya, hingga orang-orang yang dijebloskan ke penjara tidak akan dilepas sampai mereka mengatakan perkataan Jahmiyyah : ‘Al-Qur’an adalah makhluk’, dan yang lainnya. Mereka (para penguasa) tidak mengangkat pejabat dan tidak memberikan santunan dari Baitul-Maal kecuali pada orang yang mengatakan perkataan Jahmiyyah tersebut. Bersamaan dengan itu, Al-Imaam Ahmad – rahimahullahu ta’ala – tetap mendoakan rahmat kepada mereka dan mendoakan agar mereka mendapatkan ampunan (dari Allah) karena ia mengetahui bahwa belum nampak pada diri mereka adanya pendustaan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pengingkaran terhadap apa yang beliau bawa. Akan tetapi mereka melakukan ta’wil lalu keliru, dan bertaqlid kepada orang-orang yang mengatakan hal itu pada mereka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 23/348-349].<br /><br />Apakah aturan yang diterapkan oleh ketiga khailfah Bani ‘Abbasiyyah menurut anggapan saudara Waskito bukan aturan kekufuran (yang melembaga) ?. Saya sarankan kepada saudara Waskito untuk membaca lebih banyak manaqib Imam Ahmad, banyak diterangkan di situ.<br /><br />Ketiga, seandainya kita memaafkan ketiga khalifah Bani ‘Abbaasiyyah itu dengan alasan tertimpa syubhat, apakah menjadi hal yang musykil bagi kita untuk memaafkan orang yang lebih rendah keilmuannya dari ketiga orang tersebut dengan alasan kebodohan (sehingga tertimpa syubhat) ?. Apakah saudara Waskito itu menyangka – misalnya – pemimpin yang ada sekarang ini lebih pandai daripada Al-Ma’muun sehingga alasan ketidaktahuannya tidak dimaafkan ?.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-72878098170063325652012-09-28T22:56:05.030+07:002012-09-28T22:56:05.030+07:00Beliau melanjutkan :
والذي يظهر حمل رواية الكفر ع...Beliau melanjutkan :<br /><br />والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه<br /><br />”Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu. Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. <b>Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir</b>. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].<br /><br />Al-Qadli ’Iyadl rahimahullah berkata :<br /><br />أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر<br /><br />”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir. [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].<br /><br />Dengan kata lain, selama status pemimpin tersebut adalah muslim, maka wajib untuk mendengar dan taat (pada perkara yang ma’ruf), dan diharamkan untuk keluar ketaatan.<br /><br /><br />2. Umaraa adalah ulil-amri.<br /><br />Hal ini sudah maklum dalam perkataan para ulama. Ath-Thabariy membawakan beberapa riwayat tentang hal ini dalam Tafsir-nya. Al-umaraa’ adalah jamak dari al-amiir, yang maknanya adalah : orang yang memegang satu urusan atau bertindak sebagai walinya – sebagaimana dikatakan Ibnul-Atsiir dalam An-Nihaayah. Oleh karena itu, dalam beberapa nash, ulil-amri ini mempunyai beberapa laqab yang mempunyai konsekuensi hukum (dalam hal ketaatan) yang sama, yaitu : khaliifah, imam, sulthaan, malik, dan amiirul-mukminiin [baca penjelasan selengkapnya dalam Fiqhus-Siyaasah Asy-Syar’iyyah, hal. 122-124]. <br /><br />Diqiyaskan dalam hal ini adalah semua orang yang memegang urusan kaum muslimin, seperti presiden, perdana menteri, atau yang lainnya.<br /><br />3. Tentang perkataan saudara Waskito saat mengomentari ketaatan Imam Ahmad terhadap ulil-amri di masanya :<br /><br /><i>”Tetapi dia lupa menjelaskan, bahwa sistem dan aturan yang berlaku di negeri sultan itu masihlah aturan Islam, bukan berubah menjadi aturan kekufuran. Kalau sultan itu melakukan bid’ah, ia karena alasan syubhat; terbukti di kemudian hari setelah dilakukan perdebatan, ternyata akidah itu dinyatakan salah dan harus ditinggalkan”</i> [selesai kutipan].<br /><br />Ini adalah perkataan yang lucu, terlalu memaksakan diri dalam berapologi, dan menggambarkan ketidakpahamannya atas waqi’ yang terjadi di masa Imam Ahmad. Ia melalaikan (atau memang benar-benar tidak tahu) beberapa hal, diantaranya :<br /><br />Pertama, ketaatan Imam Ahmad itu bukan hanya pada satu orang imam saja, tapi tiga periode kepemimpinan sekaligus, yaitu Al-Ma’muun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiiq. <br /><br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-31540164388487861642012-09-28T22:50:34.742+07:002012-09-28T22:50:34.742+07:00Terima kasih atas infonya. Tidak ada yang terlalu ...Terima kasih atas infonya. Tidak ada yang terlalu istimewa untuk ditanggap atas ulasannya saudara Waskito tersebut. Tidak ada perubahan atau penjelasan lebih lanjut dari apa yang telah tertulis dalam artikel di atas. Justru, apa yang dikatakannya itu semakin menguatkan hipotesis saya bahwa saudara Waskito untuk memang benar-benar tidak paham. Namun tidak mengapa jika di sini saya tuliskan beberapa point tanggapan saya dalam permasalahan ini :<br /><br />1. Wajib mentaati pemimpin kaum muslimin baik yang baik (birr) atau jahat (faajir) <b>selama ia masih berstatus muslim dan tidak terjatuh pada kekafiran</b>.<br /><br />Ini merupakan prinsip yang agung dari kalangan Ahlus-Sunnah. Sangat berlimpah penjelasan para ulama tentang masalah ini. Di atas ada kutipan dari An-Nawawiy rahimahullah :<br /><br />“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].<br /><br />Dalilnya banyak, di antaranya :<br /><br />عن جنادة بن أبي أمية قال دخلنا على عبادة بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان<br /><br />Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliaushallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6647].<br /><br />Ibnu Hajar berkata :<br /><br />قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر<br /><br />”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai – . (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan <b>kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata</b>” [selesai – Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6647].<br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-48038658826173876502012-09-28T11:12:45.117+07:002012-09-28T11:12:45.117+07:00afwan ustadz ada sangahan tentang tulisan antum di...afwan ustadz ada sangahan tentang tulisan antum diatas<br /><br />http://abisyakir.wordpress.com/2011/09/03/ulil-amri-dan-ketaatan-politik-ummat/#comment-7665<br /><br />Mohon tanggapannya Ustadz.<br />Jazzakumullohu khayranAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70345951096916238072012-05-02T09:46:34.715+07:002012-05-02T09:46:34.715+07:00Assalamu'alaikum, Setelah membaca artikel ini,...Assalamu'alaikum, Setelah membaca artikel ini, saya dapat bersikap yang benar terhadap pemerintah. Dan mohon izin copas, syukron, wasalamrafahttps://www.blogger.com/profile/09507969226597185524noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-49774925445829180552012-03-29T21:19:13.437+07:002012-03-29T21:19:13.437+07:00Assalaamu'alaikum..
Maaf ustadz, tiba2 datang ...Assalaamu'alaikum..<br />Maaf ustadz, tiba2 datang kesini..<br />Sekarang kan lagi heboh2nya demo disana-sini, dimana ketaatan sudah dianggap sepele oleh orang2 pada umumnya..padahal setahu saya perubahan yg mereka inginkan dan perjuangkan pada '98 dengan cara menggulingkan penguasa nyata2 tidak berhasil jika berkaca pada saat ini..apakah akan terjadi lagi reformasi, lagi, dan lagi?..saya memang tidak bisa menyalahkan mereka (karena saya sadar ilmu saya sangatlah kurang), tapi menurut saya jika kita menginginkan perubahan dengan cara2 yg dibenci nash, takutnya malah masalah tidak akan pernah berakhir..<br /><br />Tapi saya bukan mau membahas masalah itu disini, ustadz..<br />Saya yg sekarang masih ABG, yg mana kehampaan dalam hati terasa kian sesak, gemerlapan hingar bingar dunia sudah terasa memuakkan, kemuliaan akal yg dianugerahkan Allah benar2 tidak saya isi dengan hal2 yg bermanfaat, dan yg lainnya seperti yg Ustadz tahu lah tentang masalah2 ABG seperti saya ini..<br /><br />Jadi, maksud saya adalah tolong donk dibuatkan artikel yg sesuai kontennya dengan masalah2 yg seperti saya alami..saya gak mau terjatuh lebih dalam lagi, ustadz..saya sadar, ternyata diri ini lama-kelamaan makin jauh aja dari Allah..<br />Tolong ya, ustadz..maaf klo salah alamat..<br />Makasih..<br /><br />Ya Allah, perkenankanlah permohonan hamba-Mu ini, semoga Engkau mengizinkan ustadz Abul-Jauzaa untuk menyebarkan sedikit ilmu-Mu yg engkau anugerahkan kepadanya..Aamiin..Anonymousnoreply@blogger.com