tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post7683669061820615985..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Rujuk dari Kekeliruan Apabila Kebenaran Telah NampakUnknownnoreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-25654740859466398432014-04-15T10:12:05.522+07:002014-04-15T10:12:05.522+07:00kok justru ishaq yang rujuk? jelas sekali beliau y...kok justru ishaq yang rujuk? jelas sekali beliau yang menang debat. harusnya syafii yang rujuk..Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70446917765232307292014-04-02T09:54:54.261+07:002014-04-02T09:54:54.261+07:00'Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wa ba...'Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wa barakaatuh'<br /><br />Mohon maaf, saya alpa menuliskannya. Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-57616197994216215912014-04-02T08:30:52.089+07:002014-04-02T08:30:52.089+07:00Sekedar ngingetin.
قال الإمام أبو سعد المتولي وغي...Sekedar ngingetin.<br /><br />قال الإمام أبو سعد المتولي وغيره : إذا نادى إنسان إنسانا من خلف ستر أو حائط فقال : السلام عليك يا فلان ، أو كتب كتابا فيه : السلام عليك يا فلان ، أو السلام على فلان ، أو أرسل رسولاً وقال : سلم على فلان ، فبلغه الكتاب أو الرسول ، وجب عليه أن يرد السلام . وكذا ذكر الواحدي وغيره أيضا أنه يجب على المكتوب إليه رد السلام إذا بلغه السلام<br /><br />Dan anda belum menjawab salam saya dan saudara muslim yang lainnya yang memberi salam kepada Anda (bbrp kali saya melihat, Anda 'malas' untuk sekedar menjawab salam saudara Anda yang lain ). Mohon diperhatikan Pak dalam masalah Adab yang seperti ini . Bukankah para Ulama memberi perhatian yang besar dalam masalah Adab. Bahkan berpuluh-puluh tahun mereka belajar Adab sebelum ilmu. <br />Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-84229657943554910192014-04-02T03:30:55.151+07:002014-04-02T03:30:55.151+07:00Pokok yang mesti dipahami dalam fatwa Syaikh '...Pokok yang mesti dipahami dalam fatwa Syaikh 'Ubaid itu adalah mereka boleh memilih seorang perwakilan mereka di parlemen yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Nalarnya, ini bisa dilalui dengan menunjuk seseorang pada partai tertentu, atau membuat partai tertentu yang dengannya mereka dapat menyalurkan aspirasi dan memperoleh hak-hak mereka.<br /><br />Silakan simak fatwa Lajnah Daaimah berikut:<br /><br />“سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟<br /><br />Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk partai Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan partai tersebut legal sebagaimana UU kepartaian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya partai tidaklah semata-mata partai. Tujuan dakwah dari partai ini disembunyikan”.<br /><br />الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى”.<br /><br />Jawaban Lajnah Daimah, “Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama partai politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.<br /><br />[selesai nukilan fatwa]<br /><br />Jadi kalau ditanya :<br /><br />"Apakah mungkin seorang salafiy masuk atau membentuk partai ?".<br /><br />Jawaba saya sebagaimana yang telah lalu : "Mungkin".<br /><br />Tentu saja dengan kondisi dan alasan yang disampaikan ulama Lajnah.<br /><br />So, jika masuk parlemen boleh, maka perkara cabangnya berupa partai pun boleh, karena masuk parlemen tidak dapat dicapai kecuali lewat media partai.<br /><br />[tak bosan saya katakan, ini dalam lingkup term dan condition yang disebutkan para ulama : kemaslahatan umum dan/atau mengambil akhaffudl-dlararain]<br /><br />Saya tidak begitu tertarik membahas permasalahan dengan orang tersebut karena manhaj bahts yang ia lakukan tidak sistematis. Ia membahas ijtihad seorang ulama dengan ijtihad ulama lain. Ini aneh sekali. Tidak akan nyambung.<br /><br />Ia tidak bisa membedakan membahas pendapat seorang ulama tertentu dengan bahasan tarjih. Ia membahas fatwa Lajnah dengan memakai fatwa Al-Albaaniy, Al-'Ubailaan, dll.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-5298744999631923962014-04-02T03:29:43.064+07:002014-04-02T03:29:43.064+07:00Kemudian tentang partai.... Saya tidak pernah meng...Kemudian tentang partai.... Saya tidak pernah mengatakan bahwa partai itu hukum asal adalah boleh. Tapi ya begitu, orang itu salah paham sehingga memahami bahwa saya mengatakan membentuk partai itu boleh atau salafiy masuk partai itu secara asal adalah boleh. Lalu ia pun membahasnya ke sana dan kemari tanpa bisa memahami konteks yang saya bicarakan.<br /><br />Konteks artikel <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/mungkinkah-salafiy-ikut-pemilu-dan.html" rel="nofollow">Mungkinkah Salafiy Ikut Pemilu dan Berparlemen ?</a> adalah <b>menampilkan sebagian pendapat yang masyhur dari kalangan ulama Ahlus-Sunnah</b> tentang kebolehan ikut serta dalam Pemilu dan masuk parlemen - selain pendapat yang melarangnya. Tentu dengan pertimbangan dan 'illat hukum yang mendasari ijtihad mereka.<br /><br />Tapi apa yang dipahami orang itu (Abul-Harits)?.<br /><br />Artikel yang ia tulis seakan-akan menafikkan adanya khilaf tersebut di kalangan ulama. Lihat saja, ia hanya 'berani' membahas beberapa fatwa ulama yang masih ada 'celah' ia masuki dan bahas. Tapi bagaimana sikap dia terhadap fatwa Syaikh Ibnul-'Utsaimiin yang saya bawakan ?. Sama sekali tidak dibahas. Tidak pula ada usaha 'menampilkan fatwa lengkapnya'. Mengapa ? Karena fatwa beliau itu sangat jelas membolehkan partisipasi dalam Pemilu dan duduk di parlemen (dengan kondisi-kondisi yang beliau jelaskan) dimana fatwa beliau ini mampu menutup mulut orang-orang yang berusaha mengkaburkan keberadaan khilaf ini.<br /><br />Kembali ke masalah 'partai'. Jika ada ulama yang membolehkan Pemilu dan masuk parlemen dengan alasan kemaslahatan umum atau memilih mudlarat paling kecil/ringan [sekali lagi, Anda jangan malah membahasnya dengan metode tarjih, tapi ini sedang mencoba memahami perkataan seorang ulama], maka saya katakan dalam kolom komentar artikel <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/mungkinkah-salafiy-ikut-pemilu-dan.html" rel="nofollow">Mungkinkah Salafiy Ikut Pemilu dan Berparlemen ?</a>; bahwa mungkin bagi seorang salafiy bergabung pada partai tertentu atau membentuk partai tertentu.<br /><br />Kenapa ?<br /><br />Ketika dikatakan seseorang boleh masuk parlemen (dengan syarat-syarat tertentu), maka harus dipahami bahwa parlemen itu adalah parlemen yang berlaku umum di semua negara, bukan parlemen yang berjalan di pemikirannya orang-orang tertentu. Parlemen itu memberlakukan sistem multi partai. Tidak ada wakil rakyat yang masuk dalam parlemen, kecuali jika ia masuk dalam partai tertentu. Sekali lagi, inilah yang berlaku pada umumnya. Jika 'illatnya adalah mencapai kemaslahatan umum atau memilih mafsadat teringan, maka orang yang masuk ke partai tertentu dengan dasar 'illat hukum tersebut, tentu saja boleh. Partai di sini tentu saja partai yang paling baik di antara partai-partai yang ada sehingga ia bisa menyuarakan kebenaran di parlemen. Bagaimana jika partai yang ada tidak ada yang baik dan seseorang diberi kesempatan untuk membentuk partai yang sesuai dengan aspirasinya ?. Coba cermati fatwa para ulama yang membolehkan Pemilu di negeri kafir, salah satunya fatwa Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy:<br /><br />"Meskipun demikian, apabila kaum muslimin di negeri Barat dan yang lainnya terpaksa masuk dalam Pemilu, maka ada beberapa keadaan. Diantaranya : mereka tidak akan menerima hak-hak mereka yang disahkan di Negara mereka kecuali dengan jalan adanya perwakilan yang berbicara atas nama mereka. Maka, jika mereka dipaksa untuk melakukannya dan mereka tidak mempunyai pilihan lain : <b>Mereka memilih seorang laki-laki muslim (di parlemen) atau mereka kehilangan hak-hak mereka dan tidak mempunyai seorang pun yang mendengar urusan mereka; dalam situasi ini, hendaknya mereka memilih orang yang benar lagi bijaksana yang akan memberikan manfaat bagi kaum muslimin serta memperhatikan hak-hak mereka....</b>"<br /><br />[selesai kutipan].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-1365287007983603042014-04-02T03:27:31.760+07:002014-04-02T03:27:31.760+07:00Bagaimana saya rujuk, karena saya tidak merasa ber...Bagaimana saya rujuk, karena saya tidak merasa bersalah ?. <br /><br /><b>Pertama</b>,.... tentang fatwa Lajnah Daaimah, saya telah menterjemahkan secara utuh (baca : <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/03/partisipasi-dalam-pemilu.html" rel="nofollow">Partisipasi dalam Pemilu</a>). Namun orang itu (Abul-Haarits) membuat persyaratan angan-angan sebagai berikut:<br /><br /><i>Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah membolehkan seorang muslim untuk masuk parlemen atau mencalonkan diri dalam kancah politik, jika ia dapat memenuhi beberapa syarat berikut:<br /><br />[Pertama] masuknya dalam parlemen dapat merubah sistem kufur demokrasi menjadi syariat Islam<br /><br />[Kedua] dapat menguasai parlemen sehingga berwenang membuat aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat<br /><br />[Ketiga] tidak menduduki jabatan yang menyelisihi syariat.</i><br /><br />Apakah syarat itu dikatakan oleh ulama Lajnah ?. Jawab : Tidak, karena ulama Lajnah hanya mengatakan:<br /><br />إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام<br /><br />"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam...."<br /><br />Atau dengan kata lain : Orang yang masuk parlemen itu <b>diharapkan</b> dapat menyuarakan syari'at Islam sehingga membawa perubahan. Beda sekali antara apa yang dikatakan Lajnah dengan yang dikatakan orang itu. Orang itu kurang tepat dalam menterjemahkan dan/atau memahami kalimat :<br /><br />يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام<br /><br /><b>Kedua</b>,....tentang perkataan Syaikh As-Sadlaan :<br /><br />ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية<br /><br />al-intikhaabaat al-barlamaaniyah.<br /><br />Saya terjemahkan :<br /><br />"Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan <b>duduk</b> di parlemen....."<br /><br />Orang itu (Abul-Haarits) mempermasalahkan kata "duduk" dalam terjemahan tersebut. Ia menterjemahkan menjadi begini:<br /><br /><i>“Diantaranya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut-serta dalam <b>pemilu di parlemen</b>”</i><br /><br />Coba silakan cermati bersama apa yang saya tulis dan apa yang ia tulis. Justru kalau diterjemahkan 'Pemilu di parlemen',... menurut saya jadi nggak pas. Mana ada Pemilu di parlemen ?. <br /><br />Kalau mau letterlijk terjemahan dari 'al-intikhaabaat al-barlamaaniyah' adalah : Pemilu keparlemenan (Parliamentary Elections). Kalau diterjemahkan begini, maka tentu tidak begitu familiar di bahasa kita. Tapi maksudnya adalah Pemilu Parlemen, yaitu Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Itu inti yang ingin beliau (Syaikh As-Sadlaan) sampaikan. Jadi kalau kata 'duduk' dipermasalahkan untuk dikoreksi, maka ndak masalah (jazaakallaahu khairan), karena <b>tidak mengubah inti permasalahan</b>.<br /><br />Coba dipikir, seandainya ulama membolehkan Pemilu memilih wakil rakyat di parlemen dengan 'illat kemaslahatan umum atau memilih mafsadah teringan di antara dua mafsadah; bukankah itu artinya membolehkan juga keberadaan wakil-wakil itu sendiri di parlemen dengan 'illat hukum yang sama ?. Itu seperti penjelasan Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah yang membolehkan Pemilu dan orang masuk parlemen dengan alasan akhaffu dlararain.<br /><br />Kalau Anda mengatakan tidak seperti itu, silakan ditulis di sini penjelasannya. Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-52530725454759004112014-04-01T21:44:40.588+07:002014-04-01T21:44:40.588+07:00Assalaamu'alaikum,
Cuma mau nginfoin ke antum...Assalaamu'alaikum,<br /><br />Cuma mau nginfoin ke antum Pak. Antum diminta rujuk oleh penulis yang tidak asing lagi bagi antum..<br />Karena menurut penulis, antum dianggap melakukan kesalahan cukup fatal dalam menerjemahkan perkataan Syaikh Shalih As-Sadlaan dalam masalah fatwa pemilu. Coba antum kroscek pak artikel tersebut.<br />Ini kutipan 'permintaan' rujuk oleh beliau.<br /><br /><br />awal kutipan<br />"Saya berharap agar beliau mau rujuk dan menarik kembali perkataannya, demi kebaikan dirinya sendiri sekaligus untuk meluruskan pemahaman keliru para pembaca. Nas’alullahat taufiiq"<br />-selesai kutipan-<br /><br />Selengkapnya :<br /><br />http://abul-harits.blogspot.com/2014/03/meluruskan-pemahaman-terhadap-fatwa.htmlAnonymousnoreply@blogger.com