tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post2188785933412894110..comments2024-03-13T05:57:39.976+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Mu’awiyyah Minum Minuman yang DiHaramkan (Khamr)Unknownnoreply@blogger.comBlogger57125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-63612676759138458652010-12-17T17:05:17.698+07:002010-12-17T17:05:17.698+07:00Jazakallah Ustadz, atas penjelasannya..
Ana mengu...Jazakallah Ustadz, atas penjelasannya..<br /><br />Ana mengusulkan supaya Ustadz membahas khusus dalam artikel tersendiri mengenai kredibilitas Al-Baladzuri dan kitab-nya Al-Ansab. Karena ana lihat orang syi'ah banyak merujuk dari kitab ini dan menjadikan riwayat2 di dalam-nya sebagai hujjah.<br /><br />Demikian juga mohon dibahas juga kitab-kitab sejarah yang lain-nya, agar kami bisa mendudukkan kitab-kitab mana yang layak dijadikan rujukan.<br /><br />Barakallahu fiikAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-1594494693416678952010-12-17T03:35:39.724+07:002010-12-17T03:35:39.724+07:00Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqaat 7/39 meriwayatka...Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqaat 7/39 meriwayatkan dari Abu Maalik Katsiir bin Yahyaa Al-Bashriy, dari Ghassaan bin Mudlar, dan seterusnya seperti sanad di atas, namun padanya ada tambahan keterangan bahwa perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tertuju kepada Mu'aawiyyah dan bapaknya. Di sini, Katsiir bin Yahyaa telah menyelisiihi para perawi tsiqaat yang meriwayatkan dari Ghassaan tanpa ada tambahan. Selain itu, Katsiir bin Yahyaa adalah seorang Syi'iy, dan ia membawakan hadits yang menguatkan madzhabnya (dalam menggelorakan kebencian terhadap shahabat). Oleh karenannya, riwayat Katsiir bin Yahyaa ini munkar dan tidak bisa dijadikan mutaba'ah.<br /><br />Apalagi, matannya bertentangan dengan hadits-hadits ma'ruf. Silakan dibaca di bagian awal artikel : <a rel="nofollow">http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/hadits-muawiyyah-mati-tidak-dalam-agama.html</a><br /><br />Kita hanya mengambil yang telah disepakati keshahihannya saja.<br /><br />Lantas, bagaimana kita bisa menerima hadits di atas ?.<br /><br />Juga perhatikan,... riwayat Al-Balaadzuriy di atas disebutkan Abu Sufyaan beserta Mu'aawiyyah dan saudaranya. Khususnya dalam lafadh yang dituntun, maka di situ ada dua (Mu'aawiyyah dan saudaranya). Akan tetapi, sebagaimana adat jelek Syi'ah, selalu mengarahkan pada Mu'aawiyyah. Tapi biarlah mereka, karena memang sudah tabiatnya. Yang ada dalam kitab Ash-Shahiih saja sudah jelas - bahwa Mu'aawiyyah dijanjikan surga - , namun mereka tetap saja tidak mengambilnya kan ?.<br /><br />Seperti yang saya singgung tempo hari : Mengambil satu riwayat dengan meninggalkan riwayat yang lain. <br /><br />Inilah komentar singkat saya, semoga ada manfaatnya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-45270967782745689142010-12-17T03:33:37.205+07:002010-12-17T03:33:37.205+07:00Seandainya haditsnya adalah dengan sanad (seperti ...<b>Seandainya</b> haditsnya adalah dengan sanad (seperti yang antum tulis) : <i>Telah menceritakan kepada kami Khalaf : Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-Waarits, <b>dari Sa'iid bin Jumhaan, dari Safiinah Maulaa Ummu Salamah</b> dst</i>; maka ini pun juga lemah dengan letak kelemahan pada Al-Balaadzuriy sendiri. Semua manuskrip tertulis dengan sanad sebagaimana saya tuliskan di awal.<br /><br />ِAda sanad lain yang diriwayatkan Al-Bazzaar dari jalan Sa'iid bin Jumhaan, dari Safiinah; namun ia dla'iif dan juga tidak disebutkan padanya Mu'aawiyyah (dan bapaknya).<br /><br />Ada sanad lain dari Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, namun ia juga lemah (karena mursal). Selain itu, tidak juga disebutkan secara jelas siapa yang dilaknat.<br /><br />Dan ada beberapa riwayat lain yang lemah/sangat lemah.<br /><br />Ibnu Abi 'Aashim membawakan riwayat sebagai berikut :<br /><br />قَالَ قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ، نا غَسَّانُ بْنُ مُضَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابُهُ يَقُولُونَ: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، قُلْتُ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : " لَعَنَ اللَّهُ الْقَائِدَ وَالْمَقُودَ بِهِ "<br /><br />Telah berkata Qais bin Hafsh : telah mengkhabarkan kepada kami Ghassaan bin Mudlar dari Sa'iid bin Yaziid, dari Nashr bin 'Aashim Al-Laitsiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah masuk ke masjid Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang pada waktu itu para shahabatnya berkata : 'Kami berlindung kepada Allah 'azza wa jalla dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya'. Aku berkata : 'Apa perkara kalian (sehingga mengatakan itu) ?'. Mereka berkata : 'Allah melaknat orang yang menuntun dan dituntun' [Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 938, dan pentahqiq/Dr. Baashim bin Faishal mengatakan para perawinya tsiqaat].<br /><br />Qais bin Hafsh mempunyai mutaba'ah dari Muusaa bin Ismaa'iil dan 'Uqbah bin Sinaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 17/176; dan Muhammad bin 'Abdurrahmaan Al-'Allaaf sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Ma'rifatush-Shahaabah no. 5398.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-25959410794822710602010-12-17T03:31:03.281+07:002010-12-17T03:31:03.281+07:00Riwayat dalam Ansaabul-Asyraf sebagai berikut :
ح...Riwayat dalam Ansaabul-Asyraf sebagai berikut :<br /><br />حَدَّثَنَا خَلَفٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بنُ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ، عَنْ سَفِينَةَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ " كَانَ جَالِسًا فَمَرَّ أَبُو سُفْيَانَ عَلَى بَعِيرٍ وَمَعَهُ مُعَاوِيَةُ وَأَخٌ لَهُ، أَحَدُهُمَا يَقُودُ الْبَعِيرَ وَالآخَرُ يَسُوقُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " لَعَنَ اللَّهُ الْحَامِلُ وَالْمَحْمُولُ وَالْقَائدُ وَالسَّائِقُ "<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Khalaf : Telah menceritakan kepada kami <b>'Abdul-Waarits bin Sa'iid bin Jumhaan</b>, dari Safiinah maula Ummu Salamah bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ".....(al-hadits)...".<br /><br />Inilah yang tercetak dalam Ansaabul-Asyraf 5/136 yang ditahqiq oleh Prof. Suhail Zakaat dan Dr. Riyaadl Zarkaliy; Daarul-Fikr, Cet. 1/1417 H.<br /><br />Sanad riwayat itu tidak shahih (dla'iif), bahkan matannya munkar. <br /><br />'Abdul-Waarits bin Sa'iid bin Jumhaan adalah majhuul. Adapun Al-Balaadzuriy adalah seorang sastrawan dan sejarawan; bukan termasuk dari kalangan muhadditsiin. Ia adalah seorang yang dekat dengan penguasa, memuji-muji mereka dengan bait-bait syi’ir-nya, dan tertimpa was-was di akhir hayatnya [lihat biografinya dalam Taariikh Dimasyq 6/74-76, tahqiq : ‘Umar bin Gharaamah Al-‘Umariy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415; Liisaanul-Miizaan 1/322-323 no. 982, Muassasah Al-A’lamiy, Cet. 2/1390; dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 13/12-163 no. 96, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9/1413].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-40244879083304450052010-12-16T09:08:12.643+07:002010-12-16T09:08:12.643+07:00afwan ust, mungkin tdk nyambung tp bgmn dgn riwaya...afwan ust, mungkin tdk nyambung tp bgmn dgn riwayat ini :<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah mawla Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk kemudian melintaslah Abu Sufyan di atas hewan tunggangan dan bersamanya ada Muawiyah dan saudaranya, salah satu dari mereka menuntun hewan tunggangan tersebut dan yang lainnya menggiringnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi yang memikul dan yang dipikul, yang menuntun dan yang menggiring” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]<br /><br />apakah benar perkataan rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertuju kpd mua'wiyyah (itu anggapan bbrp org yg sangat sinis thd muawiyah).<br />kmudian bgmn dgn sanadny?sahih?Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-91523138099370371222010-12-15T15:17:34.593+07:002010-12-15T15:17:34.593+07:00Sebenarnya, inti dari bahasan keshahihan riwayat a...Sebenarnya, inti dari bahasan keshahihan riwayat adalah dalam hal tafarrud Zaid bin Al-Hubbaab. Adapun setelahnya hanyalah pengandaian jika ta'lil tafarrud itu belum bisa dimengerti. Dan saya telah menyebutkan beberapa kaedah penjamakan dalam komentar-komentar sebelumnya dengan melihat lafadh riwayat, baik dari Imam Ahmad atau Ibnu Abi Syaibah.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-66458859342291945462010-12-15T15:13:11.908+07:002010-12-15T15:13:11.908+07:00Jika katakan harus ada pembatasan, maka pada thaba...Jika katakan harus ada pembatasan, maka pada thabaqah apa tafarrud itu diterima atau ditolak ? Para ulama telah menjelaskan bahwa tafarrud riwayat marfu’ untuk thabaqah shigharu atbaa’it-taabi’iin adalah sulit diterima. Terlalu jauh masanya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lha wong untuk tabi’y awal atau pertengahan saja banyak ulama yang mempermasalahkan. Apalagi setelahnya. Seandainya kita terima – dan ini sulit – itu pun bagi mereka (yaitu perawi) yang memiliki maqam tinggi dalam ketsiqahan. Kredibilitas Zaid bin Al-Hubbab ini jelas di bawah ‘Abdurrazzaaq (sebelum berubah hapalannya). ‘Abdurrazzaaq adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh. Kebersendirin/tafarrud ‘Aburrazzaaq saja banyak yang tidak diterima ulama. Lantas, bagaimana dengan Zaid bin Al-Hubbaab ?.<br /><br />Tentang klaim orang Syi’ah itu bahwa (seandainya) meskipun Imam Ahmad mengkritik seorang perawi namun ternyata ia meriwayatkan dalam kitab Musnadnya, maka menurutnya (orang Syi’ah itu), beliau ‘menerima’ riwayat perawi itu.<br /><br />Ini hanyalah omong kosong tanpa makna. Apa makna ‘menerima’ di sini ?. Imam Ahmad tidaklah mensyaratkan dalam kitabnya itu semuanya shahih. Tidak juga mensyaratkan bahwa guru-gurunya itu adalah tsiqah atau shaduq semua. Sebenarnya ini terlalu melebar dari bahasan artikel di atas. Namun berhubung orang Syi’ah itu gemar berstatement tanpa ilmu dan susah rujuk (baca : gengsi) jika terbukti keliru, jadilah pembicaraan ini berpanjang ria. <br /><br />Penerimaan atau periwayatan Imam Ahmad dari seorang syaikh bukan merupakan ta’dil atas syaikh itu atau riwayat yang ia bawakan. Ini sudah ma’ruf lah diketahui. Telah saya bawakan contoh sedikit syaikh Imam Ahmad yang berstatus dla’if yang saya nukil dari buku Mu’jam Syuyuukh Al-Imam Ahmad. Mungkin dapat saya ulang secara ringkas beberapa syaikh Imam Ahmad, misal : ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Atha’ Al-Khaffaaf. Imam Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib”. ‘Aliy bin ‘Aashim bin Shuhaib, Imam Ahmad berkata : “Ia seorang yang banyak lalai dan keliru”. Mu’aawiyyah bin Hisyaam Al-Qashshaar, beliau mengatakan : “Banyak salahnya”. Yahyaa bin Yamaan, beliau mengatakan : “Bukan hujjah”. Katsiir bin Marwaan As-Sulamiy, kata Mahmuud bin Ghailaan : “Ahmad, Ibnu Ma’iin, dan Abu Khaitsamah menggugurkan (hadits)-nya”. Muhammad bin Katsiir Al-Qashshaab, Imam Ahmad berkata : “Sangat lemah”.<br /><br />Dan lain-lain.<br /><br />Jadi, ini merupakan bukti ketidakvalidan kaedah yang dikarang orang Syi’ah itu dalam perkara syuyuukh Imam Ahmad.<br /><br />Dalam hal Zaid bin Al-Hubbaab, maka saya sepakat bahwa ia seorang yang shaduuq. Namun, Imam Ahmad, dan yang lainnya telah mengkritiknya dalam hal hapalan bersamaan dengan pujian yang dialamtkan kepadanya. Namun kita tidaklah menolak riwayatnya tanpa ada bukti yang mengharuskan menolaknya. Inilah konsekuensi perawi yang disifati sebagai shaduuq namun banyak keliru.<br /><br />Dan khususnya dalam tafarrud riwayat ini, terdapat perbedaan lafadh yang cukup ‘kentara’ antara Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah. Ini menandakan ia mengalami keraguan dalam tafarrudnya tersebut. Dalam riwayat Ahmad mengandung lafadh marfu’, sedangkan dalam riwayat Inu Abi Syaibah tidak.<br /><br />Saya rasa, itu saja komentar saya. <br /><br />Dan perlu saya ulagi, saya memang telah keliru dalam hal hadits Ibnuz-Zubair karena hanya mengandalkan copas dari terjemahan Lidwa tanpa crosscheck seperlunya. Dan ini menandakan kekurangcermatan saya untuk yang kesekian kalinya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-87168705420036434192010-12-15T15:06:11.287+07:002010-12-15T15:06:11.287+07:00Mengenai anggapannya bahwa ia telah menjawab cacat...Mengenai anggapannya bahwa ia telah menjawab cacat tafarrud, apa si sebenarnya yang ia jawab ? Bukanlah ia berputar-putar pada klaim ‘ketsiqahan’ pada Zaid bin Al-Hubaab ?. Dia ngaku nggak kalau Zaid bin Al-Hubaab itu bertafarrud pada tambahan perkataan selain yang ia riwayatkan bersama dengan ‘Ali bin Al-Husain ? Kalau nggak ngaku ya kebangetan, karena itu fakta. Seandainya ngaku, lantas hal apa yang menguatkan hadits itu ? Karena ‘ketsiqahan’ Zaid bin Al-Hubbaab ?. Klaim ini saja sudah bermasalah. Saya tidak akan mengulangi apa yang telah saya tuliskan di atas. Yang pokok, apa hujjah dia menguatkan riwayat tafarrud Zaid bin Al-Hubbaab yang merupakan tingkatan shigharu atbaa’it-taabi’iin ?. Akhirnya, lagi-lagi, kembali pada klaim ‘ketsiqahan’. Sejak kapan tafarrud itu tidak bernilai cacat.<br /><br />Saya ajak para Pembaca memahami. Secara akal adalah sulit diterima ada satu riwayat marfu’ yang diriwayatkan oleh seseorang yang jauh masanya dari Nabi (mungkin ratusan tahun), yang tidak diriwayatkan oleh yang lain. Betapapun tsiqahnya orang tersebut (semisal Ad-Daaruquthniy, Al-Haakim, Al-Baihaqiy, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya dari kalangan ulama hadits masyhur), namun tafarrudnya tetap tidak diterima jika jaraknya terlalu jauh dari masa kenabian. Jika tidak demikian, lantas dimana ratusan bahkan ribuan orang ulama dan pencari hadits sebelum dia ?. Inilah yang menjadi fokus dalam bahasan tafarrud riwayat dilihat dari thabqah perawi hadits.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-20678760107124612252010-12-15T15:01:27.354+07:002010-12-15T15:01:27.354+07:00Taruhlah kita benar-benar bersandar dengan perkata...Taruhlah kita benar-benar bersandar dengan perkataan orang Syi’ah itu bahwa Imam Ahmad telah berhujjah dengan hadits di atas bahwa perkataan <i>aku tidak pernah meminumnya….dst</i> adalah milik Buraidah. Lantas, dimana letak keterangannya dari Imam Ahmad ? Dari peletakan bab pada hadits Buraidah ? Apakah itu cukup kuat mendukung hal tersebut ? Seandainya perkataan itu kita nisbatkan pada Mu’aawiyyah, apakah itu menjadi musykil ? Betapa banyak hadits yang hanya diletakkan dalam satu tempat saja (di satu shahabat), padahal shahabat lain juga mengatakannya ?. <br /><br />Hadits-hadits dalam kitab Musnad itu disusun berdasarkan penisbatan pada seorang shahabat. Termasuk hadits Jika riwayat itu disebutkan satu penisbatan kepada salah seorang shahabat, maka itu sudah cukup. Termasuk contoh hadits Qatadah dalam komentar sebelumnya. Ia dimasukkan kepada hadits Qataadah bukan berdasarkan asumsi-asumsi orang Syi’ah itu. Tidak lain, hadits itu dimasukkan dalam hadits Qataadah bin Milhaan karena riwayat itu ternisbat kepada Qataadah bin Milhaan. <br /><br />Makanya, yang ‘aneh’ adalah jika ada satu riwayat yang dinisbatkan kepada Musnad/hadits shahabat tertentu, namun ternyata shahabat itu tidak ada dalam riwayat. Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini. Kemungkinan bahwa riwayat itu sebagai penguat, adanya wahm dari Al-Imaam Ahmad (walau kita berat untuk mengatakannya), dan yang lainnya.<br /><br />Namun jika alasannya cuma : <i>Jika perkataan itu bukan milik Buraidah, namun miliki Mu’aawiyyah, tentu Imam Ahmad akan meletakkannya dalam Musnad/hadits Mu’aawiyyah</i>, maka ini tertolak. Tidak kuat. Orang Syi’ah itu tidak memahami apa dan bagaimana kitab Musnad itu disusun. Dan apa yang saya sebutkan dan sampaikan ini bukanlah ‘perkecualian’ sebagaimana angan-angannya.<br /><br />Sebagai info saja, selain Imam Ahmad, telah banyak imam-imam lain yang menyusun kitab serupa dengan Musnad Ahmad. Misal, Musnad ‘Abdurrahman bin ‘Auf (oleh Ahmad Al-Birtiy Al-Baghdadiy, w. 280 H), Musnad Abu Bakr Ash-Shiddiq (oleh Al-Marwadziy, w. 296 H), Musnad ‘Umar bin Al-Khaththaab (oleh Abu Bakr Al-Baghdadiy, w.348 H), sampai dari kalangan muta’akhkhiriin seperti Musnad Faathimah (oleh As-Suyuthiy), yang kesemuanya itu mengumpulkan riwayat yang ternisbatkan pada para shahabat tersebut. Tidak semua dalam riwayat kitab Musnad itu shahabat menyampaikan hadits marfu’, atau hal lain sebagaimana yang dikatakan oleh orang Syi’ah itu ketika memahami hadits-hadits dalam kitab Musnad.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-69697574461855830512010-12-15T14:56:39.046+07:002010-12-15T14:56:39.046+07:00حدثنا عبد الله ثنا محمد بن أبي بكر المقدمي حدثني أ...حدثنا عبد الله ثنا محمد بن أبي بكر المقدمي حدثني أبو معشر يعني البراء واسمه يوسف بن يزيد ثنا حرملة عن سعيد بن المسيب قال حج عثمان حتى إذا كان في بعض الطريق أخبر علي ان عثمان نهى أصحابه عن التمتع بالعمرة والحج فقال علي لأصحابه إذا راح فروحوا فأهل على أصحابه بعمرة فلم يكلمهم عثمان فقال علي رضى الله تعالى عنه ألم أخبر أنك نهيت عن التمتع ألم يتمتع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فما أدرى ما أجابه عثمان رضى الله تعالى عنه<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Bakr Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepadaku Mi’syar – yaitu Al-Barraa’, namanya Yuusuf bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Harmalah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Utsman berangkat melaksanakan haji, ketika sampai di pertengahan jalan, sampailah berita kepada Ali bahwa Utsman melarang para sahabatnya dari melaksanakan haji Tamattu' dengan Umrah dan Haji, maka Ali berkata kepada para sahabatnya; "Apabila dia berangkat, maka berangkatlah kalian, " kemudian Ali dan para sahabatnya berniat dengan Umrah, maka Utsman tidak berbicara dengan mereka, lalu Ali berkata; "Bukankah telah diberitakan bahwa kamu melarang dari melaksanakan haji tamattu'? Bukankah Rasulullah melaksanakan haji tamattu'?" Sa'id Bin Al Musayyib berkata; "Dan aku tidak tahu apa jawaban Utsman".<br /><br />Riwayat ini ada dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan, padahal perkataan riwayat marfu’ dalam hadits ini adalah ‘Aliy bin Abi Thaalib. <br /><br />Catatan : Dalam riwayat lain, disebutkan perkataan ‘Utsmaan yang marfu’ dan adanya dialog antara mereka berdua. Akan tetapi fokus bahasan ini adalah peletakan hadits dengan lafadh ini dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan oleh ‘Abdullah sebagai tambahan atas Musnad ayahnya.<br /><br />[jadi, jangan didisanggah dengan adanya syaahid atau riwayat lain, karena ini merupakan bahasan tartib hadits berdasarkan sanad dan matannya itu sendiri].<br /><br /><br />حَدَّثَنَا يَعْمَرُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ سِنَانَ بْنَ أَبِي سِنَانٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَائِمًا فِي قَصَصِهِ إِنَّ أَخًا لَكُمْ كَانَ لَا يَقُولُ الرَّفَثَ يَعْنِي ابْنَ رَوَاحَةَ قَالَ وَفِينَا رَسُولُ اللَّهِ يَتْلُو كِتَابَهُ إِذَا انْشَقَّ مَعْرُوفٌ مِنْ اللَّيْلِ سَاطِعُ يَبِيتُ يُجَافِي جَنْبَهُ عَنْ فِرَاشِهِ إِذَا اسْتَثْقَلَتْ بِالْكَافِرِينَ الْمَضَاجِعُ أَرَانَا الْهُدَى بَعْدَ الْعَمَى فَقُلُوبُنَا بِهِ مُوقِنَاتٌ أَنَّ مَا قَالَ وَاقِعُ<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Ya’mar bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar Sinaan bin Abi Sinaan berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata sambil berdiri menceritakan kisahnya sambil bersyi’ir : <br /><br /><i>'Saudara kalian (Ibnu rawahah maksudnya) tidak mengucapkan rafats (perkataan jelek). <br /><br />Bahkan dia berkata 'Di antara kita ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membaca kitabnya’. <br /><br />Saat malam merekah terang. <br /><br />Ia bermalam dengan menjauhkan punggungnya dari tempat tidurnya, saat tempat tidur terasa berat bagi orang-orang kafir. <br /><br />(Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam) memperlihatkan petunjuk kepada kita. <br /><br />Yang karenanya hati kita menjadi yakin, setelah nyata apa yang diucapkannya musti terjadi”</i>.<br /><br />Imam Ahmad cukup menjadikan penisbatan sajak/syi’ir Abu Hurairah yang memuji ‘Abdullah bin Rawaahah dalam hadits ‘Abdullah bin Rawaahah. Padahal, ini murni perkataan Abu Hurairah. <br /><br />[catatan : perkataan ‘Abdullah bin Rawahah dalam hadits di atas merupakan perkataan pujian Abu Hurairah dalam syi’ir bahwasannya ia jauh dari perkataan yang jelek dan lisannya selalu berada dalam ketaatan, bukan perkataan yang sebenarnya sebagaimana dalam periwayatan]. <br /><br />Riwayat ini tidak dijumpai dalam Musnad/Hadits Abi Hurairah.<br /><br />Dan yang lainnya……<br /><br />-----Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-22984411794670621992010-12-15T14:50:49.773+07:002010-12-15T14:50:49.773+07:004. Kadang Al-Imaam Ahmad menisbatkan satu hadits k...4. Kadang Al-Imaam Ahmad menisbatkan satu hadits kepada seseorang, padahal hadits itu tidak tepat-tepat betul ternisbatkan kepadanya. Contoh :<br /><br />حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن سلمة بن كهيل قال سمعت محمد بن عبد الرحمن يحدث عن عبد الرحمن بن يزيد عن الأشتر قال كان بين عمار وبين خالد بن الوليد كلام فشكاه عمار إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم انه من يعاد عمارا يعاده الله عز وجل ومن يبغضه يبغضه الله عز وجل ومن يسبه يسبه الله عز وجل فقال سلمة هذا أو نحوه<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdirrahmaan menceritakan hadits dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid, dari Al-Asyrat, ia berkata : Antara ‘Ammaar dan Khaalid bin Al-Waliid pernah terjadi percekcokan. Lalu ‘Ammaar mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memusuhi 'Ammar, niscaya Allah Azzawajalla memusuhinya. Barangsiapa membuat marah 'Ammar, Allah Azza wajalla akan membuat dia marah. Barangsiapa yang mencelanya niscaya Allah Azza wa jalla akan mencelanya". Lalu Salamah berkata; demikian atau semisalnya”.<br /><br />Imam Ahmad memasukkannya dalam hadits Yaziid dari Al-‘Awwaam. Namun yang dhahir, hadits itu sebenarnya milik ‘Ammaar bin Yaasir. Dialah periwayat yang bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sabda Nabi pun berkenaan dengannya.<br /><br />5. Kadang Imam Ahmad memasukkan satu riwayat kepada hadits seseorang shahabat walaupun shahabat tersebut tidak mengucapkan satu perkataan pun. Contoh :<br /><br />حدثنا عبد الله حدثني سفيان بن وكيع حدثني قبيصة عن أبي بكر بن عياش عن عاصم عن أبي وائل قال قلت لعبد الرحمن بن عوف كيف بايعتم عثمان وتركتم عليا رضى الله تعالى عنه قال ما ذنبي قد بدأت بعلي فقلت أبايعك على كتاب الله وسنة رسوله وسيرة أبي بكر وعمر رضى الله تعالى عنهما قال فقال فيما استطعت قال ثم عرضتها على عثمان رضى الله تعالى عنه فقبلها<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku Sufyaan bin Wakii’ : Telah menceritakan kepadaku Qabiishah, dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Aashim, dari Abu Waail, ia berkata : Aku berkata kepada Abdurrahman Bin Auf : "Bagaimana kamu membai'at utsman dan meninggalkan Ali ?". Ia menjawab : "Apa dosaku, aku telah memulainya kepada Aliy dan aku katakan : 'Aku berbai'at kepadamu berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, jejak Abu Bakar dan Umar". ‘Abdurrahman berkata : "Akan tetapi Ali menjawab : "Dalam hal yang aku mampu". ‘Abdurrahman berkata : "Kemudian Aku tawarkan kepada Utsman dan dia menerimanya."<br /><br />Hadits ini dimasukkan dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan, padahal ia berisi dialog antara Abu Waail dengan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf. Tidak ada nukilan perkataan ‘Utsmaan. Yang ada, hanyalah nukilan (penghikayatan) perkataan ‘Utsmaan, sebagaimana diceritakan ‘Abdurrahmaan.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-12693310241596996722010-12-15T14:44:21.816+07:002010-12-15T14:44:21.816+07:001. Tidak setiap riwayat yang ada di Musnad Ahmad i...1. Tidak setiap riwayat yang ada di Musnad Ahmad itu marfu’ (walau kitab itu dinamakan ‘al-musnad’). Contoh :<br /><br />حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع حدثتني أم غراب عن بنانة قالت ما خضب عثمان قط<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepadaku Ummu Ghuraab, dari Bunaanah, ia berkata : “’Utsmaan sama sekali tidak pernah mencelup/mewarnai rambutnya”.<br /><br />2. Tidak setiap riwayat yang dinisbatkan sebagai hadits salah seorang shahabat merupakan manthuq yang tertulis dalam riwayat. Sebab, kadangkala Imam Ahmad berijtihad dengan menisbatkan satu riwayat kepada salah seorang shahabat, padahal dalam riwayat itu sendiri tidak ada keterangan yang menjelaskannya. Contoh :<br /><br />حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد قال ثنا أبان وعبد الصمد قال ثنا هشام عن يحيى عن أبي جعفر عن عطاء بن يسار عن بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال بينما رجل يصلي وهو مسبل إزاره إذ قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اذهب فتوضأ قال فذهب فتوضأ ثم جاء فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اذهب فتوضأ قال فذهب فتوضأ ثم جاء فقال ما لك يا رسول الله ما لك أمرته يتوضأ ثم سكت قال انه كان يصلي وهو مسبل إزاره وان الله عز وجل لا يقبل صلاة عبد مسبل إزاره<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abaan dan ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa, dari Abu J’far, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Ketika ada seorang yang shalat dalam keadaan isbal (memanjangkan kainnya sampai bawah mata kaki) pada sarungnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Pergi dan berwudlulah". Lalu orang itu pergi dan berwudlu, lalu datang lagi. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Pergi dan berwudlulah." Lalu orang itu kembali dia pergi dan berwudlu, kemudian datang. Salah seorang shahabat bertanya : “Kenapa engkau wahai Rasulullah, kenapa anda memerintahkannya untuk berwudlu kemudian anda diam?. Beliau menjawab, "Dia shalat sedangkan dia dalam keadaan musbil sarungnya, sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menerima shalat seorang hamba yang sarungnya isbal".<br /><br />Hadits ini dimasukkan dalam hadits Hayyah At-Tamimiy dan hadits Syaikh dari Bani Saliith. Tidak ada keterangan dalam hadits di atas siapa shahabat yang shalat sambil berisbal itu. Ini adalah contoh ijtihad dari Imam Ahmad. Dan point ijtihad ini saya ambil faedah dari perkataan Syaikh Ahmad Syaakir. <br /><br />Satu hadits dinisbatkan pada dua tempat yang berbeda. Sebagai info, Hayyah bukan berasal dari Bani Saliith, tapi dari Bani Tamiim, inilah yang raajih. wallaahu a’lam.<br /><br />3. Kadangkala, Imam Ahmad memasukkan hadits kepada salah seorang shahabat, namun tidak pada shahabat yang lainnya dalam Musnad-nya, padahal hadits tersebut berbicara tentang beberapa orang shahabat (dalam porsi seimbang). Contoh :<br /><br />حدثنا عبد الله حدثني أبي قال حدثني الصلت بن مسعود الجحدري قال ثنا محمد بن عبد الرحمن الطفاوي قال خرج أبو الغادية وحبيب بن الحرث وأم الغادية مهاجرين إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأسلموا فقالت المرأة أوصني يا رسول الله قال إياك وما يسوء الأذن<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ash-Shult bin Mas’uud Al-Jahdariy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ath-Thufaawiy, ia berkata : “Abul-Ghadiyyah, Habiib bin Al-Haarits, dan Ummul-Ghaadiyyah, keluar berhijrah menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mereka masuk Islam. Seorang wanita berkata : “Berikanlah aku wasiat wahai Rasulullah”. Beliau menjawab : “Hindarilah sesuatu yang mengganggu telinga”.<br /><br />Imam Ahmad memasukkan riwayat ini dalam hadits Abul-Ghaadiyyah radliyallaahu ‘anhu. Padahal, shababat ada tiga, dan imam Ahmad hanya menisbatkannya pada hadits Abul-Ghaadiyyah.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-1323813444575359422010-12-15T14:36:00.657+07:002010-12-15T14:36:00.657+07:00Terima kasih. Saya terima kritikannya tentang hadi...Terima kasih. <b>Saya terima kritikannya</b> tentang hadits Ibnuz-Zubair. Dan itu memang kecerobohan saya yang hanya mengcopas dari Lidwa tanpa meneliti ulang, hanya sedikit saya perbaiki kalimatnya saja. Namun bukan berarti itu menunjukkan keshahihan apa yang dikatakannya, atau mengatakan bahwa saya hanya mencari-cari pengecualian. <br /><br />Orang Syi’ah itu katakan bahwa jika Imam Ahmad memasukkan salah satu hadits ke dalam hadits salah seorang shahabat, <b>maka menunjukkan bahwa shahabat itu perawi hadits tersebut atau secara makna melakukan perbuatan yang ia nisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam</b>.<br /><br />Terlalu miskin jika kita membatasi hadits-hadits dalam Al-Musnad hanya seperti yang ia katakan.<br /><br />Saya tidak menyangkal itu, tapi itu bukan pembatas sebagaimana telah saya katakan sebelumnya secara makna. [dan jika orang Syi’ah itu ngotot dengan pengetahuannya itu, maka saya pingin tahu darimana ia mendapatkan keterangan itu ? dari penjelasan ulama atau dari ‘ijtihadnya’ ?]. Kitab Musnad Ahmad itu disusun <b>bukan</b> berdasarkan periwayatan shahabat yang membawakan hadits marfu’ sampai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang dinamakan kitab Musnad itu adalah kitab yang di susun berdasarkan nama shahabat dengan hadits-hadits yang sampai kepadanya (baik itu marfu’ ataupun mauquf). Baik ia sendiri yang meriwayatkannya atau orang lain yang meriwayatkannya yang kemudian disandarkan kepadanya. Ini namanya kitab Musnad. Para ulama berbeda-beda dalam metode penyusunan kitab Musnad, walau dalam garis besar seperti itu. Kalaupun ada riwayat marfu’ yang kemudian dimasukkan Imam Ahmad dalam hadits salah seorang shahabat, maka itu bukan berarti shahabat itu pasti yang meriwayatkan atau ia melakukan sesuatu yang ia nisbatkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini harus dikembalikan kepada riwayat itu sendiri, karena ini adalah kitab Musnad. Namun saya juga tidak mengingkari bahwa riwayat itu sebagian besarnya memang milik shahabat dimaksud (tentunya dengan melihat riwayat itu sendiri).<br /><br />Saya akan bawakan beberapa hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad yang lain (dan insya Allah ini telah saya cek ulang) - saya ambil secara acak saja beberapa variasi periwayatan dalam Musnad Ahmad :Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-78423690963993726792010-12-14T08:46:04.771+07:002010-12-14T08:46:04.771+07:00Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anoni...<b> Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anonim) cernati perkataan orang Syi’ah yang membingungkan ini. Dan kemudian hubungkan dengan apa yang saya katakan dalam artikel di atas dan juga dalam komentar. Orang Syi’ah ini memang tidak paham dengan naqd riwayat dari sisi sanad yang saya tuliskan, terutama dari sisi Zaid bin Al-Hubaab ini. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dijadikan bahan kritikan dari perkataannya di atas. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar untuk itu. </b><br /><br />Aneh sekali, setelah dijelaskan panjang lebar masih juga tidak paham. Mungkin ada baiknya kami menyarankan agar ia membaca dengan baik berbagai perkataan Imam Ahmad mengenai Zaid bin Hubab. Diantaranya ia akan menemukan kalau Ahmad bin Hanbal terkadang menerima hadis dari Zaid bin Hubab dan terkadang meninggalkannya. Nah apa yang ditinggalkan Ahmad bin Hanbal dari riwayat Zaid bin Hubab maka riwayat-riwayat itulah yang masuk ke dalam lingkup jarh-nya “banyak salah” sedangkan apa yang ia terima atau ia tulis dari Zaid bin Hubab maka riwayat itu baik menurut Ahmad bin Hanbal.<br /><br /> <b> Coba sampakan kepadanya, bahwa kritik sanad ini adalah karena tafarrud riwayat marfu’ Zaid bin Al-Hubbaab. Ia sendiri tergolong shighaaru at-baa’it-taabi’iin. Kredibilitasnya sendiri bukan seorang huffadh kabiir sebagaimana Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisal. Ia pun dikritik dari segi hapalannya. Riwayat hadits yang ia bawakan adalah tingkat pertengahan, bukan tingkat atas, apalagi paling atas (dalam keshahihan).<br /><br /> Apakah memang ia terlalu awam dalam bahasan penolakan tafarrud yang dipandang dari thabaqah perawi hadits ?. Atau mungkin ia belum pernah membaca bahasan tafshil tafarrud dalam mushthalah hadits ?. </b><br /><br />Ok anggap saja kami awam tetapi sebelumnya silakan salafy itu meluangkan sedikit waktu untuk membaca ulang tulisan kami. Maaf kalau saja salafy nashibi itu tidak sibuk asal membantah maka ia akan melihat dengan jelas bahwa kami telah membahas dan membantah soal klaim tafarrud yang ia katakan. Silakan lihat kembali di tulisan kami jelas-jelas kami bahas secara khusus. Hanya saja salafy nashibi ini memang tidak bisa membaca dengan baik, ia hanya sibuk dengan pembelaannya saja. Sungguh kasihan kasihan kasihan<br /><br />-----selesai kutipan -------<br /><br />NB: yg ana bold adalah perkataan antum.<br /><br />silahkan di sanggah, shngga ini berfaidah ilmu bagi kami.<br /><br />baarokallohu fiikAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-81887743509955103162010-12-14T08:43:24.839+07:002010-12-14T08:43:24.839+07:00Jadi kami tidak perlu bersusah-susah menjelaskan. ...Jadi kami tidak perlu bersusah-susah menjelaskan. Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini ke dalam hadis Ibnu Zubair karena yang menisbatkan lafaz marfu’ tersebut adalah Ibnu Zubair dan Mush’ab memang meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair [walaupun sebenarnya riwayatnya mursal].<br /><br />Jadi dengan dua contoh yang dikemukakan salafy itu bukanlah pengecualian bagi kaidah yang kami jadikan hujjah. Jika Imam Ahmad memasukkan suatu hadis ke dalam hadis salah seorang sahabat maka di dalam hadis tersebut terdapat perkataan sahabat tersebut atau secara makna hadis itu menunjukkan kalau sahabat tersebut adalah perawi yang merawikan hadis atau melakukan perbuatan yang ia nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-26575368884872172762010-12-14T08:42:52.735+07:002010-12-14T08:42:52.735+07:00Bukti yang jelas adalah tampak dalam riwayat Abu D...Bukti yang jelas adalah tampak dalam riwayat Abu Dawud<br /><br />حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، قَالَ : ” قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ الْحَكَمِ<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak : telah menceritakan kepada kami Mush’ab bin Tsabit dari ‘Abdullah bin Zubair yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim [Sunan Abu Dawud no 3118]<br /><br />Jadi kalau menurut salafy nashibi itu hadis tersebut adalah hadis Sa’id dan matannya menunjukkan tidak ada dalam sunnah Rasul kalau dua orang bersengketa duduk di hadapan hakim. Padahal justru yang menjadi sunnah Rasul dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim dan itu berdasarkan hadis Ibnu Zubair.<br /><br />Sebenarnya maksud perkataan Ibnu Zubair “tidak” ketika dipanggil Sa’id adalah ia menolak kalau Sa’id memisahkan antara dirinya dengan saudaranya karena seharusnya mereka berdua duduk dihadapan Sa’id sebagai penengah atau hakim dalam masalah ini. Inilah sunnah Rasul menurut Ibnu Zubair.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-20185032930017136862010-12-14T08:42:28.208+07:002010-12-14T08:42:28.208+07:00Mengenai hadis ini salafy itu dengan angkuh berkat...Mengenai hadis ini salafy itu dengan angkuh berkata<br /><br /> <b> Hadits di atas diletakkan Imam Ahmad dalam Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair. Padahal, tidak ada satu pun perkataan ‘Abdullah bin Az-Zubair di dalamnya. Yang menyampaikan perkataan marfu’ dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Apakah menurut logika orang Syi’ah itu Imam Ahmad telah salah dalam meletakkan hadits ini dalam bab : Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair, yang seharusnya terletak pada Hadiits Sa’iid bin Al-‘Aash ?. Ingat, ‘Abdullah bin Az-Zubair di sini hanyalah sebagai objek pasif yang diceritakan oleh Mush’ab bin Tsaabit. </b><br /><br />Sayang sekali salafy nashibi itu keliru, hadis di atas adalah hadis Ibnu Zubair, yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah adalah Ibnu Zubair bukan Sa’id bin Al ‘Ash. terjemahan yang benar [setidaknya menurut anggapan kami]<br /><br />Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, [Ibnu Zubair] berkata “tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim”.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-37323329652691227352010-12-14T08:41:36.863+07:002010-12-14T08:41:36.863+07:00Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy terse...Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy tersebut maka dapat diketahui bahwa hadis tersebut adalah ucapan Al ‘Alaa bin Umair tentang Qatadah. Al ‘Alaa bin Umair [yang sebenarnya Abu 'Alaa bin Umair] bukan seorang sahabat maka ucapannya mursal dari sisi ini maka kami dengan jelas menyatakan itu bukan hadis Qatadah bin Milhaan.<br /><br />Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam hadis Qatadah bisa jadi dengan dua alasan<br /><br /> Ahmad bin Hanbal menduga ucapan ‘Alaa bin Umair itu berasal dari Qatadah bin Milhaan karena tampak ia seorang yang dekat dengan Qatadah dan meriwayatkan hadis darinya.<br /> Ahmad bin Hanbal memandang bahwa dalam hadis tersebut Qatadah adalah orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam arti Beliau telah mengusap wajah Qatadah.<br /><br />Anehnya hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy tersebut mengingat hadis Buraidah di atas [tulisan di atas] jelas sangat berbeda dengan kasus ini. Jika salafy menganggap bahwa yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muawiyah maka sudah jelas hadis itu akan dimasukkan Imam Ahmad ke dalam Musnad Muawiyah tetapi faktanya tidak. Imam Ahmad memasukkan hadisnya ke dalam hadis Buraidah maka yang dimaksud Imam Ahmad adalah yang menisbatkan lafal marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Buraidah.<br /><br />Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-31355808928029753262010-12-14T08:41:04.726+07:002010-12-14T08:41:04.726+07:00Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy terse...Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy tersebut maka dapat diketahui bahwa hadis tersebut adalah ucapan Al ‘Alaa bin Umair tentang Qatadah. Al ‘Alaa bin Umair [yang sebenarnya Abu 'Alaa bin Umair] bukan seorang sahabat maka ucapannya mursal dari sisi ini maka kami dengan jelas menyatakan itu bukan hadis Qatadah bin Milhaan.<br /><br />Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam hadis Qatadah bisa jadi dengan dua alasan<br /><br /> Ahmad bin Hanbal menduga ucapan ‘Alaa bin Umair itu berasal dari Qatadah bin Milhaan karena tampak ia seorang yang dekat dengan Qatadah dan meriwayatkan hadis darinya.<br /> Ahmad bin Hanbal memandang bahwa dalam hadis tersebut Qatadah adalah orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam arti Beliau telah mengusap wajah Qatadah.<br /><br />Anehnya hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy tersebut mengingat hadis Buraidah di atas [tulisan di atas] jelas sangat berbeda dengan kasus ini. Jika salafy menganggap bahwa yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muawiyah maka sudah jelas hadis itu akan dimasukkan Imam Ahmad ke dalam Musnad Muawiyah tetapi faktanya tidak. Imam Ahmad memasukkan hadisnya ke dalam hadis Buraidah maka yang dimaksud Imam Ahmad adalah yang menisbatkan lafal marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Buraidah.<br /><br />حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنِي مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ عَمْرِو بْنِ الزُّبَيْرِ خُصُومَةٌ فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَعَمْرُو بْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ عَلَى السَّرِيرِ فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ<br /><br />Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-41181077626639660132010-12-14T08:40:23.339+07:002010-12-14T08:40:23.339+07:00sambung lg ust, in sanggahan dr SP atas tanggapan ...sambung lg ust, in sanggahan dr SP atas tanggapan antum diatas :<br /><br />Ada sedikit tanggapan dari salafy yang dimaksud. Sayang sekali seperti biasa tanggapannya terkesan meluas ke mana-mana dan maaf banyak mengandung kekeliruan. Ia berkata<br /><br /><b> Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. Namun tidak semua seperti itu. Ada beberapa contohnya jika ia tidak malas mencari. Misalnya hadits : </b><br /><br />Ini salah satu contoh taktik salafy nashibi dalam berhujjah. Ia berusaha menafikan kaidah umum dengan contoh-contoh yang ia anggap sebagai pengecualian padahal anggapannya itu berdasarkan pemahaman yang keliru. Mari kita bahas contoh yang ia maksud<br /><br />حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ وَحَدَّثَ أَبِي عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ قَتَادَةَ بْنِ مِلْحَانَ حِينَ حُضِرَ فَمَرَّ رَجُلٌ فِي أَقْصَى الدَّارِ قَالَ فَأَبْصَرْتُهُ فِي وَجْهِ قَتَادَةَ قَالَ وَكُنْتُ إِذَا رَأَيْتُهُ كَأَنَّ عَلَى وَجْهِهِ الدِّهَانَ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى وَجْهِهِ<br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata : Dan ayahku telah menceritakan dari Al-’Alaa` bin ‘Umair, ia berkata : “Aku pernah bersama Qataadah bin Milhan ketika ia tengah sekarat. Lalu, lewatlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Al-’Alaa` berkata : “Kulihat wajah Qatadah.” Katanya lagi : “Ketika aku melihatnya, seakan-akan ada kilapan minyak di wajahnya”. Katanya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah mengusap wajahnya”.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-48379960473341009812010-12-11T17:58:38.779+07:002010-12-11T17:58:38.779+07:00Agar tidak terjadi miss understanding terhadap per...Agar tidak terjadi miss understanding terhadap perkataan saya :<br /><br /><i>Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan</i>.<br /><br />Maka ini maksudnya karena hal itu telah sangat jelas terlihat dalam dhahir riwayat bahwa si Fulaan adalah yang meriwayatkannya atau mengatakannya. Misalnya (saya ambil dalam bab <i>Hadiits Buraidah Al-Aslaamiy</i>) :<br /><br />حدثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر وعمر وعثمان رضى الله تعالى عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد<br /><br />Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Al-Hasan : telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Buraidah, <b>dari ayahnya</b> : ".....(al-hadits)...".<br /><br />حدثناعلي بن الحسن يعني بن شقيق ثنا الحسين بن واقد ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر <br /><br />Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Al-Hasan, yaitu Ibnu Syaqiiq : telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Waaqid : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Buraidah, <b>dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda</b> : ".....(al-hadits)...". <br /><br />Dan yang semisal dengan dua hadits di atas. <br /><br />Oleh karenanya, sangat penting kiranya kita mengetahui manhaj Imam Ahmad dalam tartib hadits, sebagaimana penting juga kita mengetahui manhaj Imam Ahmad dalam pengambilan riwayat pada kitabnya (Al-Musnad).Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-33268272974421427292010-12-11T17:46:51.035+07:002010-12-11T17:46:51.035+07:00Contoh lain :
حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ ق...Contoh lain :<br /><br />حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنِي مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ عَمْرِو بْنِ الزُّبَيْرِ خُصُومَةٌ فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَعَمْرُو بْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ عَلَى السَّرِيرِ فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ<br /><br />Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya 'Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa'id bin Al-'Aash yang ketika itu 'Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa'id berkata kepada Abdullah bin Zubair : "Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya".<br /><br />Hadits di atas diletakkan Imam Ahmad dalam <i>Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair</i>. Padahal, <b>tidak ada satu pun</b> perkataan ‘Abdullah bin Az-Zubair di dalamnya. Yang menyampaikan perkataan marfu’ dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Apakah menurut logika orang Syi’ah itu Imam Ahmad telah salah dalam meletakkan hadits ini dalam bab : <i>Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair</i>, yang seharusnya terletak pada <i>Hadiits Sa’iid bin Al-‘Aash</i> ?. Ingat, ‘Abdullah bin Az-Zubair di sini hanyalah sebagai objek pasif yang diceritakan oleh Mush’ab bin Tsaabit.<br /><br />Dan yang lainnya masih banyak.<br /><br />Mengenai perkataannya :<br /><br /><i> Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima. </i>.<br /><br />Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anonim) cernati perkataan orang Syi’ah yang membingungkan ini. Dan kemudian hubungkan dengan apa yang saya katakan dalam artikel di atas dan juga dalam komentar. Orang Syi’ah ini memang tidak paham dengan naqd riwayat dari sisi sanad yang saya tuliskan, terutama dari sisi Zaid bin Al-Hubaab ini. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dijadikan bahan kritikan dari perkataannya di atas. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar untuk itu. <br /><br />Coba sampakan kepadanya, bahwa kritik sanad ini adalah karena tafarrud riwayat marfu’ Zaid bin Al-Hubbaab. Ia sendiri tergolong shighaaru at-baa’it-taabi’iin. Kredibilitasnya sendiri bukan seorang huffadh kabiir sebagaimana Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisal. Ia pun dikritik dari segi hapalannya. Riwayat hadits yang ia bawakan adalah tingkat pertengahan, bukan tingkat atas, apalagi paling atas (dalam keshahihan). <br /><br />Apakah memang ia terlalu awam dalam bahasan penolakan tafarrud yang dipandang dari thabaqah perawi hadits ?. Atau mungkin ia belum pernah membaca bahasan tafshil tafarrud dalam mushthalah hadits ?.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-63847429499948273462010-12-11T17:34:45.179+07:002010-12-11T17:34:45.179+07:00Terima kasih atas penyampaian komentarnya.
Tentan...Terima kasih atas penyampaian komentarnya.<br /><br />Tentang masalah penisbatan perkataan <i> Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW</i>; bahwa menurut orang Syi’ah itu hadits dalam bahasan ini diletakkan Imam Ahmad pada bagian <i>Hadiits Buraidah Al-Aslamiy</i>, maka sudah barang tentu menurut Imam Ahmad pemiliknya adalah Burairah. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari nukilan Anda di atas.<br /><br />Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : <i>Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu</i>, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. <b>Namun tidak semua seperti itu</b>. Ada beberapa contohnya jika ia tidak malas mencari. Misalnya hadits :<br /><br />حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ وَحَدَّثَ أَبِي عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ قَتَادَةَ بْنِ مِلْحَانَ حِينَ حُضِرَ فَمَرَّ رَجُلٌ فِي أَقْصَى الدَّارِ قَالَ فَأَبْصَرْتُهُ فِي وَجْهِ قَتَادَةَ قَالَ وَكُنْتُ إِذَا رَأَيْتُهُ كَأَنَّ عَلَى وَجْهِهِ الدِّهَانَ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى وَجْهِهِ <br /><br />Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata : Dan ayahku telah menceritakan dari Al-'Alaa` bin 'Umair, ia berkata : “Aku pernah bersama Qataadah bin Milhan ketika ia tengah sekarat. Lalu, lewatlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Al-'Alaa` berkata : "Kulihat wajah Qatadah." Katanya lagi : "Ketika aku melihatnya, seakan-akan ada kilapan minyak di wajahnya". Katanya : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dulu pernah mengusap wajahnya".<br /><br />Hadits ini dimasukkan Imam Ahmad pada : <i>Hadiits Qataadah bin Milhaan radliyallaahu ‘anhu</i>. <br /><br />Tidak ada satupun perkataan Qataadah di sini. Qataadah hanyalah sebagai objak yang diceritakan saja (pasif).Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-43713622187344279392010-12-11T11:07:06.855+07:002010-12-11T11:07:06.855+07:00ada tambahan dr SP di artikel yg antum bantah ust ...ada tambahan dr SP di artikel yg antum bantah ust :<br /><br />Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya. Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah. Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan perkataan Muawiyah.<br /><br />Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy. Buktinya dapat anda lihat disitus ini<br /><br />http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=270&CID=148#s4<br /><br />sekarang perhatikan kembali hadis di atas.<br />ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني<br /><br />Yang kami cetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad tersebut maka<br /><br /> * Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah<br /> * Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy<br /> * Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah<br /><br />Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.<br /><br />Diantara perkataan salafy lainnya yang menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.<br /><br />Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.<br /><br />Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja tambahan singkat dari kami.<br /><br />Silahkan bila ingin ditampilkan dan sekaligus di sanggah.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-38092729572115771112010-12-06T18:53:44.252+07:002010-12-06T18:53:44.252+07:00Benar,... kalau antum perhatikan bahwa sebenarnya ...Benar,... kalau antum perhatikan bahwa sebenarnya fokus pertama pelemahan itu ada bahasan <b>tafarrud</b> Zaid bin Hubbaab. Khususnya pada lafadh marfu'-nya (karena lafadh inilah yang dijadikan fokus utama untuk menyorot Mu'aawiyyah). Berbedanya riwayat Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah sudah layak dianggap sebagai satu keraguan dari Zaid bin Hubaab, sebagaimana kata antum.<br /><br />Adapun bahasan selanjutnya (dalam artikel di atas) adalah bahasan tentang isi riwayat itu sendiri yang tidak layak dijadikan hujjah, khususnya jika kita bandingkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah.<br /><br />Terima kasih atas tambahannya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.com