08 Maret 2020

Fitnah Nasab


Penjajahan Belanda memberikan pengaruh besar bagi bangsa Indonesia hingga struktur DNA-nya. Hampir 75 tahun bangsa kita merdeka dari mereka, namun peninggalan mereka belum juga binasa oleh jalannya roda zaman. Terutama, bagaimana mereka membangun strata sosial berbasis keturunan dan jabatan. Terbentuklah kemudian kalangan ndoro-ndoro yang biasanya petentang-petenteng, dan kawula alit yang punya kewajiban mengabdi melayani golongan pertama. Feodalisme. Sistem sosial yang menomorsekiankan prestasi dan produktivitas individu. Yang penting, situ anaknya siapa, keturunan siapa, dan jabatannya apa. Banyak fasilitas disediakan khusus untuk mereka dan ‘haram’ dicicipi kawula alit. Misalnya Eurospeesch Lagere School (ELS), sekolah setara SD yang diperuntukkan khusus bagi orang Belanda dan Eropa, serta pribumi golongan terpandang. Pribumi berduit kelas dua, disediakan Hollandsche Inlandsche School (HIS). Terakhir, pribumi rendahan kawulo alit di pedesaan - sekolahnya simbah saya dulu - Tweede Inlandsche School atau bahasa kerennya : Sekolah Ongko Loro, yang bisa melanjutkan ke sekolah rakyat atau Schakel School (dimana lulusannya setara dengan HIS). Ini adalah contoh kecil diskriminasi penerapan sistem feodalistik Belanda bagi bangsa Indonesia.

Feodalisme warisan Belanda kini banyak bermutasi dengan berbagai beragam bentuknya. Dalam dunia politik – katanya - , dikenal dengan politik keluarga. Mirip dengan monarki. Pemimpin partai didapatkan dari warisan keturunan keluarga. Keturunan bagaikan berlian. You know lah…. Dalam agama ada juga. Sistem kasta di agama tetangga. Celakanya, sistem ini direpro dan dilestarikan oleh sebagian orang dalam agama kita, Islam. Mereka membuat pengkelasan dalam masyarakat. Imbasnya, sebagian mereka minta dihormati secara berlebihan. Dikuatkan lagi dengan bumbu-bumbu dalil palsu  (baca : dongeng). Tempo hari, ada video viral oknum yang mengaku keturunan Nabi . Dengan sangat konyolnya dia membangga-banggakan keturunan dan nasab, dan seolah ingin mengatakan dirinya dan kelompoknya lebih mulia daripada kaum muslimin kebanyakan. Ada sisipan bualan garing yang membuat setiap penonton tertawa sekaligus sedih. Katanya, wanita paling jahat di dunia adalah wanita syarifah (keturunan Nabi ) yang menikah bukan dengan habib. Alasannya, memutuskan nasab. Ia dianggap sebagai wanita paling kurang ajar karena menghasilkan anak yang tidak diakui Nabi kelak di hari kiamat sebagai keturunannya. Wanita itu telah melakukan perbuatan yag diharamkan agama ? What ?!!.
Membantah bualan ini mudah saja. Kita lihat teladan salaf kita yang shalih dan kita sisihkan sejenak perkataan orang ini. Akan saya sebutkan beberapa contoh – diantara banyak contoh – wanita keturunan Nabi dari garis Faathimah yang menikah dengan laki-laki bukan dari kalangan ahli bait.
1.      Ummu Kultsuum bintu 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan ayahnya dengan 'Umar bin Al-Khaththaab yang notabene bukan berasal dari Bani Haasyim.
2.      Ummul-Husain bintu Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Abdullah bin Az-Zubair bin Al-'Awwaam [Ref : Nasabu Quraisy oleh Abu 'Abdillah Al-Mush'ab Az-Zubairiy, hal. 50].
3.      Ummu Salamah bintu Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Amru bin Al-Mundzir bin Az-Zubair bin Al-'Awwaam [idem].
4.      Ummu Kultsuum bintul-Husain bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Ismaa'iil bin 'Abdil-Malik bin Al-Haarits bin Al-Hakam bin 'Aash [idem, hal 51].
5.      Zainab bintu Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Al-Waliid bin 'Abdil-Malik bin Marwan Al-Umawiy [idem, hal. 52].
6.      Faathimah bintu Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Ayyuub bin Salamah bin 'Abdillah bin Al-Waliid bin Mughiirah bin 'Abdillah Al-Makhzuumiy [idem, hal. 52-53].
7.      Mulaikah bintu Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Ja'far bin Mush'ab bin Az-Zubair bin Al-'Awwaam [idem, hal. 53].
8.      Ummul-Qaasim bintu Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Marwaan bin Abaan bin 'Utsmaan bin 'Affaan [idem].
9.      Faathimah bintu Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Abu Bakr bin 'Abdil-Malik bin Marwan [idem].
10.   Sukainah bintu Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Mush'ab bin Az-Zubair bin Al-'Awwaam. Kemudian Mush'ab digantikan oleh 'Abdullah bin 'Utsmaan bin 'Abdillah bin Hakam bin Hizaam bin Khuwailid. Kemudian Mush'ab digantikan oleh Zaid bin 'Amru bin 'Utsmaan bin 'Affaan. Kemudian Zaid digantikan oleh Ibraahiim bin 'Abdirrahmaan bin 'Auf. Kemudian terakhir, Ibraahiim digantikan oleh Al-Ashbagh bin 'Abdil-'Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam [idem, hal. 59].
11.   Faathimah bintu Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Abdullah bin 'Amru bin 'Utsmaan Al-Umawiy [idem].
Rahimahumullah.
InsyaAllah saya masih bisa memberikan contoh yang lain. Akan tetapi, saya kira contoh di atas cukup bagi kita semua untuk mengetahui sikap salaf dari kalangan ahli bait yang berbeda dengan keyakinan orang tersebut. Kita patut bertanya : “Apakah mereka semua, keluarga ‘Aliy bin Abi Thaalib, Al-Hasan bin ‘Aliy, dan Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum telah membuat murka Allah dengan melakukan perkara yang diharamkan syari’at ? bermaksiat kepada-Nya ?”. Sungguh jauh mereka dari bualan orang itu….
Kita pun dapat mencontoh Nabi bagaimana beliau bersikap dan memandang kaum muslimin secara general.
Ketika Nabi ditanya siapakah laki-laki yang paling beliau cintai, beliau tidak menjawab 'Aliy bin Abi Thaalib yang notabene keluarga dekat beliau, suami dari anaknya (Faathimah) yang keturunannya kelak menjelang hari kiamat akan menjadi pemimpin bagi kaum muslimin (Al-Mahdi). Akan tetapi beliau menjawab Abu Bakr, lalu 'Umar radliyallaahu 'anhum.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aaisyah". Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththaab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3662].
Ini menunjukkan kecintaan hakiki dalam Islam bukan kecintaan karena nasab atau keturunan, akan tetapi karena iman dan taqwa. Dan itulah yang ada pada diri Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Begitu juga dengan kaum muslimin, siapapun diantara mereka yang paling bertaqwa, maka ia lah yang dicintai Nabi . Beliau pernah bersabda :
إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُونَ، مَنْ كَانُوا وَحَيْثُ كَانُوا.....
Sesungguhnya ahlul-baitku memandang bahwa mereka adalah orang yang paling berhak terhadapku. Padahal tidak seperti itu. Sesungguhnya wali-waliku di antara kalian adalah orang-orang yang bertaqwa, dimanapun mereka berada…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 212 & 1011, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiiir 20/120-121 no. 241; shahih].
Sabda beliau sejalan dengan firman Allah :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian " [QS. Al-Hujuraat : 13].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata tentang ayat di atas:
وفي هذه الآية ما يدلك على أن التقوى هي المراعى عند الله تعالى وعند رسوله دون الحسب والنسب
“Dan dalam ayat ini menunjukkan bahwa ketaqwaan adalah hal yang dipertimbangkan di sisi Allah ta’ala dan Rasul-Nya, bukan keturunan dan nasab” [Tafsir Al-Qurthubiy, 16/345].
Rasulullah bersabda dalam khuthbahnya saat Fathu Makkah:
أَمَا بَعْدَ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا النَّاسُ رَجُلانِ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى رَبِّهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى رَبِّهِ "، ثُمَّ تَلا: يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا حَتَّى قَرَأَ الآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: " أَقُولُ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ "
Ammaa ba’du. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan Jahiliyyah. Wahai sekalian manusia. Ada dua golongan manusia, yaitu (1) golongan yang baik, bertaqwa, dan mulia di sisi Rabb-Nya; serta (2) golongan yang fajir (jahat), celaka, dan hina di sisi Allah”. Kemudian beliau membaca ayat : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat : 13). Lalu beliau melanjutkan : “Aku katakan ini dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian semua” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3270, Ibnu Hibbaan no. 3228; dan yang lainnya; shahih].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata:
لا أَرَى أَحَدًا يَعْمَلُ بِهَذِهِ الآيَةِ: يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى، حَتَّى بَلَغَ: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ، فَيَقُولُ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: أَنَا أَكْرَمُ مِنْكَ، فَلَيْسَ أَحَدٌ أَكْرَمَ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِتَقْوَى اللَّهِ
“Aku tidak memandang seseorang mengamalkan ayat ini : ‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan – hingga : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian” (QS. Al-Hujuraat : 13), yaitu ketika seseorang berkata kepada orang lain : ‘Aku lebih mulia daripada dirimu’. Padahal tidaklah seseorang lebih mulia daripada orang lain kecuali dengan ketaqwaan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 333].
مَا تَعُدُّونَ الْكَرَمَ ؟ وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ الْكَرَمَ، فَأَكْرَمُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ، مَا تَعُدُّونَ الْحَسَبَ؟ أَفْضَلُكُمْ حَسَبًا أَحْسَنُكُمْ خُلُقًا
“Apa yang kalian nilai/perhitungkan dari kemuliaan itu ? Sungguh, Allah telah menjelaskan tentang kemuliaan. Orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Apa yang kalian nilai/perhitungkan dari keturunan ?. Yang paling utama keturunannya diantara kalian adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” [idem no. 899 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 334].
Adakah diantara kita yang ingin membangkitkan kembali slogan-slogan Jahiliyyah membangga-banggakan keturunan ?. Ada, kata Nabi sebagaimana dalam sabdanya:
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ
Ada empat perkara Jaahiliyyah dari umatku dan mereka belum meninggalkannya : Membanggakan keturunan, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah (meratapi mayit)…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 934].
Siapakah mereka ?. Silakan dijawab masing-masing.
Dalam pernikahan, faktor bagusnya agama seseorang menjadi pertimbangan utama bagi seorang wanita untuk menikah dengannya. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah , baik yang mengaku keturunan Nabi, raja, presiden maupun yang bukan - , maka baginya dosa dan bara'ah kaum muslimin terhadapnya sesuai kadar maksiat yang dilakukannya. Sangat tidak dianjurkan keluarga perempuan kita dinikahkan dengan orang sepertinya.
Saya contohkan Khumaini, ulama Syi'ah. Dia mengaku keturunan ahli-bait [http://bit.ly/2Tn6L1O dan http://bit.ly/3axQMUx]. Termasuk golongan habaaib dalam bahasa kita. Seandainya pun pengakuannya benar - sementara kita tahu dia seorang pendusta - tetap saja kita katakan Khumaini KAFIR, perusak Islam[1]. HARAM anak perempuan kita dinikahkan dengan dirinya atau orang semisalnya dari kalangan Raafidlah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Nasab sama sekali tak dapat menolong dari kemurkaan Allah . Rasulullah bersabda:
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا
Wahai Bani ‘Abdi Manaaf, belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Bani ‘Abdil-Muthallib, belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Ummuz-Zubair bin Al-‘Awwaam bibi Rasulullah, wahai Faathimah bintu Muhammad, belilah diri kalian dari Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3527].
Beliau pun baraa’ (berlepas diri) atas kemaksiatan dan/atau kekufuran yang mereka lakukan (jika mereka melakukannya), dan mereka kelak akan dijauhkan dari beliau .
Allah berfirman:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ
Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” [QS. Al-Mukminuun : 101].
Rasulullah bersabda:
إِنِّي عَلَى الْحَوْضِ حَتَّى أَنْظُرَ مَنْ يَرِدُ عَلَيَّ مِنْكُمْ وَسَيُؤْخَذُ نَاسٌ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ مِنِّي وَمِنْ أُمَّتِي فَيُقَالُ هَلْ شَعَرْتَ مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ وَاللَّهِ مَا بَرِحُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ
Sesungguhnya aku (kelak akan) berada di telaga Haudl, hingga kemudian aku melihat beberapa orang akan datang kepadaku di antara kalian, dan beberapa manusia dihalau dariku, dan aku akan berkata : ‘Ya Rabb, mereka bagian dariku dan dari ummatku’. Kemudian akan dikatakan : ‘Apakah kamu mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu?’. Demi Allah, mereka telah berbalik ke belakang (dari agamamu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6593].
Ahli bait Nabi yang shalih ? (Sangat) banyak. Ahli bait yang menjadi ulama dan fuqahaa’?. Banyak. Ahli bait yang menjadi ahli hadits ? Banyak. Yang mengaku ahli bait Nabi tapi doyan bid'ah dan khurafat ? Tak sedikit. Yang mengaku ahli bait tapi membiarkan dan bangga istrinya secara vulgar berkonde dan tidak berjilbab ? Ada dan telah viral. Yang kena kasus korupsi dan telah inkracht kena hukum bui ? Ada juga. Yang kena borgol polisi karena tuduhan pencabulan ?. Ada, viral masuk berita kemarin lengkap dengan penampakan tato wanita cabul di lengan kurusnya. Tahun 2012, jagat media dibuat heboh akan pemberitaan oknum habib yang dituduh mencabuli laki-laki (homo?). Mereka semua sama seperti kita, ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang shaalih dan ada yang thaalih (jahat), ada yang ‘aalim dan ada yang jaahil (bodoh). Yang baik diberikan walaa’ (loyalitas), sedangkan yang buruk diberikan baraa’ (berlepas diri) – sesuai kadar masing-masing.
Kembali,....
Dalam ruang fiqh, pertimbangan nasab sebagai kafa'ah memang dikatakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi jika si wanita dan walinya ridla; tak mengapa, pernikahannya sah, tidak haram, dan si wanita bukan dikatakan wanita paling jahat dan kurang ajar[2]. Jika pernikahannya tersebut dibangun di atas dasar taqwa, lalu menghasilkan generasi unggulan yang shalih, maka terpuji (dan ‘mesti’ dipuji). Karena tujuan utama pernikahan untuk mencetak rumah tangga dan generasi yang shalih tercapai.
Btw, ahli bait Nabi mempunyai hak khusus yang diakui dalam syari’at. Kita tidak memungkirinya. Mereka memiliki hak untuk dicintai, sebagaimana firman Allah :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Asy-Syuuraa : 23].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى)، قَالَ: فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى مُحَمَّدٍ ﷺ فَقَالَ " إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ قَرَابَةٌ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تَصِلُوا قَرَابَةً بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang ayat : kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’. Perawi berkata : Maka Sa’iid bin Jubair berkata : “Kekeluargaan Muhammad ”. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Nabi , tidak ada satu pun perut di kalangan Quraisy, kecuali beliau mempunyai kekerabatan dengan mereka. Lalu ayat itu pun kepada beliau, yang mengkonsekuensikan agar kalian menyambung kekerabatan antara aku dan kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3497].
عَنْ الْعَبَّاس عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ : وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ قَلْبَ امْرِئٍ إِيمَانٌ حَتَّى يُحِبَّكُمْ لِلَّهِ وَلِقَرَابَتِي "
Dari Al-‘Abbaas, dari Rasulullah , beliau bersabda : “Demi Allah, tidak akan masuk iman pada hati seseorang hingga mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/207 & 207-208 & 4/165 dan dalam Al-Fadlaail no. 1756-1757 & 1760; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam syarah-nya terhadap Musnad Ahmad].
Mereka juga memiliki hak pengakuan nasab mereka adalah nasab yang mulia. Hal itu dikarenakan Rasulullah bersabda :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
Sesungguhnya Allah telah memilih dari anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraisy dari (anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih dari (anak-anak) Quraisy Bani Haasyim, dan telah memilihku dari Bani Haasyim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2276].
Kecintaan terhadap kemuliaan nasab mengikuti ketaatan dan ketaqwaannya kepada Allah . Barangsiapa yang tidak taat kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka tak ada kecintaan karena kemuliaan nasab yang dimilikinya. Alias tak bermanfaat (useless).
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لا ريب أنه لآل محمد صلى الله عليه وسلم حقا على الأمة لا يشركهم فيه غيرهم ، ويستحقون من زيادة المحبة والموالاة ما لا يستحقه سائر بطون قريش...وأما ترتيب الثواب والعقاب على القرابة ، ومدح الله عز وجل للشخص المعين وكرامته عند الله تعالى ، فهذا لا يؤثر فيه النسب ، وإنما يؤثر فيه الإيمان والعمل الصالح ، وهو التقوى ، كما قال تعالى : ( إن أكرمكم عند الله أتقاكم ) وفي الصحيح ( أن النبي ﷺ سئل : أي الناس أكرم ؟ فقال : أتقاهم )
“Tidak diragukan keluarga Muhammad mempunyai ha katas umat yang tidak dimiliki oleh siapapun selain mereka. Mereka juga berhak menerima tambahan kecintaan dan loyalitas dimana hal tersebut tidak diterima oleh seluruh kabilah Quraisy…. Adapun pengkelasan pahala dan hukuman atas kekerabatan, serta pujian Allah ‘azza wa jalla kepada seorang individu dan kemuliaannya di sisi Allah ta’ala; maka nasab tidak berpengaruh. Yang berpengaruh padanya hanyalah iman dan amal shaalih, yaitu ketaqwaan, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian" (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga hadits yang terdapat dalam Ash-Shahiih bahwasannya Nabi pernah ditanya : ‘Siapakah manusia yang paling mulia?’. Maka beliau menjawab : ‘Yang paling bertaqwa diantara mereka” [Minhaajus-Sunnah, 4/599, 601].
الذي ينفع الناس طاعة الله ورسوله وأما ما سوى ذلك فإنه لا ينفعهم لا قرابة ولا مجاورة ولا غير ذلك كما ثبت عنه في الحديث الصحيح أنه قال يا فاطمة بنت محمد لا أغني عنك من الله شيئا يا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا يا عباس عم رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا وقال ص - إن آل أبي فلان ليسوا لي بأولياء إنما وليي الله وصالح المؤمنين وقال إن أوليائي المتقون حيث كانوا ومن كانوا
“Yang bermanfaat bagi manusia adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya , sedangkan selain keduanya tidaklah bermanfaat; baik kekerabatan, kedekatan, dan yang lainnya. Hal itu sebagaimana tetap dari Nabi dalam hadits shahih bahwasannya beliau bersabda : ‘Wahai Faathimah bintu Muhammad, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari murka Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari murka Allah. Wahai ‘Abbaas, paman Rasulullah, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari murka Allah’.[3] Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya keluarga Abu Fulaan bukanlah waliku, sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin yang shalih’.[4] Dan beliau juga bersabda : ‘Sesungguhnya waliku adalah orang-orang yang bertaqwa dimanapun ia berada dan siapapun dia[5]” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/435].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال ﷺ في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa’ (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ‘Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan hadits Abu Hurairah yang dibawakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin hafidhahullah di atas dengan perkataannya:
مَعْنَاهُ : مَنْ كَانَ عَمَله نَاقِصًا ، لَمْ يُلْحِقهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَاب الْأَعْمَال ، فَيَنْبَغِي أَلَّا يَتَّكِل عَلَى شَرَف النَّسَب ، وَفَضِيلَة الْآبَاء ، وَيُقَصِّر فِي الْعَمَل
“Maknanya : Barangsiapa amalannya kurang, maka (nasabnya) tidak akan menyampaikannya pada kedudukan orang-orang yang rajin beramal (shalih). Maka seseorang tidak boleh bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek-moyang, sementara amalannya defisit” [Syarh Shahiih Muslim, 17/22-23].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.[6]
[abul-jauzaa’ – 14 Rajab 1441]



[1]    Seperti pendahulunya dari kalangan Bani Faathimiyyah yang mendirikan Daulah Faathimiyyah di Mesir, penganut sekte Syi’ah Ismaa’iiliyyah. Pendirinya, Abu Muhammad ‘Ubaidullah Al-Mahdiy mengklaim keturunan ahli bait dari jalur Ismaa’iil bin Ja’far Ash-Shaadiq. ‘Ubaidullah dan keturunannya dari Daulah Faathimiyyah. Daulah Faathimiyyah merupakan bencana bagi kaum muslimin. Banyak ulama yang mengkafirkan Syi’ah Ismaa’iiliyyah. Klaim keturunan tidak mengkonsekuensikan agamanya mesti benar. Bahkan, ‘Ubaidullah dan keturunannya menggunakan faktor nasab sebagai legalisasi meraih kekuasaan dan membuat aliran yang merusak Islam dari dalam.
[2]    Silakan baca artikel : Gak Level......
[3]    Diriwayatkan oleh Muslim no. 206.
[4]    Diriwayatkan oleh Ahmad 4/203; shahih.
[5]    Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1011 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/120-121 no. 241; shahih.
[6]    Sebagai pengaya bacaan, silakan simak artikel lain di Blog ini berjudul :

1 komentar:

  1. Manhaj Ahlussunnah adalah manhaj pertengahan. Tdk meremehkan dan tidak ghuluw.. Jazakallohu khoiron ustadz atas pencerahannya..

    BalasHapus