09 September 2009

Kepahlawanan dalam Perang Mu’tah

Sepulang dari melaksanakan ‘umrah qadla’, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama beberapa bulan, mulai bulan Dzulhijjah sampai Rabi’uts-Tsaaniy. Pada bulan Jumadil-Ula[1], beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberangkatkan pasukan sebanyak 3.000 orang menuju Syaam.[2] Beliau menunjukkan Zaid bin Al-Haarits sebagai pemimpin pasukan tersebut, dengan instruksi : Jika Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thaalib sebagai penggantinya, dan jika Ja’far gugur, maka ‘Abdulah bin Rawahah sebagai penggantinya.[3] Hal ini menunjukkan bolehnya menggantungkan penyerahan kepemimpinan dengan syarat dan memberi kekuasaan kepada beberapa panglima perang secara berurutan.[4] Inilah kali pertama langkah penuh perhitungan dan strategi ekstra hati-hati yang digunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi oleh pasukan kaum muslimin, mengingat musuh yang dihadapi sangat kuat, yaitu bangsa Romawi. Apalagi mereka didukung kabilah-kabilah yang berada di Syiria.

Ketika pasukan kaum muslimin tiba di daerah Mu’aan, sampailah khabar kepada mereka tentang kedatangan Heraklius di wilayah Ma’aab, yaitu Al-Balqaa’, dengan 100.000 pasukan Romawi dan 100.000 pasukan Nashrani ‘Arab dari suku Lakhm, Jidzaam, serta Qudlaa’ah (Bahraa’, Biliy, dan Balqiin). Kaum muslimin tinggal di Mu’aan selama dua malam bermusyawarah tentang masalah yang mereka hadapi. Sebagian mereka berpendapat untuk berkirim surat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kekuatan musuh, dengan harapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam akan mengirim bantuan pasukan tambahan atau mungkin ada yang beliau perintahkan. Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah memberi semangat kepada pasukan dengan mengatakan :

يا قوم، واللهِ إن التي تكرهون للتي خرجتم تطلبون؛ الشهادة. وما نقاتل الناس بعدد ولا قوة ولا كثرة ولا نقاتلهم إلا بهذا الدين الذي أكرمنا الله به، فانطلقوا فإنما هي إحدى الحسنيين، إما ظهورٌ وإما شهادة.

Wahai kaum, sesungguhnya yang kalian benci dari keluarnya kalian (menuju peperangan) pada hari ini, justru yang selama ini kalian cari, yaitu mati syahid. Kita berperang tidak mengandalkan jumlah pasukan, kekuatan (fisik), dan banyaknya perlengkapan serta perbekalan. Tidaklah kita berperang kecuali karena membela agama (Islam) yang dengannya Allah memuliakan kita. Oleh karena itu, majulah terus kalian karena kita akan mendapatkan salah satu di antara dua kebajikan : Menang atau Mati Syahid”.[5]

Ucapan Abdullah bin Rawahah tersebut benar-benar mampu membangkitkan semangat para pasukan. Pendapat orang-orang yang meragukan kekuatan sendiri seketika itu melemah. Zaid bin Haritsah mendorong pasukannya bergerak ke wilayah Mu’tah sebelah timur wilayah Kark. Ia berjalan mengikuti jejak pasukan Romawi. Pertempuran besar-besaran mencatat keberanian tiga orang panglima yang berjiwa heroik sampai akhirnya mereka gugur sebagai syahid. Setelah bertempur dengan gigih, akhirnya Zaid bin Haritsah radliyallaahu ‘anhu terkena panah pasukan Romawi, dan gugur sebagai syahid. Bendera Islam segera diambil Ja’far bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Setelah menyembelih kuda belangnya, ia terus maju bertempur pantang mundur sambil memegang bendera. Ketika tangan kanannya terputus oleh tebasan pedang musuh, ia memegang bendera dengan tangan kirinya. Dan ketika tangan kirinya juga terputus, ia kempit bendera itu dengan menggunakan lengan sambil terus bertempur dengan gigih; sebelum akhirnya ia gugur secara syahid. Giliran Abdullah bin Rawahah yang mengambil bendera. Setelah sejenak nampak ragu-ragu, ia maju ke medan laga untuk bertempur habis-habisan sampai akhirnya gugur sebagai syahid. Akhirnya, bendera diambil oleh Tsaabit bin Arqam. Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran, ia menyeru kepada kaum muslimin agar memilih seorang panglima. Akhirnya mereka memilih Khaalid bin Al-Waliid. Khaalid menyadari posisi pasukannya yang terdesak. Waktu jeda ia manfaatkan untuk mengatur strategi. Ia menerapkan pola baru. Pasukan yang semula berada di garis depan ia alihkan ke garis belakang, dan sebaliknya. Demikian pula pasukan sayap kanan ia alihkan ke sayap kiri, dan sebaliknya. Dengan cara demikian pasukan musuh terkecoh seakan-akan pihak kaum muslimin mendapatkan tambahan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi. Pada saat itulah Khaalid mengambil langkah untuk menarik mundur secara teratur sehingga menurut keterangan beberapa sumber, pasukannya yang gugur hanya 13 orang saja.[6]

Strategi Khaalid dengan menarik mundur pasukan ini dianggap sebagai satu kemenangan yang besar karena ia mampu menekan korban dan kerugian-kerugian lain pada pasukannya yang jumlahnya jauh lebih kecil dibanding korban tewas dan luka-luka di pihak Romawi. Tidak diragukan lagi bahwa kegigihan kaum muslimin, keberanian mereka yang luar biasa, semangat tinggi mereka untuk meraih kesyahidan, dan kecerdikan Khaalid bin Al-Waliid dalam mengatur strategi; semua itulah yang membuat mereka meraih pertolongan Allah sehingga selamat dari kehancuran.

Pada tubuh Ja’far bin Abi Thaalib ditemukan lebih dari 90 luka bekas tusukan tombak dan panah.[7] Akan tetapi hal itu tidaklah membuatnya mundur untuk maju bertempur hingga hembusan nafasnya yang terakhir !!. Juga, sembilan pedang patah oleh tangan Khaalid bin Al-Waliid.[8]

Termasuk mu’jizat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau telah menyebutkan – dengan berlinang air mata - kesyahidan tiga orang shahabatnya, padahal belum ada satu pun utusan yang datang kepada beliau untuk menyampaikan khabar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahukan kepada mereka bendera Islam diserahkan kepada Khaalid, dan kemudian mengkhabarkan kepada mereka akan kemenangan kaum muslimin melalui tangannya.[9] Yang dimaksud dengan kemenangan dalam hadits shahih ini bisa berupa strategi dan pola baru yang diterapkan Khaalid, dan juga bisa berupa keberhasilan pasukan kaum muslimin yang membuat pasukan Romawi menderita kerugian yang cukup signifikan, walaupun pasukan mereka jauh lebih unggul dalam kuantitas.

Walaupun strategi mundur teratur dianggap sebagai satu kemenangan, orang-orang tidak senang dengan hal itu. Sambil menaburkan pasir mereka berteriak : “Wahai pengecut, kalian telah lari dari jihad fii sabiilillah !!”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ليسوا بالفرار ولكنهم الكرار إن شاء الله

“Mereka bukanlah pengecut. Akan tetapi mereka akan kembali lagi (untuk bertempur) insya Allah”.[10]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kedudukan para syuhadaa’ Mu’tah di sisi Allah ta’ala dengan sabdanya :

ما يسرني أو قال ما يسرهم أنهم عندنا

“Tidaklah aku senang – atau berkata - tidaklah mereka senang tinggal di tengah-tengah kita”.[11]

Yaitu : disebabkan mereka sedang memperoleh tempat yang mulia di sisi Allah di surga.

Anak-anak Ja’far bin Abi Thaalib dipanggil oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah menghibur mereka, beliau lalu menyuruh mereka untuk mencukur rambut, kemudian mendoakan mereka. Selanjutnya beliau bersabda kepada ibu mereka yang masih nampak berduka :

العيلة تخافين عليهم وأنا وليهم في الدنيا والآخرة

“Jangan khawatir anak-anak ini akan terlantar. Akulah wali mereka di dunia dan di akhirat”.[12]

Sesungguhnya kaum muslimin berhasil menimba banyak pelajaran serta pengalaman yang sangat berharga dari pertemuan mereka yang pertama (dalam pertempuran) dengan pasukan Romawi untuk gerakan-gerakan jihad di masa mendatang. Mereka menjadi tahu kekuatan pasukan Romawi, jumlah pasukan mereka, strategi perang, rencana-rencana, dan karakter medan yang mereka jadikan ajang pertempuran.

[As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy, hal. 467-469].



[1] Dibawakan Ibnu Ishaq tanpa sanad [Siirah Ibni Hisyaam 3/427], Cet. Muhammad Muhyiddin ‘Abdil-Hamiid.

[2] Termasuk riwayat mursal ‘Urwah bin Az-Zubair [Siirah Ibni Hisyaam 3/427]. Adapun sanad Ibnu Ishaq sampai ‘Urwah adalah hasan.

[3] Shahih Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/510). Juga Ibnu Ishaq : termasuk riwayat mursal ‘Urwah [Siirah Ibni Hisyaam 3/427].

[4] Fathul-Baariy 7/513.

[5] Dibawakan Ibnu Ishaaq tanpa sanad [Siirah Ibni Hisyaam 3/430].

[6] Siirah Ibni Hisyaam 3/430-431 dan Ibnu Hazm dalam Jawaami’us-Siirah hal. 220-222. Ibnu Ishaq tidak membawakan sanad kisah pertempuran ini, kecuali pada bagian Ja’far bin Abi Thaalib menyembelih kudanya dan ‘Abdullah bin Rawaahah yang sempat ragu-ragu sebentar lalu maju (bertempur). Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan yang didalamnya terdapat jahalah (tidak dikenalnya) nama seorang shahabat. Namun jahalah tersebut tidaklah menjadi masalah.

[7] Shahih Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/510).

[8] Shahih Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/515).

[9] Idem 7/512.

[10] Dibawakan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad hasan sampai pada ‘Urwah, namun ia mursal sehingga dla’if [Siirah Ibni Hisyaam 3/438].

[11] Shahih Al-Bukhariy 6/135.

[12] Musnad Ahmad, hadits no. 1750 (Cet. : Ahmad Syaakir) dengan sanad shahih.

1 komentar:

  1. Membaca cerita kepahlawanan para sahabat, sering membuat saya terharu.. dan tak habis pikir, kok di jaman ini masih ada orang-orang yang bodoh yang mencela, meremehkan mereka para sahabat radhiyallahu 'anhum, yang telah dipilih oleh Allah Azza wa Jalla untuk membantu Rasul-Nya menegakkan dien ini.

    BalasHapus