tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post4913863511758675776..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Takhrij Hadits : "Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk".Unknownnoreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-51020954451530887992012-09-22T23:54:23.328+07:002012-09-22T23:54:23.328+07:00Assalamualaikum ustadz,
Saya ingin bertanya apaka...Assalamualaikum ustadz,<br /><br />Saya ingin bertanya apakah benar jika Imam Tirmidziy menghukumi sesuatu hadis itu berderajat "Hasan/Hasan Gharib" berarti beliau ingin mengisyaratkan yg hadis tersebut sebagai dhaif/ma'lul??<br /><br />Memandangkan Imam At Tirmidziy menghukumi hadis Muawiyah r.a ini sebagai "hasan gharib" jadi apakah Imam At Tirmidziy sebenarnya mahu mengartikan hadis ini dhaif/ma'lul.<br /><br />Sumbernya saya lihat disini ustadz: http://al-fikrah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=116:istilah-hasan--gharib--hasan-gharib-disisi-al-tirmizi-&catid=42:hadith&Itemid=176<br /><br />Diharapkan ustadz bisa mencerahkan kekeliruan saya.. SyukranAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-52967969555197897352011-01-04T19:57:41.219+07:002011-01-04T19:57:41.219+07:00Saya ndak paham maksud Anda.... hadits di atas tid...Saya ndak paham maksud Anda.... hadits di atas tidak hanya berasal dari jalur 'Amr bin Waaqid.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-53033868837743610942011-01-04T14:10:59.095+07:002011-01-04T14:10:59.095+07:00Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dalam At-Taariikh (7...Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dalam At-Taariikh (7/328)[53], At-Tirmidziy (no. 3843)[54], dan Ar-Raafi’iy dalam At-Tadwiin (3/455) dari hadits ‘Amr bin Waaqid, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, dari Abu Idris Al-Khaulaaniy, dari ‘Umair bi...n Sa’d secara marfu.<br /><br />At-Tirmidzi berkata : “Hadits ghariib, dan ‘Amr bin Waqiid dilemahkan (oleh ulama)”.<br /><br />Bahkan ia seorang yang matruk !! – sehingga sanad hadits tersebut sangat lemah (lihat At-Taqriib hal. 748 no. 5167).<br /><br />Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir (59/84-85)[55] dari dua jalan yang di dalamnya ada ‘Amr bin Waaqid juga, sehingga tidak dipakai.<br /><br />Hadis ini ia pastikan bahwa pada mata rantai periwayatannya terdapat seorang yang bernama Amr ibn Wâqid ad-Dimasyqi, ia matrûk/harus dibuang hadisnya. (Baca at-Tuhfah al-Ahwadzi,10/ 339-340. al-Maktabab as-Salafiyah- Madinah munawwarah).<br /><br />Tentang hadis ini ia menegaskan, “Al-Hâfidz berkata, ‘Sanadnya tidak shahih.’”<br /><br />coba kamu bela 'Amr bin Waaqid...Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-89644262697472281882010-02-09T01:32:29.131+07:002010-02-09T01:32:29.131+07:00Alhamdulillah... barakallahu fiik..Alhamdulillah... barakallahu fiik..Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-88002761850377497762010-02-06T10:37:43.555+07:002010-02-06T10:37:43.555+07:00KOREKSI 2 :
Kembali saya memberi catatan tambahan...<b>KOREKSI 2 :</b><br /><br />Kembali saya memberi catatan tambahan untuk memperjelas. Ada kekeliruan pengetikan. Pada komentar saya tentang Al-Waliid bin Al-Qaasim (tanggal 5 Februari 2010 09:04)tertulis :<br /><br /><i>Telah ramai pembicaraan peristilahan ini dari kalangan muhaqqiqiin bahwa perkataan hasan ghariib dari At-Tirmidziy bisa merupakan bentuk <b>tashiih/tahsin</b> ataupun tadl’iif. Mau contoh bahwa istilah itu bisa diartikan sebagai pendla’ifan sebagian perawinya ? </i>.<br /><br />Untuk yang diblod, lebih tepatnya adalah <i><b>tautsiq</b></i>.<br /><br />Jadi maksudnya, penghukuman At-Tirmidziy <i>hasan ghariib</i> itu bukan selalu bermakna hadits tersebut adalah hasan lidziitihi yang perawinya juga berstatus hasan (bukan dla'iif). Peristilahan At-Tirmidziy ini memang banyak membuat 'pusing' sebagian muhaqqiqiin sehingga mereka berbeda pendapat tentangnya. Terutama pembahasan mengenai persyaratan <i>hasan</i> yang diberikan At-Tirmidziy. <br /><br />Anyway, mereka sepakat bahwa diantara hadits yang dihukumi <i>hasan ghariib</i> oleh At-Tirmidzi, perawinya ada yang didla'ifkan oleh At-Tirmidziy sendiri. Alias, status <i>hasan ghariib</i> bukan sebagai jaminan At-Tirmidziy memberikan mentashhihkan sanadnya atau memberikan tautsiq pada semua perawinya. Kadang hadits itu dihukumi hasan ghariib karena keberadaan syawaahid. Inilah yang sempat saya baca penjelasannya dari Dr. Hamzah Al-Malaibariy. Juga Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu' Fataawaa. Dan yang lainnya [mis : dibaca beberapa penjelasan dalam Nuzhatun-Nadhar, Fathul-Mughiits, Al-Ba'itsul-Hatsiits, de el el].<br /><br />Jadi kalau ada yang ingin menjustifikasi bahwa satu perawi mendapat <i>tautsiq</i> dari At-Tirmidziy berdasarkan penghukuman <i>hasan ghariib</i> hendaknya ia memberikan qarinah/keterangan yang menunjukkannya.<br /><br />[Maap gak bisa diedit langsung di komen, karena Blogspot tidak menyediakan fasilitas edit terhadap koment. Jadinya tambah2 catatan di bawah, daripada saya harus nulis ulang].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-1749541988972652682010-02-05T13:22:45.182+07:002010-02-05T13:22:45.182+07:00KOREKSI :
Dalam komentar saya sbelumnya atas per...<b>KOREKSI : </b><br /><br />Dalam komentar saya sbelumnya atas perawi Al-Waliid bin Al-Qaasim (yaitu komentar tanggal 22 Desember 2009 17:31), saya menguatkan perkataan Ibnu 'Adiy.<br /><br />Dan setelah itu, pada komentar saya barusan (tanggal 5 Februari 2010 09:04), saya mengatakan bahwa maksud perkataan Ibnu 'Adiy di atas adalah 'jaminan' atau maka ini menggambarkan keterjagaaan hadits yang ia bawakan dari nakaarah.<br /><br />Sebagai amanat ilmiah saya sampaikan (dan itu tertinggal dari komentar saya di atas) bahwa maksud perkataan Ibnu 'Adiy : <i>idzaa rawaa ‘an tsiqah wa rawaa ‘anhu tsiqah, falaa ba’sa bihi</i> adalah : Pada asalnya perawi tersebut adalah <i>laa ba'sa bihi</i> (sehingga asal status haditsnya adalah hasan). Namun jika ada nakaarah dalam hadits yang ia bawakan, maka itu berasal dari syaikhnya atau ashhaabnya [Syifaaul-'Aliil, hal 125].<br />Dan memang semula saya menjustifikasi ia perawi yang laa ba'sa bihi. Hadits dapat diterima <b>jika</b> meriwayatkan dari perawi tsiqah dan meriwayatkan darinya perawi tsiqah.<br /><br />Namun setelah saya baca kembali, termasuk jarh yang diberikan Ibnu Hibbaan, maka nampak bagi saya bahwa ia adalah perawi dla'iif, bukan laa ba'sa bih. Dla'iif, dengan kedla'ifan di sisi kedlabithannya. Ini sebagaimana penjelasan Al-Albaaniy dalam Adabuz-Zifaaf.<br /><br />Ini sedikit penegasan dan tambahan keterangan saya dari apa yang dituliskan.<br /><br />Wallaahu a'lam bish-shawwaab.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-3272949567347077212010-02-05T09:17:25.695+07:002010-02-05T09:17:25.695+07:00Dan ngomong-ngomong, Al-Hasan bin ‘Aliy pun akhirn...Dan ngomong-ngomong, Al-Hasan bin ‘Aliy pun akhirnya menyerahkan kekuasaannya pada Mu’awiyyah demi menjaga persatuan di antara kaum muslimin, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalau memang Mu’awiyyah itu kafir ahli nereka, seharusnya Al-Hasan tidak menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu’awiyyah, karena haram hukumnya secara asal menyerahkan kekuasaan pada orang kafir berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin. Kecuali jika Syi’ah ingin mengatakan bahwa Al-Hasan sedang bertaqiyyah……<br /><br /><b>Tautsiq Ibnu Hibbaan Dan Al-Bukhariy</b><br /><br />Orang Raafidlah tersebut menganggap bahwa ia konsisten dalam hal ini. Kalau ia merefresh pada diskusi hadits ruyah, coba deh diinget-inget saya ia berkata :<br /><br /><i>Khalid bin Al Lajlaaj disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. <b>Hal ini menunjukkan bahwa Khalid tidak dikenal kredibilitasnya</b> atau walaupun ia adil tetapi bisa saja bermasalah dalam hal kedhabitannya (hafalannya)</i>.<br /><br />Ya kalau ini dianggap konsisten, ya terserahlah…… Harusnya kalau mau konsisten, sekarang ia harus mengatakan bahwa orang yang tidak dita’dilkan oleh para ahli hadits selain Ibnu Hibbaan adalah majhuul. Bukan begitu ? Tengok tuh pembahasan 'Aliy bin Al-Mutsannaa.<br /><br />Mengenai perkataannya : <i>” Disebutkan dalam At Tahdzib juz 10 no 65 bahwa dia salah satu perawi Muslim <b>yang berarti Muslim memberikan predikat ta’dil padanya</b>”</i> ; juga dianggap sudah konsisten…. ya terserah juga. Padahal sebelumnya ia mengkritik pernyataan saya bahwa tashhiih Al-Bukhaariy terhadap satu hadits pada asalnya merupakan isyarat tashhih terhadap sanad sekaligus perawinya (ta’dil). Silakan diingat-ingat kembali….. Maka sangat mengherankan jika orang tersebut berkelit : <i>Perlu diingatkan, perkataan di atas bukanlah hujjah bagi kami karena kami sendiri menyebutkan kalau hadis Mujalid tersebut dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad lain sehingga menjadi hasan lighairihi</i>; sangat mengada-ada. Lantas apa arti perkataannya sebelumnya : <i>yang berarti Muslim memberikan predikat ta’dil padanya</i>. Kontradiktif bukan ?<br /><br />Kalau ia membicarakan perkataan Al-Bukhaariy terhadap ‘Abdurrahmaan bin ‘Aisy, justru sebenarnya ia hanya sekedar mencari-cari alasan saja dan tidak berusaha untuk menjamaknya. Memang ada dua perkataan Al-Bukhaariy terhadap ‘Abdurrahmaan, yang satu menisbatkan bahwa haditsnya mudltharib, dan yang lain menyatakan haditsnya shahih. Bukankah mudah untuk dipahami bahwa beberapa jalur hadits ‘Abdurrahmaan ini adalah mudltharib, namun ada jalur lain yang shahih – menurut Al-Bukhaariy. Bersamaan dengan itu kita pahami bahwa ‘Abdurrahmaan ini tsiqah, namun ia mempunyai hadits yang mudltharib (dalam sebagian jalannya) ? Mudah sebenarnya….tapi jadi susah di mata teman Raafidlah kita ini.<br /><br /><b>Kesimpulannya</b><br /><br />Hadits perintah membunuh Mu’awiyyah itu adalah lemah dari segala jalan sanadnya dan bertentangan dengan akal sehat dan dalil shahih. Selain itu, hadits tersebut merupakan hadits yang diingakri oleh jama’ah ahli hadits mutaqaddimiin dan muta’akhkhiriin. Lantas, bagaimana bisa dikatakan saling menguatkan jika padanya terdapat nakarah (selain sanadnya juga dla’if dan dla’if jiddan) ? Pendek kata, hadits di atas adalah munkar dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dan i’tibar sebagaimana telah diketahui dalam ilmu mushthalah.<br /><br />Wallaahu a’lam.<br /><br />Itu saja yang dapat saya komentari. [padahal banyak sekali yang bisa diuraikan dari tulisannya, termasuk tulisan-tulisannya sebelumnya yang saya berhenti untuk menanggapi, karena gak banyak manfaatnya].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-27182821985353323522010-02-05T09:12:24.748+07:002010-02-05T09:12:24.748+07:00Penyimpangan Mu’awiyyah ?
Ia menyebutkan beberapa...<b>Penyimpangan Mu’awiyyah ?</b><br /><br />Ia menyebutkan beberapa ‘penyimpangan’ Mu’awiyyah – sebagaimana hobi lamanya – dalam tulisannya tersebut dan mengatakan bahwa hadits doa Nabi bertentangan dengannya.<br /><br />Kita paham pola pikir Syi’ah Raafidlah yang sangat membenci Mu’awiyyah dan mengkafirkannya. Jadi, sangat wajar bahwa semua hadits yang <i>nyrempet-nyrempet</i> keutamaan Mu’wiyyah ditolak dan dianggap bertentangan. Kita memahami hadits tersebut bahwa ijtihad Mu’awiyyah memerangi ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah kekeliruan yang tidak boleh untuk diikuti. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah pihak yang berada di atas kebenaran dalam pertikaian itu. Dan tahdziir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun harus dipahami dalam skup itu. Perkataan : “<i>Mengajak ke neraka</i>” bukan berarti kafir ada di neraka. <br /><br />Akan tetapi, kekeliruan tersebut telah diampuni oleh Allah ta’ala. <br /><br />عن أم حرام: أنها سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (أول جيش من أمتي يغزون البحر قد أوجبوا). قالت أم حرام: قلت: يا رسول الله أنا فيهم؟ قال: (أنت فيهم)......<br /><br />Dari Ummu Haraam : Bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : <i>“Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan, sungguh telah diwajibkan atas mereka (balasan surga)”</i>. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “<i>Ya</i>” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 2766 – free program islamspirit].<br /><br />Sudah diketahui bahwa Mu’awiyyah lah yang pertama kali memimpin pasukan di lautan, dan Ummu Haram ikut bersamanya. <br /><br />عن أم حرام بنت ملحان قال: نام النبي صلى الله عليه وسلم يوما قريبا مني، ثم استيقظ يبتسم، فقلت: ما أضحكك؟ قال: (أناس من أمتي عرضوا علي، يركبون هذا البحر الأخضر، كالملوك على الأسرة). قالت: فادع الله أن يجعلني منهم، فدعا لها، ثم نام الثانية، ففعل مثلها، فقالت مثل قولها، فأجابها مثلها، فقالت: ادع الله أن يجعلني منهم، فقال: (أنت من الأولين). فخرجت مع زوجها عبادة بن الصامت غازيا، أول ما ركب المسلمون البحر مع معاوية، فلما انصرفوا من غزوهم قافلين فنزلوا الشأم، فقربت إليها دابة لتركبها فصرعتها فماتت<br /><br />Dari Ummu Haraam binti Milhaan ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidur pada satu hari dekat denganku. Kemudian beliau bangun dan tersenyum. Lalu aku bertanya : “Apa yang membuatmu tertawa (wahai Nabi) ?”. Beliau menajwab : “<i>Sekelompok manusia di dari kalangan umatku ditampakkan kepadaku yang mengarungi lautan biru ini. Seperti halnya raja-raja di atas singgasana</i>”. Aku bertanya : “Berdoalah kepada Allah untukmenjadikanku termasuk di kalangan mereka”. Maka beliau pun berdoa untuknya. Lalu beliau kembali tidur. Beliau pun terbangun dan berkata sebagaimana sebelumnya. Aku pun kembali berkata sebagaimana sebelumnya, dan beliau pun menjawabnya sebagaimana sebelumnya pula. Aku berkata : “Berdoalah kepada Allah untuk menjadikanku termasuk dari kalangan mereka”. Beliau bersabda : “<i>Engkau termasuk golongan yang pertama</i>”. (Anas bin Maalik berkata : ) Ummu Haram pun keluar bersama suaminya ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit untuk berperang di pasukan pertama kaum muslimin yang mengarungi lautan bersama Mu’awiyyah. Ketika peperangan tersebut telah usai, mereka singgah di Syaam, lalu diserahkan kepadanya kuda tunggangan. Kuda tersebut membuatnya jatuh hingga meninggal dunia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2646 – free program islamspirit].<br /><br />Jika kita melihat ini, maka tidak ada yang musykil. Seorang yang didoakan mendapat hidayah dan dapat memberi hidayah kepada orang lain tidak menafikan bahwa ia pernah melakukan kekeliruan yang mendapatkan ancaman dosa.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-14389559855830052702010-02-05T09:10:19.617+07:002010-02-05T09:10:19.617+07:00Pembicaraan tentang ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan
Or...<b>Pembicaraan tentang ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan</b><br /><br />Orang ini telah dicacat oleh banyak ulama. Dan telah disebutkan, diantara jarh para ulama tersebut adalah adanya penyifatan tasyayyu’. Bahkan Ibnu ‘Adiy telah mengatakan bahwa ia seorang yang berlebih-lebihan dalam paham tasyayyu’-nya itu. Yaziid bin Zura’i mensifatinya sebagai seorang Raafidlah. Jadi kita harus memahami bahwa ‘Aliy bin Zaid ini seorang yang ghulluw (berlebih-lebihan) dalam tasyayyu’-nya dan sekaligus sebagai seorang Raafidlah. <br /><br />Para ulama telah membahas panjang lebar tentang riwayat seorang berpemahaman bid’ah (ahli bid’ah). Ada yang menghimpun empat pendapat ahli hadits mengenai diterima tidaknya periwayatan dari orang yang disifati dengan kebid’ahan yang tidak mengkafirkan pelakunya (ghairu mukaffirah). <br /><br />Diantara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia bisa diterima dengan syarat ia seorang yang jujur dan ia tidak membawakan hadits yang menguatkan kebid’ahannya. <br /><br />Di sini, dengan sifat kelemahan hapalannya dan sifat jujurnya (sebagaimana dikatakan sebagian huffadh), bukankah ia sedang membawakan hadits yang menguatkan kebid’ahannya ? Apalagi tidak ada perawi tsiqah yang mengikuti periwayatannya dari Abu Nadlrah.<br /><br />[hal yang sama bahwa Ahlus-Sunnah tetap meneliti riwayat orang Naashibiy yang berisi celaan terhadap ‘Aliy bin Abi Thaalib].<br /><br /><b>‘Amru bin ‘Ubaid tidak Berdusta ?</b><br /><br />Orang Raafidlah tersebut mengatakan bahwa ‘Amr bin ‘Ubaid tidak berdusta dalam periwayatan, karena alasannya Al-Hasan Al-Bashriy telah shahih (walaupun mursal) dalam periwayatan hadits ini.<br /><br />Bagaimana bisa ia ngomong seperti itu ? Para ulama telah menyifati ‘Amr bin ‘Ubaid dengan sifat pendusta dan pemalsu hadits dalam sifat-sifat umum pada dirinya (tidak terbatas hadits ini saja). Maka sudah sangat layak jika Ayyub As-Sikhtiyaaniy mendustakan ‘Amr bin ‘Ubaid. <br /><br /><b>Kedla’ifan Hadits Keutamaan Mu’awiyyah</b><br /><br />Inilah satu kekurangcanggihan penilaiannya terhadap hadits ini. Ia mengatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Amiirah ini seringkali disebutkan dengan nama lain dalam beberapa riwayat; sehingga dengan itu ia klaim sebagai hadits mudltharib. Ya ini lah dia…. Para ulama ahli hadits telah menjelaskan selama orang tersebut maksudnya adalah satu orang, maka kekeliruan nama tidak masalah dan bukan termasuk idlthirab. Coba deh tengok dalam buku-buku biografi, semua nama yang disebutkan itu adalah nama bagi satu orang : ‘Abdurrahman bin ‘Amiirah. Jika setiap kekeliruan penyebutan nama disebut sebagai idlthirab, maka banyak sekali riwayat-riwayat idlthirab di mata orang Raafidlah ini. Lagi pula, sudah saya tampilkan sebagian besar riwayat (tidak semua) dalam jalan-jalan sanadnya. Jumhur ulama menyebutkan ‘Abdurrahman bin ‘Amiirah. Jika demikian, apa kita tidak bisa memberikan tarjih dari sisi penisbatan nama ‘Abdurrahman ini ? Mudah sekali,…. Namun dibuat tidak mungkin/susah bagi teman Rafidlah kita ini. Karena, jika jalan pentarjihan bisa ia ditempuh, tentu saja hal itu sangat menggusarkannya. Dalam ilmu ushul, aspek tarjih dengan membandingkannya terhadap riwayat jama’ah adalah sangat dimungkinkan. Tapi tidak mungkin bagi orang Raafidlah tersebut. Maklum,…Syi’ah sih…<br /><br />Adapun klaim bahwa perbedaan penyebutan nama – yang kemudian ia klaim sebagai bentuk idlthirab – berasal Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz, maka tidak berterima. Apalagi orang Raafidlah itu mengatakan bahwa saya tidak paham ta’lil-nya terhadap riwayatnya. Justru dalam artikel di atas menyebutkan jawaban yang pas sesuai dengan ta’lil yang dialamatkan kepadanya. Dari sisi kedudukan, ia adalah imam yang tsabt lagi mutqin dalam hadits. Sebagian ulama mendudukannya lebih tinggi daripada Ats-Tsauriy. Adapun perkataan bahwa ia berubah hapalannya di akhir hayatnya, maka juga telah saya jawab. Silakan baca lagi. Males saya nulisnya kembali….. Lantas apalagi yang tersisa kalau bukan rekayasa ?Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-58867161957270769372010-02-05T09:04:57.535+07:002010-02-05T09:04:57.535+07:00Pembicaraan tentang Mujaalid bin Sa’iid Al-Hamdaa...<b>Pembicaraan tentang Mujaalid bin Sa’iid Al-Hamdaaniy</b><br /><br />Telah saya katakan bahwa jumhur muhadditsiin melemahkannya dari sisi hapalannya. Dan ia pun mengakuinya. Tapi aneh kalau sebelum memberikan fakta, orang tersebut memberikan status bagi Mujallid : “<i>perawi yang hasan hadisnya dengan penguat dari yang lain</i>”. Ini namanya pingin membuat opini. Kalau ingin mengetahui status seorang perawi, maka tidak ada hubungannya dengan penguat. Adapun penguat, maka itu dilihat satu persatu dari hadits yang dibawakannya. <br /><br />Nah, khusus untuk hadits Mu’awiyyah ini, Ibnu ‘Adiy dan Ibnul-Jauziy mengatakan “sebagian huffadh” mengatakan Mujaalid ini mencuri hadits dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy. Salah satunya adalah Al-Jurqaaniy. Lantas, bagaimana jarh ini menjadi sesuatu yang tidak mungkin bagi orang Raafidlah tersebut ? Apalagi ia malah membuat apologi pengandaian ‘Amr bin ‘Ubaid yang mencuri hadits dari Mujaalid. Ada gak data atas perkataan ini ? <br /><br />Jarh Al-Jurqaaniy, Ibnu ‘Adiy, Ibnul-Jauziy, dan yang lainnya itu bukanlah satu yang tidak mungkin, karena beberapa muhaddits mengalamatkan jarh yang keras kepada Mujaalid. Misal Ahmad bin Hanbal yang berkata : Laisa bi-syai’ [Asamiyudl-Dlu’afaa’, no. 334]. Bukankah ini jarh yang pada asalnya tertuju pada sifat <i>’adalah</i>-nya ?<br /><br />Jika orang Raafidlah itu mengatakan : <i>“Lagipula hadis Mujalid itu riwayat Abu Sa’id sedangkan hadis Amru adalah hadis Hasan Al Basri dan hadis Abu Sa’id tidak hanya diriwayatkan oleh Mujalid tetapi juga diriwayatkan oleh Ali bin Zaid. Jadi menuduh Mujalid mencuri hadis ini sungguh mengada-ada”</i>.<br /><br />Justru yang dikatakan oleh Al-Jurqaaniy, Ibnu ‘Adiy, dan Ibnul-Jauziy itu merupakan salah satu bentuk pencurian hadits. Ia (Mujaalid) mencuri hadits ‘Amru bin ‘Ubaid (yang berasal dari Al-Hasan secara mursal) dan kemudian ia nisbatkan dari Abul-Wadaak. Coba kita kaji kembali tentang makna pencurian hadits.<br /><br />Orang Raafidlah tersebut tidak menerima jarh Al-Jurqaaniy, Ibnu ‘Adiy, dan Ibnul-Jauziy kepada Mujaalid sah-sah saja. Hak dia untuk itu – sebagaimana kita ‘maklumi’. Namun setidaknya hal ini memberikan informasi pada kita bahwa periwayatan Mujaalid dari Abul-Wadaak tentang hadits Mu’aawiyyah memang sangat bermasalah di sisi muhadditsiin. <br /><br />Tentang riwayat Al-Hasan Al-Bashriy, maka ia adalah riwayat mursal. Bukan riwayat yang marfu’. Selain itu, bisakah kita dipastikan kebersambungan sanad antara Isma’il bin Abi Khaalid dan Al-A’masy dengan Al-Hasan Al-Bashriy – dengan pengetahuan bahwa keduanya (Isma’il dan Al-A’masy) adalah dua orang mudallis ?Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-14370375251511424362010-02-05T09:04:17.842+07:002010-02-05T09:04:17.842+07:00Pembicaraan tentang Al-Waliid bin Al-Qaasim bin Al...<b>Pembicaraan tentang Al-Waliid bin Al-Qaasim bin Al-Waliid Al-Hamdaaniy</b><br /><br />Saya sebenarnya telah membawakan para ulama bahwa ia seorang perawi yang diperselisihkan. Jika orang Raafidlah tersebut mengingkan lafadh jarh yang mufassar, bukankah Ibnu Hibbaan telah mengatakan : “Ia meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan para perawi tsiqah sehingga perkataannya tidak memenuhi syarat sebagai hujjah”.<br /><br />Perkataan ini menunjukkan bahwa ia sering meriwayatkan hadits-hadits yang munkar. Perkataan Ibnu Qaani’ yang mengatakan bahwa ia shaalih, maka ini jenis ta’diil tingkat rendah dimana haditsnya ditulis sebagai i’tibaar. Ini menggambarkan kekurangan sifat dlabth dari Al-Waliid. <br /><br />Perkataan Ibnu ‘Adiy yang mensyaratkan adanya pengambilan hadits dari perawi tsiqah dan kemudian diteruskan darinya (Al-Waliiid) perawi tsiqah, maka statusnya <i>laa ba’sa bihi</i>; maka ini menggambarkan keterjagaaan hadits yang ia bawakan dari nakaarah. [silakan baca keterangan peristilahan ini dalam Syifaa’ul-‘Aliil, hal. 125]. Saya dalam keterangan sebelumnya hanya memberikan konsekuensi penghukuman hadits yang ia bawakan. Bukan pada status keadaan dirinya, apakah ia seorang lemah atau kuat/terpercaya. <br /><br />Sedangkan status dirinya sendiri, maka sudah tepat kesimpulan Ibnu Hajar yang mengatakan : <i>shaduuq yukhthi’</i> (jujur, tapi kadang salah). Riwayatnya dapat dibenarkan jika ada yang menguatkan (dan di sini terdapat isyarat dari Ibnu Hajar bahwa Al-Walid ini seorang yang lemah dari sisi hapalan). Begitu pula dengan Al-Albaaniy yang menyetujui kesimpulan Ibnu Hajar di atas. Adapun Adz-Dzahabiy, jika orang Raafidlah tersebut menyebutkan bahwa ia (Adz-Dzahabiy) mentsiqahkan dalam Al-‘Ibar, maka ia juga berkata dalam kitabnya yang lain (Al-Jarh wat-Ta’diil no. 2502) : “<i>Maa huwa bil-qawiy</i> (Ia bukanlah seorang yang kuat)”. Bukankah ada korelasinya (masuk akal) jika ia memasukkannya ke kitab Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ ? Kalau kita ingin menjamak perkataan Adz-Dzahabiy, maka bisa dikatakan bahwa ia bagus dalam <i>‘adalah</i>-nya, namun kurang dalam ke-<i>dlabth</i>-annya. <br /><br />Sedangkan penukilan ta’dil Ibnu ‘Imaad (wafat : 1032 H) dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, maka itu harus dipahami dari penyimpulannya atas perkataan ulama mutaqaddimiin. Dan ini juga harus ditimbang dengan analisis perkataan ulama mutaqaddimiin. <br /><br />Adapun penyimpulan At-Tirmidziy atas hadits no. 3590 dengan : “<i>Hadzaa hadiitsun hasanun ghariibun min hadzal-wajh</i>” ; yang dengannya orang Rafidlah tersebut beranggapan sebagai ta’dil kepada Al-Waliid bin Al-Qaasim, maka sangat layak mendapatkan kritik. Telah ramai pembicaraan peristilahan ini dari kalangan muhaqqiqiin bahwa perkataan hasan ghariib dari At-Tirmidziy bisa merupakan bentuk tashiih/tahsin ataupun tadl’iif. Mau contoh bahwa istilah itu bisa diartikan sebagai pendla’ifan sebagian perawinya ? Silakan cek di hadits no. 4033 dimana At-Timridziy berkata : “Ini adalah hadits hasan ghariib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Asy’ats As-Samaan Abur-Rabii’, dari ‘Aashim bin ‘Ubaidillah. Dan Asy’ats ini dilemahkan dalam hadits”.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-84452155093761600982010-02-05T09:01:45.383+07:002010-02-05T09:01:45.383+07:00Catatan :
Perkataan Al-Haafidh bahwa Sallaam ini...<b>Catatan : </b><br /><br />Perkataan Al-Haafidh bahwa Sallaam ini <i>shaduuq yahimu</i> adalah sudah tepat sebagaimana perincian di atas. Adapun perkataan Adz-Dzahabiy bahwa ia men-tsiqah-kan Sallaam - sebagaimana dikatakan oleh orang Raafidlah tesebut - adalah benar. Ada nukilan perkataan dalam Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaq, no. 140. Namun perlu digarisbawahi bahwa Adz-Dzahabiy juga memasukkannya dalam kitab Dlu’afaa’-nya seperti Al-Mughniy, Ad-Diwan, dan Dzail Ad-Diiwaan. Pentarjihan dari perkataan Adz-Dzahabiy tentu harus melihat data jarh dan ta’dil para ulama terdahulu dimana Adz-Dzahabiy menyimpulkannya.<br /><br />Sedangkan ‘Aashim bin Bahdalah, saya sepakat dengan perkataan orang Raafidlah tersebut. Dan saya pun telah mengatakan bahwa haditsnya hasan, karena ada permasalahan dalam hapalannya. Jadi saya kira tidak perlu buang energy untuk membahasnya.<br /><br />Oleh karena itu, kesimpulan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baladzuriy ini adalah dla’iif. Bukan hasan li-dzaatihi sebagaimana klaim orang Raafidlah tersebut.<br /><br />**********<br /><br /><b>Pembicaraan tentang ‘Aliy bin Al-Mutsannaa.</b>.<br /><br />Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan semata, tanpa diikuti oleh yang lain. Para ulama telah mengkritik tautsiq Ibnu Hibbaan dalam kitab Ats-Tsiqaat. Ia telah membuat satu kaedah dalam kitabnya yang menyelisihi jumhur ulama dimana perawi yang hilang majhul ‘ain-nya, maka ia termasuk tsiqah. Atau kalimat mudahnya, ia sering mentsiqahkan para perawi majhul. Ini manhaj yang mengherankan menurut jumhur. Oleh karena itu, tautsiq Ibnu Hibbaan ini tidak boleh diandalkan jika ia bersendirian – sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dan yang lainnya. Memang benar, jika ada sekumpulan perawi tsiqah meriwayatkan darinya, maka haditsnya bisa dijadikan hujjah. Namun pertanyaannya : “Apakah yang meriwayatkan darinya hanya perawi tsiqah atau campuran antara perawi tsiqah dan dla’iif ? Jika kedudukannya adalah yang kedua, maka ia tidak lebih seperti perawi yang lainnya yang tetap harus ditimbang dengan kaedah jarh dan ta’dil lainnya. Juga, penerimaan tautsiq Ibnu Hibban atas ‘Aliy bin Al-Mutsannaa pun (jika tidak ada ahli hadits lain yang mentautsiqnya) tetap diikat dengan satu persyaratan lain : Jika tidak ada ahli hadits lain yang men-jarh-nya. Nah, bukankah di sini Al-Azdiy mendla’ifkan ‘Aliy bin Al-Mustannaa ? Dan bukankah Ibnu ‘Adiy juga mengisyaratkan kedla’ifannya sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Tahdziib ?<br /><br />Sebenarnya tautsiq Ibnu Hibbaan ini dapat diterima/dipertimbangkan walau ia bersendirian, jika ia menyebutkan secara jazm lafadh tautsiq-nya sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil dan yang lainnya dari kalangan muhadditsiin. Namun dalam kitab Ats-Tsiqaat (no. 14493 dan 14508), ia tidak tidak menyebutkan lafadh tautsiq apapun atas diri ‘Aliy bin Al-Mutsannaa. <br /><br />Oleh karena itu, terlalu terburu-buru jika orang Raafidlah tersebut menyebutkan bahwa jarh Al-Azdiy harus mufassar, karena tautsiq Ibnu Hibbaan itu sendiri belum kokoh untuk diterima. Oleh karena itu, jarh yang mubham pun diterima jika tautsiq-nya sendiri tidak kokoh.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-83084840237428942002010-02-05T08:57:46.552+07:002010-02-05T08:57:46.552+07:00Sedangkan perkataan Abu Haatim : “Shaduuq shaalihu...Sedangkan perkataan Abu Haatim : “<i>Shaduuq shaalihul-hadiits</i>", maka Ibnu Abi Haatim telah menjelaskan berbagai peristilahan jarh dan ta’diil dalam kitabnya. Ibnu Abi Haatim berkata perihal peristilahan dalam kitabnya Al-Jarh wat-Ta’diil : “Apabila dikatakan : Sesungguhnya ia seorang yang jujur (shaduuq), tempatnya kejujuran (<i>mahaluhush-shidq</i>), atau tidak mengapa dengannya (<i>laa ba’sa bihi</i>); maka ia termasuk orang yang ditulis haditsnya, dan harus dilihat/diteliti padanya (<i>wa yandhuru fiih</i>)”. <br />Maksud diteliti di sini adalah sifat kedlabth-annya. Jika diketahui ia seorang yang bermasalah dengan ke-dlabth-annya, maka haditsnya dla’iif – sebagaimana dijelaskan Ibnu Shalaah dalam Muqaddimah-nya (hal. 158). Namun jika sebaliknya, haditsnya hasan. <br />Sebagian ulama lain mengatakan bahwa lafadh shaduuq ini menunjukkan diterima haditsnya sebagai hujjah dengan martabat hasan, karena Abu Haatim sendiri beberapa kali berhujjah dengan perawi yang ia sifati dengan shaduuq.<br /><br />Adapun perkataan ‘<i>shaalihul-hadiits</i>’, Ibnu Abi Haatim berkata : “Apabila dikatakan ia seorang yang <i>shaalihul-hadiits</i>, maka ia ditulis haditsnya untuk i’tibar”. Oleh karena itu, kalimat <i>shaalihul-hadiits</i> ini merupakan penjelas dari kata shaduuq yang dimaksudkan oleh Abu Haatim, yaitu orang tersebut jujur dan haditsnya ditulis untuk i’tibar. <br /><br />Penilaian Abu Dawud : <i>laisa bihi ba’s</i> (tidak mengapa dengannya), maka ini memang jenis lafadh ta’dil. Tapi tentu saja harus dibandingkan dengan komentar para ulama yang lainnya.<br /><br />Nah, dalam kasus Sallaam bin Sulaimaan bin Abil-Mundzir ini seperti apa ? Telah nyata jarh Ibnu Ma’iin sebagaimana telah lewat. As-Saajiy telah merinci jenis kelemahannya yaitu : “<i>Laisa bi-mutqin fil-hadiits</i>”. <br /><br />Saya tambah : Terdapat nukilan dari Al-Mughlathaiy bahwa Ibnu ‘Uyainah berkata : “<i>Kaana rajulan ‘aaqilan</i>” [Al-Ikmaal, 2/lembar 150]. Lafadh ini menurut ilmu hadits bukan lafadh ta’dil yang mu’tamad. Sedangkan perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir bahwa Sallaam ini lebih hapal hadits ‘Aashim daripada Hammaad bin Zaid, maka dalam hal ini ia bawakan dengan shighah tamridl dari Hammaad bin Salamah. Shighah ini merupakan shighah periwayatan yang lemah menurut ahli hadits. Atau setidaknya, Al-Bukhariy sendiri tidak memastikan keshahihan penukilan ini.<br /><br />Maka, sangat jelas kedudukan Sallaam bin Sulaimaan bin Abil-Mundzir adalah seorang perawi yang lemah dari sisi hapalannya (tidak mutqin). Ini termasuk jenis jarh yang dijelaskan (mufassar) – sebagaimana sering ia minta dalam bahasan ini.<br /><br />Sedangkan penolakannya atas kesimpulan Al-‘Uqailiy bahwa hadits itu tidak mempunyai mutaba’ah, maka kita lihat. Apakah kita lihat mutaba’ah-nya bisa menguatkan apa tidak. Dan sebagai pengingat bahwa orang Raafidliy tersebut telah mengatakan sebab pengingkaran para ahli hadits terhadap hadits tersebut :<br /><br /><i>“Kebanyakan mereka hanya menyebutkan sanad ‘Amru bin ‘Ubaid, sanad ‘Ali bin Zaid, dan sanad Mujallid”</i>.<br /><br />Jadi, para ulama ahli hadits menganggap riwayat-riwayat tersebut merupakan riwayat yang munkar. <br /><br />Dan di sini saya perlu tegaskan makna <i>laa yutaabi’u ‘alaa hadiitsihi</i> jika disematkan pada seorang perawi menurut ahli hadiits adalah bahwa perawi tersebut <b>tidak dikenal sebagai perawi yang tsiqah</b>. Jika perawi tersebut dikenal sebagai perawi tsiqah, maka penyendiriannya diterima dan tidak memudlaratkannya. Ini dikatakan oleh Ibnul-Qaththaan [lihat Bayaanul-Wahm wal-Iihaam, 5/363].<br /><br />Oleh karena itu, sisi ta’dil mana yang bisa lebih diutamakan dengan perkataan jarh semisal sehingga membawa Sallaam ini ke derajat hasan?Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-48299891176079414092010-02-05T08:56:52.972+07:002010-02-05T08:56:52.972+07:00Makasih,…. Sedikit saya jawab sebagai berikut :
P...Makasih,…. Sedikit saya jawab sebagai berikut :<br /><br /><b>Pembicaraan tentang ‘Aliy bin Al-Mutsannaa. </b><br /><br />Mengenai Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Muzanniy Al-Bashriy. Orang Raafidlah tersebut mempermasalahkan jarh Ibnu Ma’iin yang katanya perkataannya <i>laisa syai’</i> ini tidak selalu mengkonsekuensikan jarh. Ini terlalu mengada-ada. Lantas apa artinya perkataan Ibnu Ma’in saat ia ditanya : “Apakah ia seorang yang tsiqah ?. Maka Ibnu Ma’in menjawab : “Tidak”.<br /><br />Perkataan <i>laa syai’</i> atau <i>laisa bi-syai’</i> secara umum merupakan bentuk jarh Ibnu Ma’in pada perawi yang <i>matruuk</i> atau <i>muttaham</i> (tertuduh) atau <i>laisa bi-tsiqah</i> (tidak tsiqah). Buktinya adalah dalam kitab Al-Jarh wat-Ta’diil-nya Ibnu Abi Haatim, biografi Khaalid bin Ayyuuub Al-Bashriy, bahwa saat mengomentari Khaalid, Ibnu Ma’iin berkata : “<i>Laa syai’, ya’niy annahu laisa bi-tsiqah</i> (tidak ada apa-apanya,maksudnya yaitu ia bukan seorang yang tsiqah)” [Taisiru ‘Ulumil-Hadiits oleh ‘Amru bin ‘Abdil-Mun’in, hal. 181].<br />Perkataan ini sangat cocok dengan jawaban Ibnu Ma’in atas pertanyaan Ibraahiim bin Junaid bahwa Sallaam ini tidak tsiqah. <br /><br />Begitu juga Ibnu Thuhmaan yang meriwayatkan dari Ibnu Ma’in ketika berkomentar tentang ketsiqahannya, bahwa ia berkata : “<i>Laisa bi-dzaaka</i>” [As-Suaalaat, no. 379]. Yaitu ia (Sallaam) ma’ruuf dengan kedla’ifannya [Al-Khulashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 318 – ada beberapa makna <i>laisa bi-dzaaka</i> dari Yahyaa bin Ma’iin dimana maknanya tergantung pada qarinah-qarinah yang ada].<br /><br />Apakah ini bukan bentuk jarh ? Bahkan jarh yang sangat jelas dan berat. Lebih jelas dari matahari yang bersinar.<br /><br />Adapun perkataan bahwa salah satu makna <i>laisa bi-syai’</i> dari Ibnu Ma’iin adalah haditsnyaberjumlah sedikit, maka itu bersumber dari Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy yang tidak bersanad sampai pada Ibnu Ma’iin. Oleh karena itu, sebagian ulama menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan ijtihaad penafsiran dari Ibnul-Qaththaan sendiri atas perkataan Ibnu Ma’iin [Taisiru ‘Uluumil-Hadiits, hal 181 dan Raf’ut-Takmiil hal. 213-220]. Sedangkan makna perkataan Ibnu Ma’iin pertama yang saya sebutkan telah disebutkan oleh para ulama muhadditsiin yang bersumber dari penjelasan Ibnu Ma’iin sendiri. Tentu saja, jika kita ingin mentarjih, perkataan Ibnu Ma’iin sendiri yang menjelaskan maksud perkataannya lebih dikedepankan daripada selainnya. <br /><br />Perkataannya pula bahwa tidak setiap ungkapan jarh wat-ta’dil itu ada asal penukilannya. Ini memang betul. Makanya itu, kita perlu meneliti, mana yang benar dari ungkapan-ungkapan jarh dan ta’dil tersebut saat kita ingin melakukan pentarjihan. Apalagi di sini jelas ternukil dua perkataan yang saling bertolak-belakang dari Ibnu Ma’iin. Jika kita dihadapkan pada perkataan Ibnu Ma’iin yang satu ada sumber penukilannya dan yang lain tidak ada, mana kira-kira yang akan kita pilih ? Kalau orang Raafidlah tersebut tentu akan memilih sumber yang tidak memiliki asal penukilannya, karena kebetulan sesuai dengan apa yang ditujunya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-9527998245483759832010-02-05T08:52:55.249+07:002010-02-05T08:52:55.249+07:00secondprince kembali menjawab krtikan antum tuh......secondprince kembali menjawab krtikan antum tuh...........Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-15411532211595341832010-01-26T13:47:00.638+07:002010-01-26T13:47:00.638+07:00Ada satu hadits lagi dari Abdurrahman bin Abu Amir...Ada satu hadits lagi dari Abdurrahman bin Abu Amirah atau Umairah, yaitu dgn redaksi, "Ya Allah ajarkan padanay (Muawiyah) Al Kitab dan hisab, dan bebaskan dia dari azab".<br />Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam At Taarikh Al Kabir dan Ath Thabarani dalam Musnad Syaamiyyiin dari Abu Mus-hir dgn sanad yg sama.<br />Dengan itu, berarti hadits ini sanadnya shahih, hanya saja gharib dari Abdurrahman bin Umairah sebagaimana kata Ibnu Asakir. Tapi kalaupun gharib namun perawinya tsiqah tetap bisa dijadikan hujjah. Sekaligus menjadi dikuatkan oleh riwayat Irbadh bin Sariyah yg lemah lantaran ke-majhul-an Al Harits bin Ziyad.<br />Wallahu a'lam.Anshari Taslimhttp://alponti.multiply.com/noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-80706350877880679682010-01-25T09:29:42.581+07:002010-01-25T09:29:42.581+07:00Sebenarnya,.... jika antum perhatikan benar-benar ...Sebenarnya,.... jika antum perhatikan benar-benar artikel saya di atas sudah cukup untuk menjawab tulisan tersebut. Karena sewaktu menulis, saya juga menggunakan referensi tulisannya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-15321398300142205272010-01-25T00:28:21.668+07:002010-01-25T00:28:21.668+07:00Ustadz, ada tulisan dari secondprince yg sudah lam...Ustadz, ada tulisan dari secondprince yg sudah lama, tapi belum ada yg membantah yaitu di: http://secondprince.wordpress.com/2008/12/20/kedudukan-hadis-%E2%80%9Cya-allah-jadikanlah-muawiyah-seorang-yang-memberi-petunjuk%E2%80%9D/<br /> Intinya, dia tetap berpegang kepada alasan bahwa riwayat ini mudhtharib. Bisakah antum menjawabnya satu persatu? Supaya hilang syubhat ttg keabsahan hadits ini. Syukran.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-47960408323176462752009-12-22T17:35:17.663+07:002009-12-22T17:35:17.663+07:00Apalagi jika kita lihat secara keseluruhan matan h...Apalagi jika kita lihat secara keseluruhan matan haditsnya, ia jelas-jelas bertentangan dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :<br /><br />اللهم اجْعَلْه هادياً مَهْدياً، واهْدِ به<br /><br /><i>“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk. Berikanlah petunjuk padanya dan petunjuk (bagi umat) dengan keberadaannya”</i>.<br /><br />Ini adalah hadits shahih tanpa ada keraguan. <br /><br />Apakah mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membunuh Mu’awiyyah padahal ia berdoa agar ia diberikan petunjuk dan dapat memberikan petunjuk bagi orang lain ? Apalagi Mu’awiyyah juga seorang sekretaris Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Haditsnya shahih, walau ini juga diingkari oleh Syi’ah seperti kebiasaan mereka terhadap Mu’awiyyah. Semoga satu saat nanti saya dimudahkan untuk menulis bahasannya. Hanya saja, dalam kitab mereka (Syi’ah) juga tertulis riwayat sebagai berikut (yang dinisbatkan pada Abu Ja’far Al-Baaqir) :<br /><br />قال رسول الله صلى الله عليه وسلم - ومعاوية يكتب بين يديه..<br /><br />“Telah bersabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam – <b>dan Mu’awiyyah menulis di hadapan beliau</b> - ….” [Diriwayatkan oleh Ash-Shaduq dalam Ma’aanil-Akhbaar, hal. 346, terbitan Insyiraat Islaamiy dengan tahqiq ‘Aliy Al-Ghifaariy atau 2/438 terbitan Najaf; dengan sanad shahih, para perawinya tsiqah satu persatu sampai Al-Baaqir. Dinukil juga oleh Al-Majlisiy dalam Bihaarul-Anwaar 33/166, 89/36. Ulama mereka yang bernama Al-Ahmadiy Al-Mayaanijiy : “Sesungguhnya sanadnya shahih”. Lihat Makaatibur-Rasuul, 1/119, Daarul-Hadiits].<br /><br />Dan juga riwayat-riwayat shahih lainnya tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhuma.<br /><br />Maka, sangat sulit dipahami jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan (jika berdiri di atas mimbarnya) dengan data-data valid seperti di atas. Lha wong kepada gembong munaafiq yang sudah jelas kemunafiqannya yang bernama Ibnu Saluul saja beliau tidak memerintahkan membunuhnya, apalagi kepada Mu’aawiyyah !! Semua itu hanya dapat dipahami dengan logika ala Syi’ah saja……. <br /><br />Jadi ini bukan sekedar tuduhan yang tidak jelas tentang logika sirkuler, bahwa jika matannya sudah bathil, maka harus dicari biang keladi penyebabnya dari para perawinya. <br /><br /><b>CATATAN KECIL :</b><br /><br />Coba kita perhatikan tulisan yang antum tunjukkan itu. Pada tulisannya, penulis Rafidlah itu berkata saat membicarakan ‘Aliy bin Al-Mutsannaa :<br /><br /><i>”Pernyataan ini lebih tepat karena <b>Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat</b>”</i>.<br /><br />Juga saat membicarakan Mujaalid bin Sa’iid :<br /><br /><i>” Disebutkan dalam At Tahdzib juz 10 no 65 bahwa dia salah satu perawi Muslim <b>yang berarti Muslim memberikan predikat ta’dil padanya</b>”</i>.<br /><br />Bagi yang sering mengikuti diskusi saya dengan Penulis Rafidlah tersebut di Blog ini tentu akan mengetahui inkonsistensi pernyataan di atas dengan bahasan-bahasan lain yang ia tulis di Blognya. Atau dengan bahasa sederhana, manhajnya dalam jarh dan ta’dil tidak jelas. Mengambil perkataan yang hanya mendukung bid’ah Rafidlahnya saja…..<br /><br />Wallaahu a’lamAbu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-74795396718217806692009-12-22T17:33:50.732+07:002009-12-22T17:33:50.732+07:00Jalur ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan
Ia telah dicacat...<b>Jalur ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan</b><br /><br />Ia telah dicacat oleh sejumlah muhadditsiin seperti : Ibnu Ma’in, An Nasa’iy, Abu Haatim, Abu Zur’ah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daaruquthniy, dan lain-lain. Al-‘Ijliy berkata : “Ia ber-tasyayyu’ (condong pada Syi’ah), tidak mengapa dengannya”. Di kesempatan lain ia berkata : “Ditulis haditsnya, namun ia tidak kuat”. Abu Haatim juga menyifatinya dengan tasyayyu’. At-Tirmidziy berkata : “Shaduuq, namun kadangkala ia memarfu’kan sesuatu yang dimauqufkan oleh perawi lainnya”. Bahkan Ibnu ‘Adiy mensifatinya sebagai orang yang berlebih-lebihan (ghulluw) dalam tasyayyu’. Yaziid bin Zurai’ mensifatinya sebagai seorang Raafidliy. Wafat 129 H. [Tahdziibul-Kamaal, 20/434-445 dan Tahdziibut-Tahdziib, 7/322-324].<br /><br />Kesimpulannya, ia seorang perawi dla’iif. Pada asalnya, haditsnya ditulis dan dapat digunakan sebagai i’tibar. Sebagian ulama mutaqaddimiin – sebagaimana telah kita lihat – telah mensifatinya dengan tasyayyu’, bahkan Ibnu ‘Adiy menjarhnya dengan sifat ghulluw (berlebih-lebihan). Jarh atas sifat bid’ah tasyayyu’ yang disematkan padanya mempengaruhi sifat ‘adalah-nya. Oleh karena itu, hadits-haditsnya yang condong pada bid’ah tasyayyu’ (Syi’ah/Raafidlah), maka tidak diterima. Hadits ini salah satu di antaranya, karena sudah menjadi pengetahuan umum bagi Ahlus-Sunnah tentang kebencian Syi’ah terhadap Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ‘anhu. Jadi, cacat yang ada pada diri ‘Aliy bin Zaid bukan sekedar dari sisi hapalan saja.<br /><br />Memutlakkan sifat shaduq pada diri ‘Aliy bin Zaid dalam semua hadits-haditsnya tentu saja tidak tepat. Ini namanya hanya mengambil sebagian perkataan saja tanpa mengambil perkataan yang lain. Harus dirinci.<br /><br />Konsekuensi dari hal di atas, hadits yang ia bawakan tidak bisa dijadikan i’tibar (baik sebagai muttabi’ ataupun syaahid). Tidaklah mengherankan jika Ibnu Hajar mengatakan hadits dalam bahasan ini termasuk hadits yang diingkari oleh para ulama.<br /><br />Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan :<br /><br /><i>” Pada dasarnya para ulama mengingkari hadis tersebut dan cukup dengan melihat matannya mereka menyatakan hadis itu bathil. Oleh karenanya harus ada yang bertanggung jawab untuk kebatilan hadis di atas dan tuduhan disematkan pada Ali bin Zaid”</i>.<br /><br />adalah perkaaan yang ngawur, asal-asalan, lagi tidak intelek. <br /><br />Jika kalangan Rafidlah tidak menerima jarh di sisi ini, tidak mengherankan bagi kita. Seekor serigala tentu akan melindungi anaknya.<br /><br />Pengingkaran ini tidaklah semata-mata hanya karena melihat matan-nya, baru kemudian dicari kambing hitam perawinya, sebagaimana dikatakan dengan seenaknya oleh orang Rafidlah ini. Namun dua-duanya dilihat secara bersamaan. <br /><br />********Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-31760316377166181962009-12-22T17:32:27.228+07:002009-12-22T17:32:27.228+07:003. Mujaalid bin Sa’iid Al-Hamdaaniy.
Hampir semua...3. Mujaalid bin Sa’iid Al-Hamdaaniy.<br /><br />Hampir semua muhadditsiin men-dla’if-kan Mujaalid. Yahyaa Al-Qaththaan mendla’ifkannya. Ibnul-Mahdiy tidak meriwayatkan hadits darinya. Ahmad berkata : “Mujaalid tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Di tempat yang lain ia (Ahmad) berkata : “Semua hadits Mujaalid dibuang”. Al-Bukhariy berkata : “Aku tidak menulis hadits Mujaalid dan Musa bin ‘Ubaidah”. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah, jaaizul-hadiits, hasanul-hadiits”. Abu Zur’ah menyebutkannya dalam Asaamiyudl-Dlu’afaa’ (334). At-Tirmidziy berkata : “Sebagian ulama mendla’ifkan Mujaalid, dan ia seorang yang banyak salahnya”. Di lain tempat ia berkata : “Mujaalid bin Sa’iid diperbincangkan oleh sebagian ulama karena faktor hapalannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Orang Kuffah, dla’iif”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Orang Kuffah, tidak kuat (laisa bi-qawiy)”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak tsiqah”. [Lihat Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 2/431-432 no. 3738].<br /><br />Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya (laa yuhtaju bi-hadiitsihi)”. Di lain tempat ia berkata : “Dla’iif, waahiyul-hadiits”. Abu Haatim : “Mujaalid bukan seorang yang kuat haditsnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 8/biografi no. 1653]. Dalam riwayat Ad-Duuriy, Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah” [At-Taariikh, 2/549]. Dalam riwayat Ad-Daarimiy, ia berkata : “Shaalih” [At-Taariikh, biografi no. 811]. Ibnu Hibbaan dan Al-‘Uqailiy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif. Al-Jauzajaaniy mendla’ifkannya [Ahwalur-Rijaal, hal. 89 no. 126].<br /><br />Ibnu Hajar memberikan kesimpulan : “Tidak kuat haditsnya (laisa bil-qawiy), berubah hapalannya di akhir umurnya” [At-Taqriib].<br /><br />Ibnu ‘Adiy berkata : “Sebagian huffaadh berkata : Mujaalid mencuri hadits ini dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu ia menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak”. Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Adiy, juga disebutkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Al-Maudluu’aat (2/26). Salah satu sumber perkataan Ibnu ‘Adiy dan Ibnul-Jauziy adalah perkataan Al-Jurqaaniy dimana ia berkata : “Mujaalid ini adalah dla’iif, munkarul-hadiits. Ia telah mencuri hadits ini dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak, dari Abu Sa’iid dengan lafadh ini” [lihat Al-Abaathiil, 1/354].<br /><br />‘Amr bin ‘Ubaid lahir tahun 80 H, meninggal 142 H. Mujaalid wafat 144 H. ---- aqraan.<br /><br />NB : Jika ada yang berhujjah bahwa Syu’bah meriwayatkan hadits darinya, sehingga ia berstatus tsiqah karena Syu’bah <b>hanya</b> meriwayatkan dari perawi tsiqah. Saya katakan : Memang benar sebagian huffadh mengatakan bahwa Syu’bah ini hanya meriwayatkan dari perawi tsiqah. Namun jika ada orang yang ingin membahas dan meneliti tanpa sikap taqlid, niscaya akan menemui banyak hadits Syu’bah yang ia riwayatkan dari perawi dla’if.<br /><br />4. Abul-Wadaak Jabr bin Nauf Al-Kuufiy.<br /><br />Seorang tsiqah.<br /><br />*******<br /><br />Kesimpulan penghukuman hadits dari jalur ini dla’iif karena Al-Waliid bin Al-Qaasim dan Mujaalid. Apalagi telah ternukil bahwa dalam hadits ini Mujaalid mencuri hadits dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan i’tibar.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-12133676165083582352009-12-22T17:31:57.819+07:002009-12-22T17:31:57.819+07:00Adapun hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy yang ia bawaka...Adapun hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy yang ia bawakan dalam dua jalur, yaitu (Pertama) jalur Mujaalid dari Abul-Wadaak dari Abu Sa’iid, dan (Kedua) jalur ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’iid; maka ia juga tidak bisa dijadikan hujjah. Berikut keterangannya :<br /><br /><b>Jalur Mujaalid</b><br /><br />1. ‘Aliy bin Al-Mutsannaa<br /><br />Disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat, dan beberapa perawi tsiqaat meriwayatkan darinya [Tahdziibul-Kamaal, 21/114-116]. Namun Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia didla’ifkan oleh Al-Azdiy [Miizaanul-I’tidaal, 3/152 no. 5918]. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib]. Wafat : 256 H.<br /><br />2. Al-Waliid bin Al-Qaasim bin Al-Waliid Al-Hamdaaniy<br /><br />Ia ditsiqahkan oleh Ahmad, namun didlaifkan oleh Yahya bin Ma’iin. Ibnu ‘Adiy berkata : “Apabila ia meriwayatkan dari perawi tsiqah, maka tidak mengapa dengannya” - (tapi sayangnya di sini ia meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi dla’iif). Wafat : 203 H [Miizaanul-I’tidaal, 4/344 no. 9395 dan Al-Jarh wat-Ta’diil 9/13 no. 58]. Ibnu Qaani’ berkata : “Shaalih” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/146].<br />Al-Mizziy menukil perkataan Ibnu ‘Adiy : “Apabila ia meriwayatkan dari perawi tsiqah dan meriwayatkan darinya perawi tsiqah, maka tidak apa dengannya (idzaa rawaa ‘an tsiqah wa rawaa ‘anhu tsiqah, falaa ba’sa bihi)” [Tahdziibul-Kamaal, 31/67]. Dan memang begitulah yang terdapat dalam Al-Kaamil (8/368).<br /><br />Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yukhthi’ (jujur, terkadang salah)” [At-Taqriib]. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/500 no. 6881]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ (no. 664). Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun bersamaan dengan itu ia juga memasukkannya dalam Al-Majruuhiin.<br /><br />Perkataan pertengahan mengenai Al-Waliid adalah perkataan Ibnu ‘Adiy. Di sini ia meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi dla’iif, sehingga haditsnya ini adalah dla’if.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-2940210030397594372009-12-22T17:30:04.707+07:002009-12-22T17:30:04.707+07:00‘Aashim bin Bahdalah
Ia adalah ‘Aashim bin Abin-N...<b>‘Aashim bin Bahdalah</b><br /><br />Ia adalah ‘Aashim bin Abin-Nujuud.<br /><br />Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan hapalannya. An-Nasaa’iy berkata : “Laisa bi-haafidh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Pada hapalan ‘Aashim ada sesuatu (fii hifdhi ‘Aashim syai’)”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran”. Ibnu Khiraasy berkata : “Dalam haditsnya ada pengingkaran (fii hadiitsihi nukrah)”. Ahmad dan Abu Zur’ah berkata : “Tsiqah”. Di lain tempat Ahmad berkata : “Tsiqah, aku memilih qira’atnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, namun ia banyak salah dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Hasanul-hadiits” [Miizaanul-I’tidaal, 2/356-357].<br /><br />Pemutlakan tsiqah oleh Abu Zur’ah di atas ditentang oleh Abu Haatim, karena Ibnu ‘Ulayyah memperbincangkannya hapalannya. [Tahdziibul-Kamaal, 13/477].<br /><br />Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Laisa bil-qawiy fil-hadiits” [Taariikh Dimasyq – lihat catatan kaki muhaqqiq Tahdziibul-Kamaal, 13/477]. <br /><br />Ya’qub bin Sufyaan berkata : “Haditsnya goncang, namun ia seorang yang tsiqah”. Al-‘Uqailiy berkata : “Tidak ada padanya sesuatu kecuali jeleknya hapalan”. Ibnu Hibban dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat-nya.<br /><br />Al-Mizziy berkata : “Ia dipakai oleh Al-Bukhariy dan Muslim dalam hadits bersamaan dengan yang lainnya (rawaa lahu Al-Bukhariy wa Muslim maqruunan bi-ghairihi….” [Tahdziibul-Kamaal, 13/480]. Di sini mengandung isyarat bahwa hadits ‘Aashim ini (dalam Shahih Al-Bukhariy dan Shahih Muslim) shahih dengan adanya penyerta dari yang lainnya. Atau dengan kata lain, Syaikhaan tidak berhujjah dengannya jika ia bersendirian karena padanya ada ke-dla’if-an.<br /><br /><b>Az-Ziir bin Hubaisy</b><br /><br />Ia seorang yang tsiqah.<br /><br />*********<br /><br />Jika kita lihat para perawinya, maka pembicaraan ada pada Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir dan ‘Aashim bin Bahdalah (‘Aashim bin Abin-Nujuud). Kedua-duanya dibicarakan dalam hal hapalan. ‘Aashim lebih baik daripada Sallaam, dan ia (‘Aashim) haditsnya hasan selama tidak ada pertentangan dan pengingkaran. Adapun Sallaam, yang raajih ia adalah perawi dla’if.<br /><br />Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa hadits ini adalah hasan li-dzaatihi ? Apalagi dalam hal ini para imam jarh wa ta’dil mengingkari hadits ini seperti Ayyuub As-Sikhtiyaaniy (Al-Kaamil oleh Ibnu ‘Adiy 5/101 dan yang lainnya), Ahmad bin Hanbal (Al-‘Ilal oleh Al-Khallaal, 138), Abu Bakr bin Abi Syaibah, Abu Zur’ah Ar-Raaziy (Adl-Dlu’afaa’, 2/427), Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (1/157, 250 & 2/172), Al-Bukhariy (At-Taariikh Al-Ausath 1/256), Al-‘Uqailiy (1/259), Ibnu ‘Adiy (2/146, 209 & 5/101, 200, 314 & 7/83), dan yang lainnya. Aneh bukan kesimpulannya ?Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-4940231378451656892009-12-22T17:28:57.079+07:002009-12-22T17:28:57.079+07:00Ya, saya sudah membacanya tulisan orang Rafidlah i...Ya, saya sudah membacanya tulisan orang Rafidlah itu. Namun – sebagaimana nampak dalam beberapa tulisan bersangkutan – ia tidak menampilkan beberapa perkataan dari para ulama al-jarh wat-ta’dil dalam penilaian yang mungkin tidak menguntungkan baginya. Akan saya nukil secara ringkas, yang akan dimulai dari dari riwayat Al-Balaadzuriy yang ia nilai sebagai hadits hasan li-dzaatihi.<br /><br /><b>Al-Baladzuriy :</b><br /><br />Tsiqah, wafat : 279 H.<br /><br /><b>Ibraahiim bin ‘Allaaf Al-Bashriy : </b><br /><br />Namanya Ibraahiim bin Al-Hasan bin Najiih Al-Baahiliy Al-Bashriy : tsiqah (Tahdziibul-Kamaal 1/73) Wafat : 235 H.<br /><br /><b>Sallaam Abul-Mundzir</b><br /><br />Namanya : Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Muzanniy Al-Bashriy. Ibnu Ma’iin berkata : “Laa ba’sa bihi”. Dalam riwayat yang lain : “Laa syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Abu Haatim : “Shaduuq shaalihul-hadiits”. Al-‘Uqailiy memasukkannya ke dalam Adl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Haditsnya tidak ada mutaba’ah-nya”. [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/177 no. 3345]. <br /><br />Untuk perkataan Ibnu Ma’iin : “Laa ba’sa bihi” ; maka ini tidak ada asal penukilannya. Dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (4/biografi no. 1119) disebutkan : Telah berkata Abu Bakr bin Abi Khaitsamah : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin ditanya tentang As-Sallaam Abul-Mundzir, maka ia berkata : “Laa syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Dan inilah yang tsabt dari perkataan Ibnu Ma’iin. Wallaahu a’lam [ta’liq Tahdziibul-Kamaal, 12/289]. Ini diperkuat dari riwayat : Telah berkata Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Al-Junaid : Aku bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin tentang Sallaam Abul-Mundzir, apakah ia seorang yang tsiqah ?. Maka ia menjawab : “Tidak” [Tahdziibul-Kamaal, 12/289].<br /><br />As-Saajiy berkata : “Shaduuq yahimu, laisa bi-mutqinin fil-hadiits (jujur kadang salah, tidak mutqin dalam hadiits)”. Abu Dawud berkata : “Laisa bihi ba’s (tidak mengapa dengannya)” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/285].<br /><br />Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam jajaran perawi lemah (lihat Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 1/421 no. 2497 dan Dzail Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 36 no. 43]. <br /><br />Al-Haafidh berkata tentangnya : “Shaduuq yahimu (jujur, kadang salah)” [At-Taqriib]. Jika perkatan Ibnu Hajar ini ‘dikoreksi’ dengan : “shaduuq hasanul-hadiits” – maka dari sisi mana penafikan “kadang tersalah” yang ada pada Sallaam bin Sulaiman ini ? Padahal As-Saajiy telah menjelaskan makna “yahimu” di sini menunjukkan kekurangan sifat mutqin pada diri Sallaam. Dan telah jelas bahwa Sallaam ini dipermasalahkan dari sisi hapalannya.<br /><br />Al-Albaniy memutlakkan padanya dengan predikat : “Shaduuq” – mengikuti perkataan Abu Haatim [lihat Ash-Shahiihah no. 1809].<br /><br />Wafat : 171 H.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-11811321585955117962009-12-22T17:27:07.441+07:002009-12-22T17:27:07.441+07:00Ada sebuah tulisan yg menjelaskan kebenarang hadit...Ada sebuah tulisan yg menjelaskan kebenarang hadits dimana Rasulullah saw memerintahkan untuk membunuh Mu'awiyah bila berada di mimbar beliau dan haditsnya hasan lighairih karena saling menguatkan.<br />lihat: http://secondprince.wordpress.com/2009/08/08/kedudukan-hadis-%E2%80%9Cjika-kamu-melihat-muawiyah-di-mimbarku-maka-bunuhlah-ia%E2%80%9D/<br />Makalah ini tidak mampu dijawab oleh Ahlus sunnah sehingga mereka harus mengakui hadits itu hujjah.<br />Silahkan dibahas.<br />salam damai.<br /><br /><br /><br />[NB : Komentar ini (dari saudara Anonymous) saya pindah dari Halaman Daftar Artikel ke Halaman ini agar lebih nyambung - Admin].Anonymousnoreply@blogger.com