tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post4174581415838025284..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Nikah Mis-yaar dan Nikah dengan Niat Thalaq – Bagaimana Pandangan Ulama tentangnya ?Unknownnoreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-50539162375120915332013-12-14T17:08:36.774+07:002013-12-14T17:08:36.774+07:00Assalamu'alaikum..ya akhi..ulama adalah cahaya...Assalamu'alaikum..ya akhi..ulama adalah cahaya umat..fatwa ulama untuk menuntun amaliah umat..bagaimana jika prakteknya mnjadi madhorot umat..mohon ditelaah Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14863019619188480169noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-32808382890591944582013-08-01T22:43:10.642+07:002013-08-01T22:43:10.642+07:00Afwan ust, ana mau ikut berkomentar, semoga berken...Afwan ust, ana mau ikut berkomentar, semoga berkenan:<br />1)ana setuju dg pembahasan antm ttg bantahan terhadap eramuslim terkait fatwa bin baz yg membolehkan nikah bi niyatit thalaq di mana seakan-akan eramuslim menisbatkan penyelewengan praktik nikah ini kepada syekh bin baz.<br />2)ana thalib di LIPIA, pernah dengar seorang ust saudi yg ngajar ana fiqh ketika ditanya ttg hukum nikah bi niyatit thalaq, beliau menegaskan ketidakbolehhannya, beliau membahas dan membandingkan antara fatwa ibnu baz dan fatwa ibnu utsaimin dlm masalah ini mengatakan bahwa syaikh bin baz tidak tahu terkait ttg penyimpangan praktik org2 yg mengambil fatwa beliau. berbeda dg syekh ibnu utsaimin beliau menfatwakan tidak blh karena salah satunya dilatari pemberitaan banyak ikhwah terkait penyimpangan praktik nikah bi niyatit thalaq yg dilakukan org arab diluar sana. berdasarkan keterangan ust tsb bahwa penyimpangan praktik nikah jns ini oleh org arab tidak hanya terjadi di indonesia bahkan negeri2 lain jg.<br />2) ana setuju jika dikatakan harus dibedakan antara ta`shilul hukmi fil mas-alah dan tathbiqul hukmi fil waaqi'.dalam pembahasan hukum asal nikah bin niyatit thalak memang harus dijelaskan adanya khilaf antar ulama tapi terkait bab fatwa dan tathbiqul hukmi fil waaqi' karena yg terjadi adalah penyelewengan praktik nikah ini maka harus difatwakan tdk boleh utk saddudz dzari'ah. kalau kita -menurut saya-ya kewajibannnya dg menyampaikan fatwa ulama yg mengharamkannya seperti fatwa syekh ibnu utsaimin. waLlahu a'lam.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-56285687206363330082011-05-10T01:31:24.963+07:002011-05-10T01:31:24.963+07:00Curiga jika ada alasannya dan didasari pertimbanga...Curiga jika ada alasannya dan didasari pertimbangan yang masuk akal (sehat), bukan sikap berlebihan. <br /><br />Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-65988769023276862772011-05-10T00:19:40.208+07:002011-05-10T00:19:40.208+07:00Jazakallah khair atas jawabannya. Afwan kalau kura...Jazakallah khair atas jawabannya. Afwan kalau kurang jelas, maksud pertanyaan no.2 adalah, misalnya jika sang wali membuat surat pernyataan tertulis yang menyatakan ijinnya lalu dikirim kepada orang yang dipercaya akan menikahkan (misalnya dalam hal ini pejabat KBRI atau pribadi lainnya), lalu surat itu dicurigai kebenarannya. pertanyaan ana adalah, apakah kecurigaan ini termasuk sikap yang berlebihan atau kehati-hatian?abu faruqhttp://www.pustakaalatsar.wordpress.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-31623327221575248972011-05-09T09:58:28.992+07:002011-05-09T09:58:28.992+07:001. Sebagian ulama membolehkan proses ijab qabul d...1. Sebagian ulama membolehkan proses ijab qabul dari si wali via telepon atau teleconference, bila jelas (dengan pasti) bahwa orang yang dikontak itu adalah wali si wanita. Sah. <br /><br />2. Maksudnya ?<br /><br />3. Saya tidak berbicara seandainya wali yang sah tidak mengijinkan, tapi seandainya wali yang sah tidak ada. Maka, perwakilan yang ditunjuk Pemerintah dapat berposisi sebagai wali hakim bagi si wanita.<br /><br />Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-39491083487450469922011-05-08T16:32:52.995+07:002011-05-08T16:32:52.995+07:00Ana mau tanya tentang wali nikah ini:
1. Jika wali...Ana mau tanya tentang wali nikah ini:<br />1. Jika wali nikah itu jauh tempatnya (di luar negerji), apakah ijin tertulis atau via telepon sudah mencukupi untuk melangsungkan akad nikah? <br />2. Apakah kecurigaan terhadap kebenaran dokumen (pernyataan wali) itu termasuk sikap yang berlebihan atau kehati-hatian?<br />3. Jika tidak ada surat dari wali atau ijin lewat telepon, apakah KBRI negera setempat bisa dianggap sulthan sehingga boleh untuk menikahkan?<br />Mohon tanggapannya, kebetulan masalah ini sedang sangat dibutuhkan jawabannya. Jazakallah khair.Abu Faruqhttp://www.pustakaalatsar.wordpress.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-68383117494483815722010-09-21T19:53:52.911+07:002010-09-21T19:53:52.911+07:00Bisa sebagai tambahan informasi tentang hukum nika...Bisa sebagai tambahan informasi tentang hukum nikah dengan niat thalaq pada tulisan<br /><br />يا أهل الإسلام الزواج بنية الطلاق حرام oleh الشيخ سالم بن سعد الطويل<br /><br />link http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5692Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-17981014244498796212010-09-21T15:54:31.055+07:002010-09-21T15:54:31.055+07:001. Tidak.
2. Sah.
3. Tidak. Thalaq adalah hak su...1. Tidak.<br /><br />2. Sah.<br /><br />3. Tidak. Thalaq adalah hak suami.<br /><br />Wallähu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-83567440917787875482010-09-21T13:30:24.601+07:002010-09-21T13:30:24.601+07:00assalamualaikum pak,
saya ingin bertanya, saya se...assalamualaikum pak,<br /><br />saya ingin bertanya, saya sedikit gelisah<br /><br />dulu sebelum menikah, tiba-tiba saya mendapatkan cobaan, jiwa saya menjadi labil, keadaan psikologis saya kacau, padahal 1 bulan lagi saya akan menikah, <br /><br />kemudian karena saya takut calon suami saya nantinya akan menyesal setelah menikah dengan saya, akhirnya saya ceritakan, kemudian saya bilang bagaimana kalau kita nikah saja, tapi setelah itu yah terserah dia mau dilanjutkan ataw tidak, karena undangan dah disebar dan saya takut ortu kami berdua marah dan shock apabila pernikahan dibatalkan<br /><br />tapi ternyata calon suami saya tersinggung, dia tidak mau seperti itu, katanya buat apa nikah? mendingan gak usah menikah saja kalo akhirnya harus bubar<br />katanya dia memang niat nikahin saya apapun keadannya..<br /><br />kemudian, setelah itu semua berjalan lancar, kami menikah, sesuai dengan syariat islam dan alhamdulillah sekarang saya sedang hamil 8 bulan.<br /><br />kemduian saya tidak sengaja melihat artikel Bapak,<br /><br />jadi saya teringat lagi kejadian waktu itu, padahal sebenrnya saya sudah lupa dengan kejadian itu.<br /><br />pertanyaan saya<br />1. apakah saya berdosa?setau saya kalau hanya niat saja asalkan belum dilaksanakan Allah akan memaafkan<br /><br />2. apakah pernikahan saya sah?dan apakah kami perlu menikah ulang?<br /><br />3. apakh ini bisa termasuk nikah dengan niat thalaq?, karena yang berniat seperti itu adalah istri bukan suami, karena saya baca di artikel diatas itu sepertinya berlaku buat suami saja<br /><br />terima kasih pak<br />atas jawabannya<br /><br />hamba AllahAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-66584224444241139732009-05-16T00:38:00.000+07:002009-05-16T00:38:00.000+07:00Terima kasih atas komentarnya. Saya menuliskan art...Terima kasih atas komentarnya. Saya menuliskan artikel di atas bukan berarti menganjurkan orang untuk menikah dengan niat thalaq, atau bahkan mendukung praktek penyimpangan yang disinyalir banyak terjadi. Tulisan ini adalah murni dalam kerangka pembahasan asal hukum. Boleh atau tidak boleh? Halal atau haram dilakukan?<br /><br />Kalau antum berdiri di belakang pendapat Syaikh Ibnu 'Utsaimin, tentu dapat dimaklumi apa yang antum katakan. Dan saya pun secara prinsip sependapat, yang karenanya saya berpegang pada pendapat jaaiz ma'al-karahah. Tapi untuk mengatakan haram? mungkin di sini saya yang tidak sependapat dengan Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Sebab, keharaman itu harus jelas dan tidak mengandung ihtimal.<br /><br />[abul-jauzaa']Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-65899595330672897182009-05-15T19:19:00.000+07:002009-05-15T19:19:00.000+07:00بسم الله الرمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبر...بسم الله الرمن الرحيم<br /><br />السلام عليكم ورحمة الله وبركاته<br /><br />JazakAllaahu Khair akhi atas analisa dalam perbandingan perbedaan pendapat diantara 'ulama dalam hal ini.<br /><br />Ya, memang sah pernikahan dengan niat thalaq dan ini memang bukan nikah mut'ah.<br /><br />Namun, mungkin pertanyaan yang muncul sekarang adalah:<br /><br />1. "Apakah kita rela kalau ibu/putri-putri/saudara-saudara perempuan kita diperlakukan seperti ini oleh lelaki lain?, dimana sang suami mempunyai niat dalam hatinya untuk menceraikan istrinya setelah beberapa lama?"<br /><br /><br />2. "Apakah sang wanita dan kuluarga dari si wanita sebenarnya akan menerima lamaran pernikahan ini jikalau dia tahu bahwa dia akan diceraikan dalam beberapa waktu yang akan datang?"<br /><br />Jikalau kita tidak ingin agar hal ini terjadi pada ibu/putri/saudara-saudara perempuan kita, lalu tidakkah seharusnya kita mengamalkan hadits:<br /><br />( لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه )<br /><br />“Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”<br /><br />Bukhari-Muslim<br /><br />Dari segi-segi inilah Syaikh 'Utsaimin mengharamkan nikah dengan niat seperti ini (Walaupun sah).<br /><br />Ini hanyalah sedikit perkataan yang mungkin bisa kita renungkan sejenak insyaAllaah.<br /><br />JazakAllaahu Khair.Unknownhttps://www.blogger.com/profile/06447478127044239585noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-73683456546726882212009-05-15T10:51:00.000+07:002009-05-15T10:51:00.000+07:00Terima kasih atas partisipasi (kritik)-nya dalam B...Terima kasih atas partisipasi (kritik)-nya dalam Blog ini. Namun, mohon maaf jika saya katakan bahwa ada <B>kekurangcermatan</B> dalam komentar Anda di atas. Akan saya tuliskan dalam beberapa point di bawah :<br /><br />1. <B>Tidak ada korelasi</B> antara pembahasan hukum ini dengan realitas penyelewengan yang Anda contohkan terjadi di sebagian daerah Indonesia. Fokus pembahasan di sini adalah tentang hukum. Adapun kenyataan penyelewengan, maka saya sepakat bahwa itu diharamkan. Mengapa ? Silakan Anda lihat kembali pada artikel eramuslim dimana di situ terdapat kalimat :<br /><br /><I>Yang lebih disayangkan lagi, di Indonesia sendiri banyak tersebar kantor-kantor “siluman” yang memfasilitasi praktik pernikahan edan ini, lengkap dengan modin, saksi, dan wali palsu dari calon pengantin perempuan.</I>Yang seperti ini tentu tidak dibenarkan. Praktek menggampangkan dengan fakta-fakta seperti itu, tentu saja semua sepakat tentang keharamannya. Oleh karena itu, fenomena semacam ini saya katakan tidak ada boleh dinisbahkan kepada fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dan Lajnah Daaimah. Sebab, praktek dan fiqh an-nikah bi-niyyatith-thalaq yang difatwakan kebolehannya dari para ulama bukan seperti itu. Harap Anda perhatikan hal ini. <br /><br />Dan fatwa Lajnah Daaimah no. 10091 (yang Anda anggap sebagai koreksi itu) terkait adanya penyelewengan ini, yang kemudian ada kecenderungan seperti nikah mut’ah. Bukan terhadap nikah bi-niyyatith-thalaq yang sebenarnya, sebagaimana difatwakan sebelumnya oleh Lajnah dan Asy-Syaikh Ibnu Baaz.<br /><br />2. Adapun maksud saya bahwa apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bahwa unsur penipuan itu adalah nisbi, maka itu juga tidak ada hubungannya dengan praktek penyelewengan sebagaimana yang Anda isyaratkan. Ini adalah murni pembahasan ashlul-hukm. Bagaimana kaifiyyah an-nikah bi-niyyatith-thalaq yang dimaksudkan para ulama ? Maka ini yang menjadi objek pembahasan. Perhatikan fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz yang disitir oleh eramuslim yang didapatkan dari forum Multaqa Ahlalhdeeth dan juga fatwa lain yang sempat saya tuliskan. Mengapa disebut nisbi, tidak lain karena jika memang si laki-laki tersebut meneruskan akadnya (tidak menceraikannya), maka itu tidak bisa disebut penipuan. Saya sangat berharap Anda mengetahui definisi ‘penipuan’ dalam kaca mata syari’at. Selain itu, jika memang seseorang menikah dengan niat thalaq adalah dengan maksud menghindari zina, apakah memang perbuatan dengan niatnya tersebut bisa dihukumi sebagai perbuatan berdosa ? <br /><br />3. Perkataan Anda :<br /><br /><I>“Misalnya dia berkata,”Maaf, <B>saya butuh penyaluran seks</B>, saya akan menikahi Anda baik-baik, <B>tapi dua bulan lagi saya cerai.</B> Anda mau kan membantu niat suci saya menjauhi zina ?”</I>.<br /><br />Lafadh yang Anda katakan di atas masuk dalam definisi nikah mut’ah, bukan nikah dengan niat thalaq. Dari sini menandakan bahwa Anda sebenarnya <B>tidak memahami</B> perbedaan nikah mut’ah dan nikah dengan niat thalaq yang sedang dibahas - sebagaimana dijelaskan para ulama dulu dan sekarang. Di atas telah saya tulis penjelasannya. Oleh karena itu, tanggapan Anda menjadi sangat tidak relevan dengan apa yang sedang dibahas. Silakan Anda baca ulang artikel di atas dengan teliti.<br /><br />4. Anda katakan bahwa pembolehan jumhur itu hanya terkait dengan <B>SAH-nya akad saja</B>. Pertanyaan saya kepada Anda : Bisakah Anda bawakan referensi tentang perkataan Anda di atas dari kitab-kitab ulama terdahulu ? Atau, bisakah Anda membawakan di sini pernyataan jumhur ulama yang melarang dilakukannya (= haram dilakukan) nikah dengan niat thalaq sebagaimana yang Anda isyaratkan ? Adakah memang jumhur mengatakan sebagaimana yang Anda katakan ?<br /><br />Tidak bijak kiranya jika Anda mencoba men-judge satu perkataan tanpa ada sandaran yang jelas. Pada asalnya, sahnya satu perbuatan itu menunjukkan diperbolehkannya perbuatan itu dilakukan. Kecuali ada qarinah/keterangan yang memalingkannya. Dan sampai saat ini – sepanjang referensi yang saya baca – tidak ada keterangan bahwa perkataan jumhur itu hanya dibawa pada makna SAH-nya saja, bukan pada kebolehan melakukannya. Padahal di atas telah saya tuliskan apa yang dikatakan An-Nawawi. Ada baiknya saya ulang :<br /><br />قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .<br /><br />“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah mutlak dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, <B>maka nikahnya sah dan halal</B>. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 9/182].<br /><br />Atau, silakan Anda buka Majmu’ Fataawaa nya Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah juz 32 hal. 147. Di situ Anda akan menemukan pembahasan tentang hal ini (nikah dengan niat thalaq). Beliau menukil 3 pendapat dalam madzhab Imam Ahmad, yaitu : Membolehkan, haram, dan makruh. Adapun yang membolehkan, ini adalah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, sekaligus merupakan pendapat jumhur. Di situ memakai kalimat : <B><I>Nikaahun Jaaizun</I></B>. Apa artinya ? Nikah yang diperbolehkan (nikah tersebut diperbolehkan). Inilah pendapat jumhur. Tidak bisa Anda katakan bahwa makna <B><I>Nikahun Jaaizun</I></B> itu hanya menunjukkan SAH-nya akad saja. Ini menyelisihi lughah sekaligus ‘urf fiqh. Silakan Anda baca di situ, insyaAllah Anda akan mendapatkan sedikit penjelasan mengapa diperbolehkan secara hukum….<br /><br />5. Tentang kaidah Saddu lidz-Dzari’ah, maka ini juga tidak bisa dibawa kepada kemutlakannya. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kaidah ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu Maa Harrama lis-Saddidz-Dzaraai’ Fainnahu Yubaah lil-Haajah wal-Maslahatir-Raajihah. Jika dikaitkan dengan hajat dan/atau maslahat raajih; maka nikah dengan niat thalaq yang dilakukan karena adanya keperluan dan satu maslahat (terhindar dari zina), maka ia hukumnya diperbolehkan. Kedua, dari sisi mafsadat, maka mafsadat yang menjadi konsekuensi amal bukan bersifat muthlaq. Yaitu, mafsadat ini timbul karena adanya kekhawatiran akan adanya penggampangan dan penyelewengan dari orang awam atau pengikut hawa nafsu. Oleh karena itu, ‘pengharaman’ ini sifatnya sementara. Jika faktor-faktor yang menjadi penghalang tersebut sudah tidak ada, maka amalan/perbuatan tersebut tidak lagi dikatagorikan Saddu lidz-Dzaraai’. Ia kembali kepada hukum asalnya. Dan hukum asal nikah dengan niat thalaq adalah mubah/jaaiz menurut jumhur ulama.<br /><br />Misalnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan dan bahkan melarang untuk melakukan perombakan Ka’bah sesuai dengan bentuk aslinya (padahal asal perbuatan ini adalah boleh atau bahkan dianjurkan). Mengapa ? Karena jika dikerjakan, ada kekhawatiran banyak kaum Quraisy baru masuk Islam akan murtad. Oleh karena itu, ketika jaman ‘Abdullah bin Jubair memimpin Makkah, maka ia merubah Ka’bah sesuai dengan aslinya ketika situasi telah memungkinkan dan faktor-faktor penghalang itu tidak ada (walau kemudian dirubah kembali oleh pemimpin dinasti Umayyah setelahnya). <br /><br />Begitu juga dengan nikah dengan niat thalaq ini. Ketika fatwa tentang pembolehan ini disinyalir banyak terjadi penyelewengan oleh orang-orang yang ghulluw, maka nikah itu tidak diperbolehkan untuk mencegah timbulnya mafsadat yang lebih besar. Namun jika satu ketika kekhawatiran mafsadat yang ditimbulkan tersebut sudah tidak ada, maka kembali ke hukum asal, yaitu boleh melakukan nikah dengan niat thalaq. Tentu saja ini dipengaruhi faktor melihat siapa yang melakukan, di tempat mana ia melakukan, dan kapan ia melakukan. Jelasnya, jika ada seorang muslim yang bekerja di Britania yang kehidupannya begitu bebas, sementara itu ia takut terjerumus pada zina, maka ia boleh melakukan nikah dengan niat thalaq kepada wanita yang ada di sana. Apalagi diketahui bahwa ia laki-laki shalih. Sekali lagi, ini jika kita melihat dari kaca mata penghukuman jumhur ulama.<br /><br />Jika saja nikah dengan niat thalaq ini masuk dalam katagori terlarang secara mutlak menurut jumhur berdasarkan kaidah Saddu lidz-Dzari’ah – sebagaimana yang saya tangkap dari perkataan Anda – tentu mereka telah membahasnya itu…. Dan tentu mereka tidak mengatakannya sebagai nikah yang halal atau jaaiz (boleh). Namun kenyataannya tidak demikian bukan ? Maka, penerapan kaidah ini pun tidak mutlak sebagaimana telah saya ketengahkan.<br /><br />Atau contoh lain yang lebih mudah,…. menikah dengan anak perempuan di bawah 16 tahun itu hukumnya menurut syari’at apa ? Boleh kan ? Nah, jika ternyata hal itu diterapkan dan ternyata banyak terjadi penyelewengan – seperti di negara kita – maka pada saat itu diperbolehkan mengatur pembatasan umur minimal menikah. Ini dilakukan bukan karena menikahi anak perempuan di bawah 16 tahun berubah menjadi haram secara hukum, tapi ia dilakukan untuk menghindari mafsadat yang lebih besar. Perlu pengaturan oleh ulil-amri. Orang yang melanggar ketentuan tersebut, bisa kena ta’zir. <br /><br />6. Dalam penghukuman masalah nikah dengan niat thalaq, alangkah baiknya jika kita kedepankan pemahaman dari sisi fiqh. <B>Bukan sekedar perasaan, sentimen, atau logika-logika tanpa dasar.</B>Menikah dengan niat thalaq ataupun menikah sebagaimana umumnya dilakukan, maka itu adalah pilihan. Dan para ulama yang membolehkan juga telah menjelaskan rambu-rambunya. Adanya kenyataan terdapat praktek penyelewengan, maka ini tidak boleh dinisbahkan dari kebolehan hukum itu sendiri. Ndak ada kaitannya antara hukum dengan penyelewengan hukum. Penyelewengan itu bisa terjadi pada nikah apapun, apakah itu monogamy, poligami, bi-niyyatith-thalaq, atau misyaar. Bahkan jika Anda ingin kritisi, nikah misyaar ini lebih banyak penyelewengannya daripada nikah bi-niyyatith-thalaq. Karena nikah misyaar ini terjadi pengguguran sebagian hak, seperti nafkah dan giliran. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai musykilaat nikah misyaar lebih banyak Anda temukan di internet (forum bahasa Arab, Inggris, atau Indonesia) dibanding nikah bi-niyyatith-thalaq. Namun apa yang difatwakan oleh para ulama ? Jumhur ulama mengatakan bahwa nikah misyaar itu jaaiz (walau sebagian di antara mereka tidak menganjurkan untuk melakukannya). Dan ini difatwakan bukan hanya masyaikh Saudi, tapi juga Dr. Al-Qaradlawi dan beberapa masyaikh Mesir. <br /><br />Perkara ada umat Islam yang mengolok-olok sebagian amalan yang diperbolehkan syari’at, maka ini perkara lain. Ini PR kita bersama untuk menjelaskan kepada mereka sesuai dengan kemampuan kita. Bisa jadi olok-olok tersebut karena kebodohan mereka atau yang lainnya. Sesuatu yang boleh tidaklah berubah menjadi tidak boleh hanya karena olok-olok segelintir orang yang tidak mengerti.<br /><br />7. Sebenarnya saya tidak begitu masalah jika Anda atau yang lainnya berbeda pendapat dengan saya dalam permasalahan ini. Toh, para ulama juga berbeda pendapat mengenai hal ini. Makanya, di sini pun saya cantumkan penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin yang cukup panjang. Namun sebaiknya, semua kritik yang diberikan dilandasai oleh pengetahuan fiqh yang benar disertai pemahaman akan aqwal para ulama. Jika hal itu tidak dilakukan, maka contoh kesalahan dapat kita baca pada artikel di eramuslim yang sarat rasa sentimen kepada Salafy-Wahabiy. Al-‘ilmu bit-ta’allum. Tidak selayaknya kesalahan itu ditiru/diulangi oleh siapa saja yang telah mengetahui duduk permasalahannya. <br /><br />Itu saja yang dapat saya tulis. Tidak terasa, pinginnya sedikit, malah jadi banyak. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.<br /><br />Abu Al-Jauzaa’.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-4640670229565292882009-05-13T11:23:00.000+07:002009-05-13T11:23:00.000+07:00Ya, saya setuju dengan sebagian pandangan di atas,...Ya, saya setuju dengan sebagian pandangan di atas, bahwa: <br /><br />- Niat menceraikan itu tidak mengharamkan akad nikah. Itu adalah urusan suami itu dengan Allah. Allah lebih tahu tentang niat baik-buruknya. Artinya, posisi akadnya sendiri sah. ==> Dan pendapat jumhur ulama itu posisinya ada dalam soal sahnya akad ini. Tidak mungkin mereka bersepakat di atas tujuan kebathilan. Iya kan? <br /><br />- Dalam pengamalan, praktik "kawin kontrak" seperti terjadi di Puncak setiap musim liburan Saudi, adalah rusak dan bejat moral. Ya, saya setuju. Dan alhamdulillah saat telah berear fatwa-fatwa koreksi atas fatwa sebelumnya. <br /><br />- Tidak ada pembenaran seperti yang dikatakan Abu Al Jauza, dalam kalimat ini: "Saya tidak sepakat jika hal ini sampai pada derajat haram, karena unsur penipuan yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pun bersifat kemungkinan atau nisbi. Apalagi jika ada seseorang yang menikah dengan cara ini dengan niat (yang benar) agar tidak terjerumus pada zina, maka sangat sulit mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu dihukumi haram." <br /><br />Pertanyaannya: <br /><br />a) Bagaimana disebut nisbi jika praktiknya setiap tahun, setiap musim liburan, dan anak-anak yang sudah lahir dari praktik itu sudah banyak? Masak ini disebut nisbi? <br /><br />b) Kalau memang seseorang punya niat baik ingin menjauhi zina, mengapa tidak terus terang sebelum menikah? Misalnya dia berkata, "Maaf, saya butuh penyaluran seks mendesak. Tapi tidak lama, kok. Saya akan menikahi Anda secara baik-baik, tapi dua bulan lagi saya cerai. Anda mau kan membantu niat suci saya menjauhi zina?" Mengapa tidak dikatakan seperti itu? Kalau mau kebaikan, jangan setengah-setengah. <br /><br />c. Dalam kaidah fiqih ada istilah saddud dharai'. Anda pasti paham semua itu. Jika pintu "kawin kontrak" ini dilegalisasi, maka bangunan pernikahan Islami bisa hancur berkeping-keping. Nanti, setiap suami yang menikah bisa menyimpan niat menceraikan isterinya, setelah hajat seksnya terpenuhi. Nanti Islam akan dihujat oleh ummatnya sendiri, lalu hukum Allah dilecehkan hamba-hamba-Nya sendiri. <br /><br />Ingat pembolehan jumhur ulama itu, hanya dalam soal SAH AKAD, bukan dalam sifat amaliah praktik seperti itu. <br /><br />Wallahu A'lam bisshawaab. <br /><br /><br />== Abisyakir ==Unknownhttps://www.blogger.com/profile/09897866280476370658noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-85083712140392155712009-05-05T21:44:00.000+07:002009-05-05T21:44:00.000+07:00berikut tambahan dari teman di mesir:
----------...berikut tambahan dari teman di mesir:<br /><br /><br />---------- Forwarded message ----------<br />From: Nidlol Masyhud<br />Date: 2009/4/20<br />Subject: [INSISTS] Re: Indonesia menjadi obyek wisata seks bagi turis arab<br />To: insistnet@yahoogroups.com<br /><br />===<br /><br />"Fenomena Penyalahgunaan Fatwa Ulama" plus "Penulisan Berita yang Serampangan".<br /><br />Bolehnya menikah dengan ada niatan bercerai adalah pendapat mayoritas ulama seperti bisa ditelaah di buku-buku turats. Tetapi tentu maksudnya adalah sekedar "niatan" yang bisa berubah kapan saja dan harus pula dilandaskan pada kebaikan dan kemaslahatan, serta tetap terbatasi oleh aturan-aturan pertalakan lainnya.<br /><br />Ini beberapa kutipan fatwa dari buku-buku Fiqih:<br />http://saaid.net/Doat/Najeeb/13.htm<br /><br />Dan untuk fatwa Syaikh Bin Baz tersebut, fatwa tersebut konteksnya adalah setelah peringatan keras beliau tentang bahaya menikah di luar negeri (khususnya di negara-negara eropa yang dilakukan oleh orang Saudi yang melancong ke sana). Bunyinya sebagai berikut:<br /><br />http://www.ibnbaz.org.sa/book/m005.doc (hal. 43)<br /><br />Fatwa yang aslinya pendapat jumhur ini pernah menjadi keputusan Lajnah Da'imah, tetapi seiring dengan banyaknya penyalahgunaan fatwa tersebut, sepeninggal Syaikh Bin Baz, Lajnah Da'imah mengeluarkan fatwa berikutnya<br />http://www.islamqa.com/ar/ref/91962<br /><br />Ini senada dengan fatwanya Syaikh Utsaimin dalam konteks menilai fenomena bejat sebagian orang Arab seperti yang terjadi di Indonesia yang disinggung di Eramuslim itu<br /><br />http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showpost.php?p=697860&postcount=1<br /><br />Dan untuk mulai lebih lanjut mengenai sketsa pandangan para ulama dalam masalah ini, silakan simak penjelasan Syaikh Sa`d di alukah berikut ini:<br /><br />http://www.alukah.net/Fatawa/FatwaDetails.aspx?CategoryID=187&FatwaID=2481<br /><br />====================<br /><br />http://www.islamqa.com/en/ref/91962<br /><br />Getting married with the intention of divorce and the bad consequences of that<br /><br /><br />I have a problem with my marriage. I converted to Islam 12 years ago, before I met and married my husband. I am his second wife. The problem is that my husband has a habit of getting married in secret (to a third wife) without informing any of his relatives or me and the first wife. He likes to keep the third wife secret because usually she is not muslim. He might stay with this woman for a year or two until they split up and then in time he will find someone else. Since I have been with him he has had 3 other woman. I find out that he is with someone when he starts not coming home at night or he travels abroad without telling anyone. He just disapears for 1 or 2 weeks without informing his family. Dispite this he will deny to everyone that he is with another woman. I get so depressed cause I never know whem my husband is gonna stay the night in my house and I know his first wife feels like I do too. I have seen some scholars say that this kind of secret marriage is halal but how can it be when the husband has to lie so much and the wives end up being so deppressed. Don,t woman have the right to know how many wives their husbands have. When my husband only has me and his first wife he is so nice and equal and we are so happy but things change when he gets married in secret again. Please note that he never has documents for the marriages. Please can you help me with this. I need to know if what he is doing is wrong. I know that there are many other woman in my situation because scholars have said these marriages are halal so now lots of men are doing it. But it just encourages men to lie and be unfair and women feel depressed and it really damages the family unit. I have 6 small kids and it has affected us all. <br /><br />Praise be to Allaah.<br />The husband is not obliged to tell his wives that he is going to get married, but if he does get married he is obliged to tell them, because not telling them may make them suspect that he is having illicit relationships, and because they have the right to ask him to be just in dividing his time. When she knows that he has taken another wife, she will understand that the new wife has the same rights as the wives he married before her. <br /><br />Secondly: <br /><br />The husband has to fear Allaah and treat his wives equally. The justice that is required between all his wives has to do with maintenance, accommodation and staying overnight. <br /><br />Shaykh Saalih al-Fawzaan (may Allaah preserve him) said: <br /><br />The sharing that is required has to do with spending the night. So you have to divide your time between them. The same applies to maintenance, accommodation and clothing. It is essential to be fair in these matters, by giving each of them sufficient accommodation, food, drink and clothing. You must also divide your time fairly among your wives. This is the justice that is enjoined by Allaah in the verse (interpretation of the meaning): <br /><br />“…then marry (other) women of your choice, two or three, or four; but if you fear that you shall not be able to deal justly (with them), then only one …”<br /><br />[al-Nisa’ 4:3] <br /><br />al-Muntaqa min Fataawa al-Shaykh al-Fawzaan (5/question no. 384) <br /><br />For more information please see the answer to question no. 10091. <br /><br />Thirdly: <br /><br />Men must fear Allaah with regard to women, and they must remember that people trust them because of their outward religious commitment and adherence to the Sunnah. When one of them asks for a woman, she is given to him on the basis of his outward righteousness and religious commitment. So let him beware of taking advantage of these outward Islamic practices to toy with people’s honour by taking their daughters then giving them back when he has fulfilled their desires. Let him beware lest he becomes the cause of some of them apostatizing or becoming sick or following a path of deviation. We do not think that any of these men would agree to anyone doing that to his daughter or sister, so how can he agree to that being done to other people’s daughters? <br /><br />Let him beware of exploiting people’s weakness and need by offering money and tempting her family with it. This is contrary to chivalry and good morals. We do not think that these people would be able to do the same with the daughters of prominent figures or the daughters of their paternal uncles or other relatives. If the marriage was legitimate then it did not work out and he divorced her, we would not denounce their actions, but if the marriage is for the purpose of satisfying desires, with the aim of changing her after a while, this is a kind of fooling around which is not approved of in Islam; it is a mut’ah marriage or virtually mut’ah marriage. Hence you will not find these people looking for women who are religiously committed, rather they will marry a woman for her beauty even if she is has not completed her ‘iddah, or even if she is well known for her immoral ways, then he will fulfil his desire with her in a hotel for three days and this playboy will not pay any attention to her religious commitment or honour, and she will never be his permanent wife or the mother of his children, so why worry? <br /><br />There follows a fatwa issued by the scholars of the Standing Committee responding to such actions and explaining the ruling on such marriages: <br /><br />The scholars of the Standing Committee were asked: It has become common among young men to travel abroad to get married with the intention of getting divorced, and this marriage is the purpose for which they travel, based on a fatwa that deals with this issue, but many people misunderstand the fatwa. What is the ruling on this? <br /><br />They replied: <br /><br />Getting married with the intention of divorce is a temporary marriage, and a temporary marriage is an invalid marriage, because it is mut’ah, and mut’ah is haraam by consensus. Valid marriage is where a man gets married with the intention of keeping his wife and staying with her if she proves to be a good wife and he gets along with her, otherwise he may divorce her. Allaah says (interpretation of the meaning): “either you retain her on reasonable terms or release her with kindness” [al-Baqarah 2:229]. <br /><br />And Allaah is the Source of strength. May Allaah send blessing and peace upon our Prophet Muhammad and his family and companions. <br /><br />Shaykh ‘Abd al-‘Azeez ibn ‘Abd-Allaah Aal al-Shaykh, Shaykh ‘Abd-Allaah ibn Ghadyaan, Shaykh Saalih al-Fawzaan, Shaykh Bakr Abu Zayd. <br /><br />Fataawa al-Lajnah al-Daa’imah (18/448, 449). <br /><br />There are scholars who issued fatwas allowing that to people studying or working in western countries who feared that they may commit haraam actions, so such a person may get married even if he has the intention of getting divorced. But Allaah may decree that they have children and he may grow attached to them and their mother. Allaah may decree that they get along well so the marriage lasts. The fatwa is not aimed at those who travel with the purpose of getting married. The fatwa is not aimed at those who go for two nights to a poor land and take the virginity of one or more females. If a person cannot control himself during a two-day trip – some of which is for da’wah and charity work – then it is haraam for him to travel at all. Let the wise scholar look at the implications of what he says in his fatwas and what he does, and the effects that that will have on Islam, for Islam is not distorted by its enemies so much as it is distorted by the deeds and attitudes of its own followers. <br /><br />The Muslim to whom Allaah grants one wife or more should praise Allaah and be grateful to Him. He must pay attention to them and his children, so that he will give them a proper Islamic upbringing and education. He should not show ingratitude for this blessing by leaving his wives and children with no guidance and education, looking for fleeting pleasures that do not lead to the establishment of a family or happiness, let alone leading to him wronging himself, his wives and his children. <br /><br />There is no reason why he should not get married in the proper manner, because Islam allows him to marry four wives, but he should also remember that Islam encourages marrying religiously-committed women, because she will be his honour, the mother of his children, the protector of his household and wealth, and the one who will raise his children. It is not befitting for a Muslim to forget the aims and rulings of marriage and go looking to satisfy his desire here and there, then have the audacity to attribute his actions to Islam! <br /><br />This husband should look at the effects of his actions – he is lying, not giving his wives their rights, not treating them and the one whom he marries fairly. He should also examine his motives in choosing the wife whom he intends to divorce. If he makes a good choice then he should look at the impact he will leave behind on her and her family. He should remember that he is a Muslim who represents Islam and Islamic rulings and morals, especially if the matter has to do with trust based on his appearance or his outwardly seeming to be righteous, for he will be the cause of people no longer trusting others like him, even if it does not lead to something worse than that. <br /><br />We have heard of the bad effects of marrying with the intention of divorce, which makes the Muslim feel certain that even if the scholars say that it is permissible in some cases, they should disallow it or at least stop saying that it is permissible. Some of these wives have had their honour impugned after they were married to men who appeared outwardly to be righteous, but when they had satisfied their desires in a hotel in her country, they gave her the second part of the mahr or a little bit of money and sent her back to her family, divorced. In some cases, the family trusted this “outwardly righteous man” and gave their daughter – and their honour – to him without any official marriage contract, trusting that he would do the proper contract in his own country. Then he fulfilled his desire with her and sent her back to her family as a previously-married woman after taking her as a virgin. Now look at the situation of the family: how can they face their neighbours and relatives? What will they say to them? Has honour become like a car to be rented then given back at the end of the stipulated period? Do these people not fear that Allaah will punish them with regard to their daughters and sisters? <br /><br />When some of these women find out that their time with this husband is up, they plead with the husband not to divorce them and to take them to his home land – as he made them believe – as his servant or as a servant for his wives and children. They say that if they go back they will be faced with mistreatment from their relatives and neighbours, which may end with their being killed. But this “outwardly righteous man” refuses these requests and pays no attention to her weeping and pleas. <br /><br />One woman found that her time was up and her husband divorced her, so she called her brother to take her to her family, and all she could do was tell people that he had died in a car accident, so as to protect her honour from being impugned. And Allaah is the One Whose help we seek and in Whom we put our trust. <br /><br />And Allaah knows best.<br /><br />Islam Q&Ahanifhttp://hanif230982.wordpress.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-42228044881849692582009-04-29T10:02:00.000+07:002009-04-29T10:02:00.000+07:00Alhamdulillah, Jazakallahu Khayran Katsir atas tul...Alhamdulillah, Jazakallahu Khayran Katsir atas tulisannya.Anonymousnoreply@blogger.com