tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post2558868963903605707..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Puasa 'ArafahUnknownnoreply@blogger.comBlogger59125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-53512922076086307292014-10-04T09:01:34.323+07:002014-10-04T09:01:34.323+07:00mohon ditanggapi pendapat yg mengatakan kelebihan ...mohon ditanggapi pendapat yg mengatakan kelebihan puasa arafah adalah dhaif, seperti yg ada dalam artikel di bawah. terima kasih.<br /><br />http://ansarul-hadis.blogspot.com/2014/10/penjelasan-status-hadith-kelebihan-puasa.htmlAnonymoushttps://www.blogger.com/profile/00986176448738148562noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-84715660967331013582014-10-04T03:37:01.737+07:002014-10-04T03:37:01.737+07:00Kemudian ditinjau dari bahasa. Puasa 'Arafah i...Kemudian ditinjau dari bahasa. Puasa 'Arafah itu kan diambil dari Shaumi yaumi 'Arafah (puasa hari 'Arafah). 'Arafah itu jelas nama tempat. Asy-Syaikh Sulaimaan bin 'Abdillah Al-Maajid hafidhahullah berkata:<br /><br />والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه.<br /><br />"Kaedah ushuliyyah dimaknai secara dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil yang memalingkan dari makna dhahir tersebut".<br /><br />Dan dalam hal ini tidak ada. Hal yang menguatkan statement itu justru ada pada teks haditsnya sendiri, yaitu:<br /><br /><br />صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية<br /> <br />"<i>Puasa hari 'Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa 'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas</i>".<br /><br />Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat menyebut puasa 10 Muharram disebutkan dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika menyebutkan puasa 'Arafah, tetap dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak semata-mata dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan 'Arafah itu sendiri. Seandainya hari 'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah, niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu : Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan Al-Maajid tersebut dapat dibaca di sini : <a href="http://www.salmajed.com/fatwa/findnum.php?arno=17165" rel="nofollow">إذا اختلف إعلان عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم عرفة؟</a>.<br /><br />Ratusan tahun yang lalu, Ibnul-'Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah saat menjelaskan QS. Al-Baqarah ayat 203 berkata:<br /><br />وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها<br /><br />"Dan bahwasannya seluruh penduduk negeri (di dunia) mengikuti jama'ah haji dalam hal tersebut (termasuk puasa 'Arafah)" [Ahkaamul-Qur'aan, 1/143].<br /><br />Selain itu, beberapa ulama kontemporer juga telah memfatwakan semisal. Silakan baca : <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html" rel="nofollow">Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-'Ubailan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang Puasa 'Arafah</a>.<br /><br />Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-80841397399244673062014-10-04T03:21:00.144+07:002014-10-04T03:21:00.144+07:00Wuquf 'Arafah itu merupakan syari'at manas...Wuquf 'Arafah itu merupakan syari'at manasik yang telah ada semenjak jaman Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam. Ibnu Katsiir rahimahullah pernah berkata saat menjelaskan QS. Al-Baqarah : 197:<br /><br />وقال عبد الله بن وهب : قال مالك : قال الله تعالى : ( ولا جدال في الحج ) فالجدال في الحج والله أعلم أن قريشا كانت تقف عند المشعر الحرام بالمزدلفة ، وكانت العرب ، وغيرهم يقفون بعرفة ، وكانوا يتجادلون ، يقول هؤلاء : نحن أصوب . ويقول هؤلاء : نحن أصوب . فهذا فيما نرى ، والله أعلم .<br />وقال ابن وهب ، عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم : كانوا يقفون مواقف مختلفة يتجادلون ، كلهم يدعي أن موقفه موقف إبراهيم فقطعه الله حين أعلم نبيه بالمناسك .<br /><br />Orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab dan yang lainnya wuquf di 'Arafah. Mereka berbantah-bantahan. Semua mengklaim paling benar dalam manasiknya dan mengikuti manasik Ibraahiim 'alaihis-salaam. Maka kemudian Allah lah yang memutuskan dengan mengutus Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka manasik haji yang benar.<br /><br />Dan sebagaimana diketahui, wuquf beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah.<br /><br />Intinya,....... hari 'Arafah dengan penyandaran pada wuquf di 'Arafah itu sudah ada semenjak sebelum haji wada', dan merupakan bagian dari syari'at manasik Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.<br /><br />عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " اعْلَمُوا أَنَّ عَرَفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ، وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ، إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ ". قَالَ مَالِك: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، قَالَ: فَالرَّفَثُ إِصَابَةُ النِّسَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ، قَالَ: وَالْفُسُوقُ الذَّبْحُ لِلْأَنْصَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ، قَالَ: وَالْجِدَالُ فِي الْحَجِّ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَقِفُ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، بِالْمُزْدَلِفَةِ، بِقُزَحَ وَكَانَتْ الْعَرَبُ وَغَيْرُهُمْ يَقِفُونَ بِعَرَفَةَ، فَكَانُوا يَتَجَادَلُونَ، يَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا يُنَازِعُنَّكَ فِي الأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ، فَهَذَا الْجِدَالُ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَقَدْ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ<br /><br />Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa.<br /><br />aya mendapatkan kutipan tulisan dari Syaikh Muhammad Khaliil Harraas tentang ibadah haji berikut :<br /><br />"Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa"<br /><br />[selesai kutipan].<br /><br /><a href="http://almanhaj.or.id/.../3369/slash/0/syariat-ibadah-haji/" rel="nofollow">Syariat Ibadah Haji</a><br /><br />Dari tulisan tersebut dijelaskan bahwa wuquf di 'Arafah merupakan bagian dari manasik haji Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.<br /><br />Oleh karena itu, penyandaran hari 'Arafah pada wuqufnya jama'ah haji di 'Arafah adalah benar.<br /><br />Tentang nama puasa 'Arafah, maka terjemahan yang benar bukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah atau puasa tanggal 10 Dzulhijjah, akan tetapi puasa 9 hari awal bulan Dzulhijjah atau puasa 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Maka, hadits ini tidak relevan jika dikaitkan dengan puasa 'Aasyuuraa'. Tidak nyambung. Lagi pula, hadits ini lemah. Silakan baca artikel : <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/10/hadits-puasa-9-hari-awal-bulan.html" rel="nofollow">Hadits Puasa 9 Hari Awal Bulan Dzulhijjah</a>.<br />Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-49700787758520320612014-10-03T23:36:19.744+07:002014-10-03T23:36:19.744+07:00Ketika Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah belum ada u...Ketika Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah belum ada umat Islam yg wuquf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah (baca : Zaadul maad II : 101, Manarul qari III : 64). <br /><br />Sedangkan puasa 9 dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah jauh sebelum wukuf haji disyariatkan (baca : shubhul a'sya II : 444, Bulughul Amani Juz VI : 119, Subulus salam I : 60).<br /><br />Jelas, penamaan shaum Arafah bukan karena fi'lun (wukuf di Arafah dalam ibadah haji).<br /><br />Dan istilah “Arafah” hanya sekedar mim bab Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yg biasa atau banyak dipakai) dan Arafah adalah ismul yaum (nama hari) ke 9 (tis'a) dibulan dzulhijah.<br /><br />Sudah sangat jelas dan terang benderang penjelasannya tanpa keraguan sedikitpun.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-69193127419870520532014-09-30T22:14:59.033+07:002014-09-30T22:14:59.033+07:00Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin...Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah haji.<br /><br />Sedangkan kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang mereka lakukan di negeri mereka. <br /><br />1. Sejarah<br /><br />Puasa Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wukuf di Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.<br /><br />2. Tiga Nama Puasa Arafah.<br /><br />a. Puasa Tis’a Dzuhijjah.<br /><br />Salah seorang istri Nabi saw. menyampaikan, “Rasulullah saw. biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap.” <br /><br />b. Puasa Al-’Asyru<br /><br />“Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: puasa ‘Asyura, puasa al-asyru.<br /><br />3. Fatwa Para Ulama<br /><br />a. Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah.” <br /><br />b. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah.” <br /><br />c. Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah rukyah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal."<br /><br />Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia (Kuraib) berkata: "Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.” <br /><br />Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.<br /><br />“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah” <br /><br />Bagi orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.<br /><br />Sebagai informasi tambahan, ada beberapa mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah adalah dengan mengikuti ru’yah negerinya.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-76481267394320320402013-07-25T04:24:11.097+07:002013-07-25T04:24:11.097+07:00bismiLlah, afwan ustadz tanya. bagaimana bila ada ...bismiLlah, afwan ustadz tanya. bagaimana bila ada orang yang berencana menyengaja untuk wuquf setelah matahari terbenam (jadi siangnya tidak wuquf) apakah dia jg disunnahkan tidak berpuasa ataukah berpuasa? mohon ifadah dan nukilan bila ada. jazakumullohu khoiroMuhammad al Umarihttps://www.blogger.com/profile/02816757843666445528noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-68370382635453316102012-10-17T07:52:07.977+07:002012-10-17T07:52:07.977+07:00Mohon jawabannya ustadz, karena sedikit bingnug : ...Mohon jawabannya ustadz, karena sedikit bingnug : <br />1. Dalam menentukan bulan menggunakan ru'yatul hilal dari siapa? dari amir masing2 negri atau mekah ? atau cuma dzulijjah aja yang disesuaikan mekah atau gimana ?<br />2. Seandainya kita duluan dzulhijjahnya maka akan ada jarak 1 hari kosong ini bagaimana ? apa puasa 9 hari kemudian untuk arafahnya ikut mekah ?<br />Jazakallahu khairan<br />Abul HasanAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-67414335036339349592012-10-16T22:43:41.730+07:002012-10-16T22:43:41.730+07:00Pendalilan antum tidak nyambung. Adakah di antara ...Pendalilan antum tidak nyambung. Adakah di antara dalil yang antum sebut berbicara tentang puasa 'Arafah ?.<br /><br />Seandainya inti yang antum tekankan adalah 'ketaatan terhadap penguasa', bukankah antum juga tahu itu tidak bersifat mutlak. Ia tetap dibatasi dengan kalimat : 'dalam hal yang ma'ruuf'. Maknanya : yang sesuai dengan kebenaran.<br /><br />Jadi, jika perkaranya adalah : <br /><br />"Apakah puasa 'Arafah itu diputuskan sesuai dengan keputusan penguasa negeri setempat, ataukah berdasarkan waktu wuquf di 'Arafah ?".<br /><br />Inilah yang dibahas.<br /><br />Adapun misalnya ada yang berhujjah bahwa tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru negeri Islam berpuasa 'Arafah dalam waktu yang bersamaan; maka itu merupakan 'udzur. 'Udzur karena sikon waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transfer informasi yang cepat seperti saat sekarang, sehingga masing-masing mereka berijtihad dengan ru'yah mereka masing-masing di setiap negeri.<br /><br />wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-60063325060274500922012-10-15T09:19:10.102+07:002012-10-15T09:19:10.102+07:00Lantas bagiamana memahami sabda Rasuulullaah "...Lantas bagiamana memahami sabda Rasuulullaah "berpuasa/berbuka/berkurban" diatas?<br /><br />Dari as-Sahmi,<br /><br /> “Aku mendatangi Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan menghina) al-Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau, dan bukan penguasa bagiku.” <br /><br />[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, no. 83 - Maktabah Syamilah]<br /><br />Aba Umamah tinggal di Syam, manakala as-Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin (wakil khalifah) di Iraq ketika itu adalah al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafiy<br /><br />Dan kita tahu... Dimana telah ternukil dari imam-imam bahwa kewajiban mentaati penguasa dalam penentuan DUA 'IID... sebagaimana disampaikan para imam salafush shalih?<br /><br />Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan berkaitan isu berbilang-bilangnya negeri, wilayah, ataupun negara Islam berkata:<br /><br />وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره<br /><br />التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار فإنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد منها خبر إمامها أو سلطانها ولا يدرى من قام منهم أو مات فالتكليف بالطاعة والحال هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على أحوال العباد والبلاد فإن أهل الصين والهند لا يدرون بمن له الولاية في أرض المغرب فضلا عن أن يتمكنوا من طاعته وهكذا العكس وكذلك أهل ما وراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمين وهكذا العكس فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية <br /><br />والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن<br /><br />“Adapun selepas penyebaran Islam, semakin luas wilayahnya, dan jarak yang jauh di antara negeri-negerinya, maka telah diketahui bahawa setiap negeri atau beberapa negeri bergantung kepada seorang pemerintah atau sultan. <br /><br />Begitu juga dengan negeri yang lain. Seseorang pemerintah itu tidak memiliki kuasa untuk mengeluarkan perintah maupun larangan selain dari negerinya atau beberapa negeri yang tunduk kepadanya.<br /><br />Oleh itu, berbilang-bilang pemerintah atau sultan bagi setiap negeri masing-masing diharuskan (dibolehkan). <br /><br />Setiap daripada mereka wajib ditaati selepas bai’ah yang diberikan oleh penduduk negeri tersebut dan ia berhak mengeluarkan perintah dan larangan. Begitulah juga dengan pemerintah bagi negeri yang lain.<br /><br />Apabila terdapat segolongan pihak yang mencoba merampas kekuasaan daripada seseorang pemerintah yang telah memiliki kedaulatan (yang sah) dan juga diberi bai’ah (kepercayaan) oleh penduduknya, maka pada ketika itu, hukuman kepada golongan tersebut ialah dibunuh jika ia tidak bertaubat.<br /><br />Penduduk negeri yang lain tidak wajib mentaatinya, atau pun berlindung di negaranya kerana kedudukan yang jauh antara negeri. <br /><br />Penduduk seperti ini tidak sampai kepada hal-ehwal pemerintah atau pun sultan mereka, dan mereka tidak mengetahui siapa yang masih hidup atau yang sudah mati daripada pemerintah mereka.<br /><br />Kewajiban untuk taat dalam keadaan ini merupakan satu kewajiban yang tidak terdaya untuk ditanggung. Perkara ini sedia dimaklumi oleh mereka yang arif dalam bidang pentadbiran rakyat dan negara.<br /><br />Maka ketahuilah kamu tentang perkara ini, kerana ia amat sesuai dengan kaedah syara’. Dan bertepatan dengan yang telah ada. <br /><br />Pendapat yang menyelisihinya tidak perlu dihiraukan kaena memang terdapat perbedaan yang sangat jelas di antara negeri-negeri Islam diawal Islam dengan yang ada sekarang.” <br /><br />(asy-Syaukani, as-Sailul Jarrar al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/941)Abu Zuhriyhttp://abuzuhriy.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-26115546903864332022012-10-15T08:51:42.123+07:002012-10-15T08:51:42.123+07:00Singkat saja ya,.... hanya tiga point pokok saja y...Singkat saja ya,.... hanya tiga point pokok saja yang saya tanggapi saat ini :<br /><br />1. Tentang riwayat Husain bin Al-Haarits Al-Jadaliy.<br /><br />Yang nampak bagi saya bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan datang bulan Dzulhijjah memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal. Tentu saja ini dalam rangka pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Waktu itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berkedudukan di Madiinah. Tentu saja dipahami bahwa perintah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah untuk beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pakai juga.<br /><br />2. Riwayat Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu yang antum sebut tidak berkaitan dengan 'Iedul-Adlhaa. Lagi pula, ada beberapa penakwilan dari beberapa ulama bahwa atsar Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa tersebut tidaklah menetapkan adanya perbedaan mathlaa'.<br /><br />3. Tentang HR. Abu Dawud no. 2437, itu keliru dalam terjemahan. Begini lafadhnya :<br /><br />كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة ويوم عاشوراء وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس <br /><br />"Dulu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berpuasa <b>sembilan hari pada bulan Dzulhijjah</b>, berpuasa pada hari 'Aasyuuraa'......".<br /><br />Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-4289290189058569502012-10-15T08:25:52.267+07:002012-10-15T08:25:52.267+07:00lagi pula perbedaan penetapan ru'yatul hilal S...lagi pula perbedaan penetapan ru'yatul hilal SUDAH ADA DIZAMAN PARA SHAHABAT... sebagaimana riwayat ibnu abbaas dalam shahiih muslim..<br /><br />1. Atsar ibnu abbas tersebut ini telah menjadi landasan bagi sebagian ulama yang berpendapat bahwa penduduk suatu negeri tidak diperbolehkan mengikuti ru'yah hilal negeri yang lain. <br /><br />2. SEKARANG.. adakah DALIL KHUSUS yang MEMBEDAKAN idul adh-ha dengan shaum ramadhan dan idul fithriy; yang SHAHIIH lagi SHARIIH yang memalingkan dari DALIL UMUM berikut:<br /><br />“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari KALIAN berkurban.”<br /><br />[HR. at-Tirmidzi]<br /><br />Seandainya kita memahami "kalian" itu adalah masyarakat sekitar (dan inilah yang dipahami ibnu abbaas).. Maka tentunya kita wajib memahami KETIGANYA SECARA SAMA.. tidak membeda-bedakan penyikapannya, kecuali ada dalil yang shariih yang mengecualikan idul adh-ha..<br /><br />Rasuulullaah pun tidak bersabda: "hari berkurban adalah hari PENDUDUK MEKKAH berkurban" akan tetapi beliau menyamakannya sebagaimana shaum ramadhan dan idul fithri..<br /><br />Dan demikian pula pemahaman 'aa-isyah dalam atsar masruq.. <br /><br />Lantas dalil SHAHIH dan SHARIIH mana yang mendukung ta'wil dengan "kecuali idhul adh-ha, maka mengikuti ru'yatul hilal makkah"<br /><br />Hadits-hadits yang antum bawakan dalam artikel diatas, tidak shariih dalam memalingkan hadits shariih diatas..<br /><br />3. Para shahabat MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN.. seandainya berkiblat kepada ru'yatul hilal penduduk mekkah pada bulan dzulhijjah itu diperintahkan rasuulullaah.. maka mereka akan meriwayatkan: "sesungguhnya apabila telah mendekati bulan dzulhijjah, rasuulullah mengutus utusan beliau ke makkah untuk mengetahui hilal disana, agar kami mengikuti hilal mereka..."<br /><br />namun yang sampai kepada kita hanyalah riwayat yang ini... dan itupun menurut pemahaman ibnu abbas, TIDAK WAJIB mengikuti ru'yatul hilal amirul mukminin yang ada di syam.. BAHKAN YANG SUNNAH adalah mengikuti ru'yatul hilal penduduk sekitar..<br /><br />sekiranya, mengikuti hilal mekkah itu adalah biasa, tentu hal ini akan disepakati oleh Ibnu Abbaas.. karena beliau biasa melakukannya dizaman rasuulullaah.. <br /><br />bahkan dalam atsar diatas jelas-jelas beliau memerintahkan untuk mengikuti ru'yatul hilal penduduk masing-masing..<br /><br />4. Kalaupun mu'awiyah berpemahaman bahwa idul adh-ha DIPERINTAHKAN RASUULULLAAH untuk mengikuti ru'yatul hilalnya mekkah.. mana dalil beliau mengutus utusan ke makkah untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah? <br /><br />adakah ternukil para shahabat yang berada di syam, mengikuti ru'yatul hilal mekkah? ini perkara besar, yang pasti akan sampai kepada kita riwayatnya.. sebagaimana telah sampai kepada kita atsar ibnu abbaas diatas..<br /><br />5. Dan telah shahiih lagi shariih hadits:<br /><br />“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada (TANGGAL/HARI KE) 9 Dzulhijjah.” <br /><br />(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)<br /><br />Lihat, disana shaum arafah disandarkan kepada TANGGAL/HARI ke 9-nya...<br /><br />Bukankah ini secara jelas dan terang bahwa para shahabat memahami puasa arafah, tidak disandarkan secara mutlak kepada "hari arafah"-nya? tapi juga bisa dipahami berdasarkan harinya atau tanggalnya?!Abu Zuhriyhttp://abuzuhriy.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-41631250671668907282012-10-15T08:25:19.281+07:002012-10-15T08:25:19.281+07:00Baarakallaahu fiik ustadz...
Mohon perkenankan an...Baarakallaahu fiik ustadz...<br /><br />Mohon perkenankan ana untuk mengekspresikan kemusykilan...<br /><br />----<br /><br />Diatas disebutkan:<br /><br />"Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah RU'YAH HILAL penduduk MAKKAH, bukan yang lain. "<br /><br />Kalaulah ru'yah hilal makkah menjadi rujukan...<br /><br />Adakah dalam atsar diatas menunjukkan bahwa RASUULULLAAH memerintahkan kaum muslimiin untuk berkiblat kepada makkah?<br /><br />Yang nampak dari hadits diatas, adalah RASUULULLAAH hanyalah memerintahkan penduduk mekkah mengikuti hilal yang ditetapkan amir mereka...<br /><br />jika seandainya kaum muslimin diperintahkan (yaitu wajib) untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah dalam idul adh-ha (dzulhijjah).. maka PASTILAH rasuulullaah SAAT ITU langsung bersabda: "dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti ru'yah kalian".. karena tidak boleh bagi beliau MENGAKHIRKAN PENJELASAN pada waktu yang dibutuhkan.. <br /><br />tapi adakah beliau dalam hadits diatas bersabda demikain?<br />Abu Zuhriyhttp://abuzuhriy.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-53867960528629410912011-03-26T15:51:11.745+07:002011-03-26T15:51:11.745+07:00Saya memang bukan ahli di bidang astronomi. Akan t...Saya memang bukan ahli di bidang astronomi. Akan tetapi terkait dengan link yang Anda sampaikan, coba Anda cermati jawaban saya tanggal 16 November 2010 pukul 22:33 dan 17 November 2010 00:31, karena pembicaraan itu telah lewat. Dan sampai sekarang, yang bersangkutan belum memberikan tanggapannya kepada saya terkait logika geografis-astronomis yang saya sampaikan.<br /><br />Baarakallaahu fiikum.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-62231408692132156232011-03-26T10:56:56.253+07:002011-03-26T10:56:56.253+07:00Pak Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu Astronomi, ...Pak Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu Astronomi, Fisika, dan Matematika.<br /><br />Baca dulu ini:<br />http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html<br /><br />Ada yg bilang, bulannya 1 kenapa beda tanggal.<br />Itu dalam konsep bulan.<br />Bagaimana dengan mataharinya 1.<br />Matahari antara 1 wilayah dengan wilayah lain kan beda-beda jam sampai hari juga beda.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-58275932759392731792010-11-21T15:52:22.074+07:002010-11-21T15:52:22.074+07:00tanggapan antum ditanggapi kembali oleh ust murad ...tanggapan antum ditanggapi kembali oleh ust murad said di kolom komentarnya.abu wafahtttp://www.albinaa.or.idnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-24919803611751207852010-11-18T17:24:50.476+07:002010-11-18T17:24:50.476+07:00Hadits lain yang berbicara tentang penyifatan keut...Hadits lain yang berbicara tentang penyifatan keutamaan hari ‘Arafah :<br />Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :<br /><br />ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء<br /><br /><i>“Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah. Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?”</i> (HR. Muslim)<br /><br />Kemuliaan ini terkait dengan orang-orang sedang melaksanakan wuquf di ‘Arafah. <br /><br />Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :<br /><br />ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا<br /><br /><i>“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu”</i> (HR. Ahmad 2/224).<br /><br />Adakah hadits ini bisa dibawa pada pengertian ‘berbilangnya hari ‘Arafah’ sesuai dengan mathla’ masing-masing negeri ? Bahkan, hari ‘Arafah dengan kemuliaannya itu adalah hari yang satu yang terkait dengan sebab tempat sebagaimana kita lihat dalam hadits di atas.<br /><br />Itu saja yang dapat saya tanggapi secara ringkas. Bagaimanapun, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Murad Sa’iid di Singapura yang telah bersedia mengomentari tulisan saya. Jazaahullaahu khairan.<br /><br />Wallaahu a'lam bish-shawwaab.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-2091381803026011742010-11-18T17:20:44.791+07:002010-11-18T17:20:44.791+07:006. Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah, sebenarnya ba...6. Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah, sebenarnya bagi saya itu telah jelas bahwa ibadah-ibadah yang terkait dengan haji (termasuk puasa ‘Arafah) terkait dengan tempat, sehingga orang-orang lain yang tidak melaksanakan haji di tanah Haram, mengikuti pelaksanaannya orang orang yang melakukan haji. Itulah yang dhahir. Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah lain yang terkait dengan permasalahan ini [25/203], justru tidak ada petunjuk padanya bahwa hilal yang berlaku adalah hilal penduduk kota tersebut dengan mengabaikan pengetahuan hilal penduduk Makkah. Karena, ada kemungkinan bahwa yang diputuskan oleh hakim kota tersebut mengikuti keputusan hilal Dzulhijjah penduduk Makkah. Atau pendek kata, pengambilan perkataan Ibnu Taimiyyah oleh beliau pun tidak lepas dari banyak kemungkinan.<br /><br />7. Tentang perkatan Ibnu Rajab, maka itu hanya sebagai catatan kaki tentang penyebutan di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shalat ‘Iedul-Adlha mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di Makkah. Sangat jelas pada perkataan beliau : <i>” Sesungguhnya waktu pelemparan jumraholeh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied <b>bagi orang-orang yang ada di tempat lain</b>”</i>.<br /><br />8. Dikatakan bahwa orang yang berpuasa ‘Arafah mengikuti wuqufnya para hujjaj di ‘Arafah tidak mempunyai dalil, maka mafhumnya beliau mengatakan apa yang beliau pegang itu mempunyai dalil yang shahih dan sharih. Lantas dimanakah gerangan dalil itu ? Apapun perkataan beliau (Ustadz Murad) dalam hal ini, maka itu adalah haknya untuk mengatakannya.<br /><br />Namun, mari kita cermati atsar sebagai berikut :<br /><br />حدثنا يزيد بن هارون قال أنا ابن عون عن إبراهيم قال كانوا لا يرون يصوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Mereka berpendapat tidak mengapa berpuasa ‘Arafah, kecuali mereka khawatir hari itu adalah hari penyembelihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].<br /><br />"Mereka" di sini adalah sebagian shahabat dan tabi’in, karena Ibraahiim adalah seorang tabi’iy. <b>Sisi pendalilannya adalah :</b><br /><br /><i>“Kekhawatiran itu datang dari ketidakpastian atau keraguan. Mafhumnya, kekhawatiran itu tidak terjadi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, karena mereka mengetahui kapan para jama’ah haji wuquf di ‘Arafah. Penduduk Makkah di kalangan salaf tidak pernah ragu kapan melakukan wuquf ‘Arafah dan puasa ‘Arafah. Kekhawatiran itu muncul bagi mereka bagi mereka yang jauh dari ‘Arafah. Misal : Penduduk ‘Iraq, Syaam, dan yang lainnya. Dan Ibraahiim sendiri adalah orang ‘Iraaq (Bashrah). Jika memang penduduk negeri masing-masing telah menetapkan hilal yang ditentukan oleh penguasa setempat – dan seandainya mereka telah sepakat menerima hal itu - , buat apa mereka ragu ? ‘Illat kekhawatiran/keraguan mereka adalah karena bertepatan dengan hari penyembelihan. Besar kemungkinan keraguan itu ada karena kekhawatiran hari itu bertepatan dengan hari dimana penduduk Makkah (dan jama’ah haji) melakukan penyembelihan, dimana khabar itu belum sampai pada mereka”</i>.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-81896122624122305372010-11-18T17:16:02.847+07:002010-11-18T17:16:02.847+07:00Mengenai tanggapan ustadz Murad Sa'iid di http...Mengenai tanggapan ustadz Murad Sa'iid di <a rel="nofollow">http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html</a>, ijinkanlah saya memerikan tanggapan balik secara ringkas sebagai berikut :<br /><br /><br />1. Dikatakan bahwa khilaf ini hanyalah terjadi di masa kontemporer. Namun Dr. Muhamad l-Asyqaar dan Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’ur menjelaskan sebaliknya, bahwa tidak ada perselisihan di kalangan salaf tentang kewajiban mengikuti pelaksanakan wuquf di 'Arafah.<br /><br />2. Dikatakan bahwa puasa ‘Arafah tidak terkait dengan wuquf di ‘Arafah. Justru mafhumnya, puasa ‘Arafah tidaklah dilakukan pada waktu jama’ah haji tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu adalah nama satu hari yang tidak berbilang. Puasa yang disandarkan kepadanya pun terkait dengan tempat dan waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah. <br /><br />3. 3. Hadits mursal : ((وعرفة يوم تعرفون)) justru menunjukkan apa yang disebutkan dalam point kedua di atas. Dan bagi orang di luar Makkah, maka ini pun selaras, tidak ada pertentangan dan pembeda-bedaan. Hari dimana kalian wuquf di ‘Arafah adalah seperti halnya penyebutan keseluruhan namun yang dimaksudkan sebagian sebagaimana tertera dalam kaedah ushul fiqh. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya di Makkah atau Madinah, maka dipahami bahwa tidak semua orang/shahabat melakukan wuquf di ‘Arafah. Akan tetapi para shahabat tetap memberlakukan penetapan hari ‘Arafah berdasarkan waktu para shahabat lain yang melakukan wuquf di ‘Arafah. Mereka berpuasa ‘Arafah pada waktu shahabat lain melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan itulah yang banyk tertera dalam atsar. <br /><br />4. Tentang perkataan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’, maka itu sebagai petunjuk bahwa hari ‘Arafah itu bukan ditentukan berdasarkan urutan hari (yaitu hari kesembilan) sebagaimana telah lewat penyebutannya. Maka ia bisa saja hari kesembilan atau kesepuluh menurut perhitungan hari Dzulhijjah orang tersebut. <br /><br />5. Tentang hadits Husain bin Al-Haarits, maka itu sebagai petunjuk bahwa pengesahan dan penerimaan persaksian ditentukan oleh Amir kota Makkah. Saksi yang berasal dari penduduk Makkah adalah boleh, dengn syarat hal itu disahkan dan diakui oleh amir Makkah. (Dan ingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah pemimpin seluruh umat Islam, namun beliau tetap menyandarkan keputusan dan pengesahan pada amir kota Makkah). <br />Seandainya persaksian itu tidak diterima (karena Amir kota Makkah lebih menerima persaksian selainnya). Pertanyaan kecilnya : "Adakah riwayat di kalangan shahabat atau tabi'in yang tersebar di daerah Syaam, Yaman, atau 'Iraaq yang menyelisihi keputusan amir kota Makkah ?". Termasuk penyelisihan mereka dalam pelaksanaan puasa di hari 'Arafah ? Hukum asal penetapan waktu yang dilakukan oleh amir Makkah atas perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga berlaku bagi penduduk Madinah atau tempat-tempat lainnya; baik bagi orang yang ingin melaksanakan haji atau tidak. Apakah perintah menyembelih dalam hadits hanya terkait manasik haji saja ? Bahkan menyembelih itu dilakukan oleh para jama;ah haji yang kemudian juga diikuti oleh kaum muslimin lain yang tidak melaksnaakan ibadah haji. <br /><br />Jika dikatakan bahwa perintah Rasulullah itu hanyalah berkaitan dengan manasik haji di kota Makkah, maka dimana letak dhahir pernyataan itu dalam hadits ?Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-76108636220684300802010-11-18T11:58:32.420+07:002010-11-18T11:58:32.420+07:00Agar lebih sistematis saya menanggapi per paragraf...Agar lebih sistematis saya menanggapi per paragraf saja ya akh.<br />Antum berkata: "Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing." <br /><br />Saya menanggapi: Mohon maaf kalau (terkesan) tidak nyambung. Dengan tulisan tersebut saya memang tidak memiliki maksud untuk membantah semua ilmu kanuragan yang dikeluarkan antum. Saya setuju bahwa puasa arofah dilakukan pada saat para hujjaj wukuf arofah dan demikian pula idul adha. (kalau mau yang bener-bener adu ilmu kanuragan silakan ditanggapi email-emailnya akh Abu Umair di milis, hehe)<br />Pada intinya tidak ada yang saya tidak sepakat dari body tulisan utama antum. Yang saya kurang setuju adalah buntut diskusi di comment2 di bawah body tulisan utama bahwa untuk kasus tahun 2010 ini puasa arofah jatuh pada hari senin 15 November dan Idul Adha sehari setelahnya.<br /><br />Antum berkata: "Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah."<br /><br />Tanggapan saya: Kalau saya kerucutkan sebenarnya perbedaan antara kita adalah pada bagaimana memaknai yaumu arofah sebagaimana disebutkan oleh Nabi. Antum memahami yaumu arofah sebagai “day” yang sama dengan pelaksanaan wukuf arofah. Sementara saya memahami yaumu arofah sebagai “date” pelaksanaan wukuf arofah, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Baz mengenai hari kesembilan. Memang tidak ada hadits yang menegaskan puasa arofah pada hari kesembilan dzulhijjah sehingga antum sampai bisa menyimpulkan bahwa yang harus sama adalah day-nya. Namun sampai sekarang saya tetap berpendapat bahwa yang disebut dengan yaumu arofah adalah date hijri dimana dilakukan wukuf arofah yaitu hari kesembilan dzulhijjah, karena kita tidak bisa menggunakan international date line dalam masalah ini. International date line (yang secara internasional dijadikan sebagai day line juga) yang menjadi secara praktis kita terima dalam penentuan day berasal dari aplikasi konsep penanggalan masehi yang murni menggunakan matahari dalam penentuan hari dan tahun, sementara penentuan bulannya dilakukan secara arbitrer tanpa melihat (fase) bulan.<br />Day line internasional ini menurut saya tidak terlalu menjadi masalah untuk diterapkan pada ibadah-ibadah umat muslim yang bersifat harian dan pekanan (karena pekan adalah fungsi dari hari). Dengan demikian tidak masalah kalau kita menggunakan penentuan hari jumat dengan menggunakan day line internasional ini (kecuali kalau nanti ada kesepakatan dunia islam yang berbeda mengenai day line ini. <br />Namun demikian day line internasional ini menjadi masalah untuk ibadah-ibadah yang terikat bulan seperti misalnya wukuf arofah ini, karena pola penampakan hilal dan pergantian bulan tidak pernah bisa sama dengan pergantian day secara internasional. Pola penampakan hilal bersifat dinamis mengikuti apa yang disebut hijri date line.<br />Dengan demikian menurut saya yang lebih tepat untuk digunakan untuk ibadah yang terikat bulan ini adalah hijri date line karena hijri date line ini memang dibuat sesuai dengan pola penampakan hilal di semua belahan dunia. Termasuk yang menurut saya harus menggunakan hijri date line ini adalah ibadah turunan dari wukuf arofah ini yaitu puasa arofah bagi yang tidak melaksanakan haji.<br /><br />Bersambung.abu zaidhttp://ayahzaid.blogspot.comnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-76027996493254223862010-11-18T08:49:28.101+07:002010-11-18T08:49:28.101+07:00Ada komentar dalam blog fawaaid.sg.
Saya masih bi...Ada komentar dalam blog fawaaid.sg.<br /><br />Saya masih bingung menentukan mana yang rajih dalam masalah ini.<br /><br />Jazakallah khairan.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-77121499148625855922010-11-17T02:16:11.859+07:002010-11-17T02:16:11.859+07:00Banyak yang rancu memahami permulaan hari dalam ta...Banyak yang rancu memahami permulaan hari dalam tahun Masehi dan Hijriah. Hari baru pada tahun Masehi mulai pukul 00.00 sedangkan pada hijriah dimulai saat matahari tenggelam, misal pukul 18.00. Misalkan jika pada 6 oktober pukul 18.00 hilal terlihat di Saudi,maka Saudi sudah memasuki hari baru yaitu tanggal 1 Dzulhijjah,sedangkan di Indonesia sudah pukul 22.00 maka tanggal 1 Dzulhijjah indonesia baru dimulai pukul 18.00 keesokan harinya tanggal 7, karena pergantian hari saat tenggelamnya matahari yaitu 20 jam kemudian. Keterangan lengkapnya <br />http://sains.kompas.com/read/2010/11/16/09075675/Memahami.Perbedaan.Idul.Adha.1431.Hzaxhttp://(opsional)noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-66281820653982571662010-11-17T00:31:46.648+07:002010-11-17T00:31:46.648+07:00Dan sedikit tambahan :
Seandainya dikatakan bahwa...Dan sedikit tambahan :<br /><br />Seandainya dikatakan bahwa secara 'de jure' Indonesia baru masuk 1 Dzulhijjah 20 jam kemudian. Kalau boleh saya sedikit berkomentar, maka secara umum daerah-daerah yang terletak di sebelah timur Saudi dihukumi dengan dengan selisih beda sehari. Jika demikian, lantas bagaimana dengan daerah yang selisihnya 23 jam dengan Saudi alias 'de facto'-nya hanya selisih 1 jam saja dengan posisi 'Arafah. Apakah juga 'diwajibkan' puasa 'Arafah dan 'Ied sehari kemudian ? Atau kita paksa lagi dengan pernyataan : beda 23 1/2 jam, alias bedanya secara 'de facto' hanya setengah jam saja dengan 'Arafah.<br /><br />Bagi saya, secara 'aqliyyah ini sulit diterima. <br /><br />Secara umum, sebatas pemahaman saya, logika ini sama seperti logika 'mathla'; hanya saja dengan bahasa yang sedikit berbeda.<br /><br />Mohon koreksinya.<br /><br />Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-74726351246774100642010-11-16T22:33:10.022+07:002010-11-16T22:33:10.022+07:00@akh abuzaid,….. Terima kasih atas ulasannya. Ada ...@akh abuzaid,….. Terima kasih atas ulasannya. Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing. Tidak lebih bahasan antum – sependek pemahaman saya - hanya ingin mengingkapkan kenapa penampakan hilal bisa berbeda-beda dan sebab-musabab terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang lain. Saya kira, ini semua sudah mafhum bagi kita semua, walau dengan tingkat pendalaman yang berbeda-beda. <br /><br />Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah.<br /><br />Lain halnya jika mainstreamnya adalah diakuinya perbedaan mathla’. Hal ini akan mengakibatkan hal yang lebih tidak sederhana dari perkiraan kita. Lagi-lagi, keputusan pemerintahlah yang akhirnya lebih menjadi penentu. Saya pernah mengajukan logika geografi juga. Seandainya saya tinggal di daratan Propinsi Kalimantan Barat dan antum di Malaysia Timur. Jarak rumah saya dan antum hanya 50 m. Antara rumah saya dan rumah antum hanya terbatasi tembok perbatasan negara. Kebetulan, Depag RI memutuskan bahwa hilal Dzulhijjah nampak pada hari Kamis dan Depag Malaysia memutuskan hilal nampak pada hari Jum’at. Sekarang, apa sikap kita dalam hal ini. Jika kita berpikir dengan asas diakuinya hilal Dzulhijah adalah hilal-nya Saudi, maka perbedaan yang seperti itu bukan menjadi problem. Immaa rumah saya dan rumah antum terpaut ribuan kilometer, asalkan cara berpikir kita masih sama, maka – sekali lagi – hal itu bukan problem. Yang jadi masalah adalah ketika kita menganut pendapat pengakuan hilal masing-masing mathla’. Logika macam apa yang bisa dipakai dalam hal ini ? Jarak hanya 50 m berbeda pelaksanaan waktu ibadahnya. Paling banter, kita akan merujuk keputusan pemerintah. Soalnya jika kita merujuk dengan teori geografis, akan tidak ‘nyambung’. Akhirnya, logika perbedaan mathla’ ini menjadi sesuatu yang fasi. Kita tidak perlu berpikir untuk dua tempat yang terpaut belasan jam. Sebab, permasalahan utama perbedaan mathla’ adalah pada ‘daerah perbatasan’.<br /><br />Saya selalu berangkat dengan menyederhanakan masalah, karena dengan menyederhanakan masalah kita mengetahui pola-pola dasar setiap pemikiran.<br /><br />Wallaahu a’lam bish-shawwaab.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-58544548060853349052010-11-16T18:52:53.141+07:002010-11-16T18:52:53.141+07:00Minta izin menyebarluaskannya.Minta izin menyebarluaskannya.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-72784622273507196182010-11-16T18:07:27.562+07:002010-11-16T18:07:27.562+07:00Sebenarnya saya sepakat dengan Ustadz Abul Jauzaa....Sebenarnya saya sepakat dengan Ustadz Abul Jauzaa. <br />Namun saya tetap shalat idul adha pada 17 November.<br />Sebenarnya kedua pendapat tersebut sinkron jika kita bisa memahami konsep-konsep hilal, visibilitas dan hijri date line.<br />Pembahasan dan sedikit tanggapan atas pendapat Idul Adha 16 November ada di http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html.<br />Mohon maaf jika kurang berkenan.abu zaidhttp://ayahzaid.blogspot.comnoreply@blogger.com